BAB I
PENDAHULUAN
Labioschisis atau biasa disebut bibir sumbing adalah cacat bawaan yang menjadi masalah tersendiri
di kalangan masyarakat, terutama penduduk dengan status sosial ekonomi yang lemah. Akibatnya
operasi dilakukan terlambat dan malah dibiarkan sampai dewasa.
Insiden bibir sumbing di Indonesia belum diketahui diketahui secara pasti, hanya disebutkan terjadi
satu kejadian setiap 1000 kelahiran. Hidayat dan kawan-kawan di propinsi Nusa Tenggara Timur
antara April 1986 sampai Nopember 1987 melakukan operasi pada 1004 kasus bibir sumbing atau
celah langit-langit pada bayi, anak maupun dewasa di antara 3 juta penduduk.
Bibir Sumbing memiliki frekuensi yang berbeda-beda pada berbagai budaya dan ras serta negara.
Diperkirakan 45% dari populasi adalah non-Kaukasia. Fogh Andersen di Denmark melaporkan kasus
bibir sumbing dan celah langit-langit 1,47/1000 kelahiran hidup. Hasil yang hampir sama juga
dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di Amerika Serikat serta Wilson untuk daerah Inggris. Neel
menemukan insiden 2,1/1000 penduduk di Jepang.
Etiologi bibir sumbing dan celah langit-langit adalah multifaktorial. Selain faktor genetik juga terdapat
faktor non genetik atau lingkungan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing
dan celah langit-langit adalah usia ibu waktu melahirkan, perkawinan antara penderita bibir sumbing,
defisiensi Zn waktu hamil dan defisiensi vitamin B6.
Bayi yang terlahir dengan labioschisis harus ditangani oleh klinisi dari multidisiplin dengan
pendekatan team-based, agar memungkinkan koordinasi efektif dari berbagai aspek multidisiplin
tersebut. Selain masalah rekonstruksi bibir yang sumbing, masih ada masalah lain yang perlu
dipertimbangkan yaitu masalah pendengaran, bicara, gigi-geligi dan psikososial. Masalah-masalah ini
sama pentingnya dengan rekonstruksi anatomis, dan pada akhirnya hasil fungsional yang baik dari
rekonstruksi yang dikerjakan juga dipengaruhi oleh masalah-masalah tersebut. Dengan pendekatan
multidisipliner, tatalaksana yang komprehensif dapat diberikan, dan sebaiknya kontinyu sejak bayi
lahir sampai remaja. Diperlukan tenaga spesialis bidang kesehatan anak, bedah plastik, THT, gigi
ortodonti, serta terapis wicara, psikolog, ahli nutrisi dan audiolog.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Para Ahli diketahui bahwa alasan terbanyak anak penderita
labioschisis atau labiopalatoschisis terlambat (berumur antara 5-15 tahun) untuk dioperasi adalah
keadaan sosial ekonomi yang tidak memadai dan pendidikan orang tua yang masih kurang.(3)
B. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengkajian pada penyakit Labioschisis dan Labiopalatoschisis
b. Mengetahui pengertian pada penyakit Labioschisis dan Labiopalatoschisis
c. Mengetahui Etiologi, gejala, tindakan yang tepat untuk mengatasi Labioschisis dan
Labiopalatoschisis
d. Mengetahui evaluasi yang di harapkan
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Labioschisis/CB/Celah Bibir/Cleft Lips adalah celah pada bibir atas, baik komplit, tidak komplit,
unilateral maupun bilateral dijumpai sejak lahir atau merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada
bibir bagian atas, lokasinya tepat dibawah hidung.Kelainan ini dapat berupa takik kecil pada bahagian
bibir yang berwarna samapai pada pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir
ke hidung.
Sedangkan Labiopalatoschisis/CBL/Celah Bibir dan Langitan/Cleft Lips and Palate adalah celah yang
melibatkan bibir dan palatum, baik saru sisi maupun dua sisi.
Bibir sumbing (labioschizis) biasanya timbul sebagai cacat bawaansejak lahir. Kelainan ini terjadi
akibat gangguan dalam proses penyatuan bibir atas pada masa embrio awal.
Bibir sumbing yang ringan hanya tampak sebagai celah kecil di atasbibir atas dan tak terlihat jelas.
Sumbing yang berat dapat terjadi dikedua sisi bibir atas dan membentuk celah sampai ke lubang
hidung dan langit-langit ( labiopalatoschizis).
Keadaan ini jelas mengganggu proses menghisap dan menelan, juga memudahkan terjadinya infeksi
saluran pernapasan. Karena itu, bibir sumbing berat perlu dioperasi untuk mengoreksi kelainan.
Di Indonesia, jumlah tertinggi penderita kelainan ini terbanyak di
Nusa Tenggara Timur yaitu enam sampai sembilan orang per 1.000 penduduk. Jumlah ini sangat
tinggi bila dibanding kasus di internasional yang hanya satu sampai dua orang per 1.000 penduduk.
Penyebab utama bibir sumbing karena kekurangan seng dan karena kawin dengan kerabat. Bagi
tubuh, seng sangat dibutuhkan enzim tubuh. Walau yang diperlukan sedikit, tapi jika kekurangan,
berbahaya. Makanan yang mengandung seng antara lain daging, sayur- sayuran, dan air. Di NTT,
airnya bahkan tak mengandung seng sama sekali. Soal kawin antar kerabat atau saudara memang
jadi pemicu munculnya penyakit generatif (keturunan) yang sebelumnya
resesif.Penelitianepidemiologi untuk pencegahan terjadinya bibir sumbing masih sedikit namun teknik
bedah untuk mengobatinya banyak dilakukan.
1.2 Patofisiologi
Penyebab terjadinya labioschisis atau labiopalatoschisis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan
ilmuwan berpendapat bahwa labioschisis muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor genetik dan
factor-faktor lingkungan. Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan bahwa
40% orang yang mempunyai riwayat keluarga labioschisis akan mengalami labioschisis.
Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan labioschisis meningkat bila keturunan garis pertama
(ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi alcohol dan
narkotika, kekurangan vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau
menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak dengan labioschisis.
Menurut Mansjoer dan kawan-kawan, hipotesis yang diajukan antara lain:
Ø Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam hal kuantitas (pada
gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi asam folat, vitamin C, dan Zn)
Ø Penggunaan obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal
Ø Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma dan klamidia.
Ø Faktor genetik
Kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak terbentuknya
mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu (prosesus nasalis dan
maksilaris) pecah kembali.
Pada hewan percobaan vitamin A dikenal sebagai "teratogen universal". Namun kemungkinan
teratogenitas pada manusia yang mengkonsumsi suplemen vitamin A masih kontroversi.(35)
Vitamin B-6 memiliki peran vital dalam metabolisme asam amino. Defisiensi vitamin B-6 tunggal telah
terbukti dapat menyebabkan langit-langit mulut sumbing dan kelainan defek lahior lainnya pada tikus
percobaan. Dan Miller (1972) menunjukkan bahwa pemberian vitamin B-6 dapat mencegah terjadinya
celah orofasial.
Salah satu penyebab terjadinya celah orofasial ialah heterogenitas, sebanyak sekitar 20% menyertai
sindrom yang disebabkan mutasi yang spesifik. Namun juga terjadinya celah orofasil juga
berhubungan dengan asam folat dan multivitamin lainnya. Beberapa mungkin memiliki etiologi karena
asam folat namun sebagian lagi tidak, sehingga menyulitkan untuk mencari efeknya
2.4 Komplikasi
2.5 Penatalaksanaan
Idealnya, anak dengan labioschisis ditatalaksana oleh ³tim labio-palatoschisis´ yang terdiri dari
spesialistik bedah, maksilofasial, terapis bicara dan bahasa, dokter gigi, ortodonsi, psikoloog, dan
perawat spesialis. Perawatan dan dukungan pada bayi dan keluarganya diberikan sejak bayi tersebut
lahir sampai berhenti tumbuh pada usia kira-kira 18 tahun. Tindakan pembedahan dapat dilakukan
pada saat usia anak 3 bulan. (5)
Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschisis yaitu : (24)
1. Tahap sebelum operasi
Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayi menerima tindakan
operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan yang dicapai dan usia yang
memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan lebih dari 10 pounds
atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10 minggu , jika bayi belum mencapai
rule of ten ada beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi
yang terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus dengan dot khusus dimana
ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak
terlalu besar sehingga membuat bayi tersedak atau terlalu kecil sehingga
membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot dengan besar lubang khusus ini tidak tersedia bayi
cukup diberi minum dengan bantuan sendok secara perlahan dalam posisi setengah duduk atau
tegak untuk menghindari masuknya susu melewati langit-langit yang terbelah.
Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester khusus non alergenik untuk
menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu jauh akibat proses tumbuh kembang yang
menyebabkan menonjolnya gusi kearah depan (protrusio pre maxilla) akibat dorongan lidah pada
prolabium , karena jika hal ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit dan
secara kosmetika hasil akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap
direkatkan sampai waktu operasi tiba. (24)
2. Tahap sewaktu operasi
Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan adalah soal kesiapan
tubuh si bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli bedah
Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan. Usia ini dipilih mengingat
pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia
tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi
pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang sempurna.
Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 ± 20 bulan mengingat anak aktif bicara
usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah. Palatoplasty dilakukan sedini mungkin (15-24 bulan)
sebelum anak mulai bicara lengkap sehingga pusat bicara di otak belum membentuk cara bicara.
Kalau operasi dikerjakan terlambat, sering hasil operasi dalam hal kemampuan mengeluarkan suara
normal atau tidak sengau sulit dicapai. (19) Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus
diikuti dengan tindakan speech teraphy karena jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat
bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme
kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila gusi juga terbelah (gnatoschizis)
kelainannya menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat usia 8±9 tahun
bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi.(24)
Gambar 2.2 Reparasi labioschisis (labioplasti). (A and B) pemotongan sudut celah pada bibir dan
hidung. (C) bagian bawah nostril disatukan dengan sutura. (D) bagian atas bibir disatukan, dan (E)
jahitan memanjang sampai kebawah untuk menutup celah secara keseluruhan. (33)
3. Tahap setelah operasi.
Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari tiap-tiap jenis
operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan memberikan instruksi pada
orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan
tetap menggunakan sendok atau dot khusus untuk memberikan minum bayi. Banyaknya penderita
bibir sumbing yang datang ketika usia sudah melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat
operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi
bicara tetap terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan
speech teraphy pun tidak banyak bermanfaat.
2
!
|
| |
:
atau adalah penyakit yang disebabkan suatu virus RNA dari golongan Togavirus.
Penyakit ini relatif tidak berbahaya dengan morbiditas dan mortalitas yang rendah pada manusia normal. Tetapi
jika infeksi didapat saat kehamilan, dapat menyebabkan gangguan pada pembentukan organ dan dapat
mengakibatkan kecacatan.
Sejarah Epidemi
Sebelum dilakukan imunisasi massal mulai tahun 1969, di Amerika terjadi epidemi rubella tiap 6 ± 9 tahun
dengan epidemi terakhir pada tahun 1964 dengan perkiraan sebanyak lebih dari 20.000 kasus
dan 11.000 kasus keguguran. Insidens tertinggi adalah pada umur 5 ± 9 tahun sebanyak 38,5 % dari
kasus pada tahun 1966-1968. Meskipun insiden rubella turun sampai 99 % antara 1966-1968, 32 % dari semua
kasus terjadi pada umur 15-29 tahun. Tanpa imunisasi, 10 % - 20% populasi di Amerika dicurigai terinfeksi
rubella.
Tujuan imunisasi adalah eradikasi infeksi
. Jumlah kasus
yang
dilaporkan turun sampai 99 % sejak tahun 1969. Setelah penurunan yang tajam dari insiden sindroma rubella
kongenital, insiden mendatar sekitar 0.05 per 100.000 kelahiran hidup selama10 tahun terakhir karena
tetap berlanjut pada wanita usia subur. Bila semua wanita ini telah divaksinasi (idealnya) insiden
Penyebaran
Penularan virus rubella adalah melalui udara dengan tempat masuk awal melalui nasofaring dan orofaring.
Setelah masuk akan mengalami masa inkubasi antara 11 sampai 14 hari sampai timbulnya gejala. Hampir 60 %
Penyebaran virus rubella pada hasil konsepsi terutama secara hematogen. Infeksi kongenital biasanya terdiri
dari 2 bagian : viremia maternal dan viremia fetal. Viremia maternal terjadi saat replikasi virus dalam sel
trofoblas. Kemudian tergantung kemampuan virus untuk masuk dalam barier plasenta. Untuk dapat terjadi
viremia fetal, replikasi virus harus terjadi dalam sel endotel janin. Viremia fetal dapat menyebabkan kelainan
Bayi- bayi yang dilahirkan dengan rubella kongenital 90 % dapat menularkan virus yang infeksiusmelalui cairan
tubuh selama berbulan-bulan. Dalam 6 bulan sebanyak 30 ± 50 %, dan dalam 1 tahun sebanyak kurang dari 10
%. Dengan demikian bayi - bayi tersebut merupakan ancaman bagi bayi-bayi lain, disamping bagi orang dewasa
Gejala klinis
Gambaran klinis infeksi rubella serupa dengan penyakit lain dan kadang-kadang tidak tampak gejala dan tanda
infeksi. Pada orang dewasa mula-mula terdapat gejala prodromal berupa malaise, mialgia dan sakit kepala. Pada
anak-anak sering tidak diketahui gejala prodromal ini, atau apabila ada sangat minimal. Onset dari gejala
prodromal sering dilaporkan dengan munculnya limfadenopati postaurikuler, yang biasanya dilanjutkan dengan
munculnya ruam setelah 6-7 hari. Bercak-bercak berupa exanthema yang khas yaitu makulo papular yang
sentrifugal mulai dari dada atas, abdomen kemudian ekstremitas yang akan menghilang dalam 3 hari. Kadang-
Pada janin, infeksi rubella dapat menyebabkan abortus bila terjadi pada trimester I.. Mula-mula replikasi virus
terjadi dalam jaringan janin, dan menetap dalam kehidupan janin, dan mempengaruhi pertumbuhan janin
Infeksi ibu pada trimester kedua juga dapat menyebabkan kelainan yang luas pada organ. Menetapnya virus dan
dan interaksi antara virus dan sel di dalam uterus dapat menyebabkan kelainan yang luas pada periode
neonatal, seperti anemia hemolitika dengan hematopoiesis ekstra meduler, hepatitis, nefritis interstitial,
a. Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila infeksi terjadi sebelum umur kehamilan 8 minggu.
c. Gangguan mata : katarak dan glaukoma. Kelainan ini jarang berdiri sendiri.
d. Retardasi mental
2. Extended ± sindroma rubella kongenital.. Meliputi cerebral palsy, retardasi mental, keterlambatan
3. Delayed - sindroma rubella kongenital. Meliputi panensefalitis, dan Diabetes Mellitus tipe-1, gangguan pada
Diagnosis
Diagnosis infeksi rubella sangat sulit karena gejalanya yang tidak khas. Timbulnya ruam selama 2-3 hari dan
adanya adenopati postaurikuler dapat sebagai diagnosis awal kecurigaan infeksi rubella, tetapi untuk diagnosis
pastinya diperlukan konfirmasi serologi atau virologi. Virus rubella dapat ditemukan pada struktur jaringan yang
dapat diambil dari hapusan orofaring, tetapi tindakan ini sulit dilakukan.
Antibodi rubella biasanya lebih dahulu muncul saat timbul ruam. Diagnosis rubella ditegakkan bila titer meningkat
4 kali saat fase akut, dan biasanya imunitas menetap lama. Apabila pasien diperiksa beberapa hari setelah
timbul ruam, diagnosis dapat ditegakkan dengan analisis antibodi IgM anti rubella dengan menggunakan sistem
ELISA. IgM spesifik rubella dapat terlihat 1 ± 2 minggu setelah infeksi primer dan menetap selama 1 - 3 bulan.
Adanya antibodi IgM menunjukkan adanya infeksi primer, tetapi bila negatif belum tentu tidak terinfeksi.
Diagnosis prenatal dilakukan dengan memeriksa adanya IgM dari darah janin melalui CVS ( chorionoc villus
sampling ) atau kordosentesis. Konfirmasi infeksi fetus pada trimester I dilakukan dengan menemukan adanya
antigen spesifik rubella dan RNA pada CVS. Metode ini adalah yang terbaik untuk isolasi virus pada hasil
konsepsi.
Berdasarkan gejala klinik dan temuan serologi, sindroma rubella kongenital (CRS, Congenital Rubella Syndrome)
1. CRS confirmed. Defek dan satu atau lebih tanda/ gejala berikut :
2. CRS compatible. Terdapat defek tetapi konfirmasi laboratorium tidak lengkap. Didapatkan 2 defek dari item a ,
a. Katarak dan/ atau glaukoma kongenital, penyakit jantung kongenital, tuli, retinopati.
1. Purpura, splenomegali, kuning, mikrosefali, retardasi mental, meningo ensefalitis, penyakit tulang radiolusen.
3. CRS possible. Defek klinis yang tidak memenuhi kriteria untuk CRS compatible.
Tidak adanya antibodi rubella pada anak umur < 24 bulan dan pada ibu..
Pencegahan
Penanggulangan infeksi rubella adalah dengan pencegahan infeksi salah satunya dengan cara pemberian
vaksinasi. Pemberian vaksinasi rubella secara subkutan dengan virus hidup rubella yang dilemahkan dapat
Vaksin rubella dapat diberikan bagi orang dewasa terutama wanita yang tidak hamil. Vaksin rubella tidak boleh
diberikan pada wanita yang hamil atau akan hamil dalam 3 bulan setelah pemberian vaksin. Hal ini karena vaksin
berupa virus rubella hidup yang dilemahkan dapat berisiko menyebabkan kecacatan meskipun sangat jarang.
Tidak ada preparat kimiawi atau antibiotik yang dapat mencegah viremia pada orang-orang yang tidak kebal dan
terpapar rubella. Bila didapatkan infeksi rubella dalam uterus, sebaiknya ibu diterangkan tentang risiko dari
infeksi rubella kongenital. Dengan adanya kemungkinan terjadi defek yang berat dari infeksi pada trimester I,
pasien dapat memilih untuk mengakhiri kehamilan, bila diagnosis dibuat secara tepat.