Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH

MANAJEMEN KEBENCANAAN

OLEH
ELVIS SAPUTRA

TAHUN
2019

i
DAFTRA ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1


1.1. Definisi ........................................................................................................................ 1
A. Definisi Manajemen .............................................................................................. 1
B. Fungsi manajemen ................................................................................................ 1
C. Definisi Bencana ................................................................................................... 2
D. Definisi Manajemen Bencana ............................................................................... 2
E. Fungsi Manajemen bencana .................................................................................. 2
F. Arti Penting Manajemen Bencana ........................................................................ 4
1.2. Siklus manajemen bencana ......................................................................................... 5

BAB II JENIS-JENIS BENCANA


2.1. Gempa Bumi ............................................................................................................... 9
2.2. Letusan Gunung Api ................................................................................................... 10
2.3. Tsunami ....................................................................................................................... 12
2.4. Angin Badai ................................................................................................................ 14
2.5. Banjir ........................................................................................................................... 15
2.6. Tanah Longsor ............................................................................................................ 17
2.7. Kebakaran Hutan dan Lahan ....................................................................................... 19
2.8. Kekeringan .................................................................................................................. 21
2.9. Epidemi ....................................................................................................................... 22
BAB III KERENTANAN DAN ANCAMAN ..................................................................... 24
3.1. Definisi ........................................................................................................................ 24
3.2. Kerentanan dan Ancaman pada Beberapa Bencana .................................................... 26
BAB IV KONDISI MANAJEMEN BENCANA DI INDONESIA ................................... 35
4.1. Paradigma Manajemen Bencana ................................................................................. 35
4.2. Pihak-pihak yang terkait dengan Manajemen Bencana .............................................. 40
4.3. Peningkatan Kapasitas Lokal dan Pengurangan Kemiskinan dalam manajemen Bencana
...................................................................................................................................... 43

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Definisi
A. Definisi Manajemen
Secara umum, pengertian manajemen merupakan suatu seni dalam ilmu dan
pengorganisasian seperti menyusun perencanaan, membangun organisasi dan
pengorganisasiannya, pergerakan, serta pengendalian atau pengawasan. Bisa juga
diartikan bahwa manajemen merupakan suatu ilmu pengetahuan yang sistematis agar
dapat memahami mengapa dan bagaimana manusia saling bekerja sama agar dapat
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain maupun golongan tertentu dan
masyarakat luas. Secara etimologis, pengertian manajemen merupakan seni untuk
melaksanakan dan mengatur.
B. Fungsi Manajemen
Secara umum, dunia manajemen menggunakan prinsip POAC. atau Planning, Organizing,
Actuating, dan Controlling.
a. Planning (Perencanaan)
Perencanaan adalah proses dan rangkaian kegiatan untuk menetapkan terlebih
dahulu tujuan yang diharapkan pada suatu jangka waktu tertentu atau periode waktu
yang telah ditetapkan, serta tahapan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan
tersebut.
b. Organizing (Pengorganisasian)
Pengorganisasian adalah proses dan rangkaian kegiatan dalam pembagian
pekerjaan yang direncanakan untuk diselesaikan oleh anggota kelompok pekerjaan,
penentuan hubungan pekerjaan yang baik diantara mereka, serta pemeliharaan
lingkungan dan fasilitas pekerjaan yang pantas.
c. Actuating (Pelaksanaan)
Actuating adalah menggerakan semua anggota kelompok untuk bekerja sama
mencapai tujuan perusahaan. Tahapan ini terdiri dari kepemimpinan dan koordinasi,
yaitu pemimpin memimpin setiap sumber daya yang ada untuk bekerja sesuai
dengan perencanaan yang telah ditentukan sebelumnya dan mengkoordinasi agar
kerja sama ini dapat dilakukan dengan harmonis. Hal ini dapat menghindari

1
persaingan yang ada antar sumber daya yang bisa mengakibatkan tidak tercapainya
suatu tujuan.
d. Controlling (Pengendalian)
Pengendalian adalah suatu proses dan rangkaian kegiatan untuk
mengusahakan agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan dan tahapan yang harus dilalui. Dengan demikian, apabila ada
kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana dan tahapan, perlu diadakan suatu
tindakan perbaikan (corrective action).
C. Definisi Bencana
Menurut UN_ISDR (2000) :
“Bencana merupakan suatu gangguan serius terhadap keberfungsian masyarakat,
sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi,
ekonomi atau lingkungan, dan gangguan itu melampaui kemampuan masyarakat yang
bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri”.
Menurut UU RI No. 24 Tahun 2007:
“Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik faktor alam,
non alam maupun manusia, sehingga menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologi.”
D. Definisi Manajemen Bencana
Definisi Manajemen Bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan terpadu
untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan
analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. (UU 24/2007).
E. Fungsi Manajemen Bencana
Fungsi manajemen bencana tetap mengacu pada fungsi manjemen pada umumnya (POAC)
namun setiap fungsinya akan dijelaskan mengenai kebencanaan, berikut penjelasan fungsi
manajemen bencana:
- Perencanaan
Berdasarkan definisi fungsi perencanaan pada poin B (Fungsi Manajemen),
maka jika dikaitkan manajemen bencana maka fungsi perencanaan yang dimaksud
adalah Proses dari rangkaian kegiatan dengan tujuan untuk mencegah dan membatasi
jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda dan lingkungan hidup akibat

2
bencana. Proses perencanaan tersebut dilakukan pada setiap tahapan yaitu, pada Tahap
Pra Bencana, Saat Tanggap Darurat Bencana, dan Pasca Bencana.

Berikut merupakan beberapa contoh perencanaan dalam penanggulangan bencana:


a. Merencanaan penataan ruang dari bahaya bencana
b. Membuat tentang pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata
bangunan
c. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana
bencana
d. merencanakan penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tenggap
darurat
e. penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar
f. dll.
- Pengorganisasian
Fungsi pengorganisasian dalam manajemen bencana adalah proses dan rangkaian
kegiatan dalam pembagian tugas untuk penanganan bencana. Di Indonesia
organisasi/instansi yang diberikan wewenang untuk penanganan bencana adalah BNPB
untuk tingkat nasional dan BPBD untuk tingkat provinsi/kabupaten. Berikut contoh
pengorganisasian penanganan bencana di Indonesia.

Gambar 2. Komando Penanganan Tanggap Darurat Bencana


Sumber : (Perka BNPN No.8 Tahun 2008).
- Pelaksanaan
Setelah proses perencanaan dan proses pengorganisasian selesai maka langkah
berikutnya adalah pelaksanaan, fungsi pelaksanaan dalam manajemen bencana adalah

3
merealisasika semua perencanaan penagangan bencana yang sudah dibuat dengan
menggerakkan semua anggota kelompok yang sudah diberi tugas dan wewenang
masing-masing seperti BNPB, BPBD, dan instansi terkait.
Contoh pelaksanaan dari fungsi manajemen bencana seperti:
a. Memasang early warning pada lokasi yang meiliki potensi bencana
b. Melakukan penyuluhan dan soasialisasi kebencanaan
c. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana
d. Pemberian bantuan dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
e. Perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum
f. Membangun kembali secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem
kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat.
- Evaluasi
Setiap kegiatan yang telah dilaksanakan maka perlu dilakukan evaluasi, tujuan
dilakukannya evaluasi adalah untuk mengukur apakah kegiatan-kegitan yang telah
dilaksanakan sudah berjalan sesuai dengan rencana, jika ada kegiatan yang belum
sesuai dengan rencana maka bisa dilakukan tindakan perbaikan.
Sebagai contoh Pelaksanaan Pemantaun dan Evaluasi untuk hasil Rehabilitasi dan
Rekonstruksi dilakukan oleh koordinasi antara BNPN dan atau BPBD dengan
melibatkan SKPD teknis serta masyarakat, kemudian nantinya pihak terkait akan
menilai dan membuat laporan pelaksanaan kegiatan sebagai bukti apakah kegiatan
tersebut sudah berjalan sesuai rencana, jika belum maka akan dilakukan tindakan
perbaikan.
F. Arti Penting manajemen Bencana di Indonesia
Beberapa tahun belakangan ini rentetan bencana alam terjadi di Indonesia, yang
semuanya itu terjadi seperti tak akan ada akhirnya. Memang sejak dahulu dalam sejarah
bangsa Indonesia, kehidupannya banyak diisi dengan tragedi-tragedi kemanusiaan yang
diakibatkan oleh bencana alam, baik terjadi karena faktor alam, kelalaian dan ketamakkan
manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada.
Dari setiap bencana yang telah terjadi di Indonesia pemerintah seakan terlambat,
tidak tanggap dan cepat bereaksi dalam penanggulangan bencana, bahkan cenderung
terlihat menelantarkan para korban bencana. Adapula masalah pengungsian yang tidak
terkoordinasi dengan baik dan terlihat sangat berantakan manajemennya, sehingga
masyarakat menjadi bingung untuk kemana mencari bantuan dengan cepat tanpa berbelit-
belit seperti yang terjadi saat ini.

4
Sebagai ilmu pengetahuan, manajemen juga bersifat universal, dan
mempergunakan kerangka ilmu pengetahuan yang sistematis mencakup kaidah-kaidah,
prinsip dan konsep yang cenderung tepat dalam seluruh kondisi pengorganisasian. Jadi
ilmu pengetahuan manajemen dapat diterapkan dalam pengorganisasian penanggulangan
bencana baik dalam tingkat pemerintah, lembaga sosial, dan koordinasi di lapangan.
Sehingga dapat disimpulkan bila manajemen dalam penanggulangan tidak terkoordinasi
baik maka akan banyak korban yang terlantar dan bisa mengakibatkan kematian bagi jiwa
yang seharusnya bisa tertolong dengan penanganan yang cepat, terjadi kekisruhan akibat
saling memperebutkan bantuan sandang dan pangan yang diberikan, dan akan terjadi
kondisi yang kumuh serta tidak teratur di tempat-tempat pengungsian.
Dari berbagai masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa manajemen yang
baik dalam penanggulangan bencana alam sangat dibutuhkan guna meringankan beban
para korban. Oleh karena itu untuk Pemerintahan baik pusat maupun daerah, agar
senantiasa lebih cepat tanggap akan aspirasi dan kebutuhan masyarakat sehingga apabila
masyarakat membutuhkan bantuan maka dengan cepat kebutuhan tersebut terpenuhi. Dan
masyarakatpun pada akhirnya akan merasa bangga akan negaranya sendiri yang
pemerintahnya senantiasa memperhatikan seluruh rakyatnya tanpa membeda-bedakan
suku, agama dam ras.

1.2 Siklus Manajemen Bencana

Gambar 1. Siklus Manajemen Bencana

5
Sumber : Bahan Ajar manajemen Bencana, UII (Winarno 2018).
Siklus Manajemen Bencana seperti terlihat pada Gambar 1 akan dijelaskan sebagai
berikut:
Tahap Pra Bencana (Pre-Disaster)
Tahap ini mencangkup Kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan peringatan dini.
a. Pencegahan (prevention)
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana (jika mungkin dengan
meniadakan bahaya). Misalnya : Melarang pembakaran hutan dalam perladangan,
Melarang penambangan batu di daerah yang curam, dan Melarang membuang sampah
sembarangan.
b. Mitigasi Bencana (Mitigation)
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana. Kegiatan mitigasi dapat dilakukan melalui a) pelaksanaan penataan
ruang; b) pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan
c) penyelenggaraan pendidikan, dan penyuluhan.
c. Kesiapsiagaan (Preparedness)
Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Beberapa
bentuk aktivitas kesiapsiagaan yang dapat dilakukan antara lain: a) penyusunan dan
uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana; b) pengorganisasian,
pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini; c) penyediaan dan penyiapan
barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; d) pengorganisasian, penyuluhan,
pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat; e) dan lainnya.
Tahap Saat Terjadi bencana
Tahap ini mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara,
seperti kegiatan bantuan darurat dan pengungsian.
a. Tanggap Darurat (response)
Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan yang
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta
pemulihan prasarana dan sarana. Beberapa aktivitas yang dilakukan pada tahapan
tanggap darurat antara lain: a) pengkajianyang dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,

6
dan sumberdaya; b) penentuan status keadaan darurat bencana; c) penyelamatan dan
evakuasi masyarakat terkena bencana; d) pemenuhan kebutuhan dasar; e)
perlindungan terhadap kelompok rentan; dan f) pemulihan dengan segera prasaran dan
sarana vital ( UU Nomor 24 Tahun 2007).
b. Bantuan Darurat (relief)
Merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan dasar berupa : Pangan, Sandang, Tempat tinggal sementara, kesehatan,
sanitasi dan air bersih.
Tahap Pasca Bencana
Tahap ini mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
a. Pemulihan (recovery)
Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi
masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan
kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi.
Beberapa kegiatan yang terkait dengan pemulihan adalah a) perbaikan lingkungan
daerah bencana; b) perbaikan prasarana dan sarana umum; c) pemberian bantuan
perbaikan rumah masyarakat; d) pemulihan sosial psikologis; e) pelayanan kesehatan;
f) rekonsiliasi dan resolusi konflik; g) pemulihan sosial ekonomi budaya, dan j)
pemulihan fungsi pelayanan publik.
b. Rehabilitasi (rehabilitation)
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Rehabilitasi
dilakukan melalui kegiatan : perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan
prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat,
pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik,
pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan
fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.
c. Rekonstruksi (reconstruction)
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah
nyata yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali
secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem kelembagaan, baik di tingkat
pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya

7
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan
bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat di wilayah pasca bencana. Lingkup pelaksanaan rekonstruksi terdiri
atas program rekonstruksi fisik dan program rekonstruksi non fisik.

8
BAB II
JENIS-JENIS BENCANA

2.1 Gempa Bumi


Karakteristik :
a. Ditandai dengan bergetarnya lapisan bumi
b. Tidak dapat diprediksi
c. Energi getaran gempa dirambatkan keseluruh bagian bumi. Di permukaan bumi,
getaran tersebut dapat menyebabkan kerusakan dan runtuhnya struktur
bangunan sehingga dapat menimbulkan korban jiwa.
d. Dapat menyebabkan longsor, kebakaran, bahkan tsunami
e. Komponen yang terancam :
- Perkampungan padat dengan konstruksi yang lemah dan padat penghuni.
- Bangunan dengan desain teknis yang buruk, bangunan tanah, bangunan
tembok tanpa perkuatan.
- Bangunan dengan atap yang berat.
- Bangunan tua dengan dengan kekuatan lateral dan kualitas yang rendah.
- Bangunan tinggi yang dibangun diatas tanah lepas/ tidak kompak.
- Bangunan diatas lereng yang lemah/tidak stabil.
- nfrastruktur diatas tanah atau timbunan.
- Bangunan Industri kimia dapat menimbulkan bencana ikutan.

Tindakan-tindakan untuk pengurangan bencana gempa bumi (mitigasi) :


a. Bangunan harus dibangun dengan konstruksi tahan getaran/gempa.
b. Perkuatan bangunan dengan mengikuti standar kualitas bangunan.
c. Pembangunan fasilitas umum denggan standar kualitas yang tinggi.
d. Perkuatan bangunan bangunan vital yang telah ada.
e. Rencanakan penempatan pemukiman untuk mengurangi tingkat kepadatan
hunian di daerah rawan bencana.
f. Asuransi.
g. Zonasi daerah rawan bencana dan pengaturan penggunaan lahan.
h. Pendidikan kepada masyarakat tentang gempabumi.
i. Membangun rumah dengan konstruksi yang aman terhadap gempa bumi.

9
j. Masyarakat waspada terhadap risiko gempa bumi.
k. Masyarakat mengetahui apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa bumi.
l. Masyarakat mengetahui tentang pengamanan dalam penyimpanan barang
barang yang berbahaya bila terjadi gempabumi.
m. Ikut serta dalam pelatihan program upaya penyelamatan dan kewaspadaan
masyarakat terhadap gempa bumi.
n. Pembentukan kelompok aksi penyelamatan bencana dengan pelatihan
pemadaman kebakaran dan pertolongan pertama.

Permasalahan khusus untuk manajemen bencana gempa bumi :


a. Pasca kejadian gempa biasanya terjadi kerusakan infrastruktur telekomunikasi
dan jaringan linstrik sehingga masyarakat dan pemerintah kesulitan
berkoordinasi untuk melakukan proses evakuasi serta penyaluran bantuan.
b. Selain dari infrastruktur telekomonikasi, ifratsuktutur transportasi juga sangat
berperan penting dalam penanggulangan bencana, terputusnya akses jalan
membuat pemerintah dan masyrakat kesulitas untuk mendistribusikan bantuan
dan juga mengirimkan alat berat untuk membersikan puing-puing bangunan.
c. Bangunan yang paling banyak mengalami kerusakan adalah rumah masyarakat,
hal ini disebabkan karena bangunan tidak dibangun dengan konsep tahan
gempa. Umumnya rumah masyarakat belum menerapkan konsep bangunan
tehan gempa karena keterbatas ekonomi, dan minimnya pengetahuan.

2.2 Letusan Gunung Api


Karakteristik :
a. Aktifitas gunung api dapat dimonitor, sehingga bahaya dari bencana yang
muncul sangat mungkin untuk diketahui dan diprediksi.
b. Letusan gunung api dapat merusak bangunan dan lingkungan yang ada di
sekitarnya, dan bisa juga menimbulkan kebakaran.
c. Menimbulkan kerusakan (pecah) pada permukaan tanah, dan akibat letusan
gunung api dapat mempengaruhi bangunan yang ada.
d. Aliran lava dapat memendam dan membakar bangunan dan tanaman sehingga
tanah tidak dapat digunakan lagi.
e. Debu letusan yang beterangan dapat mennganggu mesin pesawat terbang.

10
f. Tumpukan tanah yang berasal dari debu letusan merusak tanaman dan dapat
mengganggu tanah dan air yang ada.
g. Debu letusan juga menimbulkan penyakit pernafasan.
h. Aliran lumpur (lahar) dapat muncul akibat hujan yang tinggi.

Tindakan-tindakan untuk pengurangan bencana :


a. Perencanaan lokasi pemanfaatan lahan untuk aktivitas penting harus jauh atau
diluar dari kawasan rawan bencana
b. Hindari tempat tempat yang memiliki kecenderungan untuk dialiri lava dan
atau lahar
c. Penerapan desain bangunan yang tahan terhadap tambahan beban akibat abu
gunungapi
d. Membuat fasilitas jalan dari tempat pemukiman ke tempat pengungsian untuk
memudahkan evakuasi
e. Identifikasi daerah bahaya (dapat dilihat pada Data Dasar Gunungapi Indonesia
atau Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi
f. Masyarakat yang bermukim di sekitar gunungapi harus mengetahui posisi
tempat tinggalnya pada Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi
(penyuluhan).
g. Masyarakat yang bermukim di sekitar gunungapi hendaknya faham cara
menghindar dan tindakan yang harus dilakukan ketika terjadi letusan
gunungapi (penyuluhan).
h. Paham arti dari peringatan dini yang diberikan oleh aparat/pengamat
gunungapi (penyuluhan).

Permasalahan khusus untuk manajemen bencana letusan merapi:


a. Sulitnya jalan menuju lokasi selama letusan.
b. Keputusan evakuasi yang tepat waktu.
c. Kelesuan masyarakat untuk dievakuasi, terutama karena pernah mengalami
letusan yang kecil atau tanda-tanda yang palsu, sehingga sulit menumbuhkan
kesadaran masyarakat terhadap bahaya letusan dan menghambat pelaksanaan
evakuasi.
d. Mengontrol kedatangan pelancong/penonton saat pelaksanaan program
evakuasi.

11
2.3 Tsunami
Karakteristik :
a. Gelombang yang berkecapatan tinggi ini bisa menghancurkan kehidupan di
daerah pantai dan kembalinya air ke laut setelah mencapai puncak gelombang
(run‐down) bisa menyeret segala sesuatu kelaut.
b. Dapat diprediksi
c. Ada beberapa penyebab terjadinya tsunami :
- Gempabumi yang diikuti dengan dislokasi/perpindahan masa
tanah/batuan yang sangat besar di bawah air (laut/danau).
- Tanah longsor di bawah tubuh air/laut.
- Letusan gunungapi di bawah laut dan gunungapi pulau.

d. Peristiwa tsunami ditandai dengan gejala sebagai berikut:


- Gelombang air laut datang secara mendadak dan berulang dengan energi
yang sangat kuat
- Kejadian mendadak dan pada umumnya di Indonesia didahului dengan
gempabumi besar dan susut laut.
- Terdapat selang waktu antara waktu terjadinya gempa bumi sebagai
sumber Tsunami dan waktu tiba Tsunami di pantai mengingat kecepatan
gelombang gempa jauh lebih besar dibandingkan kecepatan Tsunami.
- Metode untuk pendugaan secara cepat dan akurat memerlukan teknologi
tinggi.
- Di Indonesia pada umumnya Tsunami terjadi dalam waktu kurang dari
40 menit setelah terjadinya gempabumi besar di bawah laut.
e. Memiliki tinggi, panjang dan arah gelombang tertentu
f. Komponen yang terancam :
- Struktur bangunan yang ringan atau perumahan yang terbuat dari kayu
- Bangunan bangunan sementara atau semi permanen.
- Bangunan‐bangunan yang dimensi lebarnya sejajar dengan garis pantai.
- material bangunan tambahan yang menempel kurang kuat pada bangunan
utama seperti papan, seng, asbes, dan sebagainya.
- Bangunan dan fasilitas telekomunikasi, listrik dan air bersih.
- Kapal kapal penangkap ikan atau bangunan industri maritim lainnya yang
terletak disekitar pantai.
- Jembatan dan jalan di daerah dataran pantai.
- Sawah, ladang, tambak, kolam budidaya perikanan.

12
Tindakan-tindakan untuk pengurangan bencana :
a. Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap bahaya Tsunami
b. Pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya Tsunami.
c. Pembangunan Tsunami Early Warning System (TEWS).
d. Pembangunan tembok penahan Tsunami pada garis pantai yang berisiko.
e. Penanaman mangrove serta tanaman lainnya sepanjang garis pantai meredam
gaya air tsunami.
f. Pembangunan tempat‐tempat evakuasi yang aman di sekitar daerah pemukiman.
Tempat/bangunan ini harus cukup tinggi dan mudah diakses untuk menghidari
ketinggian Tsunami.
g. Peningkatan pengetahuan masyarakat lokal tentang pengenalan tanda‐ tanda
tsunami dan cara‐cara penyelamatan diri terhadap bahaya tsunami.
h. Pembangunan rumah yang tahan terhadap bahaya tsunami.
i. Mengenali karakteristik dan tanda‐tanda bahaya tsunami di lokasi sekitarnya.
j. Memahami cara penyelamatan jika terlihat tanda‐tanda tsunami.
k. Meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi tsunami.
l. Memberikan laporan sesegera mungkin jika mengetahui tanda‐tanda akan
terjadinya tsunami kepada petugas yang berwenang: Kepala Desa, Polisi,
stasiun radio, SATLAK PB dan institusi terkait.
m. Melengkapi diri dengan alat komunikasi.

Permasalahan khusus untuk manajemen bencana tsunami :


a. Gelombang tsunami terkadang diawali dengan gelombang yang tidak terlalu
tinggi, sehingga masyarakat sekitar mengira gelombang tersebut tidak berisiko,
padahal gelombang susulan berkemungkinan akan lebih tinggi seperti yang
terjadi di Palu.
b. Pada saat air laut surut, masyarakat malah banyak yang turun ke pantai untuk
menangkap ikan padahal itu merupakan gejala akan terjadinya tsunami seperti
kasus yang terjadi pada tsunami Aceh.
c. Kesulitan untuk mencari korban dan kediaman korban dikarenakan rumah dan
aset-aset lainnya hilang disapu gelombang tsunami.
d. Terkadang sistem early warning tidak berfungsi pada saat kerjadian tsunami,
sehingga masyrakat mengira tidak akan terjadi tsunami pasca gempa.

13
2.4 Angin Badai
Karakteristik :
a. Angin berputar dengan kecepatan > 60-90 km/jam
b. Dapat berlangsung selama 5-10 menit
c. Terjadi akibat perbedaan tekanan sangat besar
d. Datangnya angin badai ditandai denga gejala:
- Udara terasa panas,
- Tedapat awan cumulus dan cumulunimbus di antara awan cumulus, ranting
pohon dan dauh bergoyang cepat
e. Tekanan dan hisapan dari tenaga angin dalam kurun waktu tertentu dapat
merusak atau merobohkan bangunan.
f. Komponen yang terancam :
- Struktur bangunan yang ringan atau perumahan yang terbuat dari kayu
- Bangunan bangunan sementara atau semi permanen
- Atap bangunan
- Material bangunan tambahan yang menempel kurang kuat pada bangunan
utama seperti papan, seng, asbes, dan sebagainya.
- Pohon, pagar serta tanda tanda lalulintas dan papan reklame
- Tiang tiang kabel listrik yang tinggi
- Kapal‐kapal penangkap ikan atau bangunan industri maritim lainnya yang
terletak disekitar pantai.

Tindakan-tindakan untuk pengurangan bencana :


a. Struktur bangunan yang memenuhi syarat teknis untuk mampu bertahan
terhadap gaya angin
b. Perlunya penerapan aturan standar bangunan yang memperhitungkan beban
angin khususnya di daerah yang rawan angin badai
c. Penempatan lokasi pembangunan fasilitas yang penting pada daerah yang
terlindung dari serangan angin badai
d. Penghijauan di bagian atas arah angin untuk meredam gaya angin
e. Pembangunan bangunan umum yang cukup luas yang dapat digunakan sebagai
tempat penampungan sementara bagi orang maupun barang saat terjadi serangan
angin badai.
f. Pembangunan rumah yang tahan angin

14
g. Pengamanan/perkuatan bagian bagian yang mudah diterbangkan angin yang
dapat membehayakan diri atau orang lain disekitarnya
h. Kesiapsiagaan dalam menghadapi angin badai, mengetahui bagaimana cara
penyelamatan diri
i. Pengamanan barang barang disekitar rumah agar terikat/dibangun secara kuat
sehingga tidak diterbangkan angin
j. Untuk para nelayan, supaya menambatkan atau mengikat kuat kapal kapalnya.

Permasalahan khusus untuk manajemen bencana Angin Badai :


a. Banyaknya rumah masyarakat yang dibangun tidak memperhitungkan beban
angin, sehingga pada saat peristiwa berlangsung banyak rumah mengalami yang
mengalami kerusakan terutama bagian atap.
b. Adanya pohoh-pohon besar yang berada pada pemukiman padat, sehingga pada
saat terjadi badai dan pohon tidak kuat menahan beban angin kemudian tumbang
dan menimpa rumah masyarakat sekitar.
c. Adanya pohon-pohon besar berada di sekitar jaringan listrik, sehingga pada saat
kejadian badai pohon berpotensi merukan atau memutuskan jaringan listrik.
d. Sulit untuk menentukan waktu yang tepat untuk evakuasi.

2.5 Banjir
Karakteristik :
a. Dapat berlangsung lambat, cepat/tanpa peringatan (banjir bandang)
b. Terjadi disebebkan oleh curah hujan yang tinggi di atas normal, sehingga sistim
pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak sungai alamiah serta sistem
saluran drainase dan kanal penampung akumulasi air hujan tersebut sehingga
meluap.
c. Biasanya terjadi pada musim hujan
d. Datangnya banjir bisa diketahui dengan gejala-gejala sebagai berikut:
- Terjadi curah hujan yang tinggi pada waktu yang lama
- Tingginya pasang laut yang disertai badai mengindikasikan akan datangnya
bencan banjir beberapa jam kemudian terutama untuk daerah yang
dipengaruhi pasang surut

15
e. Pada umumnya banjir yang berupa genangan maupun banjir bandang bersifat
merusak. Aliran arus air yang cepat dan bergolak (turbulent) meskipun tidak
terlalu dalam dapat menghanyutkan manusia, hewan dan harta benda.

Tindakan-tindakan untuk pengurangan risiko bencana banjir (mitigasi) :


a. Pembangunan tembok penahan dan tanggul disepanjang sungai
b. Pengaturan kecepatan aliran dan debit air permukaan dari daerah hulu sangat
membantu mengurangi bencana banjir
c. Pengerukan sungai, pembuatan sudetan sungai baik secara saluran terbuka
maupun tertutup atau trowongan.
d. Membentuk kelompok kerja (POKJA) yang beranggotakan dinas-instansi
terkait sebagai bagian dari satuan pelaksana untuk melaksanakan dan
menetapkan pembagian peran diantaranya inspeksi, pengamatan dan
penulusuran atas prasaran dan sarana pengendalian banjir.
e. Menyiapkan peta daerah rawan banjir dilengkapi dengan plotting rute
pengungsian, lokasi pengungsian sementara, lokasi posko dan lokasi pos
pengamat debit banjir/ketinggian muka air banjir.
f. Membuat early warning sistem sebagai tanda peringatan banjir.
g. Perencanaan dan penyiapan SOP (Standard Operation Procedure)/Prosedur
Operasi Standar untuk kegiatan/tahap tanggap darurat.

Permasalahan khusus untuk manajemen bencana Banjir:


a. Salah satu faktor penghambat belum bisa teratasinya bencana banjir adalah
terbatasnya anggaran pemerintah untuk pembangunan insfrasturktur sumber
daya air.
b. Banyaknya masyarakat yang belum menaati aturan pemerintah dan tetap
membangun tempat tinggal di pinggiran sungai sehingga sangat rentan
terdampak bencana banjir.
c. Sungai masih dijadikan tempat untuk membuang sampah sehingga terjadi
penumpukan sampah dan menyumbab aliran sungai.
d. Minimnya resapan air
e. Penebangan liar yang tidak terkontrol membuat hutan semakin gundul dan
berkurangnya daya serap air oleh pepohonan yang ada di hutan.

16
2.6 Tanah Longsor
Karakteristik :
a. Gerakan tanah dan batuan yang terseret kebawah berada pada lahan miring
b. Terjadi karena lereng gundul, gempa bumi dan penambangan yang tidak
terkendali
c. Gerakan tanah atau tanah longsor merusakkan jalan, pipa dan kabel baik akibat
gerakan di bawahnya atau karena penimbunan material hasil longsoran.
d. Bencana longsor bisa diprediksi dengan melihat gejala-gejala sebagai berikut:
- Muncul retakan memanjang atau lengkung pada tanah atau pada
konstruksi bangunan, yang biasa terjadi setelah hujan.
- Terjadi penggembungan pada lereng atau pada tembok penahan.
- Tiba‐tiba pintu atau jendela rumah sulit dibuka, kemungkinan akibat
deformasi bangungan yang terdorong oleh massa tanah yang bergerak.
- Tiba‐tiba muncul rembesan atau mata air pada lereng.
- Apabila pada lereng sudah terdapat rembesan air/mata air, air tersebut
tiba‐tiba menjadi keruh bercampur lumpur.
- Pohon‐pohon atau tiang‐tiang miring searah kemiringan lereng.
- Terdengar suara gemuruh atau suara ledakan dari atas lereng.
- Terjadi runtuhan atau aliran butir tanah/kerikil secara mendadak dari atas
lereng.
e. Komponen yang terancam dari tanah longsor sebagai berikut :
- Permukiman yang dibangun pada lereng yang terjal dan tanah yang
lunak, atau dekat tebing sungai.
- Permukiman yang yang dibangun di bawah lereng yang terjal.
- Permukiman yang dibangun di mulut sungai yang berasal dari
pegunungan diatasnya (dekat dengan pegunungan/perbukitan), rawan
terhadap banjir bandang
- Jalan dan prasarana komunikasi yang melintasi lembah dan perbukitan.
- Utilitas bawah tanah, pipa air, pipa gas dan pipa kabel.

Tindakan-tindakan untuk pengurangan bencana tanah longsor :


a. Hindarkan daerah rawan bencana untuk pembangunan permukiman dan fasilitas
utama lainnya.
b. Mengurangi tingkat keterjalan lereng.

17
c. Meningkatkan/memperbaiki dan memelihara drainase baik air permukaan
maupun air tanah (fungsi drainase adalah untuk menjauhkan air dari lereng,
menghindari air meresap ke dalam lereng atau menguras air dalam lereng ke
luar lereng. Jadi drainase harus dijaga agar jangan sampai tersumbat atau
meresapkan air ke dalam tanah).
d. Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling.
e. Terasering dengan system drainase yang tepat (drainase pada teras‐teras dijaga
jangan sampai menjadi jalan meresapnya air ke dalam tanah).
f. Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak tanam
yang tepat (khusus untuk lereng curam, dengan kemiringan lebih dari 40 derajat
atau sekitar 80 % sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat serta diselingi dengan
tanaman – tanaman yang lebih pendek dan ringan, di bagian dasar ditanam
rumput).
g. Sebaiknya dipilih tanaman lokal yang digemari masyarakat, dan tanaman
tersebut harus secara teratur dipangkas ranting‐rantingnya/ cabang‐ cabangnya
atau dipanen.
h. Khusus untuk aliran butir dapat diarahkan dengan pembuatan saluran.
i. Khusus untuk runtuhan batu dapat dibuatkan tanggul penahan baik berupa
bangunan konstruksi, tanaman maupun parit.
j. Pengenalan daerah yang rawan longsor.
k. Identifikasi daerah yang aktif bergerak, dapat dikenali dengan adanya rekahan
rekahan berbentuk ladam (tapal kuda).
l. Hindarkan pembangunan di daerah yang rawan longsor.
m. Mendirikan bangunan dengan fondasi yang kuat.
n. Melakukan pemadatan tanah disekitar perumahan.
o. Stabilisasi lereng dengan pembuatan terase dan penghijauan.
p. Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall).
q. Penutupan rekahan rekahan diatas lereng untuk mencegah air masuk secara
cepat kedalam tanah.
r. Pondasi tiang pancang sangat disarankan untuk menghindari bahaya
liquifaction.
s. Pondasi yang menyatu, untuk menghindari penurunan yang tidak seragam
(differential settlement).
t. Utilitas yang ada didalam tanah harus bersifat fleksibel.

18
u. Dalam beberapa kasus relokasi sangat disarankan.

Permasalahan khusus untuk manajemen bencana Tanah Longsor :


a. Suiltnya mencari korban akibat tanah yang menimbun rumah warga cukup tebal
dan luas.
b. Terputusnya akses jalan untuk melakukan evakuasi
c. Berpotensi akan terjadi longsor susulan jika hujan terus melanda lokasi
kejadian.
d. Tata guna lahan yang tidak tepat, tanaman yang seharusnya di tanam di bawah
tebing seperti jahe malah ditanam di atas tebing yang tidak memiliki perkuatan
untuk menahan gerakan tanah.

2.7 Kebakaran Hutan dan Lahan


Karakteristik :
a. Terjadinya peristiwa kebakaran hutan disebabkan karena:
- Aktivitas manusia yang menggunakan api di kawasan hutan dan lahan,
sehingga menyebabkan bencana kebakaran.
- Faktor alam yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
- Jenis tanaman yang sejenis dan memiliki titik bakar yang rendah serta
hutan yang terdegradasi menybabkan semakin rentan terhadap bahaya
kebakaran.
- Angin yang cukup besar dapat memicu dan mempercepat menjalarnya api.
- Topografi yang terjal semakin mempercepat merembetnya api dari bawah
ke atas.
b. Dampak dari kebakaran hutan adalah kerusakan lingkungan berupa hilangnya
flora dan fauna serta terganggunya ekosistem. Bahkan dapat menyebabkan
kerusakan sarana dan prasarana, permukiman serta korban jiwa manusia.
c. Kebakaran hutan memiliki gejala sebagai berikut:
- Adanya aktivitas manusia menggunakan api di kawasan hutan dan lahan.
- Ditandai dengan adanya tumbuhan yang meranggas.
- Kelembaban udara rendah.
- Kekeringan akibat musim kemarau yang panjang.
- Peralihan musim menuju kemarau.
- Meningkatnya migrasi satwa keluar habitatnya.

19
Tindakan-tindakan untuk pengurangan bencana kebakaran hutan :
a. Kampanye dan sosialisasi kebijakan pengendalian kebakaran lahan dan hutan.
b. Peningkatan masyarakat peduli api (MPA).
c. Peningkatan penegakan hukum
d. Pembentukan pasukan pemadaman kebakaran khususnya untuk
penanggulangan kebakaran secara dini.
e. Pembuatan waduk (embung) di daerahnya untuk pemadaman api.
f. Pembuatan sekat bakar, terutama antara lahan, perkebunan, pertanian dengan
hutan.
g. Hindarkan pembukaan lahan dengan cara pembakaran.
h. Hindarkan penanaman tanaman sejenis untuk daerah yang luas.
i. Melakukan pengawasan pembakaran lahan untuk pembukaan lahan secara ketat.
j. Melakukan penanaman kembali daerah yang telah terbakardengan tanaman
yang heterogen.
k. Partisipasi aktif dalam pemadaman awal kebakaran di daerahnya.
l. Pengembangan teknologi pembukaan lahan tanpa membakar (pembuatan
kompos, briket arang dll).
m. Kesatuan persepsi dalam pengendalian kebakaran lahan dan hutan.
n. Penyediaan dana tanggap darurat untuk penanggulangan kebakaran lahan dan
hutan disetiap unit kerja terkait.
o. Pengelolaan bahan bakar secara intensif untuk menghindari kebakaran yang
lebih luas.

Permasalahan khusus untuk manajemen bencana kebakaran hutan :


a. Adanya masyarakat masih mengikuti budaya turun temurun saat membuka
lahan pertanian dengan cara dibakar.
b. Pola pikir yang kurang tepat dan tanpa memikirkan risiko yang akan terjadi,
seperti masyarakat yang masih memiliki pola pikir dengan membuka lahan
pertanian dengan cara membakar akan lebih murah.
c. Sulitnya akses jalan ke lokasi kebakaran
d. Lahan gambut yg mudah terbakar
e. penegakan hukum yang tidak bisa menyentuh master-mind pembakaran.

20
2.8 Kekeringan
Karakteristik :
a. Dapat terjadi karena faktor meteorologi, hidrologi, prasarana sumber daya air
dan faktor sosial ekonomi
b. Kekeringan akan berdampak pada kesehatan manusia, tanaman serta hewan
baik langsung maupun tidak langsung.
c. Gejala terjadinya kekeringan sebagai berikut:
- Menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim.
- Terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah.
- Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah
(kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
tanaman tertentu pada phase tertentu pada wilayah yang luas yang
menyebabkan tanaman menjadi rusak/mengering.

Tindakan-tindakan untuk pengurangan bencana kekeringan :


a. Penyusunan peraturan pemerintah tentang pengaturan sistem pengiriman data
iklim dari daerah ke pusat pengolahan data.
b. Penyusunan PERDA untuk menetapkan skala prioritas penggunaan air dengan
memperhatikan historical right dan azas keadilan.
c. Pembentukan pokja dan posko kekeringan pada tingkat pusat dan daerah.
d. Penyediaan sarana komunikasi khusus antar Pokja/Posko Daerah dan
Pokja/Posko Pusat.
e. Penyediaan anggaran khusus untuk pengembangan/perbaikan jaringan
pengamatan iklim pada daerah‐daerah rawan kekeringan.
f. Penyiapan dana, sarana dan prasarana (termasuk sistem distribusinya) untuk
pelaksanaan program antisipatif dan mitigasi dampak kekeringan yang tidak
terikat dengan sistem tahun anggaran sehingga langkah operasional dapat
dilakukan tepat waktu.
g. Penyusunan sistem penilaian wilayah rawan dan potensi dampak kekeringan
yang terkomputerisasi sampai tingkat desa.
h. Penyusunan peta rawan kekeringan di Indonesia.
i. Penentuan teknologi antisipatif (pembuatan embung, teknologi pemanenan
hujan, penyesuaian pola tanam dan teknologi budidaya dll) dan sistem
pengiliran air irigasi yang disesuaikan dengan hasil prakiraan iklim.

21
j. Peningkatan kemampuan tenaga lokal dalam melokalisasikan prakiraan iklim
yang bersifat global.
k. Pengembangan sistem reward dan punishment bagi masyarakat yang
melakukan upaya konservasi dan rehabilitasi sumberdaya air dan lahan.

Permasalahan khusus untuk manajemen bencana kekeringan :


a. Tempat pengambilan air bersih yang jauh dari lokasi pemukiman warga
sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mendistribusikan air tersebut.
b. Pendistribusian air bersih yang belum merata
c. Tidak adanya embung yang dijadikan sebagai tampungan air pada musim hujan
dan penyuplai pada musim kemarau.

2.9 Epidemic
Karakteristik :
a. Disaster-related epidemic arises generally from the disrupted living conditions
which follow disaster impact.
b. Epidemic may arise from: food sources; water sources; inadequate medical and
health facilities/standards; malnutrition; and vector-borne sources (e.g.,
mosquitoes).
c. Types of disease include: hepatitis, typhoid, diptheria, malaria, cholera,
influenza, enteritis, diarrhea, skin diseases, and food poisoning.
d. Under post-impact conditions, when personnel and facilities may be limited,
outbreaks may prove difficult to contain and control. This may particularly
apply if community health education is substandard.
e. Warning (i.e., risk) is self-evident in most post-impact circumstances.
f. Speed of onset is mostly rapid.

Tindakan-tindakan untuk pengurangan bencana :


a. An effective medical and health sub-plan within the overall local or area
counter-disaster plan. This medical and health plan needs particularly to cover
preparedness measures and the capability to deal with post-disaster
eventualities;
b. Close post-disaster monitoring of medical and health aspects;

22
c. Reinforcement of medical resources and supplies in anticipation of epidemic
outbreak; and
d. Public awareness and education, both before and after disaster impact.

Permasalahan khusus untuk manajemen bencana :


a. Loss of medical and health resources (e.g., clinics, medical supplies) during
disaster impact (e.g., by a cyclone) may inhibit response capability;
b. In-country shortage of special equipment (e.g., water purifying plant).
c. Integrating outside (international) medical and health assistance with local
systems; and
d. Containing and controlling common diseases (e.g., enteritis and diarrhea) which
can have a mass effect, especially if relevant medical and health resources are
severely limited.

23
BAB III
KERENTANAN (VULNERABILITY) DAN ANCAMAN (HAZARD)

3.1 Definisi
a. Kerentanan (Vulnerability)
Kerentanan adalah suatu keadaan yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia
(hasil dari proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan) yang mangakibatkan
peningkatan kerawanan masyarakat terhadap bahaya.

b. Ancaman (Hazard)
Ancaman merupakan fenomena alam yang luar biasa yang berpotensi merusak
atau mengancam kehidupan manusia, kehilangan harta benda, kehilangan mata
pencaharian, dan kerusakan lingkungan. Contoh : tanah longsor, banjir, letusan
gunung api, gempa bumi dll.
c. Aman (Safety)
Suatu kondisi dimana terdapat ancaman (hazard) namun tidak terdapat
kerentanan (vulnerability), atau terdapat kerentanan tetapi tidak tedapat ancaman atau
bisa jadi tidak terdapat keduanya (ancaman dan kerentanan).
d. Tangguh (Resilience)
Masyarakat tangguh bencana merupakan masyarakat yang memiliki kemampuan
dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Kemampuan untuk mengantisipasi setiap ancaman atau bahaya yang akan terjadi
2) Kemampuan untuk melawan atau menghindari ancaman bencana tersebut
3) Kemampuan untuk mengadaptasi bencana dan dampak yang ditimbulkan
4) Kemampuan untuk pulih kembali secara cepat setelah terjadi bencana.

Akar Tekanan Muncul


Penyeba Meperpara Kerentanan
b h
Proses Terjadinya Kerentanan Bencana =
Ancaman +
Proses Terjadinya Ancaman Bahaya

Akar Penyebab Muncul


Penyeba Timbulnya Ancaman
b Ancaman
Gambar 3.1 Proses terjadinya Kerentanan dan Ancaman sehingga menjadi sebuah bencana

24
Progres Pengurangan Risiko

Pengurangan
Progres Kondisi Aman risiko bencana
Pengurangan Ancaman
Langkah-langkah untuk mencapai
Langkah-langkah untuk
kondisi yang lebih aman
Tangani Akar mengurangi ancaman tertentu
Penyebab
Kurangi tekanan
yang memperparah
Tangani Akar Kondisi lebih Tujuan untuk situasi Mitigasi
Penyebab aman yang terkandali
Kurangi tekanan
yang memperparah
Tangani Akar
Penyebab

Gambar 3.2 Proses Kondisi aman dan Proses Pengurangan Risiko

25
3.2 Kerentanan dan Ancaman pada Beberapa Bencana

a. Bencana Gempa

BENCANA =
Proses Terjadinya Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan + Ancaman Proses Terjadinya Ancaman (Hazard)

Akar Penyebab : Tekanan yang Memperparah : Kerentanan yg Muncul : Ancaman (Hazard) Penyebab Timbulnya Akar Penyebab :
sbg Pemicu Bencana : Ancaman :
1. Keterbatasan 1. Kepadatan penduduk 1. Kerusakan bangunan 1. Aktivitas pelat
Ekonomi 2. Kurangnya sosialisasi dan infrastruktur 1. Gerkan tanah 1. Tumbukan antar tektonik
2. Pemukiman berada pemerintah kepada 2. Menelan korban jiwa (gempa) lempeng
pada zona rawan masyarakat terkait bangunan 3. Kerusakan lingkungan 2. Patahan aktif
gempa tahan gempa 4. Terganggunya mata
3. Kurangnya 3. Tidak adanya pengawasan pencaharian
pengetahuan tentang dilapangan yang dilakukan masyarakat
konsep bangunan oleh pemerintah terhadap 5. Minimnya ketersediaan
tahan gempa. aktivitas pembangunan yang Kebutuhan pokok.
dilakukan oleh masyarakat
4. Penataan ruang rawan
bencana gempa belum
terealisasi secara baik.

26
b. Bencana Banjir

BENCANA =
Proses Terjadinya Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan + Ancaman Proses Terjadinya Ancaman (Hazard)

Akar Penyebab : Tekanan yang Memperparah : Kerentanan yg Muncul : Ancaman (Hazard) Penyebab Timbulnya Akar Penyebab :
sbg Pemicu Bencana : Ancaman :
1. Pemukiman berada di 1. Area resapan air berkurang 1. Pemukiman terancam 1. Perilaku
pinggir sungai 2. Intensitas hujan yang tinggi terendam banjir 1. Banjir 1. Gundulnya hutan manusia yang
2. Keterbatasan Ekonomi 3. Lemahnya tindakan 2. Munculnya berbagai 2. Sedikitnya area merusak alam
3. Keterbatasan lahan pemerintah dalam macam penyakit resapan air 2. Fenomena alam
memberikan sanksi kepada 3. Terganggunya ekonomi 3. Intensitas hujan Kalimatologi
masyrakat melanggar aturan masyarakat yang tinggi
4. Lemahnya pengawasan 4. Kerusakan lingkungan
dilapangan

27
c. Bencana Gunung Meletus

BENCANA =
Proses Terjadinya Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan + Ancaman Proses Terjadinya Ancaman (Hazard)

Akar Penyebab : Tekanan yang Memperparah : Kerentanan yg Muncul : Ancaman (Hazard) Penyebab Timbulnya Akar Penyebab :
sbg Pemicu Bencana : Ancaman :
1. Pemukiman berada di 1. Maraknya pembangunan 1. Kerusakan lingkungan
kawasan rawan bencana destinasi wisata di kawasan 2. Pertanian/perkebunan 1. Letusan Gunung 1. Endapan magma 1. Fenomena alam
erupsi (KRB III) lereng gunung merapi akan rusak Api dalam perut bumi geologi
2. Pembangunan Destinasi membuat pembangunan 3. Kerusakan bangunan didorong keluar
wisata di kawasan sekitar menjadi meingkat dan infrastruktur oleh gas yang
rawan bencana erupsi sehingga jumlah korban 4. Terganggunya ekonomi bertekanan tinggi
3. Pemerintah belum yang berpotensi terdampak masyarakat
punya konsep terbaik akan juga meningkat. 5. Berpotensi timbulnya
dalam penataan ruang 2. Pembangunan tempat korban meninggal dan
di KRB. tinggal dan infrastruktur luka-luka akibat awan
disekitar KRB tidak panas.
memperhitungkan ancaman
bahaya gunung meletus
3. Peta Rawan Bencana (PRB)
belum tersosialisasi dengan
baik di masyarakat
4. Pengetahuan akan bahaya
dan cara menghadapi
ancaman bencana gunung
meletus belum semuanya
dipahami oleh masyarakat.

28
d. Bencana Angin Topan

BENCANA =
Proses Terjadinya Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan + Ancaman Proses Terjadinya Ancaman (Hazard)

Akar Penyebab : Tekanan yang Memperparah : Kerentanan yg Muncul : Ancaman (Hazard) Penyebab Timbulnya Akar Penyebab :
sbg Pemicu Bencana : Ancaman :
1. Bangunan berada 1. Wilayah pada penduduk 1. Bangunan berpotensi
dekat dengan pohon tertimpa pohon besar 1. Angin kencang 1. Perbedaan tekanan 1. Fenomena alam
besar. 2. Bangunan dengan udara Kalimatologi
2. Bangunan didominasi material realtif akan 2. Suhu udara yang
oleh material yang terbang tersapu angin. sangat panas
cukup ringan. 3. Penguapan air laut
dengan jumlah
besar

29
e. Bencana Kekeringan

BENCANA =
Proses Terjadinya Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan + Ancaman Proses Terjadinya Ancaman (Hazard)

Akar Penyebab : Tekanan yang Memperparah : Kerentanan yg Muncul : Ancaman (Hazard) Penyebab Timbulnya Akar Penyebab :
sbg Pemicu Bencana : Ancaman :
1. Pemukiman yang jauh 1. Kepadatan penduduk 1. Lahan pertanian gagal
dari sumber air 2. Tidak adanya upaya panen 1. Kekeringan 1. Musim kemarau 1. Fenomena
2. Banyaknya kelompok membuat tampungan air, 2. Mengancam yang terlalu lama Kalimatologi
rentan seperti bayi seperti waduk keberlangsungan hidup
dan lansia. 3. Akses kendaraan untuk manusia.
mendistribusikan bantuan 3. Menganggu ekonomi
air sulit masyarakat terdampak.

30
f. Bencana Konfil Sosial

BENCANA =
Proses Terjadinya Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan + Ancaman Proses Terjadinya Ancaman (Hazard)

Akar Penyebab : Tekanan yang Memperparah : Kerentanan yg Muncul : Ancaman (Hazard) Penyebab Timbulnya Akar Penyebab :
sbg Pemicu Bencana : Ancaman :
1. Sistem Politik 1. Adanya provokator dari 1. Kericuhan
2. Ekonomi pihak ke-3 2. Mengancam 1. Kekerasan 1. Tidak bisa 1. Perilaku dan
3. Agama 2. Tersebarnya berita bohong keselamatan jiwa 2. Kemarahan mengontrol emosi perasaan
4. Kepentingan/pandang (Hoax) 2. Perasaan kecewa
an yang sangat dalam
5. budaya

31
g. Bencana Tsunami

BENCANA =
Proses Terjadinya Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan + Ancaman Proses Terjadinya Ancaman (Hazard)

Akar Penyebab : Tekanan yang Memperparah Kerentanan yg Muncul : Ancaman (Hazard) Penyebab Timbulnya Akar Penyebab :
sbg Pemicu Bencana : Ancaman :
1. Pemukiman berada di 1. Pengembangan wisata 1. Kerusaka bangunan 1. Aktivitas Plat
tepi pantai pantai membuat pemukiman 2. Kerusakan lingkungan 1. Tsunami 1. Gempa Bumi Tektonik
2. Lemahnya peraturan disekitarnya juga ikut 3. Korban jiwa (gelombang tinggi
pemerintah dalam berkembang sehingga 4. Terganggunya air laut)
penataan bangunan di jumlah penduduk menjadi perekonomian setempat
sekitar pantai meningkat, dengan semakin
padatnya pendudut maka
potensi korban yang akan
terdampak akan semakin
besar.
2. Lokasi bangunan tempat
berlindung dari tsunami
kurang strategis atau jauh
dari jangkauan masyarakat.
3. Kurangnya sosialisasi atau
simulasi tanggap darurat
bencana tsunami.

32
h. Bencana Longsor

BENCANA =
Proses Terjadinya Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan + Ancaman Proses Terjadinya Ancaman (Hazard)

Akar Penyebab : Tekanan yang Memperparah Kerentanan yg Muncul : Ancaman (Hazard) Penyebab Timbulnya Akar Penyebab :
sbg Pemicu Bencana : Ancaman :
1. Pemukiman berada di 1. Dengan murahnya harga 1. Kerusakan bangunan 1. Fenomena alam
lereng tanah di area perbukitan atau akibat tertimpa tanah 1. Longsor 1. Intensitas hujan Kalimatologi
2. Terjadi penggundulan pada tanah dengan kontur longsoran yang tinggi 2. Fenomena alam
di lereng turun naik membuat para 2. Kerusakan lingkungan membuat tanah Geologi
3. Lemahnya pemerintah pengembang perumahan dan infratsutkrur jaringan jenuh air dan 3. Perlikau manusia
dalam mengawasi dan memanfaatkan harga tersebut jalan dan jaringan kehilangan kuat yang kurang
memberikan tindakan dengan orientasi perpipaan geser. bijaksana
tegas terhadap mendapatkan keuntungan 3. Korban jiwa 2. Akibat getaran
pembangunan tempat yang lebih besar tanpa 4. Terganggunya gempa bumi
tinggal di sekitar memikirkan bahaya longsor perekonomian membuat tanah yang
lereng. yang akan dialami oleh para masyarakat setempat lereng yang tidak
pembeli rumah. stabil menjadi
longsor.
3. penggundulan hutan
4. Penambangan yang
tidakterkendali

33
i. Bencana Kebakaran Hutan

BENCANA =
Proses Terjadinya Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan + Ancaman Proses Terjadinya Ancaman (Hazard)

Akar Penyebab : Tekanan yang Memperparah Kerentanan yg Muncul : Ancaman (Hazard) Penyebab Timbulnya Akar Penyebab :
sbg Pemicu Bencana : Ancaman :
1. Keberadaa Pemukiman 1. Mindset di beberapa 1. Kerusakan lingkungan 1. Kebakaran 1. Perilaku manusia
tidak jauh dari hutan masyarakat pembersihan 2. Kerusakan bangunan Hutan/lahan 1. Aktivitas manusia yang kurang bijak
2. Bahan dasar bangunan lahan dengan cara (terbakar) yang 2. Fenomena alam
mudah terbakar seperti membakar lebih murah 3. Terbakarnya sektor menggunakan api
kayu. dibandingkan dengan pertanian di kawasan hutan
3. Lemahnya sanksi dan menggunakan alat berat. 4. Terganggunya 2. Faktor alam yang
pengawasan yang 2. Kurangnya sosialisasi perekonomian memicu terjadinya
dilakukan oleh terhadap masyarakat setempat. kebakaran
pemerintah terhadap tentang manjemen bencana 5. Penyakit infeksi
pihak yang kebakaran, terutama pada saluran pernafasan.
mebersihkan lahan wilayah pedalaman atau
dengan cara membakar jauh dari perkotaan.
4. Akses untuk
memadamkan sumber
api sulit di jangkau.

34
BAB IV
KONDISI MANAJEMEN BENCANA DI INDONESIA

4.1 Paradigma Manajemen Bencana


A. Paradigma Pandangan Terhadap Bencana
Berbagai pandangan tentang bencana berkembang dari waktu ke waktu, terkait dengan
tingkat pemahaman terhadap kejadian bencana, yaitu:
a. Pandangan Konvesional
Pandangan ini menganggap bahwa bencana merupakan takdir dari Tuhan Yang
Maha Esa. Bencana dianggap sebagai takdir (musibah atau kecelakaan). Karena
dianggap sebagai takdir berupa musibah/kecelakaan, menurut pandangan ini
bencana tidak dapat diprediksi karena tidak menentu datangnya dan tidak dapat
dihindari serta dapat dikendalikan. Menurut pandangan ini pula, masyarakat adalah
korban yang berhak menerima bantuan dari pihak luar.
b. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam
Pandangan ini mengemukakan tentang bencana berdasarkan ilmu
pengetahuan alam yang menganggap bahwa bencana sebagai unsur lingkungan
fisik yang membahayakan kehidupan manusia. Bencana dipandang sebagai
kekuatan alam yang luar biasa. Dalam periode ini mulai dipahami bahwa bencana
merupakan proses geofisik, geologi dan hydro-meterology. Dari aspek ilmu
pengetahuan alam, pandangan ini memang berkembang dan menganggap semua
bencana adalah peristiwa alamiah yang tidak memperhitungkan manusia sebagai
penyebab terjadinya bencana.
c. Pandangan Ilmu Terapan
Perkembangan ilmu alam murni mulai bervariasi dengan berkembangnya
ilmu-ilmu terapan. Pandangan ilmu terapan melihat bencana didasarkan pada
besarnya ketahanan atau tingkat kerusakan akibat bencana. Pandangan ini
melatarbelakangi oleh ilmu-ilmu teknik sipil bangunan/konstruksi. Pengkajian
bencana lebih ditujukan pada upaya untuk meningkatkan kekuatan fisik struktur
bangunan untuk memperkecil kerusakan.
d. Pandangan Progresif
Zaman berkembang terus, pemikiran dan imajinasi manusia juga
berkembang sehingga lahirlah pandangan progresif yang menganggap bencana
sebagai bagian yang biasa dan selalu terjadi dalam pembangunan. Artinya, bencana

35
merupakan masalah yang tidak pernah berhenti dalam proses pembangunan. Peran
pemerintah dan masyarakat dalam manajemen bencana adalah mengenali bencana
itu sendir
e. Pandangan Ilmu Sosial
Pandangan ini memfokuskan pada sisi manusianya, bagaimana sikap dan
kesiapan masyarakat menghadapi bahaya. Ancaman bahaya adalah fenomena
alam, akan tetapi bahaya itu tidak akan berubah menjadi bencana jika manusianya
siap atau tanggap. Besarnya bencana tergantung pada perbedaan tingkat
kerentananmasyarakat menghadapi bahaya atau ancaman bencana.
f. Pandangan Holistik
Pendekatan ini menekankan pada adanya bahaya, kerentanan dan risiko
serta kemampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya dan risiko. Gejala alam
dapat menjadi bahaya, jika mengancam manusia dan harta benda. Bahaya jika
bertemu dengan kerentanan dan ketidakmampuan masyarakat akan menjadi risiko
bencana. Risiko bencana akan berubah menjadi bencana, jika ada pemicu kejadian.

B. Paradigma tentang Tindakan/Cara Menanggulangi Bencana


Selain berkembang pandangan tentang bencana, juga berkembang paradigma tentang
tindakan/cara untuk menanggulangi bencana, yakni:
a. Paradigma Bantuan Darurat
Paradigma ini berkaitan dengan pandangan konvensional yang menyatakan
bahwa bencana itu takdir ilahi sehingga masyarakat dipandang sebagai korban dan
penerima bantuan. Paradigma ini memfokuskan pada saat kejadian bencana
melalui pemberian bantuan darurat (relief) berupa evakuasi/pertolongan korban,
bantuan pangan, penampungan, dan layanan kesehatan. Tujuan utamanya adalah
untuk meringankan penderitaan korban, mencegah meluasnya kerusakan dan
segera mempercepat pemulihan.
b. Paradigma Mitigasi
Paradigma ini memfokuskan pada pengenalan daerah rawan ancaman
bencana dan pola perilaku individu masyarakat yang rentan terhadap bencana.
Tujuan utama mitigasi terhadap ancaman bencana dilakukan antara lain melalui
pembuatan struktur bangunan, sedangkan mitigasi terhadap pola perilaku yang
rentan dilakukan antara lain melalui relokasi permukiman, peraturan-peraturan
bangunan dan penataan ruang.

36
c. Paradigma Pembangunan
Paradigma ini memfokuskan pada faktor penyebab dan proses terjadinya
kerentanan masyarakat terhadap bencana. Tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat di berbagai aspek non-struktural misalnya
pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas hidup, pemilikan lahan, akses
terhadap modal, dan inovasi teknologi.
d. Paradigma Pengurangan Risiko
Paradigma ini memfokuskan pada analisis risiko bencana, ancaman,
kerentanan dan kemampuan masyarakat. Tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan kemampuan dalam rangka mengelola dan mengurangi risiko dan
juga mengurangi terjadinya bencana. Hal ini dilakukan secara bersama-sama oleh
semua pihak (stakeholder) melalui pemberdayaan masyarakat.

C. Pergeseran Paradigma dalam Penanggulangan Bencana


Untuk pergeseran pardigma, terdapat empat hal fundamental yang berubah atas
paradigma awal dalam penanggulangan bencana, diantaranya:
a. Dari Tanggap Darurat menjadi Kesiapsiagaan.
Tanggap darurat sampai hari ini memang penting dilakukan dan memang
dibutuhkan oleh masyarakat terdampak bencana. Tidak cukup berhenti di sini
semata. Ada bencana, ada proses pertolongan, kemudian selesai. Namun, yang
lebih penting adalah bagaimana menyiapkan masyarakat untuk lebih cerdas dalam
menghadapi bencana, mengurangi dampak risiko yang akan dahapinya, serta
mengelola pengetahuan menjadi kesadaran kolektif di dalam masyarakat sehingga
tahan dan tangguh dalam mengahadapi bencana yang menimpa. Jadi, bukan hanya
tanggap darurat tetapi juga keseluruhan manajemen risiko dan pembangunan.
b. Dari Sentralistik menjadi Otonomi Daerah
Pemerintah menyadari bahwa kejadian bencana haruslah direspon secara
cepat dan tepat. Penanganan selama ini yang semuanya diurus oleh pemerintah
pusat, maka banyak terjadi keterlambatan dalam memberikan pertolongan dan
bantuan. Di sinilah muncul paradigma baru , yakni penanganan bencana bisa
dilaksanakan melalui pemerintah daerah yang bersifat otonom.

37
c. Dari Pemerintah Sentris menjadi Partisipatori
Kemampuan pemerintah tidaklah cukup besar, untuk menggelontorkan
anggarannya guna membantu begitu banyak korban bencana yang terjadi hampir
secara bersamaan dan berkesinambungan. Oleh karenanya, peran serta masyarakat
lokal, nasional, maupun internasional dibutuhkan guna membantu memulihkan
korban bencana tersebut. Inilah yang disebut dengan pergeseran paradigma dari
pemerintah sentris menjadi partisipatori. Karena dengan adanya demokratisasi
serta otonomi daerah penanggulangan bencana menjadi tanggungjawab
pemerintah bersama dengan masyarakat.
d. Dari Kemurahan menjadi Hak Dasar
Awalnya, pemerintah menyangka bahwa membantu korban bencana
adalah sebuah kemurahan hati semata. Padahal ini adalah anggapan salah,
sedangkan yang benar adalah bahwa membantu korban bencana itu memang
karena hal itu merupakan hak dasar dari setiap warga negara Indonesia. Maka, tak
salah jika disebutkan bahwa perlindungan merupakan bagian dari hak dasar, dan
pengurangan risiko adalah bagian dari pembangunan.

selain dari penjelasan diatas tentang 4 hal fundamental pergeseran paradigma yang
terjadi di Indonesia, Setya Winarno salah satu dosen UII juga telah membuat
rangkuman tetang Perubahan Paradigma dalam Manajemen Bencana, berikut
penjelasannya:
Tebel 4.1 Perubahan Paradigma dalam Manajemen Bencana
No. Pendekatan Konvensional Pendekatan dengan Paradigma Baru
1. Penanganan bencana dilakukan sebatas  Pertolongan kepada korban bencana
menolong korban (response and relief) dan pengurangan risiko bencana
yang dilakukan secara re-aktif (mitigasi, persiapan, peringatan dini)
secara holistik
 Konsep penanganan bencana adalah
proaktif
2. Fokus penanganan bencana banyak  Fokus penanganan bencana ditekankan
ditekankan pada aspek ancaman pada aspek ancaman (hazard),
(hazard) karena bencana merupakan kerentanan (vulnerability), dan
berasal dari ancaman fisik kapasitas (capacity).

38
No. Pendekatan Konvensional Pendekatan dengan Paradigma Baru
 Peningkatan harus ditekankan pada
human development
3. Penanganan bencana dilakukan agar  Penanganan bencana diarahkan untuk
komunitas segera pulih seperti pembangunan yang sustainable dan
sediakala continuous improvement (building back
better dan poverty eradication).
 Faktor utama penanganan harus fokus
untuk pemulihan mata pencaharian (
livelihood resilience), terutama
pertanian dan peternakan
 Faktor sense of anchor dan sense of
ownership harus ditekankan pada
korban bencana
4. Penanganan bencana pada umumnya  Kebijakan yang diambil merupakan
mempergunakan banyak dana dan kombinasi dari top-down dan bottom-
personil dari Pemerintah Pusat up
(Jakarta), sehingga kebijakan yang  Fokus pada sumberdaya lokal dan
diambil bersifat top-down. Kebijakan participatory approach
Pemerintah Pusat
5. Penanganan bencana dilakukan secara  Bencana ditangani secara terintegrasi
sektoral dengan banyak pihak
 Penggunaan GIS menjadi kebutuhan
prioritas atas
6. Karena frekuensi kejadian bencana  Penanganan bencana dilakukan secara
(yang besar) sangat jarang, maka tim terstruktur dan sistematis dalam
yang menangani ditunjuk secara ad-hoc organisasi permanen yang jelas
 Terdapat institutional framework dan
legal authority
7. Ancaman kejadian bencana ditangani  Penanganan ancaman bencana
secara spesifik untuk bencana tersebut dilakukan dalam spektrum yang lebih
semata luas, yaitu multi-hazard

39
No. Pendekatan Konvensional Pendekatan dengan Paradigma Baru
8. Diperlukan ahli manajemen krisis pada Keahlian tambahan yang diperlukan
konsisi darurat dan ahli ancaman fisik sangat beragam: ahli manajemen risiko,
ahli ekonomi kebencanaan, ahli
pembangunan yang berkelanjutan

4.2 Pihak-pihak yang terkait dengan Manajemen Bencana


Sebelum menetukan Pihak-pihak yang terlibat dalam penaggulangan bencana,
penulis akan mencoba melaukan scoring terlebih dahulu terhadap peran setiap
instansi/kelompok yang ada di Indonesia dalam manajemen bencana yang terbagi dalam 6
kondis penilaian yaitu, kondisi Normal, Mitigasi, Persiapan, Early Warning, Darurat
Bencana, dan pada tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Lihat tabel 4.2 untuk melihat
peran tiap instansi/kelompok.

Tabel 4.2 Peran setiap instansi/kelompok dalam Manajemen Bencana


Pihak Terlibat Tugas Utama dalam Manajemen Bencana
Waktu Mitigasi Persiapan Early Darurat Rehap - Total
Normal Warning Bencana Rekont Skor
Kem. Dalam Negeri 0 0 0 0 1 0 1
Kem. Luar Negri 0 0 0 0 1 0 1
Kem. Pertahanan 0 0 0 0 1 0 1
Kem. Hukum dan HAM 0 0 0 0 1 0 1
Kem. Keuangan 0 1 0 0 2 2 5
Kem. ESDM 0 1 0 0 0 0 1
Kem. Perindustrian 0 1 0 0 0 0 1
Kem. Perdagangan 0 0 0 0 2 0 2
Kem. Pertanian 2 2 1 0 2 0 7
Kem. Lingkungan
1 2 0 0 0 0 3
Hidup dan Kehutanan
Kem. Perhubungan 2 3 1 1 2 0 9
Kem. Kelautan dan
0 0 0 0 1 0 1
Perikanan
Kem. Ketenagakerjaan 0 0 0 0 0 0 0
Kem. PUPR 2 2 1 0 2 3 10
Kem. Kesehatan 1 2 1 0 3 0 7
Kem. Pendidikan dan
1 2 0 0 1 0 4
Kebudayaan
Kem. Risktekdikti 2 3 0 0 1 1 7
Kem. Sosial 0 0 0 0 3 2 5
Kem. Agama 0 0 0 0 1 0 1
Kem. Kominfo 0 2 1 1 3 0 7

40
Pihak Terlibat Tugas Utama dalam Manajemen Bencana
Waktu Mitigasi Persiapan Early Darurat Rehap - Total
Normal Warning Bencana Rekont Skor
Kem. Desa, Desa
Tertinggal & 0 0 0 0 0 0 0
Transmigrasi
Kem. ATR 1 2 0 0 0 0 3
Kem. Sek- Negara 0 0 0 0 1 0 1
Kem. Koperasi dan
Usaha Kecil dan 0 0 0 0 1 0 1
Menengah
Kem. Pemberd
0 0 0 0 1 0 1
perempuan & perl. Anak
Kem. Pendayagunaan
Aparat Negara & 0 0 0 0 0 0 0
Birokasi
Kem. Perencanaan
1 2 0 0 0 1 4
Pembangunan Nasional
Kem. BUMN 0 1 0 0 0 1 2
Kem. Pariwisata 0 1 0 0 0 0 1
Kem. Pemuda dan
0 0 0 0 0 0 0
Olahraga
BMKG 2 2 2 3 2 0 11
TNI 0 0 0 0 3 1 4
POLRI 0 0 1 0 2 0 3
BNPB 3 3 3 2 3 2 14
KNKT 0 0 0 0 1 0 1
BASARNAS 0 0 1 0 3 0 4
Media 3 3 2 3 3 1 13
Ormas – NGO – LSM 0 1 0 0 2 1 4
Perguruan Tinggi 2 2 0 0 2 1 7
LSM Asing 0 0 0 0 1 0 1
Kelp. Tukang - Mandor 0 1 0 0 1 2 4
Kontraktor 0 1 0 0 0 2 3
Konsultan 0 1 0 0 0 2 3
Pengembang Perumahan 0 0 0 0 0 0 0
TOTAL 23 41 14 10 53 20

Keterengan:
0 = sektor tidak penting
1 = sektor penting
2 = sektor sangat penting
3 = sektor utama

41
Berdasarkan hasil dari tabel scoring di atas maka menurut penulis dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Jika ditinjau dari seluruh kondisi yaitu, kondisi normal, mitigasi, persiapan, early
warning, darurat bencana, dan rehap-rekon, maka isntansi/kelompok yang memiliki
banyak peran dalam manajemen bencana yaitu bertutur-turut berdasarkan skro
tertinggi-terendah (skor 15-7) yaitu:
a. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB);
b. Media;
c. Badan Meteorologi, kalimatologi dan Geofisika (BMKG);
d. Kementrian Perkerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR);
e. Kementrian Perhubungan;
f. Kementrian Pertanian;
g. Kementrian Kesehatan;
h. Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti);
i. Kementrian Informasi dan Komunikasi;
j. Perguruan Tinggi.
2. Jika ditinjau setiap kondisi, maka instansi/kelompok yang menjadi sektor utama dalam
manajeman bencana adalah sebagai berikut:
a. Kondisi Normal:
- BNPB
- Media
b. Kondisi Mitigasi
- BNPB
- Media
- Kemenristekdikti
- Kementrian Perhubungan
c. Kondisi Persiapan
- BNPB
d. Kondisi Early warning
- BMKG
- Media
e. Kondisi Darurat Bencana
- BNPB
- Media
- Kementrian Kesehatan
- Kementrian Sosial
- Kementrian Komunikasi dan Informasi
- Basarnas
- TNI
f. Kondisi Rehabilitasi dan Rekonstruksi
- Kementrian PUPR
3. Jika ditinjau dari setiap kondisi, maka kondisi yang paling banyak melibatkan
instansi/kelompok dalam manajemen bencana adalah kondisi darurat bencana
dengan total skor 53, kemudian diikuti oleh kondisi mitigasi dengan total skor 41. Jadi
dapat disimpulkan bahwa kondisi-kondisi yang sangat krusial dalam manjemen

42
bencana adalah kondisi darurat bencana oleh karena perlu dipersiapkan dengan matang
baik dari segi sumber daya manusia maupun fasilitas pendukungnya.

4.3 Peningkatan Kapasitas Lokal dan Pengurangan Kemiskinan dalam Manajemen


Bencana
Risiko bencana merupakan besarnya kerugian atau kemungkinan hilangnya (jiwa,
korban, kerusakan, dan kerugian ekonomi) yang disebabkan oleh bahaya tertentu di suatu
daerah pada suatu waktu tertentu. Untuk mengurangi bahaya atau ancaman bencana serta
kerentanan yang berpotensi menimbulkan bencana, maka perlu adanya peningkatan
kapasitas untuk mencegah, mengurangi, dan menanggulangi risiko bencana.
Pengembangan Kapasitas berkaitan dengan program atau kegiatan meningkatkan
kapasitas masyarakat tangguh dalam menghadapi ancaman bencana. Sasaran akhirnya
adalah masyarakat harus mampu mengantisipasi, siap siaga menghadapi bencana, mampu
menangani kedaruratan (minimal mampu menolong diri sendiri/keluarga) dan mampu
bangkit kembali dari dampak bencana. Atau lebih tepatnya tujuan akhir dari
pengembangan kapasitas ini adalah pembentukan masyarakat tangguh bencana. Untuk
menuju masyarakat tangguh bencana tersebut dapat dilakukan melalui beberapa
program/kegiatan, antara lain :
a. Sosialisasi penanggulangan bencana melalui media massa.
b. Pelatihan manajemen bencana (pencegahan, penanganan dan pemulihan).
c. Kepedulian terhadap cara-cara mitigasi yang dapat diterapkan dan keikutsertaan
masyarakat dalam program kesiapan/kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Selain dari 3 program/kegiatan tersebut, ada potensi sumber daya lokal yang bisa
diterapkan dalam penanggulangan bencan. Indonesia terkenal dengan perilaku gotong
royong dalam berbagai hal. Gotong royong pada dasarnya adalah proses sukarela berbagi
ide, pengorganisasian masyarakat, pengumpulan bahan, kontribusi keuangan, dan
memobilisasi tenaga untuk melaksanakan kegiatan sosial dan budaya .Gotong royong
berakar pada budaya Jawa pedesaan dan mengacu pada prinsip saling membantu antar
tetangga di masyarakat. Gotong royong dijiwai dengan nilai-nilai seperti rasa hormat,
tanggung jawab, solidaritas, berbagi, penguatan, dan tepo seliro. Hal tersebut tersebut
seperti tertuang dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Gotong royong sangat berperan dalam kegiatan pemulihan pascabencana. Gotong
royong bisa melewati batas-batas birokrasi dan dapat secara efektif serta efisien dalam
menyelesaikan suatu keperlaun atau hajat. Kegiatan gotong royong cukup membantu

43
masyarakat terdampak bencana. Gotong royong juga dirasa sangat penting dalam
kebencanaan.
Penanggulangan bencana yang besar memerlukan anggaran yang besar dan
terkadang persediaan dari pemerintah bisa jadi kurang memadai. Melalui kearifan lokal
maka jiwa gotong royong perlu dibangkitkan untuk menghadapi bencana. Potensi rawan
bencana yang telah dideteksi oleh lembaga ilmiah hendaknya diperkuat oleh jiwa gotong
royong masyarakat untuk membuat prasarana dan prosedur mitigasi dalam menghadapi
bencana. Gotong royong memerlukan komitmen dan pengalaman dalam hal manajemen
menghadapi bencana.
Perencanaan dalam menghadapi bencana memerlukan kebijakan daerah dalam
menghadapi bencana alam yang kokoh. Selain dengan regulasi, konsolidasi SDM, dan
memompa jiwa gotong royong, juga dibutuhkan perangkat tekonolog informasi. Dalam
hal ini, teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) sangat berguna untuk membantu
mengantisipasi bencana serta perencanaan yang cepat dalam hal tanggap darurat saat
terjadi bencana alam. Di negara maju, SIG sering digunakan untuk mengatasi bencana
polusi, potensi pergerakan tanah, dan mencari wetland (lahan basah) untuk mengatasi
bencana kekeringan. Pada prinsipnya SIG adalah sistem informasi khusus yang mengelola
data yang memiliki informasi spasial atau bereferensi keruangan.
Rekonstruksi pascabencana memerlukan keterlibatan masyarakat secara aktif
karena selama ini masih belum maksimal. Pemerintah daerah masih lebih banyak mengacu
pada pesanan pemberi bantuan/dana untuk pembangunan fisik di wilayahnya, seperti
rumah tinggal, rumah sakit, puskesmas, dan tempat pelayanan publik lainnya. Akibatnya
tidak sedikit bangunan fisik yang dibangun pada pascabencan kurang sesuai dengan
budaya dan kondisi lokal masyarakat sehingga diharapkan adanya partisipasi dari
masyarakat dalam rekonstruksi pascabencana, misalnya dalam bentuk gotong royong. Dan
sebenarnya sangat dimungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif, meskipun solusi tetap
datang dari luar, mengingat budaya lokal yang menjunjung musyawarah dan gotong
royong.
Penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui tiga tahap mulai dari
prabencana, saat bencana, dan pascabencana. Penanggulangan bencana dapat
memanfaatkan sumber daya manusia yang ada di daerah tersebut. Pada saat pra bencana
masyarakat akan mengantisipasi dengan memberikan peringatan tentang bencana yang
akan terjadi. Kemudian pada saat terjadi bencana masyarakat akan saling membantu sama
lain, dan masyarakat lainnya menyalurkan bantuan berupa sandang, pangan dan papan.

44
Adapun pada pascabencana mereka akan melakukan gotong royong sehingga sumber daya
manusia di suatu daerah tertentu berfungsi dengan baik.

45
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan


Bencana

The United Nations for Disaster Risk Reduction, 2000

Winarno. 2018. Disaster Management. Bahan Ajara Universitas Islam Indonesia

Bakornas PB. 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya Di Indonesia.
Jakarta : Direktorat Mitigasi Lakhar Bakornas PB.

BNPB. 2008. Perka BNPB No. 10 Tahun 2008 Tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat
Bencana. Jakarta : Badan Nasional Penanggulan Bencana.

Devisi Pengembangan Sumber Daya. 2017. Functions Of Management.

Sarwidi. 2014. Pentehuan dasar Kebencanaan dan Kegempaan. Malang : KATIKATA

Widodo. 2012. Seismologi Teknik & Rekayasa Kegempaan. Yogyakarta : PUSTAKA


PELAJAR

IABI. 2016. Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia. Jurnal riset kebencanaan Indonesia Vol.2
No.1 ISSN: 2443-2733.

Bappenas. 2006. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko bencana 2006-2009. Perum
Percetkan Negara RI.

Network:
https://www.kompasiana.com/brama_halilintar/54ffb38fa33311d86450f871/masih-ingatkah-
kita-pentingnya-manajemen-penanggulangan-bencana-di-indonesia

http://sibima.pu.go.id/pluginfile.php/8140/mod_resource/content/1/201610-
CPD%20Ahli%20Arsitektur-03-03-Manajemen%20Bencana%20di%20Indonesia.pdf

http://eprints.umm.ac.id/35917/3/jiptummpp-gdl-dwianitasa-49038-3-babii.pdf

https://www.jurnal.id/id/blog/2017-pengertian-fungsi-dan-unsur-unsur-manajemen/

http://www.ubaya.ac.id/2014/content/articles_detail/139/Pentingnya-Pendidikan-
Kebencanaan.html.

46

Anda mungkin juga menyukai