Anda di halaman 1dari 16

MODUL ASMA KERJA

Tujuan Umum : Setelah mempelajari modul ini, peserta didik diharapkan mampu
mengetahui defenisi, patogenesis, diagnosis dan tatalaksana asma kerja

Tujuan Khusus :
- Memahami definisi penyakit asma kerja
- Memahami patofisiologi penyakit asma kerja
- Memahami diagnosis asma kerja
- Memahami tata laksana penyakit asma kerja

Defenisi
Asma yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related asthma) adalah penyakit
yang ditandai oleh keterbatasan aliran saluran nafas yang bervariasi dan atau
hiperresponsif bronkus non spesifik yang disebabkan oleh penyebab dan keadaan
lingkungan pekerjaan tertentu dan rangsangan itu tidak dijumpai di luar tempat kerja.
Klasifikasi asma ditempat kerja menurut The American College of Chest Physicians
tahun 1995 adalah:
1. Asma Akibat Kerja
Asma yang disebabkan paparan zat ditempat kerja, dibedakan atas 2 jenis
tergantung ada tidaknya masa laten:
o Penyakit Asma Akibat Kerja dengan Masa Laten Secara umum pasien
dengan gejala penyakit asma akibat kerja muncul setelah beberapa
periode pajanan terhadap bahan-bahan yang menimbulkan gejala.
Bahan yang menginduksi terdiri dari molekul dengan berat molekul
yang tinggi dan berat molekul yang rendah.
o Penyakit Asma Akibat Kerja tanpa Masa Laten ( Asma – diinduksi
bahan iritan) Gejala ini lebih jarang. Gejala muncul setelah terpajan
dengan bahan dalam beberapa jam.
2. Asma yang diperburuk ditempat kerja
Asma yang sudah ada sebelumnya atau sudah mendapat terapi asma dalam
2 tahun sebelumnya dan memburuk akibat pajanan zat ditempat kerja. Pada
karyawan yang sudah menderita asma sebelum bekerja, 15 % akan
memburuk akibat pajanan bahan / faktor dalam lingkungan kerja. Diagnosis
asma akibat kerja ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang terdiri dari tes faal paru, tes provokasi bronkus
dan test imunologi atau test pajanan dengan alergen spesifik.

Patogenesis
Secara patologis asma karena senyawa yang berat molekulernya tinggi
berhubungan dengan infitrasi bronkus oleh limfosit dan eosinofil dan sulit dibedakan
dari tipe asma akibat alergi lain. Antibodi IgE yang spesifik terhadap penyakit asma
akibat kerja mengaktifkan degranulasi sel mast. Pada beberapa kasus deskuamasi
epitel bronkus dan fibrosis subepitel terlihat secara patologis. Senyawa dengan berat
molekul rendah Senyawa ini juga cenderung menimbulkan bronkokonstriksi akibat
IgE. Tapi berbeda dengan molekul dengan senyawa yang tinggi antibodi IgE atau
IgG yang terproduksi pada individu ini terikat pada protein serum. Ada juga bukti
senyawa berat molekul rendah menginduksi asma melalui mekanisma IgE
independen, dengan memperngaruhi limfosit T secara langsung. Senyawa dengan
berat molekul rendah dapat secara langsung mempengaruhi jalur kimia yang
berkembang disaluran napas. Sebagai contoh organofosfat telah menunjukkan
kemampuannya untuk menginduksi bronkokonstriksi melalui efek antikolinergik.
Agen agen yang lain dapat menimbulkan asma melalui jalur iritasi.

Tanda dan Gejala (anamnesa dan pemerikaan fisis)


Mengcurigai pekerjaan yang dapat menimbulkan asma harus selalu ada ketika
pasien datang dengan onset asma baru. Karena asma dapat diinduksi oleh pajanan
zat-zat tertentu, maka dari itu riwayat pekerjaan sebelum dan sekarang sangat
penting. Riwayat penyakit yang mengarah kepada asma penyakit kerja termasuk
ketika penyakit tersebut muncul ketika kerja dan membaik ketika tidak bekerja
ataupun liburan. Simptom tersebut penting untuk menentukan prognosis. Pasien
dengan simptom yang lebih panjang cenderung menimbulkan gejala yang kronis dan
tidak hilang ketika pajanan berhenti. Pertanyaan yang harus ditanyakan mengenai
penyebab paru obstruktif lainnya, pertanyaan mengenai riwayat merokok penting,
riwayat penyakit asma dalam keluarga penting jika asma tidak berhubungan dengan
pekerjaan. Pertanyaan ini juga penting untung penilaian kelainan jantung atau
saluran nafas atas. Semua pekerja yang menderita asma dilakukan anamnesis yang
teliti mengenai apa yang terjadi dilingkungan kerjanya. Hal yang perlu ditanyakan:

 Kapan mulai bekerja ditempat sekarang?


 Apakah tinggal dilingkungan tempat bekerja?
 Apa pekerjaan sebelumnya?
 Apa yang dikerjakan setiap hari?
 Proses apa yang terjadi ditempat kerja?
 Bahan – bahan apa yang dipergunakan dalam pekerjaan sehari-hari?
 Apa saja keluhan yang dirasakan dan sejak kapan mulai dirasakan?
 Apakah keluhan yang dirasakan berkurang setelah pulang kerja?
 Apakah gejalanya membaik bila berada jauh dari tempat kerja atau pada saat
hari libur?
Gejala klinis bervariasi umumnya penderita asma akibat kerja mengeluh batuk
berdahak dan nyeri dada, sesak nafas serta mengi, beberapa pekerja merasakan
gejala penyerta seperti rhinitis, iritasi pada mata dan dermatitis.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fisik Tanda dari atopi harus diperhatikan jika asma disebabkan oleh hal
yang lain maka pasien akan tampak normal diluar tempat kerja. Wheezing
menandakan adanya obstruksi jalur nafas. Tanda dari dermatitis dapat menyokong
dari penyakit akibat kerja. Tes imunologi dan kulit atopi umum merupakan faktor
resiko penyakit asma akibat kerja ketika disebabkan molekul berat tinggi. Maka dari
itu, tes kulit secara rutin dapat berguna. Ekstrak dari tepung, kopi, produk dari
binatang dapat digunakan untuk skin test. Ekstrak antibodi IgE dapat dideteksi
dengan test radio alergosorbent atau ELISA. Hasil positif pada test tersebut tidak
langsung mengindikasi bahwa zat tersebut lah yang menyebabkan penyakit
asmanya. Semua test harus di evaluasi dalam konteks individual.

Test fungsi paru pasien dengan penyakit asma akibat kerja dapat didapati dengan
tes fungsi paru yang normal ketika pasien tidak bekerja. Maka dari itu test ini harus
dilakukan ketika segera pasien terpajang dengan agen yang dicurigai. Test paru
sebelum dan saat bekerja dapat efektif mengevaluasi fungsi paru yang berhubungan
dengan pekerjaan.

Peak flow monitor berguna untuk asesment dan harus dilakukan minimal empat kali
perhari, saat bangun permulaan kerja dan sebelum tidur. Dua dari perekaman
tersebut harus minimal 20 L permenit untuk menunjukkan reproduksibilitas.
Pengukuran dilakukan paling sedikit dalam 4 minggu sebagai tambahan pengukuran
peak flow setiap dua jam tapi jadwalnya sulit untuk diikuti. Karena pengukuran peak
flow sangat tergantung terhadap usaha maka metode lain harus ditambahkan.
Penting untuk selalu mencatat pasien yang dievaluasi untuk penyakit obstruksi kerja.
Ketika fungsi paru sedang diperiksa operator harus waspada kalau penyakit akibat
kerja dicurigai jadi usaha pasien dapat dievaluasi. Ketika pengukuran peakflow
menunjukkan adanya reaksi saluran napas terhadap zat dalam pekerjaan, operator
spirometer portabel dapat dikirim di tempat kerja untuk mengukur FEC/ FEV1 setiap
jam saat bekerja.

Provokasi bronkus pasien dengan penyakit asma akibat pekerjaan dapat


mengembangkan hiperaktifitas bronkus terhadap agen nonspesifik. Titik potong
konsentrasi yaitu penurunan 20% FEV1 oleh 8-16 mL zat. Pasien dengan spirogram
yang normal penting untuk dilakukan provokasi bronkus. Uji coba dilakukan
menentukan konsentrasi alergen yang spesifik. Provokasi brongkus spesifik dapat
menjadi alat yang penting untuk menentukan apakah gejala pasien tersebut
disebabkan oleh zat tersebut. Manuver ini hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
berpengalaman karena dapat menimbulkan resiko. Obat bronkodilator dan
antiinflamasi harus disiapka sebelum pajanan dan dilakukan dalam ruangan yang
tertutup. Pajanan harus dilakukan dari level yang paling rendah dan meningkat
secara konsisten sampai ke level tempat pajanan kerja subjek. Pola bronkoskontriksi
setelah pajanan dapat berbeda-beda. Dua jenis pola yang paling umum adalah
immediate reaction yang muncul setelah beberapa menit dan memuncak dalam 10-
15 menit setelah pajanan. Dan reaksi lambat yang terjadi setelah beberapa jam dan
memuncak dalam 5-8 jam. Pola yang jarang terlihat harus dicatat. Beberapa dari
pola ini terlihat reduksi dari aliran udara satu jam setelah pajanan dan sembuh
seteah 3-4 jam. Beberapa kasus yang lain menunjukkan pengurangan aliran lebih
lama dari 1jam, satu hari setelah pajanan dan abnormalitas dapat muncul dalam
beberapa hari. Simptom asma malam juga sering timbul dalam beberapa hari
setelah pajanan terhadap beberapa zat.

Terapi (non farmakologi dan farmakologi)

Penatalaksanaan asma akibat kerja sama dengan asma lain secara umum, yang
penting adalah menghindari dari pajanan dari bahan penyebab asma, makin cepat
terbebas dari pajanan makin baik prognosisnya.

Melanjutkan pekerjaan ditempat pajanan bagi pekerja yang telah tersensitisasi akan
memperburuk gejala dan fungsi paru meskipun telah dilengkapi dengan alat
pelindung ataupun pindah keruang lain yang lebih sedikit pajanannya. Pemindahan
kerja sulit dilakukan, karena tidak mempunyai keahlian ditempat lain. Bagi mereka
yang menolak pindah kerja harus diberitahukan bahwa apabila terjadi perburukan
gejala atau memerlukan penambahan pemakaian obat-obatan atau penurunan
fungsi paru atau peningkatan derajat hipereaktiviti bronkus maka penderita
seharusnya pindah kerja.

Pengobatan sama seperti jenis asma lainnya, yaitu diberikan bronkodilator (obat
yang membuka saluran pernafasan), baik dalam bentuk obat hirup (contohnya
albuterol) atau dalam bentuk tablet (contohnya theophylline). Untuk serangan yang
hebat, dapat diberikan corticosteroid (misalnya prednisone) per-oral (melalui mulut)
dalam jangka pendek. Untuk penanganan jangka panjang, lebih baik diberikan
corticosteroid dalam bentuk hirup.

Daftar Pustaka

1. Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan, Fakultas Kedokteran UI, 2017


2. Buku Ajar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Balai Penerbit FKUI, 2018
3. Jurnal Respirologi Indonesia, Oktober 2020.
MODUL PENYAKIT SILIKOSIS

TUJUAN UMUM

Mampu menegakkan diagnosa penyakit silikosis dan cara penanganannya

TUJUAN KHUSUS

- Mampu mengetahui patogenesis terjadinya penyakit silikosis


- Mampu mengetahui tanda dan gejala penyakit silikosis
- Mampu melakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan penyakit silikosis
- Mampu melakukan tatalaksana pada penyakit silikosis

DEFENISI

Silikosis dikenal juga dengan istilah miner’s phthisis, grinder’s asthma, potter’s rot, merupakan
bentuk penyakit paru akibat pekerjaan yang disebabkan karena menghirup debu silika secara kronik
dan ditandai dengan adanya inflamasi dan pembentukan jaringan parut dari lesi nodular pada lobus
paru bagian atas. Silikosis merupakan salah satu jenis dari pneumokoniosis.

PATOGENESIS

Terdapat 3 jenis silikosis, yaitu :

1. Silikosis kronis, terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika dalam jangka panjang
(lebih dari 20 tahun). Nodul-nodul peradangan kronis dan jaringan parut akibat silika
terbentuk di paru-paru dan kelenjar getah bening dada.
2. Silikosis akselerata, terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih banyak selama
waktu yang lebih pendek (4 - 8 tahun). Peradangan, pembentukan jaringan parut dan gejala-
gejalanya terjadi lebih cepat.
3. Silikosis akut, terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar, dalam
waktu yang lebih pendek. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga timbul
sesak napas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.

Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20 - 30 tahun. Pada peledakan pasir, pembuatan
terowongan dan pembuatan alat pengampelas sabun, dimana kadar silika yang dihasilkan sangat
tinggi, gejala dapat timbul dalam waktu kurang dari 10 tahun. Bila terhirup, serbuk silika masuk ke
paru-paru dan sel pembersih (misalnya makrofag) akan mencernanya. Enzim yang dihasilkan oleh sel
pembersih menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada paru-paru. Pada awalnya, daerah parut
ini hanya merupakan bungkahan bulat yang tipis (silikosis noduler simplek). Akhirnya mereka
bergabung menjadi massa yang besar (silikosis konglomerata). Daerah parut ini tidak dapat
mengalirkan oksigen ke dalam darah secara normal. Paru menjadi kurang lentur dan penderita
mengalami gangguan pernapasan.

TANDA DAN GEJALA : ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS

Penderita silikosis noduler simpel tidak memiliki masalah pernapasan, tetapi mereka bisa menderita
batuk berdahak karena saluran pernapasannya mengalami iritasi (bronkitis). Silikosis konglomerata
bisa menyebabkan batuk berdahak dan sesak napas. Mula-mula sesak napas hanya terjadi pada saat
melakukan aktivitas, tapi akhirnya sesak timbul bahkan pada saat beristirahat. Keluhan pernapasn
bisa memburuk dalam waktu 2-5 tahun setelah penderita berhenti bekerja. Kerusakan di paru-paru
bisa mengenai jantung dan menyebabkan gagal jantung yang bisa berakibat fatal. Jika terpapar oleh
organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis), penderita silikosis mempunyai
resiko 3 kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Tes fungsi paru


Dapat normal pada awal silikosis simpel. Pola restriktif dan/atau obstruktif dapat terjadi
pada perkembangan penyakit yang progresif. Pengurangan volume dari udara yang
diekshalasi lebih dari 1 detik, menggambarkan pengurangan kapasitas forced vital,
penurunan kapasitas difusi, kapasitas total paru, dan lung compliance.
- Foto toraks
Menggambarkan opasitas nodular pada lapangan paru bagian atas. Kalsifikasi nodus
limfatikus torakalis membentuk pola yang khas, diistilahkan dengan kalsifikasi “eggshell”.
Daerah paru bagian bawah dapat memberikan gambaran hiperventilasi dan emfisematous,
dan bersamaan dengan bullae multipel.
- High resolution computed tomography (HRCT) toraks
Merupakan pilihan studi pencitraan untuk mengevaluasi nodul dan mendeteksi adanya
perubahan emfisematous pulmonal. Dapat membantu membedakan lesi confluent dari
silikosis simpel.

TERAPI : NON FARMAKOLOGI DAN FARMAKOLOGI

Silikosis merupakan penyakit yang tidak dapat diobati tetapi dapat dicegah. Penyakit ini
biasanya memberikan gejala bila kelainan telah lanjut. Pada silikosis bila diagnosis telah ditegakkan
penyakit dapat terus berlanjut menjadi fibrosis masif meskipun paparan dihilangkan. Pengobatan
umumnya bersifat simptomatis, yaitu mengurangi gejala. Obat lain yang diberikan bersifat suportif.
Untuk mencegah semakin memburuknya penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber
pemaparan. Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator, dan oksigen. Jika terjadi
infeksi, bisa diberikan antibiotik. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah membatasi pemaparan
terhadap silika, berhenti merokok dan menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin setiap tahun.
Berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit atau
mengurangi laju penyakit. Kadar debu pada tempat kerja diturunkan serendah mungkin dengan
memperbaiki teknik pengolahan bahan, misalnya pemakaian air untuk mengurangi debu yang
beterbangan. Bila kadar debu tetap tinggi pekerja diharuskan memakai alat pelindung. Jika debu
tidak dapat dikontrol (seperti dalam industri peledakan), maka pekerja harus memakai peralatan
yang memberikan udara bersih atau sungkup. Pekerja yang terpapar silika, harus menjalani foto
rontgen secara rutin. Untuk pekerja peledak pasir setiap 6 bulan dan pekerja lainnya setiap 2-5
tahun, sehingga penyakit ini dapat diketahui secara dini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan, Fakultas Kedokteran UI, 2017


2. Buku Ajar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Balai Penerbit FKUI, 2018
3. Salawati, Liza. Silikosis. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Volume 17 Nomor 1 April 2017.
Diakses pada www.jurnal.unsyiah.ac.id
MODUL PENYAKIT ASBESTOSIS

Tujuan Umum

Mampu menegakkan diagnosa penyakit asbestosis, penanganan dan pencegahannya

Tujuan Khusus

Mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan pengobatan


farmakologi dan non farmakologi

Defenisi

Asbestosis adalah penyakit paru yang timbul akibat inhalasi debu serat asbes yang ditandai
dengan fibrosis interstisial difus pada paru.

Patogenesis

Bermula pada penumpukan serat asbes di bronkiolus respiratorius pada saluran napas
bawah. Sistem mukosilier membersihkan serat-serat tersebut atau ditransportasikan melalui
sel epitel alveolar tipe I ke dalam jaringan interstitial. Lesi pertama pada paru terjadi karena
penumpukan makrofag alveolar di duktus alveolaris dan daerah peribronkial yang
berdekatan dengan bronkiolus terminalis. Serat asbes dapat menstimulasi makrofag alveolar
untuk menarik neutrofil dari sirkulasi dan menyebabkan kerusakan jaringan paru akibat
produknya.

Tanda Dan Gejala

Anamnesis

- Pajanan yang signifikan dengan asbes yang dicurigai dapat menyebabkan asbestosis
- Lama pajanan
- Penggunaan alat pelindung diri
- Gejala klinis awal dapat berupa napas pendek pada saat bekerja yang diikuti batuk
kering.
- Bila terjadi fibrosis paru yang progresif maka sesak napas semakin memburuk
meskipun penderita menghindari pajanan.
- Pada stadium lanjut penderita dapat mengeluh batuk produktif, penurunan berat badan
dan sering membutuhkan pengobatan karena infeksi saluran napas

Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisik kelainan yang pertama dijumpai pada adalah ronki di bagian basal
paru, takipnea, sianosis dan jari tabuh ditemukan bila penyakit semakin lanjut.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis yaitu pemeriksaan


radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis debu penyebab.

- Pemeriksaan Radiologi: Pada foto toraks tampak perselubungan halus ireguler,


tersebar di daerah posterior, basal paru dan subpleura. Kerapatan lesi diafragma
tidak rata. Opasitas parenkim sering terlihat pertama kali pada area lateral bawah
paru, seiring dengan pembesaran lesi, batas jantung menjadi kabur dan ditemukan
penebalan pleura serta kalsifikasi pleura yang biasanya bilateral. Gambaran sarang
tawon di lobus bawah akan terlihat pada keadaan lanjut. Pada pemeriksaan CT-scan
pada asbestosis dini didapatkan penebalan garis intralobuler, interlobuler, garis
lengkung subpleura, nodul ireguler di basal pleura, ground-glass attenuation, daerah
kistik kecil dan daerah kecil dengan hypoattenuation.
- Pemeriksaan faal paru: gambaran khas faal paru pada asbestosis adalah penurunan
kapasitas vital yang progresif, volume residu normal atau sedikit meningkat dan
penurunan kapasitas difusi.
- Analisis debu penyebab: analisis bahan biologi (sputum, bronchoalveolar lavage,
biopsi transbronkial atau biopsi paru terbuka) untuk melihat mineral atau produk
metabolisme pada kondisi tertentu diperlukan untuk mendiagnosis pasti pajanan
bahan di lingkungan kerja. Pada pemeriksaan BAL dapat terlihat debu di dalam
makrofag dan jenis debu dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop elektron,

Terapi: Non Farmakologi Dan Farmokologi

Penyakit ini tidak reversibel dan sering progresif sehingga perlu tindakan pencegahan yang
ketat pada industri-industri asbes. Tidak ada bukti bahwa penyakit ini dapat disembuhkan
sehingga industri asbes perlu melakukan pemeriksaan berkala pada pekerja dan
memindahkan pekerja dari pekerjaan apabila timbul gejala penyakit tahap awal. Untuk
mengurangi terjadinya kanker paru pada penderita yang terpapar asbes dianjurkan untuk
berhenti merokok. Bila penyakit telah terjadi maka pengobatan bersifat suportif seperti
pemberian oksigen, bronkodilator.

Daftar Pustaka

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru, FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo. 2010


2. Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan, Fakultas Kedokteran UI, 2017
3. Ilmu Penyakit Paru. Prof.Dr. H. Tabrani Rab. CV. Trans Info Media. Jakarta, 2017
4. Buku Ajar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Balai Penerbit FKUI, 2018
MODUL PENYAKIT SIDEROSIS

TUJUAN UMUM

Mampu menegakkan diagnosa penyakit Siderosis dan cara penanganannya

TUJUAN KHUSUS

- Mampu mengetahui patogenesis terjadinya penyakit Siderosis


- Mampu mengetahui tanda dan gejala penyakit Siderosis
- Mampu melakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan penyakit Siderosis
- Mampu melakukan tatalaksana pada penyakit Siderosis

DEFINISI

Siderosis disebabkan oleh inhalasi debu besi yang terkumpul yang mengandung senyawa oksida besi
(Fe,O,) di paru. Penyakit paru kerja jenis ini tergolong dalam kategori non fibrotik. Pajanan yang lama
terhadap debu besi dapat menimbulkan kelainan pada gambaran radiologis foto toraks seperti
gambaran nodular, diffuse, fibrosis ringan pada daerah peribronkial dan opasitas linear pada
parenkim paru serta menimbulkan kelainan pada faal paru seperti restriksi atau obstruksi. Penyakit
ini ditemukan pada tukang las setelah teknik mengelas dikenal. Pengelasan dianggap sebagai sebab
utama terjadi siderosis, walau penyakit ini juga ditemukan pada tukang poles logam dan pekerjaan
lain yang berhubungan dengan pajanan asap oksida besi dalam waktu yang lama.

PATOFISIOLOGI

Besi sebagai elemen hantaran alami yang dibutuhkan dalam struktur hemoglobin untuk oksigen dari
paru ke sel jaringan. Besi juga berperan dalam mekanisme oksidasi dalam metabolisme tubuh.
Manusia dewasa mengabsorbsi besi kurang dari 5 miligram (mg) setiap hari. Jumlah besi yang
berlebih disimpan di dalam hati dan limpa sebagai feritin. Kebanyakan anemia yang terjadi
disebabkan karena defisiensi zat besi. Pada tahap yang lebih lanjut siderosis ditandai dengan
penumpukan oksida besi dan hemosiderin pada seluruh paru yang memberikan gambaran kerak
yang berwarna coklat.

Warheit dan Hansen melakukan percobaan pada tikus yang diinhalasi dengan debu besi dalam
konsentrasi yang tinggi dan dihubungkan dengan inflamasi paru, gangguan dan penurunan dalam
bersihan partikel dalam paru. Reactive oxygen species (ROS) berperan dalam toksisitas yang terjadi
pada paru, sebagai mediator besi dan abses dianggap sebagai mediator penting dalam mengkatalisis
produksi ROS di paru. Makrofag alveolar yang menangkap besi secara in vitro dapat melindungi sel-
sel di dekatnya dari pajanan oksidan yang berpotensi dalam katalisis besi menjadi sitotoksik.
Siderosis akibat pajanan dari debu besi atau oksida besi ditandai dengan pembentukan makula debu.
Makula pada siderosis mengandung oksida besi yang memiliki partikel kasar berwarna coklat-hitam
dengan tepi tidak teratur yang tercampur dengan beberapa partikel hemosiderin yang berwarma
cokelat keemasan.

Doherty dkk. melaporkan 3 pasien dengan siderosis welder (2 pasien telah dikonfirmasi dengan
biopsi paru melalui pemeriksaan bronkoskopi) memiliki kadar zat besi yang berlebih di dalam tubuh.
Kadar feritin serum pada pasien ditemukan 3-6 kali lipat lebih tinggi ditemukan pada pasien dari
batas normal (30-300 mg/mL). Biopsi hati yang dilakukan pada salah satu pasien menemukan
kandungan besi yang tinggi dalam hati. Tidak ada bukti dari hemokromatosis genetik atau penyebab
lain yang dapat dibuktikan untuk menyatakan kelebihan besi selain dari pajanan pengelasan yang
lama. Sehingga penyakit paru pada tukang las dapat dihubungkan dengan kelebihan zat besi sistemik
akibat inhalasi partikel besi kronik.

Perubahan patologis yang terjadi bersifat revesibel dan memungkinkan resolusi lengkap setelah
pajanan terhenti. Hubungan antara pekerjaan mengelas dengan penyakit paru telah diketahui dan
hanya sedikit data yang menjelaskan temuan histopatologi dalam kelainan ini. Morgan dan Kerr
pada tahun 1963 melakukan penelitian terhadap 7 pasien dengan siderosis atau paru tukang las dan
didapatkan 4 pasien yang bersedia jaringan parunya diteliti. Dari penelitian ini ditemukan banyak
makrofag di alveolar dan bronkiolus respiratorius yang mengandung besi. Penimbunan besi juga
terlihat pada jaringan limfatik dan pleura. Tetapi tidak ditemukan kejadian patologis akibat besi
tersebut seperti fibrogenik.Secara umum, siderosis tidak berhubungan dengan fibrosis atau
gangguan fungsional. Namun, ketika besi yang dihirup tercampur dengan silika dalam jumlah besar
menjadi silikosiderosis yang mungkin berhubungan dengan kejadian fibrosis paru.

TANDA DAN GEJALA :

Penderita siderosis biasanya tidak ada gejala atau gejala klinis seperti batuk dan sesak tetapi terjadi
perubahan simptomatik dan kelainan faal paru serta terjadi penurunan compliance paru pada
beberapa penderita. Pemeriksaan mikroskopi dapat ditemukan partikel debu besi yang terakumulasi
sekitar vena kecil pada bronkiolus dan bila jumlahnya cukup banyak dapat mengisi makrofag alveolar
berupa pigmen besi yang berwarna coklat.

DIAGNOSIS

Menegakkan diagnosis siderosis dilakukan berdasarkan anamnesis riwayat pajanan debu besi,
pemeriksaan penunjang seperti faal paru, foto toraks, computed tomography scan (CT scan),
pemeriksaan bronchoalveolar lavage (BAL) dan biopsi jaringan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah seperti faal paru, foto toraks, computed
tomography scan (CT scan), pemeriksaan bronchoalveolar lavage (BAL) dan biopsi jaringan
TATALAKSANA

Siderosis dianggap sebagai pneumokoniosis jinak sehingga jarang menimbulkan keluhan respirasi.
Pajanan terhadap besi saja dianggap kurang berbahaya, namun beberapa tukang las dan pemotong
oksiasetil dapat terpajan berbagai debu dan asap lain selain oksida besi. Beberapa kasus
menemukan debu yang dapat memicu terjadi fibrosis. Pajanan terhadap oksida besi dapat
bercampur dengan nitrogendan ozon serta polusi udara lainnya. Siderosis dan demam asap logam
sering ditemukan banyak pada tukang las yang bekerja di dalam ruangan dengan ventilasi udara
yang buruk. Tetapi kedua penyakit ini jarang terjadi bila ventilasi udara yang adekuat dan para
tukang las bekerja di luar ruangan. Pencegahan terhadap pekerjaan yang dapat menimbulkan
siderosis dapat dilakukan dengan bekerja di luar ruangan atau bekerja di tempat dengan ventilasi
udara yang baik di tempat kerja guna udara bersih dapat masuk dan menghindari asap pengelasan,
mengurangi atau menghindari pajanan terhadap debu atau asap besi, menggunakan perlengkapan
proteksi diri dengan menerapkan cara kerja yang berhubungan dengan keselamatan kerja yang
umum terutama dengan menggunakan masker muka atau alat pelindung diri (APD) yang sesuai dan
berhenti merokok. Penatalaksanaan yang ideal adalah menghindari pajanan, tetapi bila siderosis
sudah terdeteksi dapat dilakukan BAI. guna membuang partikel- partikel besi untuk mencegah
terjadi fibrosis yang lebih lanjut. Pengobatan dapat diberikan bronkodilator dan kortikosteroid
inhalasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan, Fakultas Kedokteran UI, 2017


MODUL PENYAKIT BISINOSIS

TUJUAN UMUM

Mampu menegakkan diagnosa penyakit bisinosis dan cara penanganannya

TUJUAN KHUSUS

- Mampu mengetahui patogenesis terjadinya penyakit bisinosis


- Mampu mengetahui tanda dan gejala penyakit bisinosis
- Mampu melakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan penyakit bisinosis
- Mampu melakukan tatalaksana pada penyakit bisinosis

DEFENISI

Bisinosis adalah penyakit paru akibat kerja yang digolongkan kedalam penyakit pneumokoniosis yang
disebabkan oleh pencemaran debu kapas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke
dalam paruparu. Bisinosis dikenal dengan istilah “brown lung disease” dan “cotton worker’s lung”.
Bisinosis adalah salah satu jenis khusus asma akibat kerja yang disebabkan oleh inhalasi debu kapas
atau rami. Bisinosis juga didefenisikan sebagai penyakit paru akibat kerja dengan karakterisasi
penyakit saluran udara akut atau kronis yang dijumpai pada pekerja pengolahan kapas dan rami.

ETIOLOGI

Terjadinya penyakit ini dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko seperti lama pajanan, kadar debu
kapas ratarata atau kumulatif, kadar debu di tempat kerja sebelumnya, jenis mesin, kualitas kapas,
kontaminasi bakteri gram negatif, umur, jenis kelamin, lama masa kerja, lingkungan tempat kerja,
kebiasaan merokok, riwayat pekerjaan, riwayat alergi, jenis pekerjaan, status gizi, serta pemakaian
APD (Alat Pelindung Diri).

PATOGENESIS

Patogenesis bisinosis sebenarnya tidak benar-benar dipahami, namun tampaknya diawali dengan
inhalasi beberapa komponen aktif dalam bracts (daun di sekitar dahan bola kapas) yang
menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast di dalam paru. Pelepasan histamin tersebut
menyebabkan timbulnya gejala pada hari pertama kerja setelah libur hari minggu. Inhalasi debu
organik lebih menyebabkan reaksi jalan napas daripada reaksi alveolar. Sehingga dapat dikatakan
bahwa terjadinya bisinosis diakibatkan oleh terjadinya penyempitan jalan napas karena menghirup
debu kapas, rami, serat rami, atau goni.

Secara lebih rinci, inhalasi debu yang sangat mungkin mengandung endotoksin bakteri menyebabkan
terjadi pelepasan histamin yang kemudian menimbulkan adanya kontraksi otot polos yang
mengakibatkan orang-orang dengan bisinosis umumnya mengalami gejala mengi, sesak napas, sesak
dada, dan batuk-batuk selama hari kerja (selama terpapar atau mendapat paparan debu). Selain
itu,bronkokonstriksi yang dihasilkan tersebut juga menyebabkan munculnya dipsnea selain mengi.

Selanjutnya, paparan jangka panjang debu kapas, rami, atau serat jute dapat menyebabkan
terbentuknya jaringan parut permanen pada paru-paru dan saluran pernapasan yang mengakibatkan
munculnya penyakit pada paru-paru dan paru-paru melemah (Farooque dkk., 2008). Selain itu,
partikel-partikel debu kapas yang tak terlihat juga masuk ke dalam alveoli paru-paru melalui inhalasi
kemudian masuk ke dalam limfa (getah bening) yang selanjutnya menyebabkan kerusakan pada
alveoli, penyempitan saluran udara, berkurangnya kapasitas untuk mempertahankan oksigen, dan
dengan terakumulasinya debu kapas, para pekerja mulai merasakan sesak di dada (feeling of chest
tightness).

Gejala bisinosis mungkin muncul dalam kecepatan beberapa jam setelah paparan dan berkurang
ketika pekerja meninggalkan lingkungan pabrik. Namun, masa inkubasi dari bisinosis itu sendiri
adalah 5 tahun. Dan berdasarkan studi epidemiologi, paparan harian lebih dari 20 tahun
menyebabkan gangguan fungsi paru permanen yang tipe atau jenisnya berhubungan dengan PPOK.
Sebab, paparan terhadap debu kapas, vlas, henep, atau sisal yang terus menerus selama bertahun-
tahun menyebabkan iritasi saluran pernapasan bagian atas dan bronkus, kemudian setelah paparan
berlanjut maka terjadi penyakit paru obstruktif kronis.

KLASIFIKASI

Bisinosis dibagi dalam empat derajat sebagai berikut:

- Derajat C1/2: Dada rasa tertekan dan atau sesak napas yang kadang-kadang timbul pada hari Senin.

- Derajat Cl : Dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada setiap hari Senin.

- Derajat C2 : Dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada hari Senin dan hari kerja lainnya.

- Derajat C3 : Derajat C2 disertai sesak napas yang menetap.

TANDA DAN GEJALA : ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS

Penderita bisinosis biasanya mengeluh dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada hari kerja
pertama sesudah hari libur akhir minggu (hari Senin). Gejala khas yang hanya ditemukan pada
bisinosis itu disebut Monday feeling, Monday fever, Monday morning fever, Monday morning chest
tightness atau Monday morning asthma yang dapat menghilang bila karyawan meninggalkan
lingkungan tempat kerjanya. Keluhan bisinosis tersebut diduga disebabkan oleh karena obstruksi
saluran napas. Obstruksi yang terjadi setelah karyawan terpapar pada hari Senin disebut obstruksi
akut. Bila karyawan tidak dipindahkan dari lingkungan kerjanya yang berdebu, maka obstruksi akut
yang mula-mula reversibel akan menjadi menetap, obstruksi demikian disebut obstruksi kronik.
Masa inkubasi penyakit bisinosis cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Foto toraks merupakan tes diagnostik yang amat penting, diagnosis penyakit paru sudah dapat
ditegakkan dengan foto toraks dan riwayat paparan yang tepat.

b. Tes fungsi paru saat istirahat (spirometri, volume paru, kapasitas difusi), merupakan tes diagnostik
yang penting untuk menentukan status fungsi paru pasien dengan penyakit paru kerja, terlebih pada
proses interstitial. Meskipun hasil tes fungsi paru tidak spesifik untuk beberapa penyakit paru kerja,
tetapi amat penting untuk evaluasi sesak napas, membedakan adanya kelainan paru tipe restriktif
atau obstruktif dan mengetahui tingkat gangguan fungsi paru. Selain itu tes fungsi paru dapat
dipakai untuk diagnosis adanya kelainan obstruksi saluran napas.

Parameter faal paru yang digunakan adalah VEP1 (volume respirasi paksa detik pertama) dan KVP
(Kapasitas Vital Paksa) dengan menggunakan spirometer. Pemeriksaan spirometri bersifat
sederhana, reproduksibel, dan cukup sensitif. Terdapat 3 jenis kelainan fungsi paru yang dapat
ditemukan yaitu : 1) Obstruktif, terjadi bila VEP1/KVP < 75%; 2) Restriktif, terjadi bila VEP1/KVP <
80%; 3) Campuran.

TATALAKSANA

Bisinosis ringan kemungkinan masih reversibel sedangkan penyakit yang berat dan kronis sudah
irreversibel. Pasien dengan gejala khas menunjukkan penurunan FEV1 ≥10% harus dipindahkan ke
bagian yang tidak terpajan. Pasien dengan penyumbatan jalan napas sedang atau berat, misalnya
FEV1 <60% dari nilai yang diperkirakan maka tidak boleh terpajan lebih lanjut. Pengobatan
terpenting bagi penderita bisinosis adalah memindahkannya dari lingkungan kerja yang potensial
risiko tinggi. Dalam pelaksanaannya biasanya para pekerja dilakukan rotasi kerja. Tidak ada obat
spesifik untuk bisinosis dan bila ada tandatanda obstruksi bronkus dapat diberikan bronkodilator. Uji
faal paru serial perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan faal paru masing- masing pekerja pada
akhir waktu tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Farooque, M. I., Khan, B., Aziz, F., Moosa., Raheel, M., Kumar, S.Byssinosis: as seen in cotton
spinning kill workers of Karachi. Journal Pakistan Medical Association, 58,95.
2. Kalasuramath, S., Kumar, M., K, S. M., Deshpande, D. V. Incidence of Byssinosis, Effects of
Indoor Pollutants and Associated Risk Factors on Lung Functioned Among Women Working
in Cotton Mills. International Journal of Basic and Applied Physiology, 4, 152-160.
3. Suma'mur, P.K. 2014. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jakarta, Sagung
Seto.
4. West, J. B. 2010. PAtofisiologi Paru Esensial Edisi 6, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai