Anda di halaman 1dari 20

Jurnal Ilmu Pendidikan (JIP) STKIP Kusuma Negara p-ISSN 2085-7411

https://doi.org/10.37640/jip.vXXiX.94 e-ISSN 2623-0380

KONSTELASI POLITIK DI TENGAH PANDEMI:


POTENSI BERTAMBAHNYA DUKUNGAN PARTAI POLITIK
BAGI PEMERINTAH
Roudhotul Farida
Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Buana Perjuangan Karawang
Jl. Ronggo Waluyo Sirnabaya, Puseurjaya, Kec. Telukjambe Timur, Kab.
Karawang, Jawa Barat
Email : ak20.roudhotulfarida@mhs.ubpkarawang.ac.id

Abstrak
Pandemi Covid-19 membuat konstelasi politik di Indonesia berubah.
Perubahan konstelasi ini membuat pola hubungan antarpartai, baik di ranah
eksekutif maupun legislatif, menjadi lebih cair. Nuansa kedaruratan membuat
konsensus politik untuk kepentingan penangangan Covid-19 lebih mudah.
Hal ini karena dalam situasi pandemi, peran pemerintah dapat diperkuat serta
munculnya rasa krisis yang dirasakan pemerintah maupun oposisi. Krisis
yang dialami bangsa ini membuat semua elemen bangsa mau tidak mau harus
bersatu mengatasi pandemi yang belum juga berakhir. Kondisi demikian
membuat partai-partai yang belum masuk ke dalam pemerintah
mempertimbangkan untuk bergabung ke dalam koalisi pemerintah. Hal ini
tentunya berpotensi menambah dukungan politik bagi pemerintahan Joko
Widodo, khususnya untuk menangani pandemi Covid-19. Dari tiga partai
yang belum bergabung, PAN dan Partai Demokrat menjadi dua kandidat
serius untuk menjadi bagian dari pemerintahan. Untuk itu, penelitian ini akan
melihat bagaimana konstelasi politik Indonesia di masa pandemi ini sekaligus
melihat potensi dari bertambahnya dukungan politik bagi pemerintah dengan
kemungkinan bergabungnya PAN dan Partai Demokrat. Penelitian ini
dilakukan melalui metode penelitian kualitatif dengan mengambil data-data
melalui sumber sekunder, yaitu buku, jurnal, dan teks-teks lainnya. Temuan
penelitian adalah bahwa konstelasi politik di tengah pandemi akan membuat
partai-partai yang belum bergabung dengan koalisi pemerintah, kecuali PKS,
memiliki potensi tinggi untuk bergabung karena ingin membantu mengatasi
pandemi secara bersama-sama.

Kata kunci : Demokrat, Koalisi, Konstelasi Politik, Pandemi, PAN.

Dikirim: hari/bulan/tanggal Direvisi: hari/bulan/tanggal


Diterima: hari/bulan/tanggal

Identitas Artikel:
Roudhotul Farida. Konstelasi Politik ditengah Pandemi: Potensi Bertambahnya
Dukungan Partai Politik Bagi Pemerintah. Jurnal Ilmu Pendidikan (JIP)

10
11| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19

PENDAHULUAN
Di tahun 2020 ini dunia dikejutkan dengan pandemi Corona Virus Disease 2019
(Covid-19). Sejak awal tahun, virus ini menyerang hampir seluruh negara di
belahan dunia. Penularan virus ini terjadi sangat cepat dan juga memiliki jangkauan
sangat luas karena terjadi di seluruh dunia. Menurut pandangan penulis, kondisi
demikian membuat konstelasi politik di Indonesia pun mau tidak mau berubah.
Salah satu perubahan yang mungkin terjadi adalah potensi bertambahnya dukungan
partai politik (parpol) bagi koalisi pemerintah yang dikomandoi petahana Joko
Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin. Dukungan ini akan muncul dari partai-partai
oposisi karena mereka pun merasakan dampak dari pandemi sehingga mereka akan
bersama-sama membantu
pemerintah keluar dari krisis Covid-19. Partaipartai oposisi pun akan mendapat
dukungan dari masyarakat karena di tengah pandemi, semua elemen bangsa dapat
bersatu menyelesaikan masalah ini.
Dukungan kursi parpol di parlemen bagi Koalisi Indonesia Maju saat
Jokowi terpilih sebagai presiden pada tahun 2019 lalu adalah sebanyak 349 kursi
DPR (60,69%). Ditambah Partai Gerindra yang masuk ke dalam koalisi, maka total
kursi DPR yang mendukung petahana bertambah 78 kursi menjadi 427 kursi atau
sekitar 70% lebih dari total 575 anggota DPR. Ini artinya, koalisi pendukung
pemerintah menjadi kelompok mayoritas di dalam parlemen dengan oposisi yang
praktis hanya memiliki suara kurang dari 30%. Itu pun dengan catatan Partai
Amanat Nasional (PAN) tidak memutuskan untuk bergabung dengan koalisi
pemerintah serta Partai Demokrat yang sejak tahun 2014 memilih untuk menjadi
oposisi yang konstruktif alias tidak ikut blok mana pun. Dengan demikian, praktis
hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi oposisi dengan kepemilikan
50 kursinya di dewan.
Bertambahnya jumlah koalisi pemerintah bukan barang baru. Pada periode
pemerintahan Jokowi yang pertama pun, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), dan PAN yang mendukung Calon
Presiden Prabowo Subianto saat itu memutuskan untuk bergabung dengan
pemerintah. Sepanjang sejarah pemilu langsung di negeri ini, banyak parpol yang
awalnya berseberangan dengan pemerintah, namun akhirnya merapat dengan
pertimbangan-pertimbangan praktis maupun ideologis.
Definisi koalisi umumnya merujuk pada penggabungan dua parpol atau
lebih berdasarkan kepentingan, arah, atau haluan politik yang sama sehingga
pemerintahan koalisi dapat diartikan sebagai sebuah bentuk pemerintahan yang
terdiri dari dua parpol atau lebih. Menariknya, koalisi pemerintahan biasanya adalah
gabungan parpol di dalam sebuah sistem parlementer yang multipartai. Tidak
banyak negara dengan sistem presidensial, namun multipartai bahkan membentuk
koalisi parpol. Secara teori memang model-model koalisi amat beragam sehingga
hal tersebut dimungkinkan untuk terjadi.
Volume X, No. X, Mei 2021 |12

Teori tentang koalisi berangkat dari praktek-praktek koalisi di tingkat pusat.


Dalam sistem multipartai, koalisi menjadi kajian menarik. Hal ini karena tidak ada
satu parpol yang menguasai eksekutif dan legislatif tanpa bekerja sama dengan
parpol lain. Ada dua kerangka teori koalisi, yaitu office-seeking dan policy-seeking.
Teori office-seeking berdasarkan pada jumlah kursi dan/atau jumlah mitra kerja
sama sebagai pertimbangan utama untuk menciptakan koalisi. Teori policy- seeking
mempertimbangkan pada kebijakan, ideologi, atau platform parpol.
Berkaca dari tulisan Djayadi Hanan, sistem presidensial multipartai yang
diterapkan di Indonesia tidak menyebabkan kegaduhan politik karena pola koalisi
yang dilakukan bersifat longgar. Kondisi ini menyebabkan parpol dapat berperan
sebagai oposisi, tetapi tiba-tiba berganti menjadi pendukung pemerintah jika
kepentingannya sesuai, begitu pula sebaliknya. Selain itu, banyaknya manuver
politik akomodatif yang dilakukan presiden kepada parpol berfungsi untuk
melonggarkan tensi antara parlemen dengan pemerintah.
Dalam kondisi politik biasa, hal-hal di atas cukup sering terjadi dalam
sebuah pemerintahan presidensial multipartai, namun di tengah-tengah pandemi
Covid-19 seperti ini, keinginan bergabung dengan koalisi pemerintah bisa saja
bukan sekedar hasrat politik semata. Ada variabel-variabel lainnya yang juga
menjadi kalkulasi politik parpol-parpol yang sekarang ada di luar pemerintahan.
Dari semua kemungkinan variabel yang ada, utamanya pastilah kondisi pandemi
Covid-19 yang kita semua hadapi bersama, pemerintah maupun oposisi. Di sisi lain,
begitu juga dengan parpolparpol yang sudah berada di dalam koalisi untuk
berhitung untung rugi dan dampak apa yang bisa ditimbulkan jika kedatangan
teman koalisi yang baru.
Atas dasar itulah, tujuan dari tulisan ini adalah ingin menganalisis
kemungkinan Koalisi Indonesia Maju mendapatkan rekan perjuangan yang baru
untuk mengarungi sisa empat tahun pemerintahan Jokowi di tengah krisis yang
terjadi akibat pandemi Covid-19. Analisis penulis akan dimulai dari konstelasi
politik di era pandemi sampai menganalisis partai-partai mana saja yang mungkin
bergabung dengan pemerintah, termasuk dampak yang dapat ditimbulkannya.

Berubahnya Konstelasi Politik Era Pandemi

Pandemi Covid-19 membawa arah baru bagi peta perpolitikan di Indonesia. Tidak
hanya perubahan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 yang harusnya diadakan pada
23 September menjadi 9 Desember, namun juga hubungan antara parpol pendukung
pemerintah dengan parpol yang berada di luar Koalisi Indonesia Maju. Hubungan
tersebut berubah karena terjadinya pandemi yang membuat partai-
partai tersebut mengevaluasi ulang arah dan kebijakan politiknya di era kenormalan
baru ini. Namun, sebelum penulis membahas terkait hubungan antarpartai tersebut
serta kaitannya dengan potensi penambahan dukungan bagi pemerintahan Jokowi,
13| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19

akan dibahas terlebih dahulu alasan-alasan yang membuat konstelasi politik di era
pandemi ini bisa berubah.
Terdapat tiga parameter yang disebabkan oleh pandemi yang membuat
konstelasi politik di Indonesia mengalami perubahan. Pertama, berubahnya
ekosistem politik karena pandemi. Ekosistem politik saat pandemi ditandai dengan
peran pemerintahan yang diperkuat guna menangani krisis. Dalam setiap krisis ada
tendensi penguatan peran penguasa, baik dengan alasan yang terkait kebencanaan,
peperangan, ataupun krisis lainnya. Atas nama memulihkan krisis, pemerintah
dapat melakukan segala sesuatu yang dianggap penting. Dalam kondisi seperti ini,
pemerintah kemudian menjadi cenderung memiliki banyak hak bahkan privilege,
termasuk membuat berbagai aturan yang bersifat restriksi atau diskresi. Aturan
khusus negara dapat memasuki ranah-ranah privat dan pemerintah dapat
menerapkan itu secara sepihak. Di banyak negara, aturan lockdown ataupun
karantina tidak memerlukan persetujuan dari masyarakat sehingga pada masa krisis
dikenal kondisi “More State, Less Private”.
Selain itu, pemerintah juga memiliki hak menggunakan segenap sumber daya
yang ada untuk dapat membawa negara keluar dari kondisi krisis. Ini
memungkinkan negara mengeluarkan pengaturan yang bersifat khas demi
pemanfaatan sumber daya semaksimal mungkin. Di negara kita bahkan
dimungkinkan adanya sebuah pelaksanaan kebijakan terkait pandemi tanpa perlu
adanya pengawasan, sejauh itu didasarkan pada “iktikad baik” untuk penyelesaian
masalah Covid-19. Dengan melihat ekosistem politik seperti ini, terasa sekali
nuansa penguatan peran dan kedudukan pemerintah atau negara menjadi sesuatu
yang tidak dapat dihindari.5 Bertambahnya peran pemerintah ini memang
ditakutkan akan mengancam kehadiran oposisi, khususnya dari parlemen. Bisa jadi
akan terjadi kebuntuan antara eksekutif dengan legislatif apalagi di dalam sistem
presidensial seperti di Indonesia ini. Menurut Mainwaring, yang dikutip dari Efriza
dan Indrawan, kebuntuan dan kemandekan antara dua lembaga tersebut sering
menjadi masalah besar dalam sistem presidensial. Namun, Mainwaring
memberikan solusi dengan tetap memisahkan kedua kekuasaan tersebut, tetapi
tidak menyeimbangkan keduanya. Dengan demikian, kekuasaan presiden
ditingkatkan, sementara kekuasaan legislatif dikorbankan. Hal ini berguna untuk
menjadikan presiden sebagai penggerak sistem pemerintahan yang lebih aktif dan
efektif.
Adanya nuansa kedaruratan juga dapat menuntut masyarakat untuk lebih taat.
Di beberapa negara, misalnya, sudah digunakan terminologi “we are at war!”
Begitu juga akhirnya di Indonesia, pemerintah, terutama melalui Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19, sudah menggunakan istilah perang. Vietnam
telah menggunakan istilah ini tak lama setelah adanya penyebaran virus Covid-19.
Makna dari peperangan ini adalah perlunya suatu komando dan disiplin khas perang
sehingga diharapkan adanya sebuah kepatuhan umum baik masyarakat maupun
internal pemerintah sendiri agar dapat memenangkan perang itu. Tidak lama setelah
ditetapkannya status Bencana Nasional, Presiden Jokowi bahkan sempat
melontarkan wacana “darurat sipil” yang mengarah pada bentuk pemerintahan
darurat bernuansa militeristik. Belakangan, Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19, bahkan sudah menggunakan lagi seragam
militernya dalam menyampaikan pesan-pesan terkait penanganan virus ini yang
secara simbolis menguatkan kesan perang itu.
Volume X, No. X, Mei 2021 |14

Menurut penulis, dalam konteks terjadinya krisis, peningkatan kekuasaan


eksekutif dapat dilakukan. Peningkatan kekuasaan eksekutif ini berhubungan
dengan kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan yang menjalankan
kekuasaan eksekutifnya. Hal ini berguna untuk melakukan konsolidasi segenap
kekuatan dan sumber daya nasional untuk memerangi krisis tersebut. Kondisi
demikian mengubah konstelasi politik negeri ini sehingga kemungkinan terjadinya
perubahan dalam koalisi pendukung pemerintah sangat besar, salah satunya
adalah terkait anggaran yang akan penulis jabarkan berikut ini.
Kedua, timbulnya perubahan anggaran. Menyambung parameter pertama,
bertambahnya kekuasaan eksekutif membuat kuasanya akan anggaran pun ikut
bertambah. Sejak terjadinya pandemi, pemerintah menjadi lebih aktif dalam
pengeluaran anggaran negara. untuk menangani ancaman Covid-19. Anggaran
penanganan Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun dikeluarkan pemerintah sebagai
tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020. Anggaran tersebut akan diberikan
kepada sektor-sektor untuk menangani Covid-19, mulai dari sektor kesehatan
sampai ekonomi serta dampakdampak lain yang diakibatkan Covid-19.
Atas dasar itulah, sangat mungkin bagi pemerintah untuk mengeluarkan lebih
banyak anggaran dengan skema sebagai upaya mengatasi dan mengantisipasi
dampak dari pandemi Covid-19 ini. DPR sejauh ini tidak mempersulit penambahan-
penambahan anggaran tersebut dengan langsung memberikan persetujuan. Tidak
hanya anggaran untuk penanganan pandemi secara umum, beberapa kementerian
juga disetujui untuk menambah anggaran terkait pandemi. Salah satu contohnya
adalah Kementerian Agama, yang penambahan anggarannya disetujui Komisi VIII
DPR senilai Rp2,6 triliun untuk menangani dampak Covid-19 di lembaga-lembaga
keagamaan Islam dan pondok-pondok pesantren.
Sebelum pandemi, tentunya usulan untuk menambah anggaran pemerintah
apalagi kementerian akan mengalami hambatan di dewan. Namun, pandemi
membuat pola distribusi dan alokasi anggaran berubah antara eksekutif dengan
legislatif. Perdebatan, khususnya dari anggota dewan yang tidak berada di dalam
koalisi pemerintah, yang sering menghambat kali ini tidak terjadi. Bagi penulis,
fenomena ini adalah sebuah bentuk dari perubahan konstelasi politik di era pandemi
seperti ini.
Para legislator sadar bahwa ujung tombak penanganan Covid-19 adalah
pemerintah. Dengan demikian, memberikan kekuasaan dan kewenangan yang lebih
besar, termasuk persoalan anggaran, kepada pemerintah esensial untuk dilakukan.
Pola koalisi versus oposisi yang seperti biasa dipertontonkan saat kondisi normal
tidak lagi dipraktekkan. Tentunya, selain bisa membawa pada potensi
bertambahnya parpol pendukung pemerintah, pandemi membuat setiap elemen
bangsa merasa ini saatnya untuk mengesampingkan perbedaan. Pandemi membuat
unsur-unsur politik di pemerintahan maupun di legislatif bersatu. Upaya-upaya
memberantas Covid-19 tidak boleh terhambat karena perbedaan politik belaka.
Parameter ketiga adalah munculnya rasa sense of crisis yang menimbulkan
adanya persamaan nasib. Berangkat dari harmonisnya pola hubungan eksekutif dan
legislatif pada panjelasan sebelumnya, segenap elemen bangsa saat ini harus bersatu
15| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19

padu untuk melawan musuh besar bangsa saat ini, yaitu virus Corona. Perasaan
bahwa saat ini semua anak bangsa mengalami nasib yang sama akibat pandemi
membuat rasa persatuan semakin kuat. Begitu pula para elite partai yang merasa
bahwa saat ini perbedaan-perbedaan politik marjinal harus dikesampingkan terlebih
dahulu demi kepentingan bangsa dan negara yang jauh lebih besar.
Dilansir dari Berita Satu, Fraksi PDI Perjuangan sebagai fraksi terbesar di
parlemen meminta semua pihak untuk bersatu melawan Corona. Menurut
Sekretaris Fraksi PDIPerjuangan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), T.B.
Hasanuddin, sekarang adalah saatnya bergotong royong untuk kerja demi
keselamatan masyarakat. Saat ini, yang terpenting adalah seluruh elemen bangsa
bahumembahu dan bergotong royong bersamasama untuk melawan Covid-19.
Hasanuddin menambahkan, bahwa kita harus menyatukan tekad dan bersatu demi
keselamatan dan kesehatan rakyat. Hal itu harus dilakukan secara lintas agama,
masyarakat, kementerian, pemerintah daerah, dan tentunya juga partai agar
kesehatan dan keselamatan rakyat terjamin.
Menarik untuk mengutip pernyataan dari Ketua Umum Partai Demokrat, Agus
Harimurti Yudhoyono (AHY), sebuah partai yang tidak masuk ke dalam koalisi
pemerintah. Saat merayakan hari raya Idulfitri beberapa waktu yang lalu, AHY
memberikan pernyataan simpatik. Baginya, momentum Lebaran kali ini terasa
sangat berbeda dari Lebaran-Lebaran sebelumnya karena adanya Covid-19. Idulfitri
memang berbeda, namun semangat kemenangan yang dibawa harus bisa
menyatukan bangsa ini untuk melawan pandemi. Untuk itu, semua komponen
bangsa harus meningkatkan solidaritas kebangsaan agar mampu menghadapi
ujian ini.
Kemudian, dari Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) yang hingga kini
belum memutuskan untuk bergabung atau tidak ke dalam pemerintahan, juga
mengajak masyarakat untuk bersatu menghadapi Covid-19. Sebagai Wakil Ketua
MPR, Zulhas mengajak masyarakat untuk memahami dan mengamalkan empat
pilar kebangsaan. Hal tersebut dapat berguna untuk mempererat persatuan dan
kesatuan bangsa menghadapi masalah-masalah yang ada, terutama pandemi Covid-
19. Zulhas meminta masyarakat bersatu dan bekerja sama untuk membantu
pemerintah agar bangsa kita bisa lepas dari krisis ini. Zulhas pun meminta kepada
seluruh elemen politik untuk bersama saling membantu menghadapi pandemi.
“Saatnya bersatu apa pun partainya, kita kan tetap merah putih. Mari kita
bersamasama untuk mengatasi pandemi dan mengatasi krisis ekonomi ini,” tegas
Ketua Umum PAN ini (Harian Momentum, 2020).
Menganalisis pendapat dari beberapa tokoh partai tersebut, termasuk observasi
penulis sendiri sebagai pengajar ilmu politik, penulis yakin bahwa konstelasi politik
di Indonesia memang mengalami perubahan yang signifikan. Adanya pandemi
membuat pola hubungan antarpartai, baik di ranah eksekutif maupun legislatif,
menjadi lebih cair. Lebih mudah tercipta konsensus-konsensus politik untuk
Volume X, No. X, Mei 2021 |16

kepentingan penangangan Covid-19 dibandingkan sebelum pandemi. Atas dasar


perubahan konstelasi politik inilah, penulis berkeyakinan bahwa Koalisi Indonesia
Maju tidak akan lama lagi membuka pintu besar-besar bagi bergabungnya parpol-
parpol baru, seperti yang akan penulis jelaskan pada bagian berikut ini.

Potensi Bertambahnya Partai Partai Baru

Berubahnya konstelasi politik di era pandemi membuka kemungkinan masuknya


parpolparpol baru sebagai pendukung pemerintah. Belajar dari pengalaman
pemerintahan Jokowi pada periode pertama saat Golkar, PPP, dan PAN membelot
sebagai oposisi, membuat potensi bergabungnya PAN, Demokrat, dan PKS ke
dalam Koalisi Indonesia Maju semakin terbuka lebar. Ditambah lagi oleh tiga
parameter terkait pandemi Covid-19 yang penulis sudah jelaskan sebelumnya,
sebetulnya potensi penguatan dukungan politik bagi koalisi presiden sangat
mungkin terjadi.
Koalisi memang fitur dalam sistem parlementer yang terjadi ketika hasil
pemilihan umum menunjukkan tidak ada satu pun parpol mendapatkan suara
mayoritas mutlak sehingga membentuk pemerintahannya sendiri (single party
government). Dalam kondisi tersebut, parpol-parpol saling bernegosiasi untuk
mendapatkan kursi parlemen mayoritas agar dapat memimpin. Negosiasi yang
dilakukan biasanya bertukar kursi kabinet dengan dukungan di parlemen. Koalisi
yang berhasil mendapatkan mayoritas dukungan parlemen, maka mereka dapat
memimpin pemerintahan. Basis negosiasi prioritas adalah preferensi kebijakan
sehingga terbentuk koalisi yang berbasis kebijakan (policy based coalition).
Kesamaan kebijakan menjadi prioritas membangun koalisi karena stabilitas
pemerintahan di sistem parlementer bergantung pada daya tahan koalisi. Di dalam
sistem parlementer, jika koalisi bubar dapat berakibat pada jatuhnya pemerintah.
Sebaliknya, koalisi yang solid dijamin akan selalu mulus dalam membentuk
kebijakan pemerintah yang memerlukan dukungan parlemen.
Walaupun lazimnya merupakan fitur yang terdapat dalam pemerintahan
dengan sistem parlementer, beberapa negara dengan sistem pemerintahan
presidensial juga menggunakan koalisi untuk mengelola pemerintahan mereka.
Bahkan, kecenderungan untuk menggunakan koalisi di dalam sistem presidensial
semakin hari semakin tinggi, seperti halnya dimIndonesia. Di dalam sistem
presidensial, koalisi pemerintahan ala parlementer tidak berlaku karena presiden
secara konstitusional bebas menentukan desain kabinet serta membentuk kabinet
multipartai tanpa harus memperhatikan komposisi kabinet secara proporsional.
Ikatan perjanjian dalam sistem presidensial juga lebih longgar. Pelanggaran
terhadap perjanjian koalisi lebih sering terjadi dan mekanisme penegakkannya lebih
sulit dilakukan. Itulah alasan mengapa menurut penulis sistem koalisi dalam
pemerintahan presidensial sebenarnya kurang tepat untuk dipraktekkan.
17| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19

, menurut penulis ada dua partai yang memiliki kesempatan besar untuk
bergabung ke dalam koalisi pemerintah, yaitu PAN dan Demokrat. Namun,
bagaimana dengan PKS? Penulis tidak memasukkan partai ini karena berdasarkan
observasi penulis selama setahun ini sejak pemerintahan Jokowi periode kedua
terbentuk, partai besutan Mohamad Sohibul Iman ini tidak memberikan indikasi
jelas untuk merapat ke Istana Negara. Dalam banyak kesempatan, PKS selalu
berada dalam posisi berlawanan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. PKS
seperti ingin memperlihatkan keseriusannya dalam beroposisi seperti pada tahun
2014–2019 lalu.
Menurut Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, PKS khawatir jika mayoritas
parpol bergabung ke dalam koalisi pemerintah, maka akan memunculkan sebuah
sistem oligarki, yaitu pemerintahan hanya akan dijalankan oleh beberapa orang dari
kelompok tertentu saja. Jika itu terjadi, tidak akan terjadi adu argumen atau adu
kualitas gagasan dalam konteks demokratis, namun yang ada hanya kepentingan
pragmatisme sesaat oleh kelompok tertentu. Oposisi akan tetap dibutuhkan jika
ingin demokrasi kita tidak mengalami kemunduran. Kekuatan penyeimbang
diperlukan sebagai check and balance keputusan politik yang diambil pemerintah.
Setelah PKS tidak masuk dalam hitungan parpol yang akan bergabung dengan
koalisi pemerintah, kemudian bagaimana dengan PAN? Partai besutan Zulhas ini
sejak awal pemerintahan Jokowi yang kedua sebenarnya sudah mulai mendekat
untuk bergabung. Pada periode pemerintahan pertama lalu, PAN bergabung sejak
September 2015. Bisa jadi mendekati akhir tahun ini atau bahkan di bulan
September 2020 ini, (saat tulisan ini dibuat,
PAN belum memutuskan untuk bergabung) PAN akhirnya memutuskan untuk
napak tilas kondisi pada periode pertama lalu.
Keinginan PAN untuk bergabung dari awal pemerintahan Jokowi terbentuk
terlihat dari pernyataan Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan, hanya 3 bulan
setelah Pemilu 17 April 2019 lalu. Bara mengatakan saat itu bahwa PAN ingin
bergabung dalam koalisi pemerintah. PAN juga ingin bergabung tanpa syarat apa
pun karena menghormati Pak Jokowi sebagai pemenang pilpres. Kedaulatan ada di
tangan rakyat dan rakyat sudah memberikan kedaulatan untuk presiden terpilih.
Oleh karena itu, jatah menteri adalah prerogatif dan otoritas presiden. Bara juga
menegaskan bahwa ide pembagian kekuasaan 55–45 persen (alokasi kursi di
parlemen) antara koalisi dengan oposisi bertentangan dengan sistem presidensial
yang kita anut. Untuk itu, PAN menyatakan kesediaannya bergabung untuk
membantu pemerintahan Jokowi.
Pernyataan Bara sebenarnya menyambung dari klaim Ketua Umum PAN
sehari sebelumnya (22 Juli 2019) yang menyatakan bahwa PAN siap mendukung
pemerintahan Jokowi dan Ma’ruf Amin tanpa syarat. Menurut sistem pemerintahan
presidensial di Indonesia, tidak ada koalisi atau oposisi yang permanen. Bisa saja
di pusat, kita bersama, tetapi di daerah beroposisi. Koalisi didasarkan pada
Pancasila dengan musyawarah mufakat. Pada kesempatan itu juga, Zulhas
mendoakan kesuksesan pemerintahan yang baru terpilih. Zulhas menambahkan,
PAN secara tanpa syarat akan mendukung pemerintahan Jokowi yang mempunyai
Volume X, No. X, Mei 2021 |18

hak prerogatif untuk memilih menteri-menteri maupun orang-orang yang akan


duduk di dalam pemerintahannya ke depan.
Menindaklanjuti ucapannya, Zulhas di tengah pandemi Covid-19 ini
ternyata sudah dua kali bertemu dengan Presiden Jokowi. Pertemuan pertama
dilakukan pada tanggal 6 Maret 2020 di Istana Negara. Pertemuan tersebut, selain
kangen-kangenan sebagai dua orang sahabat baik yang sudah lama tak bersua,
Zulhas dan Jokowi membahas kondisi bangsa yang memerlukan solusi tepat dan
juga cepat. Sekretaris Jenderal PAN Eddy Suparno mengatakan bahwa pertemuan
antara wakil ketua MPR dan presiden itu hanyalah sekadar bersilaturahmi.
Pertemuan kedua antara Zulhas dengan Jokowi dilakukan pada 20 Juli 2020.
Kali ini, Zulhas mengajak pengurus inti PAN beserta Majelis Penasihat Partai, yang
juga mantan calon wakil presiden 2014, Hatta Rajasa. Karena suasana pandemi,
pertemuan tersebut banyak membahas masalah penanganan Covid-19, khususnya
di bidang ekonomi. Dalam pertemuan yang kembali dilakukan di Istana Negara
tersebut, PAN menyatakan siap membantu Presiden Jokowi keluar dari pandemi
dengan energi yang disatukan. “Kita harus bahumembahu bersama menghadapi
Covid-19.”, kata Wakil Ketua Umum PAN Yandri Susanto.
Berdasarkan pengamat politik Ujang Komarudin, pasca pertemuan elite
PAN dengan Jokowi kemungkinan peluang PAN masuk ke dalam koalisi cukup
besar. Menurut Ujang, PAN lebih nyaman berada di dalam pemerintahan ketimbang
di luar, apalagi partai yang didirikan Amien Rais tersebut memang sudah berada di
dalam koalisi Jokowi jilid pertama. Peluang mendapatkan kursi kabinet terbuka jika
dilakukan reshuffle kabinet yang isunya kencang akan dilakukan bulan Agustus
2020.
Pasca terpilihnya Zulhas sebagai Ketua Umum PAN menggantikan Hatta
Rajasa, arah politik PAN memang mendekat ke arah kekuasaan. Terpilihnya Zulhas
juga mengindikasikan sebuah babak baru di dalam internal tubuh PAN, yaitu
semakin berkurangnya hegemoni Amien Rais yang selama ini menjadi patron klien
dalam struktur kekuatan politik PAN. Koalisi Jokowi akan lebih terbuka menerima
PAN karena partai tersebut adalah simbol kekuatan Muhammadiyah, setidaknya
begitu menurut analisa Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul
Umam.

Analisis penulis dari dua pertemuan antara Zulhas dengan Presiden Jokowi
yang diadakan saat pandemi ini, kembali menunjukkan keinginan PAN untuk
menambah jumlah parpol yang ada di Koalisi Indonesia Maju dan mendukung
pemerintah. Sekalipun keinginan untuk bergabung ini sudah sejak awal
pemerintahan Jokowi-Amin, namun nampaknya suasana pandemi semakin
menguatkan niat PAN. Apalagi di tengah ancaman Covid-19 yang belum mereda,
penulis merasa bahwa PAN ingin mengumpulkan sumber daya untuk bersama-
sama keluar dari krisis ini. Di luar sisi pragmatisme politik yang kebanyakan
mewarnai niatan koalisi, pandemi Covid-19 sepertinya memang membuat
konstelasi politik berubah cukup signifikan.
19| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19

Namun, apakah perubahan konstelasi politik yang diakibatkan pandemi ini juga
berlaku untuk Partai Demokrat, sebagaimana halnya PAN? Berkaca dari konstelasi
politik pada pemerintahan Jokowi periode pertama lalu, isu bergabungnya
Demokrat juga kerap kali santer terdengar. Namun pada kenyataannya, partai yang
saat itu masih dikomandoi oleh Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) ini tidak juga memutuskan untuk menjadi bagian dari koalisi, bahkan hingga
akhirnya pemilu 2019 dilaksanakan. Sepanjang 2014–2019, Demokrat tetap berada
di luar pemerintahan dengan sekali-kali mendukung kebijakan Jokowi-JK ketika
itu, khususnya jika berkelindan dengan kepentingan Demokrat sendiri.
Pada periode pertama pemerintahannya, Presiden Joko Widodo sempat
beberapa kali bertemu SBY untuk membahas persoalan bangsa walaupun menurut
penulis, pertemuan dua tokoh besar politik nasional tidak mungkin tidak bicara
potensi koalisi. Pada periode kedua ini, SBY sempat sekali bertemu dengan
Presiden Jokowi pada tanggal 10 Oktober 2019. Pada pertemuan tersebut, Jokowi
mengaku bahwa pembicaraan yang mereka lakukan seputar rencana koalisi
walaupun belum mencapai kesepakatan final. Selain itu, pertemuan saat itu juga
membahas kemungkinan AHY untuk menjadi salah satu menteri kabinet.
Namun kenyataannya, nama AHY tidak masuk kabinet Indonesia Maju.
Selain itu, hubungan kurang mesra antara SBY dengan Ketua Umum PDI-
Perjuangan Megawati Soekarnoputri juga bisa menjadi penghambat rajutan tali
koalisi antara Mercy dengan Banteng. Mercy adalah sebutan bagi Partai Demokrat
karena lambang partainya menyerupai logo Mercy, sedangkan Banteng adalah logo
PDIPerjuangan yang membuat partai tersebut sering disebut sebagai partai
Banteng. Situasi demikian membuat penulis sebenarnya tidak terlalu yakin,
awalnya, jika Demokrat bersedia bergabung secara terang-terangan seperti PAN,
misalnya, untuk masuk koalisi pemerintah. Akan tetapi, kondisi pandemi sangat
mungkin mengubah konstelasi politik mini antara Demokrat dengan PDI-
Perjuangan.
Beberapa tokoh partai lain malah menyatakan harapannya agar partai
besutan AHY itu bergabung dengan koalisi Indonesia Maju. Ketua MPR Bambang
Soesatyo yang akrab disapa Bamsoet, misalnya, berkeinginan agar Demokrat
bergabung dengan koalisi pemerintah saat ini untuk mempercepat dan
memperkokoh pembangunan yang dikerjakan pemerintah. Bamsoet ingin agar
Demokrat bergabung untuk memperkuat pemerintahan Jokowi-Amin karena jika
pemerintah kuat, peta pembangunan nasional akan bisa berjalan baik sesuai dengan
jadwal yang telah ditetapkan. Adanya Demokrat bukan untuk membangun koalisi,
tetapi untuk menjaga situasi negara tetap kondusif, koalisi hanyalah bonus.
Suara dari dalam koalisi pemerintah sendiri, kali ini dari Politisi Partai
Nasdem Taufiqulhadi, juga seirama dengan Bamsoet. Taufiqulhadi berpendapat
bahwa Demokrat memiliki sikap politik yang jelas dari awal serta juga
berkontribusi untuk mendukung agenda kampanye Jokowi pada pilpres 2019 lalu.
Volume X, No. X, Mei 2021 |20

Ia menambahkan, kader-kader Demokrat sejak awal kakinya sudah melangkah satu


langkah, contohnya banyak juga kader mereka yang memasang gambar dan
spanduk mendukung Jokowi saat kampanye.
Selain itu, isu perombakan menteri yang gencar dihembuskan pada medio
Juli–Agustus pasca buruknya penanganan Covid-19 oleh beberapa menteri,
membuka kesempatan kader Demokrat menduduki posisi tersebut. Jika pun terjadi,
penulis merasa AHY yang saat ini menjabat ketua umum adalah figur yang paling
tepat menjabat sebagai salah satu pembantu presiden. Figur AHY yang relatif
diterima semua pihak, bahkan mungkin juga oleh Ibu Mega, dapat menjembatani
potensi persahabatan kembali SBY-Mega yang selama ini retak pasca Pilpres 2004.
Dengan dukungan Demokrat di koalisi pemerintah, dukungan parpol di DPR akan
mencapai angka 90%.
Indikasi lain potensi bertambahnya dukungan koalisi pemerintah dari Partai
Demokrat adalah bergabungnya putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah
Ma’ruf ke Partai Demokrat. Anak keempat Ma’ruf Amin ini mendapatkan posisi
Wakil Sekretaris Jenderal di bawah kepengurusan AHY. Menurut pengamat Politik
Universitas Hasanuddin Andi Armunanto, bergabungnya Siti Nur Azizah ini
menjadi tanda terbukanya sinyal koalisi, bahkan disinyalir akan menjadi upaya
pendekatan Demokrat untuk mengusulkan AHY dalam pemilu 2024 nanti
berpasangan dengan siapa pun dari koalisi pemerintah, termasuk dengan Ma’ruf
Amin. Selain itu, mengajak putri wapres bergabung dapat membuka komunikasi
politik dengan kalangan ulama. Pemerintah pun diprediksi akan mendukung karena
hanya tinggal melanjutkan program-program Jokowi. Demokrat perlu untuk
mengonsolidasikan lagi partainya menghadapi pemilu 2024 karena sudah hampir 7
tahun tidak lagi berada di lingkar kekuasaan.
Sekalipun masa lalu dua tokoh utama Partai Demokrat dan PDI-Perjuangan
tidak terlalu baik, namun potensi koalisi antara dua partai besar ini untuk sama-
sama menyatukan tekad membawa bangsa ini keluar dari ancaman krisis tidak dapat
dikesampingkan begitu saja. Seperti analisis penulis sebelum-sebelumnya,
konstelasi politik di tengah pandemi Covid-19 ini akan membawa semangat
persatuan yang negeri ini belum lihat sebelumnya. Atas dasar itulah, penulis
menganalisis bahwa ada potensi bagi SBY dan Megawati untuk sama-sama sepakat
bergandengan tangan melupakan friksi masa lalu, kemudian melangkah bersama
menghadapi ancaman pandemi yang belum usai.
Keinginan untuk mengumpulkan sumber daya bersama demi menguatkan
kinerja pemerintah memberantas Covid-19 tampaknya akan menjadi basis utama
dari potensi koalisi di tengah pandemi ini. Khusus PAN dan Demokrat, penulis
merasa bahwa dua partai ini akan segera bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju,
apalagi jika ada perombakan kabinet yang dilakukan presiden. Bertambahnya
dukungan parpol bagi pemerintah tentu akan mempermudah rangkaian kebijakan
yang akan dibuat demi menangani pandemi Covid-19. Dengan dukungan mutlak di
21| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19

parlemen, konstelasi politik di era pandemi ini berubah signifikan. PKS sebagai
satu-satunya partai oposisi yang masih tersisa tentu akan mengalami kesulitan
menjalankan perannya. Pada bagian berikutnya penulis akan membahas dampak
yang timbul terhadap koalisi pemerintah, termasuk dampaknya secara umum
terhadap konstelasi politik di Indonesia.

Dampak Bagi Koalisi Pemerintah


Bertambahnya dukungan parpol bagi koalisi pemerintah tentu membawa dampak
tertentu. Dampak tersebut bisa positif maupun negatif. Dampak tersebut juga bisa
dirasakan langsung oleh Koalisi Indonesia Maju maupun secara tidak langsung
terhadap kehidupan politik di negeri ini. Dukungan mayoritas di parlemen pun tidak
pernah terjadi sejak era reformasi. Di masa pemerintahan SBY saat demokrasi di
Indonesia relatif sudah mulai menemukan kestabilannya, oposisi masih tergolong
cukup kuat dengan kehadiran PDI-Perjuangan di sana. Namun, jika PAN dan
Demokrat bergabung, praktis kubu oposisi hanya menyisakan PKS.
Kehadiran PAN di koalisi bisa jadi malah menimbulkan kisruh di dalam
kubu pemerintah. Berdasarkan analisa pengamat politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati, upaya Zulhas mendekat ke
kubu pemerintah adalah untuk meredam munculnya perselisihan, bahkan timbulnya
faksi di internal PAN, khususnya pasca kongres. Mendapatkan kue kekuasaan
tentunya dapat sedikit menyegarkan kondisi internal partai itu. Namun, PAN juga
dikenal sebagai partai yang tidak konsisten. Sekalipun mendapatkan jatah menteri
dalam pemerintahan Jokowi jilid I, tetapi PAN tetap mendukung Prabowo-Sandi
dalam Pilpres 2019. Wasisto memprediksi masuknya PAN akan berdampak negatif
bagi harmonisasi antarparpol pendukung pemerintah. Bergabungnya PAN
berpotensi menghadirkan friksi antarparpol sehingga muncul instabilitas internal
koalisi.
Begitu pula dengan bergabungnya Partai Demokrat. Menurut peneliti CSIS
Arya Fernandes, ada resiko politik yang tidak menguntungkan bagi Koalisi
Indonesia Maju jika Demokrat diterima. Sebenarnya tidak ada kebutuhan yang
mendesak untuk menambah dukungan parpol, apalagi saat ini dukungan bagi
presiden sudah mutlak. Justru jika koalisi menjadi gemuk, presiden akan kesulitan
melakukan negosiasi dengan partai-partai pendukung terkait kebijakan dan
program pemerintah. Arya menambahkan, dengan memberikan alokasi sumber
daya yang proporsional kepada partai-partai koalisi, posisi presiden harusnya sudah
aman Saat masih menjadi presiden, SBY juga membentuk koalisi gemuk, namun
cenderung rapuh dan terjadi banyak konflik internal. Koalisi yang tidak berdasarkan
kesamaan ideologis tersebut dilakukan di dalam dua kali masa pemerintahannya,
yaitu 2004–2009 dan 2009–2014. Walaupun SBY berusaha menata format
mekanisme internal koalisi seideal mungkin, tetap saja tidak menjamin soliditas
Volume X, No. X, Mei 2021 |22

antarparpol koalisi. Persoalannya, selain personal dan gaya kepemimpinan SBY


serta karakter dari para politisi yang tergabung di dalam koalisi, koalisi gemuk
seperti ini gagal karena SBY seperti berusaha untuk menguatkan sistem presidensial
agar ia dapat mengambil keputusan tanpa melibatkan parlemen secara aktif sebab
merasa semuanya sudah masuk dalam koalisi. Kenyataannya, koalisi yang besar itu
tidak berjalan sebagaimana mestinya karena kerap kali terjadi pasang surut
hubungan eksekutif dengan legislatif, sekalipun dalam satu perahu koalisi.
Kondisi seperti ini tidak hanya dialami oleh SBY, tetapi juga Presiden
Keempat Abdurrahman Wahid dan Presiden Kelima Megawati Soekarnoputri.
Ketiga mantan presiden ini ketika terpilih sebenarnya adalah presiden dengan
dukungan kursi minoritas di parlemen. Basis parpol pendukung mereka tidak
mencapai mayoritas sederhana di parlemen. Atas dasar itu, mereka menyusun
kabinet dengan mengikutsertakan parpol-parpol lainnya yang ketika pencalonan
presiden tidak mendukung mereka. Tujuan membentuk koalisi parpol ini adalah
untuk mengamankan kebijakankebijakan yang dibuat oleh pemerintah di kabinet
mereka masing-masing.
Koalisi dalam sistem presidensial sebenarnya kurang tepat untuk
dipraktekkan, apalagi presidensial yang multipartai seperti di Indonesia. Koalisi
ditengarai bisa menjadi alat untuk meningkatkan daya tawar politik, seperti
ancaman reshuffle oleh presiden kepada menteri dari parpol koalisi, maupun
sebaliknya, ancaman hak angket kepada presiden dari para anggota dewan. Kondisi
demikian akan membuat mekanisme checks and balances tidak efektif dan muncul
disharmoni antara eksekutif dengan legislatif serta sesama rekan koalisi. Sulit untuk
membangun koalisi yang memiliki soliditas tinggi dan juga tahan lama.
Jika sebuah negara presidensial menerapkan sistem multipartai, kombinasi
antara dua hal tersebut dapat memunculkan situasi kurang harmonis antara
eksekutif dengan legislatif, apalagi jika partai pendukung presiden tidak menguasai
kursi mayoritas di parlemen. Dalam situasi itu, stabilitas dan kelangsungan
pemerintahan akan terganggu karena akan banyak terhambat oleh parlemen oleh
karena itu, koalisi sering disebut sebagai “kolusi” dan “kuali nasi”. Istilah ini
digunakan karena pola koalisi yang ada di pusat sering tidak sama dengan daerah.
Pola-pola koalisi yang tidak sinkron seperti ini tidak sesuai dengan teori koalisi
yang secara umum dipahami bersama. Pola koalisi ini memiliki tendensi pragmatis
karena tidak dibangun berdasarkan kesamaan ideologi, namun transaksional.
Sejatinya koalisi itu terbentuk untuk mengusung calon pemimpin
didasarkan pada kesamaan visi, misi, dan ideologi partai sehingga idealisme partai
dapat diperjuangkan, tetapi kenyataannya banyak koalisi partai politik yang dirasa
sangat cair dan penuh kompromi atau transaksional. Artinya, koalisi tersebut
dibangun hanya untuk tujuan memenangkan kontestasi pada pilkada tanpa
menghiraukan ideologi partai. Memudarnya ideologi, visi, dan misi dalam
23| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19

kontestasi politik membuat partai politik cenderung terjebak dalam pragmatisme


dan transaksional politik.
Model koalisi sendiri secara umum ada tiga kategori. Pertama, koalisi
pemenang minimal. Koalisi ini adalah sebuah pemerintahan yang didukung oleh
mayoritas sederhana di dalam badan legislatif. Kedua, koalisi minoritas. Koalisi ini
biasanya terdiri dari parpol kecil yang tidak mendapat dukungan mayoritas di
legislatif. Ketiga, koalisi besar. Koalisi jenis ini menunjuk pada koalisi
pemerintahan yang mendapatkan dukungan mayoritas parpol di legislatif. Koalisi
besar ini sangat memengaruhi relasi kekuasaan antara presiden dengan parlemen.
Itulah sebabnya mengapa Presiden Jokowi memerlukan dukungan yang
kuat dari parlemen. Di tengah pandemi, dibutuhkan kerja sama yang optimal antara
kedua lembaga tinggi negara tersebut, khususnya dalam melakukan upaya-upaya
penanganan Covid-19. Sekalipun resikonya seperti yang penulis jabarkan
sebelumnya, sepertinya kondisi pandemi membuat bola yang dilempar pemerintah
disambut dengan baik oleh partai-partai di luar pemerintah, seperti PAN dan
Demokrat.
Bertambahnya dukungan bagi pemerintah juga berdampak bagi
pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Jika PAN dan Demokrat akhirnya bergabung,
oposisi hanya tersisa kurang dari 10% di parlemen. Demokrasi akan mati suri
karena oposisi tidak efektif. Jumlah koalisi yang besar juga tidak menjadi jaminan
pemerintahan Jokowi akan stabil. Tarik-ulur antarpartai dipastikan sering terjadi
dan bisa saja membangun kekuatan baru di internal koalisi yang akan menyulitkan
kinerja pemerintah. Demokrasi membutuhkan parpol yang bisa memainkan peran
checks and balances atau penyeimbang di parlemen.
Terbukti pada pemerintahan SBY, koalisi gemuknya pun tetap tidak bisa menjamin
stabilitas pemerintahan. Apakah pasca pandemi, misalnya, stabilitas koalisi
pemerintah masih akan tetap terjaga?
Untuk mendapatkan keputusan yang adil, proses pembuatan keputusan di
setiap lembaga perwakilan rakyat harus menjamin kesempatan bagi proses
deliberasi terbuka. Proses pengambilan keputusan juga harus dijamin, tidak hanya
karena dewasa ini terjadi kompetisi antara electoral atau formalistic representation
(representasi oleh penyelenggara negara yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu)
dengan jenis representasi baru yang bersifat informal, seperti LSM dan organisasi
masyarakat sipil (nonelectoral atau substantive representation), tetapi juga karena
partisipasi politik warga negara (participatory democracy) dan representasi
merupakan dua bentuk demokrasi yang saling melengkapi.
PAN dan Demokrat pun menurut penulis bisa juga mengalami kerugian
elektoral jika masuk ke pemerintah. Masyarakat kita yang semakin demokratis
tentunya menginginkan adanya partai-partai yang kritis terhadap pemerintah.
Hadirnya oposisi dapat membantu memastikan demokrasi kita berjalan di jalur yang
Volume X, No. X, Mei 2021 |24

benar. Jika konstelasi politiknya seperti ini, oposisi hanya akan menjadi macan
ompong yang tidak memiliki gigi, apalagi nyali untuk mengkritik presiden.
Akibatnya, bisa saja terjadi kekuasan tanpa kontrol. Kekuasaan yang tidak dikontrol
bisa berujung pada absolutisme dan juga korupsi.
Namun, tanpa dukungan parlemen, eksekutif akan kesulitan mengambil
keputusan, seperti halnya pemerintahan Gus Dur, Mega, dan SBY di atas. Peta
politik yang demikian dalam penyusunan maupun perombakan kabinet
menyebabkan terjadinya tarik-menarik yang luar biasa sehingga membutuhkan
banyak energi politik. Akibatnya, pemerintah akan lambat bertindak dan tidak
efektif dalam menjalankan tugas dan kebijakannya.
Bagi penulis, situasi pandemi Covid-19 seperti ini membuat Presiden
Jokowi lebih leluasa dalam memanfaatkan dukungan dari partai-partai
nonkoalisinya agar langkahlangkah penanganan pandemi tidak menemui hambatan
politis di parlemen. Langkah ini menjadi bagian dari komunikasi politik Jokowi
terhadap parlemen. Dikutip dari Efriza, Jokowi memang dikenal sebagai individu
yang memiliki kepercayaan diri tinggi. Kepercayaan diri tinggi yang melekat
padanya membentuk karakter serta sikapnya. Ia dikenal tegas dan berani dalam
bersikap untuk menentukan sebuah proses politik serta memproduksi pesan politik
sekalipun banyak pihak yang mungkin tidak setuju.
Sikap ini pun seperti gayung bersambut bagi PAN dan Demokrat untuk
mencoba berjalan bersama-sama presiden di dalam perahu koalisi yang sama.
Sekalipun secara teoritis minimnya oposisi akan berdampak kurang baik bagi
demokrasi dan juga berdampak pada disharmoni koalisi pemerintah yang sudah
terbentuk lama, namun krisis yang dialami semua anak bangsa ini akhirnya
membuat perubahan signifikan pada peta konstelasi politik nasional.

METODE PENELITIAN
Tulisan ini merupakan penelitian ini menggunakan kajian pustaka yan memusatkan
perhatian dan kajian pada pelaksanaan isu-isu pembelajaran PKN sebagai
Konstelasi Politik Di Tengah Pandemi Covid 19. Kajian pustaka diambil dari artikel
jurnal dan juga buku yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran PKN,
pentingnya pendidikan moral, pentingnya pendidikan karakter, untuk memberikan
masukan perbaikan pelaksanaan pembelajaran PKN di Indonesia. Dari berbagai
artikel jurnal dan buku kemudian dianalisis sesuai dengan permasalahan yang akan
dibahas untuk memberikan masukan atas permasalahan yang dibahas. Dalam
rangka membahas permasalahan diatas, penulis melakukan penelusuran pustaka
yang akan akan dibahas dalam beberapa sub bahasan, diantaranya kerisauan yang
dialami oleh guru PKN khususnya di Jawa tengah, pelaksanaan pendidikan karakter
di Indonesia, pentingnya peran organisasi seperti MGMP dan Asosiasi perguruan
tinggi khususnya PKN untuk ikut serta mencari solusi dari permasalahan
kebangsaan yang terjadi di Indonesia. Dari hasil analisis diharapkan dapat
25| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19

memberikan masukan, solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh bangsa


Indonesia..

HASIL DAN PEMBAHASAN


World Health Organization (WHO) mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi
global pada tanggal 11 Maret 2020. Covid-19 menyebar dengan cepat ke seluruh
dunia dan berdampak pada kesehatan publik dan perekonomian global. Selain itu,
Covid-19 juga memiliki implikasi politik yang memaksa negara-negara di dunia
untuk menyesuaikan kebijakannya. Hampir seluruh negara di dunia harus bergerak
cepat untuk menerapkan langkah-langkah efektif agar terhindar dari krisis
kesehatan, ekonomi, maupun politik. Hal tersebut tentu menjadi ujian bagi
kapabilitas dan kualitas kepemimpinan pemerintahan baik di tingkat global,
nasional, maupun lokal. Di sisi lain, Covid-19 juga merupakan ujian bagi komitmen
terhadap prinsip demokrasi, misalnya dalam menjamin penyampaian aspirasi di
ruang publik dan memberi kebebasan bagi rakyat untuk terlibat dalam roda
pemerintahan.

Sub Hasil dan Pembahasan 1


Tulisan ini memaparkan konstelasi politik Indonesia di masa pandemi Covid-19
sekaligus melihat potensi bertambahnya dukungan politik bagi pemerintah dengan
kemungkinan bergabungnya PAN dan Partai Demokrat. Temuan penelitian yang
dilakukan M. Prakoso Aji menunjukkan bahwa konstelasi politik di tengah pandemi
akan membuat partai-partai yang belum bergabung dengan koalisi pemerintah,
kecuali PKS, memiliki potensi tinggi untuk bergabung karena ingin membantu
mengatasi pandemi secara bersama-sama.

Sub Hasil dan Pembahasan 2


mengulas tentang evaluasi publik terhadap kinerja pemerintah dalam mengatasi
pandemi Covid-19 dan faktor-faktor penyebabnya. Saiful Mujani melalui
tulisannya yang bersandar pada data yang diambil dari serangkaian survei opini
publik nasional menemukan bahwa model ekonomi politik dapat digunakan untuk
menjelaskan asesmen publik pada kinerja pemerintah dalam menangani pandemi
Covid-19 di tanah air. Studi tersebut memberikan sumbangan baru dari sisi data dan
model teoretis untuk menjelaskan kinerja pemerintah Indonesia dalam kasus
penanganan wabah Covid-19.

SIMPULAN
Pandemi Covid-19 membuat konstelasi politik di Indonesia mengalami perubahan.
Dua parpol yang awalnya tidak termasuk dalam koalisi pendukung Presiden Jokowi
memiliki potensi besar untuk bergabung ke dalam pemerintahan. PAN dan
Volume X, No. X, Mei 2021 |26

Demokrat dalam beberapa kesempatan menyatakan niatnya untuk bergabung ke


dalam Koalisi Indonesia Maju. Kader kedua partai beberapa kali sudah memberikan
pernyataan di media terkait potensi koalisi. Demikian juga pimpinan partai, seperti
Zulhas dan SBY, yang sudah bertemu Presiden Jokowi langsung. Di masa pandemi,
keinginan bergabung tentu bukan saja karena alasan pragmatisme politik belaka,
namun karena ada keinginan untuk mengumpulkan sumber daya bersama demi
menguatkan kinerja pemerintah memberantas Covid-19.
Jika mereka bergabung, tentunya ada dampak yang akan dirasakan oleh kubu
pemerintah, termasuk kemungkinan konflik yang terjadi karena semakin gemuknya
koalisi. Namun, di tengah pandemi dibutuhkan kerja sama yang optimal antara
kedua lembaga tinggi negara tersebut, khususnya dalam melakukan upaya-upaya
penanganan Covid-19. Sekalipun hingga tulisan ini dibuat, kedua partai ini belum
bergabung, akan tetapi potensi itu semakin bertambah tiap harinya, apalagi jika ada
perombakan kabinet yang dilakukan presiden. Bertambahnya dukungan parpol bagi
pemerintah tentu akan mempermudah rangkaian kebijakan yang akan dibuat demi
menangani pandemi Covid-19. Hal ini tampaknya akan menjadi basis utama dari
potensi koalisi di tengah pandemi. Selain itu, menurut penulis, sifat koalisi yang
akan dihasilkan adalah policy seeking. Artinya, pertimbangan PAN dan Demokrat
untuk bergabung dalam koalisi pemerintah didasarkan pada kebijakan, bukan
jumlah kursi. Kebijakan di sini tentunya kebijakan yang terkait upaya-upaya
penanganan Covid-19 yang bisa dirumuskan bersama antara kedua partai tersebut
dengan koalisi pemerintah.
Krisis yang dialami seluruh dunia, termasuk bangsa ini memunculkan adanya
persamaan nasib. Untuk itu, harmonisasi hubungan eksekutif dan legislatif harus
dijaga untuk bersatu melawan Corona. Dengan demikian, konstelasi politik di
tengah pandemi membuat potensi dukungan politik terhadap pemerintahan Jokowi-
Amin bertambah dengan masuknya PAN dan Demokrat. Dengan dukungan mutlak
di parlemen, konstelasi politik di era pandemi ini berubah signifikan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih Saya turunkan atas selesainya penelitian ini kepada segenap
Ibu Lusiana Rahmatiani,M.Pd sebagai Dosen yang telah membimbing mata kuliah
kewarganegaraan terima kasih atas ilmunya, dan berterima kasih kepada kedua
orang tua saya atas segala doa dan dukungannya, lalu kepada teman teman yang
mendukung dengan penuh.

REFERENSI
Alpandi. “Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan, Zulhas Ajak Warga Bersatu
Hadapi Pandemi covid-19,” 7 Agustus 2020, http://m.
harianmomentum.com/read/26971/ sosialisasi-empat-pilar-kebangsaan-
zulhasajak-warga-bersatu-hadapi-pandemicovid-19, diakses pada 10
Agustus 2020.
27| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19

Arsil, Fitra. Teori Sistem Pemerintahan: Pergeseran Konsep dan Saling


Kontribusi Antar Sistem Pemerintahan di Berbagai Negara. Jakarta:
Rajawali Pers, 2017.
Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden. “Pemerintah Kucurkan
Rp405,1 Triliun untuk Tangani Dampak COVID-19,” 1 April 2020,
https://covid19. go.id/p/berita/pemerintah-kucurkanrp4051-triliun-untuk-
tangani-dampakcovid-19, diakses pada 5 Agustus 2020.
Efriza dan Jerry Indrawan. Komunikasi Politik: Pemahaman secara Teoritis dan
Empiris. Malang: Intrans Publishing, 2018.
Efriza dan Jerry Indrawan. Pengantar Politik: Sebuah Telaah Empirik & Ilmiah.
Jakarta: Bumi Aksara, 2019.
Ekowati, Endah Y. “Pragmatisme Politik: Antara Koalisi, Pencalonan, dan Calon
Tunggal dalam Pilkada.” Jurnal Transfromative Universitas Brawijaya 5,
no. 1 (Mei 2019): 16–37.
Era.id. “Golkar Harap Demokrat Bergabung ke Pemerintah,” 19 April 2018,
https://era. id/afair/6896/golkar-harap-demokratbergabung-ke-pemerintah,
diakses pada 9 Agustus 2020.
Erdianto, Kristian. “PKS Khawatir jika Tak Ada Oposisi, Pemerintahan Akan Jadi
Oligarki,” 22 Oktober 2019, https://nasional.
kompas.com/read/2019/10/22/19190971/ pks-khawatir-jika-tak-ada-
oposisipemerintahan-akan-jadi-oligarki, diakses pada 9 Agustus 2020.
Evangelista, Beverly. “Eksistensi Koalisi dalam Sistem Pemerintahan
Presidensial di
Indonesia menurut UUD 1945.” Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 2,
no. 5 (2014): 338–348.
Gual, Marsellnus. “Plintat-plintut PAN dan potensi friksi di koalisi Jokowi,” 20
Februari 2020, https://www.alinea.id/politik/ plintat-plintut-pan-dan-
potensi-friksi-dikoalisi-jokowi-b1ZIj9rHo, diakses pada 12 Agustus 2020.
Hanan, Djayadi. Menakar Presidensialisme Multi Partai di Indonesia. Bandung:
Mizan, 2014.
Haris, Syamsuddin. ”Koalisi Dalam Sistem Demokrasi Presidensial Indonesia:
Faktor faktor Kerapuhan Koalisi Era Presiden Yudhoyono.” Jurnal
Penelitian Politik LIPI 8, no. 1 (2011): 1–14.
Haris, Syamsuddin. Konflik Presiden DPR dan Dilema Transisi Dernokrasi di
Indonesia. Jakarta: Grafiti Press, 2007.
Ibrahim, Gibran Maulana dan Mochamad Zhacky. “PAN Siap Bantu Jokowi
Hadapi Krisis,” 20 Juli 2020, https://news.detik.com/ berita/d-5100990/pan-
siap-bantu-jokowihadapi-krisis, diakses pada 9 Agustus 2020.
Iswinarno, Chandra dan Yosea Arga Pramudita. “Politisi Nasdem: Demokrat
Paling Siap Gabung Pemerintahan,” 29 Juni 2019, https://
www.suara.com/news/2019/06/29/150235/ politisi-nasdem-demokrat-
paling-siapgabung-pemerintahan, diakses pada 9 Agustus 2020.
Volume X, No. X, Mei 2021 |28

Jannah, Selfie M. “Ketum PAN Klaim Bakal Dukung Jokowi Tanpa Syarat,” 22
Juli 2019, https://tirto.id/ketum-pan-klaimbakal-dukung-jokowi-tanpa-
syarat-eeM7, diakses pada 9 Agustus 2020.
Liputan6. “Waketum PAN: Kami Betul-Betul Ingin Gabung Pemerintahan
Jokowi-Ma’ruf,” 23 Juli 2019, https://www.liputan6.com/news/
read/4019444/waketum-pan-kami-betulbetul-ingin-gabung-pemerintahan-
jokowimaruf, diakses pada 9 Agustus 2020.
Morgenstern, Scott dan Benito Nacif (eds.). Legislative Politics in Latin America.
Cambridge: Cambridge University Press, 2002.
Mujani, Saiful. Gerak Politik Yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-Prinsip
Lembaga Kepresidenan. Jakarta: Surya Press, 2002.

Noor, Firman. “Demokrasi Indonesia dan Arah Perkembangannya di Masa


Pandemi COVID-19,” 12 Mei 2020, http://www.
politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politiknasional/1394-demokrasi-indonesia-
danarah-perkembangannya-di-masa-pandemicovid-19, diakses pada 6
Agustus 2020.
Nurhasim, Moch. “Koalisi Nano-Nano Pilkada Serentak 2018.” Jurnal Penelitian
Politik LIPI 15, no. 2 (2018): 129–142.
Paath, Carlos. “Fraksi PDIP Ajak Semua Pihak Bersatu Hadapi Pandemi
Corona,” 17 Maret 2020, https://www.beritasatu.com/ politik/609981-
fraksi-pdip-ajak-semuapihak-bersatu-hadapi-pandemi-corona, diakses pada
6 Agustus 2020.
Pramono, Sidik (ed.). Merancang Sistem Politik Demokratis: Menuju
Pemerintahan
Presidensial yang Efektif. Buku 1. Jakarta: Kemitraan, 2011.
Putri, Budiarti Utami. “Zulkifli Hasan Bertemu Jokowi, PAN: Kangen-
kangenan,” 6 Maret 2020, https://nasional.tempo. co/read/1316288/zulkifli-
hasanbertemu-jokowi-pan-kangen-kangenan/ full&view=ok, diakses pada 9
Agustus 2020.
Ristianto, Christoforus. “Jika Demokrat Bergabung Pemerintah, Jokowi Dinilai
Tak Akan Untung,” 13 Agustus 2019, https://nasional.
kompas.com/read/2019/08/13/16403921/ jika-demokrat-bergabung-
pemerintahjokowi-dinilai-tak-akan-untung?page=all, diakses pada 12
Agustus 2020.
Rizky, Muhamad. “Pengamat Politik: PAN Lebih Senang di Dalam
Pemerintahan,” 21 Juli 2020, https://nasional.okezone.com/
read/2020/07/21/337/2249541/pengamatpolitik-pan-lebih-senang-di-
dalampemerintahan, diakses pada 9 Agustus 2020.
Rmoljabar. “AHY Berharap Pandemi Corona Bisa Membuat Bangsa Indonesia
Bersatu,” 24 Mei 2020, https://rmoljabar.id/ahyberharap- pandemi-corona-
bisa-membuatbangsa-indonesia-bersatu/, diakses pada 10 Agustus 2020.
Sulistyono, Seno T. “SBY dan Jokowi Bahas Rencana Demokrat Gabung
Pemerintah, tapi Belum Sebut Nama yang Masuk Kabinet,” 11 Oktober
29| Roudhotul Farida, Konstelasi Politik Ditengah Pandemi Covid - 19

2019, https:// wartakota.tribunnews.com/2019/10/11/ sby-dan-jokowi-


bahas-rencana-demokratgabung-pemerintah-tapi-belum-sebutnama-yang-
masuk-kabinet, diakses pada 9 Agustus 2020.
Supriyanto, Didik. “Presidensialisme dalam Sistem Multipartai: Demokrasi dan
Pemilu di Brasil dan Indonesia.” Jurnal Pemilu & Demokrasi Perludem 2,
Februari (2012): 71–80.
Suteja, Jaja. “Pengamat: Nur Azizah Ma’ruf Gabung Demokrat, Isyarat SBY
Paketkan MA-AHY,” 17 April 2020, https://www.
beritasatu.com/politik/622153-pengamatnur-azizah-maruf-gabung-
demokratisyarat-sby-paketkan-maahy, diakses pada 9 Agustus 2020.
Watra, Boyke Ledy. “Pengamat: Arah Politik PAN Mendekat Pada Kekuasaan,”
11 Februari 2020, https://www.antaranews.com/ berita/1290834/pengamat-
arah-politikpan-mendekat-pada-kekuasaan, diakses pada 9 Agustus 2020.
Winasih, Ni Wayan Indra, et al. “Peran Partai Politik dan Kalkulasi Elit Terhadap
Karakteristik Koalisi: Studi Kasus Pilkada Serentak di Kabupaten
Karangasem dan Tabanan 2015.” Jurnal Politika Universitas Udayana 1,
no. 1 (2016): 1–15.
Zaking, Saifan. “DPR Setujui Anggaran Tambahan Penanganan Covid-19
Kemenag Rp 2,6 T,” 9 Juli 2020, https://www.jawapos.
com/nasional/09/07/2020/dpr-setujuianggaran-tambahan-penanganan-covid-
19kemenag-rp-26-t/, diakses pada 8 Agustus 2020.

Anda mungkin juga menyukai