Abstrak
Pandemi Covid-19 membuat konstelasi politik di Indonesia berubah.
Perubahan konstelasi ini membuat pola hubungan antarpartai, baik di ranah
eksekutif maupun legislatif, menjadi lebih cair. Nuansa kedaruratan membuat
konsensus politik untuk kepentingan penangangan Covid-19 lebih mudah.
Hal ini karena dalam situasi pandemi, peran pemerintah dapat diperkuat serta
munculnya rasa krisis yang dirasakan pemerintah maupun oposisi. Krisis
yang dialami bangsa ini membuat semua elemen bangsa mau tidak mau harus
bersatu mengatasi pandemi yang belum juga berakhir. Kondisi demikian
membuat partai-partai yang belum masuk ke dalam pemerintah
mempertimbangkan untuk bergabung ke dalam koalisi pemerintah. Hal ini
tentunya berpotensi menambah dukungan politik bagi pemerintahan Joko
Widodo, khususnya untuk menangani pandemi Covid-19. Dari tiga partai
yang belum bergabung, PAN dan Partai Demokrat menjadi dua kandidat
serius untuk menjadi bagian dari pemerintahan. Untuk itu, penelitian ini akan
melihat bagaimana konstelasi politik Indonesia di masa pandemi ini sekaligus
melihat potensi dari bertambahnya dukungan politik bagi pemerintah dengan
kemungkinan bergabungnya PAN dan Partai Demokrat. Penelitian ini
dilakukan melalui metode penelitian kualitatif dengan mengambil data-data
melalui sumber sekunder, yaitu buku, jurnal, dan teks-teks lainnya. Temuan
penelitian adalah bahwa konstelasi politik di tengah pandemi akan membuat
partai-partai yang belum bergabung dengan koalisi pemerintah, kecuali PKS,
memiliki potensi tinggi untuk bergabung karena ingin membantu mengatasi
pandemi secara bersama-sama.
Identitas Artikel:
Roudhotul Farida. Konstelasi Politik ditengah Pandemi: Potensi Bertambahnya
Dukungan Partai Politik Bagi Pemerintah. Jurnal Ilmu Pendidikan (JIP)
10
11| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19
PENDAHULUAN
Di tahun 2020 ini dunia dikejutkan dengan pandemi Corona Virus Disease 2019
(Covid-19). Sejak awal tahun, virus ini menyerang hampir seluruh negara di
belahan dunia. Penularan virus ini terjadi sangat cepat dan juga memiliki jangkauan
sangat luas karena terjadi di seluruh dunia. Menurut pandangan penulis, kondisi
demikian membuat konstelasi politik di Indonesia pun mau tidak mau berubah.
Salah satu perubahan yang mungkin terjadi adalah potensi bertambahnya dukungan
partai politik (parpol) bagi koalisi pemerintah yang dikomandoi petahana Joko
Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin. Dukungan ini akan muncul dari partai-partai
oposisi karena mereka pun merasakan dampak dari pandemi sehingga mereka akan
bersama-sama membantu
pemerintah keluar dari krisis Covid-19. Partaipartai oposisi pun akan mendapat
dukungan dari masyarakat karena di tengah pandemi, semua elemen bangsa dapat
bersatu menyelesaikan masalah ini.
Dukungan kursi parpol di parlemen bagi Koalisi Indonesia Maju saat
Jokowi terpilih sebagai presiden pada tahun 2019 lalu adalah sebanyak 349 kursi
DPR (60,69%). Ditambah Partai Gerindra yang masuk ke dalam koalisi, maka total
kursi DPR yang mendukung petahana bertambah 78 kursi menjadi 427 kursi atau
sekitar 70% lebih dari total 575 anggota DPR. Ini artinya, koalisi pendukung
pemerintah menjadi kelompok mayoritas di dalam parlemen dengan oposisi yang
praktis hanya memiliki suara kurang dari 30%. Itu pun dengan catatan Partai
Amanat Nasional (PAN) tidak memutuskan untuk bergabung dengan koalisi
pemerintah serta Partai Demokrat yang sejak tahun 2014 memilih untuk menjadi
oposisi yang konstruktif alias tidak ikut blok mana pun. Dengan demikian, praktis
hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi oposisi dengan kepemilikan
50 kursinya di dewan.
Bertambahnya jumlah koalisi pemerintah bukan barang baru. Pada periode
pemerintahan Jokowi yang pertama pun, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), dan PAN yang mendukung Calon
Presiden Prabowo Subianto saat itu memutuskan untuk bergabung dengan
pemerintah. Sepanjang sejarah pemilu langsung di negeri ini, banyak parpol yang
awalnya berseberangan dengan pemerintah, namun akhirnya merapat dengan
pertimbangan-pertimbangan praktis maupun ideologis.
Definisi koalisi umumnya merujuk pada penggabungan dua parpol atau
lebih berdasarkan kepentingan, arah, atau haluan politik yang sama sehingga
pemerintahan koalisi dapat diartikan sebagai sebuah bentuk pemerintahan yang
terdiri dari dua parpol atau lebih. Menariknya, koalisi pemerintahan biasanya adalah
gabungan parpol di dalam sebuah sistem parlementer yang multipartai. Tidak
banyak negara dengan sistem presidensial, namun multipartai bahkan membentuk
koalisi parpol. Secara teori memang model-model koalisi amat beragam sehingga
hal tersebut dimungkinkan untuk terjadi.
Volume X, No. X, Mei 2021 |12
Pandemi Covid-19 membawa arah baru bagi peta perpolitikan di Indonesia. Tidak
hanya perubahan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 yang harusnya diadakan pada
23 September menjadi 9 Desember, namun juga hubungan antara parpol pendukung
pemerintah dengan parpol yang berada di luar Koalisi Indonesia Maju. Hubungan
tersebut berubah karena terjadinya pandemi yang membuat partai-
partai tersebut mengevaluasi ulang arah dan kebijakan politiknya di era kenormalan
baru ini. Namun, sebelum penulis membahas terkait hubungan antarpartai tersebut
serta kaitannya dengan potensi penambahan dukungan bagi pemerintahan Jokowi,
13| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19
akan dibahas terlebih dahulu alasan-alasan yang membuat konstelasi politik di era
pandemi ini bisa berubah.
Terdapat tiga parameter yang disebabkan oleh pandemi yang membuat
konstelasi politik di Indonesia mengalami perubahan. Pertama, berubahnya
ekosistem politik karena pandemi. Ekosistem politik saat pandemi ditandai dengan
peran pemerintahan yang diperkuat guna menangani krisis. Dalam setiap krisis ada
tendensi penguatan peran penguasa, baik dengan alasan yang terkait kebencanaan,
peperangan, ataupun krisis lainnya. Atas nama memulihkan krisis, pemerintah
dapat melakukan segala sesuatu yang dianggap penting. Dalam kondisi seperti ini,
pemerintah kemudian menjadi cenderung memiliki banyak hak bahkan privilege,
termasuk membuat berbagai aturan yang bersifat restriksi atau diskresi. Aturan
khusus negara dapat memasuki ranah-ranah privat dan pemerintah dapat
menerapkan itu secara sepihak. Di banyak negara, aturan lockdown ataupun
karantina tidak memerlukan persetujuan dari masyarakat sehingga pada masa krisis
dikenal kondisi “More State, Less Private”.
Selain itu, pemerintah juga memiliki hak menggunakan segenap sumber daya
yang ada untuk dapat membawa negara keluar dari kondisi krisis. Ini
memungkinkan negara mengeluarkan pengaturan yang bersifat khas demi
pemanfaatan sumber daya semaksimal mungkin. Di negara kita bahkan
dimungkinkan adanya sebuah pelaksanaan kebijakan terkait pandemi tanpa perlu
adanya pengawasan, sejauh itu didasarkan pada “iktikad baik” untuk penyelesaian
masalah Covid-19. Dengan melihat ekosistem politik seperti ini, terasa sekali
nuansa penguatan peran dan kedudukan pemerintah atau negara menjadi sesuatu
yang tidak dapat dihindari.5 Bertambahnya peran pemerintah ini memang
ditakutkan akan mengancam kehadiran oposisi, khususnya dari parlemen. Bisa jadi
akan terjadi kebuntuan antara eksekutif dengan legislatif apalagi di dalam sistem
presidensial seperti di Indonesia ini. Menurut Mainwaring, yang dikutip dari Efriza
dan Indrawan, kebuntuan dan kemandekan antara dua lembaga tersebut sering
menjadi masalah besar dalam sistem presidensial. Namun, Mainwaring
memberikan solusi dengan tetap memisahkan kedua kekuasaan tersebut, tetapi
tidak menyeimbangkan keduanya. Dengan demikian, kekuasaan presiden
ditingkatkan, sementara kekuasaan legislatif dikorbankan. Hal ini berguna untuk
menjadikan presiden sebagai penggerak sistem pemerintahan yang lebih aktif dan
efektif.
Adanya nuansa kedaruratan juga dapat menuntut masyarakat untuk lebih taat.
Di beberapa negara, misalnya, sudah digunakan terminologi “we are at war!”
Begitu juga akhirnya di Indonesia, pemerintah, terutama melalui Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19, sudah menggunakan istilah perang. Vietnam
telah menggunakan istilah ini tak lama setelah adanya penyebaran virus Covid-19.
Makna dari peperangan ini adalah perlunya suatu komando dan disiplin khas perang
sehingga diharapkan adanya sebuah kepatuhan umum baik masyarakat maupun
internal pemerintah sendiri agar dapat memenangkan perang itu. Tidak lama setelah
ditetapkannya status Bencana Nasional, Presiden Jokowi bahkan sempat
melontarkan wacana “darurat sipil” yang mengarah pada bentuk pemerintahan
darurat bernuansa militeristik. Belakangan, Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19, bahkan sudah menggunakan lagi seragam
militernya dalam menyampaikan pesan-pesan terkait penanganan virus ini yang
secara simbolis menguatkan kesan perang itu.
Volume X, No. X, Mei 2021 |14
padu untuk melawan musuh besar bangsa saat ini, yaitu virus Corona. Perasaan
bahwa saat ini semua anak bangsa mengalami nasib yang sama akibat pandemi
membuat rasa persatuan semakin kuat. Begitu pula para elite partai yang merasa
bahwa saat ini perbedaan-perbedaan politik marjinal harus dikesampingkan terlebih
dahulu demi kepentingan bangsa dan negara yang jauh lebih besar.
Dilansir dari Berita Satu, Fraksi PDI Perjuangan sebagai fraksi terbesar di
parlemen meminta semua pihak untuk bersatu melawan Corona. Menurut
Sekretaris Fraksi PDIPerjuangan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), T.B.
Hasanuddin, sekarang adalah saatnya bergotong royong untuk kerja demi
keselamatan masyarakat. Saat ini, yang terpenting adalah seluruh elemen bangsa
bahumembahu dan bergotong royong bersamasama untuk melawan Covid-19.
Hasanuddin menambahkan, bahwa kita harus menyatukan tekad dan bersatu demi
keselamatan dan kesehatan rakyat. Hal itu harus dilakukan secara lintas agama,
masyarakat, kementerian, pemerintah daerah, dan tentunya juga partai agar
kesehatan dan keselamatan rakyat terjamin.
Menarik untuk mengutip pernyataan dari Ketua Umum Partai Demokrat, Agus
Harimurti Yudhoyono (AHY), sebuah partai yang tidak masuk ke dalam koalisi
pemerintah. Saat merayakan hari raya Idulfitri beberapa waktu yang lalu, AHY
memberikan pernyataan simpatik. Baginya, momentum Lebaran kali ini terasa
sangat berbeda dari Lebaran-Lebaran sebelumnya karena adanya Covid-19. Idulfitri
memang berbeda, namun semangat kemenangan yang dibawa harus bisa
menyatukan bangsa ini untuk melawan pandemi. Untuk itu, semua komponen
bangsa harus meningkatkan solidaritas kebangsaan agar mampu menghadapi
ujian ini.
Kemudian, dari Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) yang hingga kini
belum memutuskan untuk bergabung atau tidak ke dalam pemerintahan, juga
mengajak masyarakat untuk bersatu menghadapi Covid-19. Sebagai Wakil Ketua
MPR, Zulhas mengajak masyarakat untuk memahami dan mengamalkan empat
pilar kebangsaan. Hal tersebut dapat berguna untuk mempererat persatuan dan
kesatuan bangsa menghadapi masalah-masalah yang ada, terutama pandemi Covid-
19. Zulhas meminta masyarakat bersatu dan bekerja sama untuk membantu
pemerintah agar bangsa kita bisa lepas dari krisis ini. Zulhas pun meminta kepada
seluruh elemen politik untuk bersama saling membantu menghadapi pandemi.
“Saatnya bersatu apa pun partainya, kita kan tetap merah putih. Mari kita
bersamasama untuk mengatasi pandemi dan mengatasi krisis ekonomi ini,” tegas
Ketua Umum PAN ini (Harian Momentum, 2020).
Menganalisis pendapat dari beberapa tokoh partai tersebut, termasuk observasi
penulis sendiri sebagai pengajar ilmu politik, penulis yakin bahwa konstelasi politik
di Indonesia memang mengalami perubahan yang signifikan. Adanya pandemi
membuat pola hubungan antarpartai, baik di ranah eksekutif maupun legislatif,
menjadi lebih cair. Lebih mudah tercipta konsensus-konsensus politik untuk
Volume X, No. X, Mei 2021 |16
, menurut penulis ada dua partai yang memiliki kesempatan besar untuk
bergabung ke dalam koalisi pemerintah, yaitu PAN dan Demokrat. Namun,
bagaimana dengan PKS? Penulis tidak memasukkan partai ini karena berdasarkan
observasi penulis selama setahun ini sejak pemerintahan Jokowi periode kedua
terbentuk, partai besutan Mohamad Sohibul Iman ini tidak memberikan indikasi
jelas untuk merapat ke Istana Negara. Dalam banyak kesempatan, PKS selalu
berada dalam posisi berlawanan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. PKS
seperti ingin memperlihatkan keseriusannya dalam beroposisi seperti pada tahun
2014–2019 lalu.
Menurut Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, PKS khawatir jika mayoritas
parpol bergabung ke dalam koalisi pemerintah, maka akan memunculkan sebuah
sistem oligarki, yaitu pemerintahan hanya akan dijalankan oleh beberapa orang dari
kelompok tertentu saja. Jika itu terjadi, tidak akan terjadi adu argumen atau adu
kualitas gagasan dalam konteks demokratis, namun yang ada hanya kepentingan
pragmatisme sesaat oleh kelompok tertentu. Oposisi akan tetap dibutuhkan jika
ingin demokrasi kita tidak mengalami kemunduran. Kekuatan penyeimbang
diperlukan sebagai check and balance keputusan politik yang diambil pemerintah.
Setelah PKS tidak masuk dalam hitungan parpol yang akan bergabung dengan
koalisi pemerintah, kemudian bagaimana dengan PAN? Partai besutan Zulhas ini
sejak awal pemerintahan Jokowi yang kedua sebenarnya sudah mulai mendekat
untuk bergabung. Pada periode pemerintahan pertama lalu, PAN bergabung sejak
September 2015. Bisa jadi mendekati akhir tahun ini atau bahkan di bulan
September 2020 ini, (saat tulisan ini dibuat,
PAN belum memutuskan untuk bergabung) PAN akhirnya memutuskan untuk
napak tilas kondisi pada periode pertama lalu.
Keinginan PAN untuk bergabung dari awal pemerintahan Jokowi terbentuk
terlihat dari pernyataan Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan, hanya 3 bulan
setelah Pemilu 17 April 2019 lalu. Bara mengatakan saat itu bahwa PAN ingin
bergabung dalam koalisi pemerintah. PAN juga ingin bergabung tanpa syarat apa
pun karena menghormati Pak Jokowi sebagai pemenang pilpres. Kedaulatan ada di
tangan rakyat dan rakyat sudah memberikan kedaulatan untuk presiden terpilih.
Oleh karena itu, jatah menteri adalah prerogatif dan otoritas presiden. Bara juga
menegaskan bahwa ide pembagian kekuasaan 55–45 persen (alokasi kursi di
parlemen) antara koalisi dengan oposisi bertentangan dengan sistem presidensial
yang kita anut. Untuk itu, PAN menyatakan kesediaannya bergabung untuk
membantu pemerintahan Jokowi.
Pernyataan Bara sebenarnya menyambung dari klaim Ketua Umum PAN
sehari sebelumnya (22 Juli 2019) yang menyatakan bahwa PAN siap mendukung
pemerintahan Jokowi dan Ma’ruf Amin tanpa syarat. Menurut sistem pemerintahan
presidensial di Indonesia, tidak ada koalisi atau oposisi yang permanen. Bisa saja
di pusat, kita bersama, tetapi di daerah beroposisi. Koalisi didasarkan pada
Pancasila dengan musyawarah mufakat. Pada kesempatan itu juga, Zulhas
mendoakan kesuksesan pemerintahan yang baru terpilih. Zulhas menambahkan,
PAN secara tanpa syarat akan mendukung pemerintahan Jokowi yang mempunyai
Volume X, No. X, Mei 2021 |18
Analisis penulis dari dua pertemuan antara Zulhas dengan Presiden Jokowi
yang diadakan saat pandemi ini, kembali menunjukkan keinginan PAN untuk
menambah jumlah parpol yang ada di Koalisi Indonesia Maju dan mendukung
pemerintah. Sekalipun keinginan untuk bergabung ini sudah sejak awal
pemerintahan Jokowi-Amin, namun nampaknya suasana pandemi semakin
menguatkan niat PAN. Apalagi di tengah ancaman Covid-19 yang belum mereda,
penulis merasa bahwa PAN ingin mengumpulkan sumber daya untuk bersama-
sama keluar dari krisis ini. Di luar sisi pragmatisme politik yang kebanyakan
mewarnai niatan koalisi, pandemi Covid-19 sepertinya memang membuat
konstelasi politik berubah cukup signifikan.
19| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19
Namun, apakah perubahan konstelasi politik yang diakibatkan pandemi ini juga
berlaku untuk Partai Demokrat, sebagaimana halnya PAN? Berkaca dari konstelasi
politik pada pemerintahan Jokowi periode pertama lalu, isu bergabungnya
Demokrat juga kerap kali santer terdengar. Namun pada kenyataannya, partai yang
saat itu masih dikomandoi oleh Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) ini tidak juga memutuskan untuk menjadi bagian dari koalisi, bahkan hingga
akhirnya pemilu 2019 dilaksanakan. Sepanjang 2014–2019, Demokrat tetap berada
di luar pemerintahan dengan sekali-kali mendukung kebijakan Jokowi-JK ketika
itu, khususnya jika berkelindan dengan kepentingan Demokrat sendiri.
Pada periode pertama pemerintahannya, Presiden Joko Widodo sempat
beberapa kali bertemu SBY untuk membahas persoalan bangsa walaupun menurut
penulis, pertemuan dua tokoh besar politik nasional tidak mungkin tidak bicara
potensi koalisi. Pada periode kedua ini, SBY sempat sekali bertemu dengan
Presiden Jokowi pada tanggal 10 Oktober 2019. Pada pertemuan tersebut, Jokowi
mengaku bahwa pembicaraan yang mereka lakukan seputar rencana koalisi
walaupun belum mencapai kesepakatan final. Selain itu, pertemuan saat itu juga
membahas kemungkinan AHY untuk menjadi salah satu menteri kabinet.
Namun kenyataannya, nama AHY tidak masuk kabinet Indonesia Maju.
Selain itu, hubungan kurang mesra antara SBY dengan Ketua Umum PDI-
Perjuangan Megawati Soekarnoputri juga bisa menjadi penghambat rajutan tali
koalisi antara Mercy dengan Banteng. Mercy adalah sebutan bagi Partai Demokrat
karena lambang partainya menyerupai logo Mercy, sedangkan Banteng adalah logo
PDIPerjuangan yang membuat partai tersebut sering disebut sebagai partai
Banteng. Situasi demikian membuat penulis sebenarnya tidak terlalu yakin,
awalnya, jika Demokrat bersedia bergabung secara terang-terangan seperti PAN,
misalnya, untuk masuk koalisi pemerintah. Akan tetapi, kondisi pandemi sangat
mungkin mengubah konstelasi politik mini antara Demokrat dengan PDI-
Perjuangan.
Beberapa tokoh partai lain malah menyatakan harapannya agar partai
besutan AHY itu bergabung dengan koalisi Indonesia Maju. Ketua MPR Bambang
Soesatyo yang akrab disapa Bamsoet, misalnya, berkeinginan agar Demokrat
bergabung dengan koalisi pemerintah saat ini untuk mempercepat dan
memperkokoh pembangunan yang dikerjakan pemerintah. Bamsoet ingin agar
Demokrat bergabung untuk memperkuat pemerintahan Jokowi-Amin karena jika
pemerintah kuat, peta pembangunan nasional akan bisa berjalan baik sesuai dengan
jadwal yang telah ditetapkan. Adanya Demokrat bukan untuk membangun koalisi,
tetapi untuk menjaga situasi negara tetap kondusif, koalisi hanyalah bonus.
Suara dari dalam koalisi pemerintah sendiri, kali ini dari Politisi Partai
Nasdem Taufiqulhadi, juga seirama dengan Bamsoet. Taufiqulhadi berpendapat
bahwa Demokrat memiliki sikap politik yang jelas dari awal serta juga
berkontribusi untuk mendukung agenda kampanye Jokowi pada pilpres 2019 lalu.
Volume X, No. X, Mei 2021 |20
parlemen, konstelasi politik di era pandemi ini berubah signifikan. PKS sebagai
satu-satunya partai oposisi yang masih tersisa tentu akan mengalami kesulitan
menjalankan perannya. Pada bagian berikutnya penulis akan membahas dampak
yang timbul terhadap koalisi pemerintah, termasuk dampaknya secara umum
terhadap konstelasi politik di Indonesia.
benar. Jika konstelasi politiknya seperti ini, oposisi hanya akan menjadi macan
ompong yang tidak memiliki gigi, apalagi nyali untuk mengkritik presiden.
Akibatnya, bisa saja terjadi kekuasan tanpa kontrol. Kekuasaan yang tidak dikontrol
bisa berujung pada absolutisme dan juga korupsi.
Namun, tanpa dukungan parlemen, eksekutif akan kesulitan mengambil
keputusan, seperti halnya pemerintahan Gus Dur, Mega, dan SBY di atas. Peta
politik yang demikian dalam penyusunan maupun perombakan kabinet
menyebabkan terjadinya tarik-menarik yang luar biasa sehingga membutuhkan
banyak energi politik. Akibatnya, pemerintah akan lambat bertindak dan tidak
efektif dalam menjalankan tugas dan kebijakannya.
Bagi penulis, situasi pandemi Covid-19 seperti ini membuat Presiden
Jokowi lebih leluasa dalam memanfaatkan dukungan dari partai-partai
nonkoalisinya agar langkahlangkah penanganan pandemi tidak menemui hambatan
politis di parlemen. Langkah ini menjadi bagian dari komunikasi politik Jokowi
terhadap parlemen. Dikutip dari Efriza, Jokowi memang dikenal sebagai individu
yang memiliki kepercayaan diri tinggi. Kepercayaan diri tinggi yang melekat
padanya membentuk karakter serta sikapnya. Ia dikenal tegas dan berani dalam
bersikap untuk menentukan sebuah proses politik serta memproduksi pesan politik
sekalipun banyak pihak yang mungkin tidak setuju.
Sikap ini pun seperti gayung bersambut bagi PAN dan Demokrat untuk
mencoba berjalan bersama-sama presiden di dalam perahu koalisi yang sama.
Sekalipun secara teoritis minimnya oposisi akan berdampak kurang baik bagi
demokrasi dan juga berdampak pada disharmoni koalisi pemerintah yang sudah
terbentuk lama, namun krisis yang dialami semua anak bangsa ini akhirnya
membuat perubahan signifikan pada peta konstelasi politik nasional.
METODE PENELITIAN
Tulisan ini merupakan penelitian ini menggunakan kajian pustaka yan memusatkan
perhatian dan kajian pada pelaksanaan isu-isu pembelajaran PKN sebagai
Konstelasi Politik Di Tengah Pandemi Covid 19. Kajian pustaka diambil dari artikel
jurnal dan juga buku yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran PKN,
pentingnya pendidikan moral, pentingnya pendidikan karakter, untuk memberikan
masukan perbaikan pelaksanaan pembelajaran PKN di Indonesia. Dari berbagai
artikel jurnal dan buku kemudian dianalisis sesuai dengan permasalahan yang akan
dibahas untuk memberikan masukan atas permasalahan yang dibahas. Dalam
rangka membahas permasalahan diatas, penulis melakukan penelusuran pustaka
yang akan akan dibahas dalam beberapa sub bahasan, diantaranya kerisauan yang
dialami oleh guru PKN khususnya di Jawa tengah, pelaksanaan pendidikan karakter
di Indonesia, pentingnya peran organisasi seperti MGMP dan Asosiasi perguruan
tinggi khususnya PKN untuk ikut serta mencari solusi dari permasalahan
kebangsaan yang terjadi di Indonesia. Dari hasil analisis diharapkan dapat
25| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19
SIMPULAN
Pandemi Covid-19 membuat konstelasi politik di Indonesia mengalami perubahan.
Dua parpol yang awalnya tidak termasuk dalam koalisi pendukung Presiden Jokowi
memiliki potensi besar untuk bergabung ke dalam pemerintahan. PAN dan
Volume X, No. X, Mei 2021 |26
REFERENSI
Alpandi. “Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan, Zulhas Ajak Warga Bersatu
Hadapi Pandemi covid-19,” 7 Agustus 2020, http://m.
harianmomentum.com/read/26971/ sosialisasi-empat-pilar-kebangsaan-
zulhasajak-warga-bersatu-hadapi-pandemicovid-19, diakses pada 10
Agustus 2020.
27| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19
Jannah, Selfie M. “Ketum PAN Klaim Bakal Dukung Jokowi Tanpa Syarat,” 22
Juli 2019, https://tirto.id/ketum-pan-klaimbakal-dukung-jokowi-tanpa-
syarat-eeM7, diakses pada 9 Agustus 2020.
Liputan6. “Waketum PAN: Kami Betul-Betul Ingin Gabung Pemerintahan
Jokowi-Ma’ruf,” 23 Juli 2019, https://www.liputan6.com/news/
read/4019444/waketum-pan-kami-betulbetul-ingin-gabung-pemerintahan-
jokowimaruf, diakses pada 9 Agustus 2020.
Morgenstern, Scott dan Benito Nacif (eds.). Legislative Politics in Latin America.
Cambridge: Cambridge University Press, 2002.
Mujani, Saiful. Gerak Politik Yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-Prinsip
Lembaga Kepresidenan. Jakarta: Surya Press, 2002.