Transform at or
Transform at or
1
2. Teori Operasi Transformator
Transformator Dua Belitan Tak Berbeban. Jika pada induktor Gb.1.5.
kita tambahkan belitan ke-dua, kita akan memperoleh transformator dua
belitan seperti terlihat pada Gb.1. Belitan pertama kita sebut belitan
primer dan yang ke-dua kita sebut belitan sekunder.
If φ
+ +
≈ E1 1 2 E2
−
Vs −
3
E l1 = jI f X 1 (6)
I1 φ I2
≈ φl1 φl2 V2 RB
Vs
Pertambahan arus primer (I1 − If) disebut arus penyeimbang yang akan
mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus
penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.
Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder. Dari
(9) kita peroleh arus magnetisasi
2
I f = I1 − (I 2 ) = I1 − I 2 (10)
1 a
3. Diagram Fasor
Dengan persamaan (7) dan (8) kita dapat menggambarkan secara lengkap
diagram fasor dari suatu transformator. Penggambaran kita mulai dari
belitan sekunder dengan langkah-langkah:
Gambarkan V2 dan I2 . Untuk beban resistif, I2 sefasa dengan V2.
Selain itu kita dapat gambarkan I’2 = I2/a yaitu besarnya arus
sekunder jika dilihat dari sisi primer.
Dari V2 dan I2 kita dapat menggambarkan E2 sesuai dengan
persamaan ( 8) yaitu
E 2 = V2 + I 2 R 2 + E l 2 = V2 + I 2 R 2 + j I 2 X 2
Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian
sekunder.
Untuk rangkaian primer, karena E1 sefasa dengan E2 maka E1 dapat
kita gambarkan yang besarnya E1 = aE2.
Untuk menggambarkan arus magnetisasi If kita gambarkan lebih
dulu φ yang tertinggal 90o dari E1. Kemudian kita gambarkan If yang
mendahului φ dengan sudut histerisis γ. Selanjutnya arus belitan
primer adalah I1 = If + I’2.
5
Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi sesuai
dengan persamaan (7), yaitu
V1 = E1 + I1 R1 + E l1 = E1 + I1 R1 + jI1 X
Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator berbeban.
Gb.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud, yang dibuat dengan
mengambil rasio transformasi 1/2 = a > 1
V1
jI1X1
E1
E2 jI2X2 I1R1
I’2 I2 V2 I2R2
If
γ I1
φ Gb.5. Diagram fasor lengkap,
transformator berbeban resistif . a > 1
1ωΦ m 500 2
V1 = = 500 → Φ m = = 0.00563 weber
2 400 × 2π × 50
0.00563
→ Kerapatan fluksi maksimum : Bm = = 0.94 weber/m2
0.006
1000
Tegangan belitan sekunder adalah V2 = × 500 = 1250 V
400
4. Rangkaian Ekivalen
Transformator adalah piranti listrik. Dalam analisis, piranti-piranti listrik
biasanya dimodelkan dengan suatu rangkaian listrik ekivalen yang
sesuai. Secara umum, rangkaian ekivalen hanyalah penafsiran secara
rangkaian listrik dari suatu persamaan matematik yang menggambarkan
perilaku suatu piranti. Untuk transformator, ada tiga persamaan yang
menggambarkan perilakunya, yaitu persamaan (7), (8), dan (10), yang
kita tulis lagi sebagai satu set persamaan (11).
V1 = E1 + I 1 R1 + jI 1 X 1 ; E 2 = V2 + I 2 R 2 + jI 2 X 2 ; I1 = I f + I ′2
2 I (11)
dengan I ′2 = I2 = 2
1 a
Dengan hubungan E1 = aE2 dan I′2 = I2/a maka persamaan ke-dua dari
(11) dapat ditulis sebagai
E1
= V2 + aI ′2 R2 + jaI ′2 X 2 ⇒ E1 = aV2 + I ′2 (a 2 R 2 ) + jI ′2 (a 2 X 2 )
a
= V2′ + I ′2 R 2′ + jI ′2 X 2′
dengan V2′ = aV 2 ; R2′ = a 2 R 2 ; X 2′ = a 2 X 2
(12)
9
terjadi dapat dianggap cukup kecil. Pengabaian ini akan membuat
rangkaian ekivalen menjadi lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.8.
I1=I′2
V1
V′2 jI′2Xe
I′2Re
I′2
Gb.8. Rangkaian ekivalen transformator
disederhanakan dan diagram fasornya.
5. Impedansi Masukan
Resistansi beban B adalah RB = V2/I2. Dilihat dari sisi primer resistansi
tersebut menjadi
V′ aV 2 V
R B′ = 2 = = a 2 2 = a 2 RB (14)
I 2′ I2 / a I2
Dengan melihat rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.10,
impedansi masukan adalah
V
Z in = 1 = Re + a 2 R B + jX e (15)
I1
11
demikian kita dapat menggunakan rangkaian ekivalen yang
disederhanakan Gb.9. Daya Pt dapat dianggap sebagai daya untuk
mengatasi rugi-rugi tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen
yang dilihat dari sisi tegangan tinggi Ret.
Pt
Pt = I t2 Ret → Ret = ;
I t2
(17)
V
Vt = I t Z et → Z et = t → X e = Z et2 − Ret2
It
Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat
sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah
penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.
13
7. Efisiensi dan Regulasi Tegangan
Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai
daya keluaran [watt]
η= (18)
daya masukan [watt]
8. Konstruksi Transformator
Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator dengan satu
inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah satu kaki inti dan
belitan sekunder digulung pada kaki inti yang lain. Dalam kenyataan
tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi bocor, belitan primer dan
sekunder masing-masing dibagi menjadi dua bagian dan digulung di
setiap kaki inti. Belitan primer dan sekunder digulung secara konsentris
dengan belitan sekunder berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini
fluksi bocor dapat ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi
bersama. Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk
lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang tentu lebih
tinggi.
Dua tipe konstruksi yang biasa digunakan pada transformator satu fasa
adalah core type (tipe inti) dan shell type (tipe sel). Gb.9.a.
memperlihatkan konstruksi tipe inti dengan belitan primer dan sekunder
yang terbagi dua. Belitan tegangan rendah digulung dekat dengan inti
yang kemudian dilingkupi oleh belitan tegangan tinggi. Konstruksi ini
sesuai untuk tegangan tinggi karena masalah isolasi lebih mudah
ditangani. Gb.9.b. memperlihatkan konstruksi tipe sel. Konstruksi ini
sesuai untuk transformator daya dengan arus besar. Inti pada konstruksi
ini memberikan perlindungan mekanis lebih baik pada belitan.
R / 2 R / 2
T / T /
2 2 R / 4
T / 2
R / 2
T / 2
R / 4
a). tipe inti. a). tipe sel.
V LP V FP I I 3 1
= = a ; LP = FP = (27)
V LS V FP I LS I FS 3 a
V LP V a I I 3 3
= FP = ; LP = FP = (28)
V LS V FS 3 3 I LS I FS a
VWO VZO
VYO
17
V LP V FP 3 I I 1
= = a ; LP = FP = (29)
V LS V FS 3 I LS I FS a
U X
VUO VXO
V Y
VVO VYO
W Z
VWO VZO
VWO
VUV VZO VXY
VUO VXO
VVO VYO
V Y
VVO VYO
Z
W
VWO VZO
VWO
VUV
VXY = VXO
VZO
VUO
VYO
VVO
19
b). Untuk hubungan Y-Y :
V V 3 6600
V LS = V FS 3 = FP 3 = LP = = 550 V ;
a 3 a 12
I LS == I FS = aI FP = aI LP = 12 × 10 = 120 A.