Tujuan Umum : Setelah mempelajari modul ini, peserta didik diharapkan mampu
mengetahui defenisi, patogenesis, diagnosis dan tatalaksana asma kerja
Tujuan Khusus :
- Memahami definisi penyakit asma kerja
- Memahami patofisiologi penyakit asma kerja
- Memahami diagnosis asma kerja
- Memahami tata laksana penyakit asma kerja
Defenisi
Asma yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related asthma) adalah penyakit
yang ditandai oleh keterbatasan aliran saluran nafas yang bervariasi dan atau
hiperresponsif bronkus non spesifik yang disebabkan oleh penyebab dan keadaan
lingkungan pekerjaan tertentu dan rangsangan itu tidak dijumpai di luar tempat kerja.
Klasifikasi asma ditempat kerja menurut The American College of Chest Physicians
tahun 1995 adalah:
1. Asma Akibat Kerja
Asma yang disebabkan paparan zat ditempat kerja, dibedakan atas 2 jenis
tergantung ada tidaknya masa laten:
o Penyakit Asma Akibat Kerja dengan Masa Laten Secara umum pasien
dengan gejala penyakit asma akibat kerja muncul setelah beberapa
periode pajanan terhadap bahan-bahan yang menimbulkan gejala.
Bahan yang menginduksi terdiri dari molekul dengan berat molekul
yang tinggi dan berat molekul yang rendah.
o Penyakit Asma Akibat Kerja tanpa Masa Laten ( Asma – diinduksi
bahan iritan) Gejala ini lebih jarang. Gejala muncul setelah terpajan
dengan bahan dalam beberapa jam.
2. Asma yang diperburuk ditempat kerja
Asma yang sudah ada sebelumnya atau sudah mendapat terapi asma dalam
2 tahun sebelumnya dan memburuk akibat pajanan zat ditempat kerja. Pada
karyawan yang sudah menderita asma sebelum bekerja, 15 % akan
memburuk akibat pajanan bahan / faktor dalam lingkungan kerja. Diagnosis
asma akibat kerja ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang terdiri dari tes faal paru, tes provokasi bronkus
dan test imunologi atau test pajanan dengan alergen spesifik.
Patogenesis
Secara patologis asma karena senyawa yang berat molekulernya tinggi
berhubungan dengan infitrasi bronkus oleh limfosit dan eosinofil dan sulit dibedakan
dari tipe asma akibat alergi lain. Antibodi IgE yang spesifik terhadap penyakit asma
akibat kerja mengaktifkan degranulasi sel mast. Pada beberapa kasus deskuamasi
epitel bronkus dan fibrosis subepitel terlihat secara patologis. Senyawa dengan berat
molekul rendah Senyawa ini juga cenderung menimbulkan bronkokonstriksi akibat
IgE. Tapi berbeda dengan molekul dengan senyawa yang tinggi antibodi IgE atau
IgG yang terproduksi pada individu ini terikat pada protein serum. Ada juga bukti
senyawa berat molekul rendah menginduksi asma melalui mekanisma IgE
independen, dengan memperngaruhi limfosit T secara langsung. Senyawa dengan
berat molekul rendah dapat secara langsung mempengaruhi jalur kimia yang
berkembang disaluran napas. Sebagai contoh organofosfat telah menunjukkan
kemampuannya untuk menginduksi bronkokonstriksi melalui efek antikolinergik.
Agen agen yang lain dapat menimbulkan asma melalui jalur iritasi.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fisik Tanda dari atopi harus diperhatikan jika asma disebabkan oleh hal
yang lain maka pasien akan tampak normal diluar tempat kerja. Wheezing
menandakan adanya obstruksi jalur nafas. Tanda dari dermatitis dapat menyokong
dari penyakit akibat kerja. Tes imunologi dan kulit atopi umum merupakan faktor
resiko penyakit asma akibat kerja ketika disebabkan molekul berat tinggi. Maka dari
itu, tes kulit secara rutin dapat berguna. Ekstrak dari tepung, kopi, produk dari
binatang dapat digunakan untuk skin test. Ekstrak antibodi IgE dapat dideteksi
dengan test radio alergosorbent atau ELISA. Hasil positif pada test tersebut tidak
langsung mengindikasi bahwa zat tersebut lah yang menyebabkan penyakit
asmanya. Semua test harus di evaluasi dalam konteks individual.
Test fungsi paru pasien dengan penyakit asma akibat kerja dapat didapati dengan
tes fungsi paru yang normal ketika pasien tidak bekerja. Maka dari itu test ini harus
dilakukan ketika segera pasien terpajang dengan agen yang dicurigai. Test paru
sebelum dan saat bekerja dapat efektif mengevaluasi fungsi paru yang berhubungan
dengan pekerjaan.
Peak flow monitor berguna untuk asesment dan harus dilakukan minimal empat kali
perhari, saat bangun permulaan kerja dan sebelum tidur. Dua dari perekaman
tersebut harus minimal 20 L permenit untuk menunjukkan reproduksibilitas.
Pengukuran dilakukan paling sedikit dalam 4 minggu sebagai tambahan pengukuran
peak flow setiap dua jam tapi jadwalnya sulit untuk diikuti. Karena pengukuran peak
flow sangat tergantung terhadap usaha maka metode lain harus ditambahkan.
Penting untuk selalu mencatat pasien yang dievaluasi untuk penyakit obstruksi kerja.
Ketika fungsi paru sedang diperiksa operator harus waspada kalau penyakit akibat
kerja dicurigai jadi usaha pasien dapat dievaluasi. Ketika pengukuran peakflow
menunjukkan adanya reaksi saluran napas terhadap zat dalam pekerjaan, operator
spirometer portabel dapat dikirim di tempat kerja untuk mengukur FEC/ FEV1 setiap
jam saat bekerja.
Penatalaksanaan asma akibat kerja sama dengan asma lain secara umum, yang
penting adalah menghindari dari pajanan dari bahan penyebab asma, makin cepat
terbebas dari pajanan makin baik prognosisnya.
Melanjutkan pekerjaan ditempat pajanan bagi pekerja yang telah tersensitisasi akan
memperburuk gejala dan fungsi paru meskipun telah dilengkapi dengan alat
pelindung ataupun pindah keruang lain yang lebih sedikit pajanannya. Pemindahan
kerja sulit dilakukan, karena tidak mempunyai keahlian ditempat lain. Bagi mereka
yang menolak pindah kerja harus diberitahukan bahwa apabila terjadi perburukan
gejala atau memerlukan penambahan pemakaian obat-obatan atau penurunan
fungsi paru atau peningkatan derajat hipereaktiviti bronkus maka penderita
seharusnya pindah kerja.
Pengobatan sama seperti jenis asma lainnya, yaitu diberikan bronkodilator (obat
yang membuka saluran pernafasan), baik dalam bentuk obat hirup (contohnya
albuterol) atau dalam bentuk tablet (contohnya theophylline). Untuk serangan yang
hebat, dapat diberikan corticosteroid (misalnya prednisone) per-oral (melalui mulut)
dalam jangka pendek. Untuk penanganan jangka panjang, lebih baik diberikan
corticosteroid dalam bentuk hirup.
Daftar Pustaka
TUJUAN UMUM
TUJUAN KHUSUS
DEFENISI
Silikosis dikenal juga dengan istilah miner’s phthisis, grinder’s asthma, potter’s rot, merupakan
bentuk penyakit paru akibat pekerjaan yang disebabkan karena menghirup debu silika secara kronik
dan ditandai dengan adanya inflamasi dan pembentukan jaringan parut dari lesi nodular pada lobus
paru bagian atas. Silikosis merupakan salah satu jenis dari pneumokoniosis.
PATOGENESIS
1. Silikosis kronis, terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika dalam jangka panjang
(lebih dari 20 tahun). Nodul-nodul peradangan kronis dan jaringan parut akibat silika
terbentuk di paru-paru dan kelenjar getah bening dada.
2. Silikosis akselerata, terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih banyak selama
waktu yang lebih pendek (4 - 8 tahun). Peradangan, pembentukan jaringan parut dan gejala-
gejalanya terjadi lebih cepat.
3. Silikosis akut, terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar, dalam
waktu yang lebih pendek. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga timbul
sesak napas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.
Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20 - 30 tahun. Pada peledakan pasir, pembuatan
terowongan dan pembuatan alat pengampelas sabun, dimana kadar silika yang dihasilkan sangat
tinggi, gejala dapat timbul dalam waktu kurang dari 10 tahun. Bila terhirup, serbuk silika masuk ke
paru-paru dan sel pembersih (misalnya makrofag) akan mencernanya. Enzim yang dihasilkan oleh sel
pembersih menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada paru-paru. Pada awalnya, daerah parut
ini hanya merupakan bungkahan bulat yang tipis (silikosis noduler simplek). Akhirnya mereka
bergabung menjadi massa yang besar (silikosis konglomerata). Daerah parut ini tidak dapat
mengalirkan oksigen ke dalam darah secara normal. Paru menjadi kurang lentur dan penderita
mengalami gangguan pernapasan.
Penderita silikosis noduler simpel tidak memiliki masalah pernapasan, tetapi mereka bisa menderita
batuk berdahak karena saluran pernapasannya mengalami iritasi (bronkitis). Silikosis konglomerata
bisa menyebabkan batuk berdahak dan sesak napas. Mula-mula sesak napas hanya terjadi pada saat
melakukan aktivitas, tapi akhirnya sesak timbul bahkan pada saat beristirahat. Keluhan pernapasn
bisa memburuk dalam waktu 2-5 tahun setelah penderita berhenti bekerja. Kerusakan di paru-paru
bisa mengenai jantung dan menyebabkan gagal jantung yang bisa berakibat fatal. Jika terpapar oleh
organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis), penderita silikosis mempunyai
resiko 3 kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Silikosis merupakan penyakit yang tidak dapat diobati tetapi dapat dicegah. Penyakit ini
biasanya memberikan gejala bila kelainan telah lanjut. Pada silikosis bila diagnosis telah ditegakkan
penyakit dapat terus berlanjut menjadi fibrosis masif meskipun paparan dihilangkan. Pengobatan
umumnya bersifat simptomatis, yaitu mengurangi gejala. Obat lain yang diberikan bersifat suportif.
Untuk mencegah semakin memburuknya penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber
pemaparan. Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator, dan oksigen. Jika terjadi
infeksi, bisa diberikan antibiotik. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah membatasi pemaparan
terhadap silika, berhenti merokok dan menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin setiap tahun.
Berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit atau
mengurangi laju penyakit. Kadar debu pada tempat kerja diturunkan serendah mungkin dengan
memperbaiki teknik pengolahan bahan, misalnya pemakaian air untuk mengurangi debu yang
beterbangan. Bila kadar debu tetap tinggi pekerja diharuskan memakai alat pelindung. Jika debu
tidak dapat dikontrol (seperti dalam industri peledakan), maka pekerja harus memakai peralatan
yang memberikan udara bersih atau sungkup. Pekerja yang terpapar silika, harus menjalani foto
rontgen secara rutin. Untuk pekerja peledak pasir setiap 6 bulan dan pekerja lainnya setiap 2-5
tahun, sehingga penyakit ini dapat diketahui secara dini.
DAFTAR PUSTAKA
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
Defenisi
Asbestosis adalah penyakit paru yang timbul akibat inhalasi debu serat asbes yang ditandai
dengan fibrosis interstisial difus pada paru.
Patogenesis
Bermula pada penumpukan serat asbes di bronkiolus respiratorius pada saluran napas
bawah. Sistem mukosilier membersihkan serat-serat tersebut atau ditransportasikan melalui
sel epitel alveolar tipe I ke dalam jaringan interstitial. Lesi pertama pada paru terjadi karena
penumpukan makrofag alveolar di duktus alveolaris dan daerah peribronkial yang
berdekatan dengan bronkiolus terminalis. Serat asbes dapat menstimulasi makrofag alveolar
untuk menarik neutrofil dari sirkulasi dan menyebabkan kerusakan jaringan paru akibat
produknya.
Anamnesis
- Pajanan yang signifikan dengan asbes yang dicurigai dapat menyebabkan asbestosis
- Lama pajanan
- Penggunaan alat pelindung diri
- Gejala klinis awal dapat berupa napas pendek pada saat bekerja yang diikuti batuk
kering.
- Bila terjadi fibrosis paru yang progresif maka sesak napas semakin memburuk
meskipun penderita menghindari pajanan.
- Pada stadium lanjut penderita dapat mengeluh batuk produktif, penurunan berat badan
dan sering membutuhkan pengobatan karena infeksi saluran napas
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang pertama dijumpai pada adalah ronki di bagian basal
paru, takipnea, sianosis dan jari tabuh ditemukan bila penyakit semakin lanjut.
Pemeriksaan Penunjang
Penyakit ini tidak reversibel dan sering progresif sehingga perlu tindakan pencegahan yang
ketat pada industri-industri asbes. Tidak ada bukti bahwa penyakit ini dapat disembuhkan
sehingga industri asbes perlu melakukan pemeriksaan berkala pada pekerja dan
memindahkan pekerja dari pekerjaan apabila timbul gejala penyakit tahap awal. Untuk
mengurangi terjadinya kanker paru pada penderita yang terpapar asbes dianjurkan untuk
berhenti merokok. Bila penyakit telah terjadi maka pengobatan bersifat suportif seperti
pemberian oksigen, bronkodilator.
Daftar Pustaka
TUJUAN UMUM
TUJUAN KHUSUS
DEFINISI
Siderosis disebabkan oleh inhalasi debu besi yang terkumpul yang mengandung senyawa oksida besi
(Fe,O,) di paru. Penyakit paru kerja jenis ini tergolong dalam kategori non fibrotik. Pajanan yang lama
terhadap debu besi dapat menimbulkan kelainan pada gambaran radiologis foto toraks seperti
gambaran nodular, diffuse, fibrosis ringan pada daerah peribronkial dan opasitas linear pada
parenkim paru serta menimbulkan kelainan pada faal paru seperti restriksi atau obstruksi. Penyakit
ini ditemukan pada tukang las setelah teknik mengelas dikenal. Pengelasan dianggap sebagai sebab
utama terjadi siderosis, walau penyakit ini juga ditemukan pada tukang poles logam dan pekerjaan
lain yang berhubungan dengan pajanan asap oksida besi dalam waktu yang lama.
PATOFISIOLOGI
Besi sebagai elemen hantaran alami yang dibutuhkan dalam struktur hemoglobin untuk oksigen dari
paru ke sel jaringan. Besi juga berperan dalam mekanisme oksidasi dalam metabolisme tubuh.
Manusia dewasa mengabsorbsi besi kurang dari 5 miligram (mg) setiap hari. Jumlah besi yang
berlebih disimpan di dalam hati dan limpa sebagai feritin. Kebanyakan anemia yang terjadi
disebabkan karena defisiensi zat besi. Pada tahap yang lebih lanjut siderosis ditandai dengan
penumpukan oksida besi dan hemosiderin pada seluruh paru yang memberikan gambaran kerak
yang berwarna coklat.
Warheit dan Hansen melakukan percobaan pada tikus yang diinhalasi dengan debu besi dalam
konsentrasi yang tinggi dan dihubungkan dengan inflamasi paru, gangguan dan penurunan dalam
bersihan partikel dalam paru. Reactive oxygen species (ROS) berperan dalam toksisitas yang terjadi
pada paru, sebagai mediator besi dan abses dianggap sebagai mediator penting dalam mengkatalisis
produksi ROS di paru. Makrofag alveolar yang menangkap besi secara in vitro dapat melindungi sel-
sel di dekatnya dari pajanan oksidan yang berpotensi dalam katalisis besi menjadi sitotoksik.
Siderosis akibat pajanan dari debu besi atau oksida besi ditandai dengan pembentukan makula debu.
Makula pada siderosis mengandung oksida besi yang memiliki partikel kasar berwarna coklat-hitam
dengan tepi tidak teratur yang tercampur dengan beberapa partikel hemosiderin yang berwarma
cokelat keemasan.
Doherty dkk. melaporkan 3 pasien dengan siderosis welder (2 pasien telah dikonfirmasi dengan
biopsi paru melalui pemeriksaan bronkoskopi) memiliki kadar zat besi yang berlebih di dalam tubuh.
Kadar feritin serum pada pasien ditemukan 3-6 kali lipat lebih tinggi ditemukan pada pasien dari
batas normal (30-300 mg/mL). Biopsi hati yang dilakukan pada salah satu pasien menemukan
kandungan besi yang tinggi dalam hati. Tidak ada bukti dari hemokromatosis genetik atau penyebab
lain yang dapat dibuktikan untuk menyatakan kelebihan besi selain dari pajanan pengelasan yang
lama. Sehingga penyakit paru pada tukang las dapat dihubungkan dengan kelebihan zat besi sistemik
akibat inhalasi partikel besi kronik.
Perubahan patologis yang terjadi bersifat revesibel dan memungkinkan resolusi lengkap setelah
pajanan terhenti. Hubungan antara pekerjaan mengelas dengan penyakit paru telah diketahui dan
hanya sedikit data yang menjelaskan temuan histopatologi dalam kelainan ini. Morgan dan Kerr
pada tahun 1963 melakukan penelitian terhadap 7 pasien dengan siderosis atau paru tukang las dan
didapatkan 4 pasien yang bersedia jaringan parunya diteliti. Dari penelitian ini ditemukan banyak
makrofag di alveolar dan bronkiolus respiratorius yang mengandung besi. Penimbunan besi juga
terlihat pada jaringan limfatik dan pleura. Tetapi tidak ditemukan kejadian patologis akibat besi
tersebut seperti fibrogenik.Secara umum, siderosis tidak berhubungan dengan fibrosis atau
gangguan fungsional. Namun, ketika besi yang dihirup tercampur dengan silika dalam jumlah besar
menjadi silikosiderosis yang mungkin berhubungan dengan kejadian fibrosis paru.
Penderita siderosis biasanya tidak ada gejala atau gejala klinis seperti batuk dan sesak tetapi terjadi
perubahan simptomatik dan kelainan faal paru serta terjadi penurunan compliance paru pada
beberapa penderita. Pemeriksaan mikroskopi dapat ditemukan partikel debu besi yang terakumulasi
sekitar vena kecil pada bronkiolus dan bila jumlahnya cukup banyak dapat mengisi makrofag alveolar
berupa pigmen besi yang berwarna coklat.
DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis siderosis dilakukan berdasarkan anamnesis riwayat pajanan debu besi,
pemeriksaan penunjang seperti faal paru, foto toraks, computed tomography scan (CT scan),
pemeriksaan bronchoalveolar lavage (BAL) dan biopsi jaringan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah seperti faal paru, foto toraks, computed
tomography scan (CT scan), pemeriksaan bronchoalveolar lavage (BAL) dan biopsi jaringan
TATALAKSANA
Siderosis dianggap sebagai pneumokoniosis jinak sehingga jarang menimbulkan keluhan respirasi.
Pajanan terhadap besi saja dianggap kurang berbahaya, namun beberapa tukang las dan pemotong
oksiasetil dapat terpajan berbagai debu dan asap lain selain oksida besi. Beberapa kasus
menemukan debu yang dapat memicu terjadi fibrosis. Pajanan terhadap oksida besi dapat
bercampur dengan nitrogendan ozon serta polusi udara lainnya. Siderosis dan demam asap logam
sering ditemukan banyak pada tukang las yang bekerja di dalam ruangan dengan ventilasi udara
yang buruk. Tetapi kedua penyakit ini jarang terjadi bila ventilasi udara yang adekuat dan para
tukang las bekerja di luar ruangan. Pencegahan terhadap pekerjaan yang dapat menimbulkan
siderosis dapat dilakukan dengan bekerja di luar ruangan atau bekerja di tempat dengan ventilasi
udara yang baik di tempat kerja guna udara bersih dapat masuk dan menghindari asap pengelasan,
mengurangi atau menghindari pajanan terhadap debu atau asap besi, menggunakan perlengkapan
proteksi diri dengan menerapkan cara kerja yang berhubungan dengan keselamatan kerja yang
umum terutama dengan menggunakan masker muka atau alat pelindung diri (APD) yang sesuai dan
berhenti merokok. Penatalaksanaan yang ideal adalah menghindari pajanan, tetapi bila siderosis
sudah terdeteksi dapat dilakukan BAI. guna membuang partikel- partikel besi untuk mencegah
terjadi fibrosis yang lebih lanjut. Pengobatan dapat diberikan bronkodilator dan kortikosteroid
inhalasi.
DAFTAR PUSTAKA
TUJUAN UMUM
TUJUAN KHUSUS
DEFENISI
Bisinosis adalah penyakit paru akibat kerja yang digolongkan kedalam penyakit pneumokoniosis yang
disebabkan oleh pencemaran debu kapas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke
dalam paruparu. Bisinosis dikenal dengan istilah “brown lung disease” dan “cotton worker’s lung”.
Bisinosis adalah salah satu jenis khusus asma akibat kerja yang disebabkan oleh inhalasi debu kapas
atau rami. Bisinosis juga didefenisikan sebagai penyakit paru akibat kerja dengan karakterisasi
penyakit saluran udara akut atau kronis yang dijumpai pada pekerja pengolahan kapas dan rami.
ETIOLOGI
Terjadinya penyakit ini dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko seperti lama pajanan, kadar debu
kapas ratarata atau kumulatif, kadar debu di tempat kerja sebelumnya, jenis mesin, kualitas kapas,
kontaminasi bakteri gram negatif, umur, jenis kelamin, lama masa kerja, lingkungan tempat kerja,
kebiasaan merokok, riwayat pekerjaan, riwayat alergi, jenis pekerjaan, status gizi, serta pemakaian
APD (Alat Pelindung Diri).
PATOGENESIS
Patogenesis bisinosis sebenarnya tidak benar-benar dipahami, namun tampaknya diawali dengan
inhalasi beberapa komponen aktif dalam bracts (daun di sekitar dahan bola kapas) yang
menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast di dalam paru. Pelepasan histamin tersebut
menyebabkan timbulnya gejala pada hari pertama kerja setelah libur hari minggu. Inhalasi debu
organik lebih menyebabkan reaksi jalan napas daripada reaksi alveolar. Sehingga dapat dikatakan
bahwa terjadinya bisinosis diakibatkan oleh terjadinya penyempitan jalan napas karena menghirup
debu kapas, rami, serat rami, atau goni.
Secara lebih rinci, inhalasi debu yang sangat mungkin mengandung endotoksin bakteri menyebabkan
terjadi pelepasan histamin yang kemudian menimbulkan adanya kontraksi otot polos yang
mengakibatkan orang-orang dengan bisinosis umumnya mengalami gejala mengi, sesak napas, sesak
dada, dan batuk-batuk selama hari kerja (selama terpapar atau mendapat paparan debu). Selain
itu,bronkokonstriksi yang dihasilkan tersebut juga menyebabkan munculnya dipsnea selain mengi.
Selanjutnya, paparan jangka panjang debu kapas, rami, atau serat jute dapat menyebabkan
terbentuknya jaringan parut permanen pada paru-paru dan saluran pernapasan yang mengakibatkan
munculnya penyakit pada paru-paru dan paru-paru melemah (Farooque dkk., 2008). Selain itu,
partikel-partikel debu kapas yang tak terlihat juga masuk ke dalam alveoli paru-paru melalui inhalasi
kemudian masuk ke dalam limfa (getah bening) yang selanjutnya menyebabkan kerusakan pada
alveoli, penyempitan saluran udara, berkurangnya kapasitas untuk mempertahankan oksigen, dan
dengan terakumulasinya debu kapas, para pekerja mulai merasakan sesak di dada (feeling of chest
tightness).
Gejala bisinosis mungkin muncul dalam kecepatan beberapa jam setelah paparan dan berkurang
ketika pekerja meninggalkan lingkungan pabrik. Namun, masa inkubasi dari bisinosis itu sendiri
adalah 5 tahun. Dan berdasarkan studi epidemiologi, paparan harian lebih dari 20 tahun
menyebabkan gangguan fungsi paru permanen yang tipe atau jenisnya berhubungan dengan PPOK.
Sebab, paparan terhadap debu kapas, vlas, henep, atau sisal yang terus menerus selama bertahun-
tahun menyebabkan iritasi saluran pernapasan bagian atas dan bronkus, kemudian setelah paparan
berlanjut maka terjadi penyakit paru obstruktif kronis.
KLASIFIKASI
- Derajat C1/2: Dada rasa tertekan dan atau sesak napas yang kadang-kadang timbul pada hari Senin.
- Derajat Cl : Dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada setiap hari Senin.
- Derajat C2 : Dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada hari Senin dan hari kerja lainnya.
Penderita bisinosis biasanya mengeluh dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada hari kerja
pertama sesudah hari libur akhir minggu (hari Senin). Gejala khas yang hanya ditemukan pada
bisinosis itu disebut Monday feeling, Monday fever, Monday morning fever, Monday morning chest
tightness atau Monday morning asthma yang dapat menghilang bila karyawan meninggalkan
lingkungan tempat kerjanya. Keluhan bisinosis tersebut diduga disebabkan oleh karena obstruksi
saluran napas. Obstruksi yang terjadi setelah karyawan terpapar pada hari Senin disebut obstruksi
akut. Bila karyawan tidak dipindahkan dari lingkungan kerjanya yang berdebu, maka obstruksi akut
yang mula-mula reversibel akan menjadi menetap, obstruksi demikian disebut obstruksi kronik.
Masa inkubasi penyakit bisinosis cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto toraks merupakan tes diagnostik yang amat penting, diagnosis penyakit paru sudah dapat
ditegakkan dengan foto toraks dan riwayat paparan yang tepat.
b. Tes fungsi paru saat istirahat (spirometri, volume paru, kapasitas difusi), merupakan tes diagnostik
yang penting untuk menentukan status fungsi paru pasien dengan penyakit paru kerja, terlebih pada
proses interstitial. Meskipun hasil tes fungsi paru tidak spesifik untuk beberapa penyakit paru kerja,
tetapi amat penting untuk evaluasi sesak napas, membedakan adanya kelainan paru tipe restriktif
atau obstruktif dan mengetahui tingkat gangguan fungsi paru. Selain itu tes fungsi paru dapat
dipakai untuk diagnosis adanya kelainan obstruksi saluran napas.
Parameter faal paru yang digunakan adalah VEP1 (volume respirasi paksa detik pertama) dan KVP
(Kapasitas Vital Paksa) dengan menggunakan spirometer. Pemeriksaan spirometri bersifat
sederhana, reproduksibel, dan cukup sensitif. Terdapat 3 jenis kelainan fungsi paru yang dapat
ditemukan yaitu : 1) Obstruktif, terjadi bila VEP1/KVP < 75%; 2) Restriktif, terjadi bila VEP1/KVP <
80%; 3) Campuran.
TATALAKSANA
Bisinosis ringan kemungkinan masih reversibel sedangkan penyakit yang berat dan kronis sudah
irreversibel. Pasien dengan gejala khas menunjukkan penurunan FEV1 ≥10% harus dipindahkan ke
bagian yang tidak terpajan. Pasien dengan penyumbatan jalan napas sedang atau berat, misalnya
FEV1 <60% dari nilai yang diperkirakan maka tidak boleh terpajan lebih lanjut. Pengobatan
terpenting bagi penderita bisinosis adalah memindahkannya dari lingkungan kerja yang potensial
risiko tinggi. Dalam pelaksanaannya biasanya para pekerja dilakukan rotasi kerja. Tidak ada obat
spesifik untuk bisinosis dan bila ada tandatanda obstruksi bronkus dapat diberikan bronkodilator. Uji
faal paru serial perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan faal paru masing- masing pekerja pada
akhir waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Farooque, M. I., Khan, B., Aziz, F., Moosa., Raheel, M., Kumar, S.Byssinosis: as seen in cotton
spinning kill workers of Karachi. Journal Pakistan Medical Association, 58,95.
2. Kalasuramath, S., Kumar, M., K, S. M., Deshpande, D. V. Incidence of Byssinosis, Effects of
Indoor Pollutants and Associated Risk Factors on Lung Functioned Among Women Working
in Cotton Mills. International Journal of Basic and Applied Physiology, 4, 152-160.
3. Suma'mur, P.K. 2014. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jakarta, Sagung
Seto.
4. West, J. B. 2010. PAtofisiologi Paru Esensial Edisi 6, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.