Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KELOMPOK

MAKALAH TEORI KONFLIK


MK. PERILAKU SOSIAL MENYIMPANG

Dosen :
GLORIDEI L. KAPAHANG, S.PSI., M.A.

OLEH :
• AVNI PANGEMANAN_18101111
• ABRIELA A. MANOPPO _18101041
• PUTRI M. SENGKEY_18101120
• WEIFINA TOMPUNU_18101073

UNIVERSITAS NEGERI MANADO


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PRODI PSIKOLOGI 2020
KATA PENGANTAR

Syukur kepada Tuhan Yang Esa karena atas ijin dan penyertaan-Nya sehingga sampai saat
ini kita dalam keadaan baik adanya. Atas berkat-Nya pula, proses pembelajaran Mata Kuliah
Prilaku Sosial Menyimpang boleh berjalan baik dengan segala metode dan model yang
sedang kita laksanakan bersama.

Makalah ini berjudul “Teori Konflik” yang merupakan tugas kelompok dalam MK Perilaku
Sosial Menyimpang. Pembuatan makalah ini mempunya makna dan tujuan. Selain sebagai
salah satu unsur penilaian selama proses perkuliahan, juga dimaksudkan sebagai wadah
untuk kami mahasiswa simester IV Prodi Psikologi UNIMA mempelajari materi yang ada
dalam silabus MK ini. Kami diberi tugas oleh Dosen Pengajar dalam MK ini untuk mencari
sendiri materi-materi sesuai Pembagian Kelompok, ini dimaksudkan agar kami dapat
memahami betul materi yang kami cari, analisa dan pelajari sendiri.

Sebagai Mahasiswa yang membuat makalah ini, tidak lupa kami menyampaikan terima kasih
kepada Dosen Pengajar dalam MK Perilaku Sosial Menyimpang yang mau membantu dan
mengarahkan kami khususnya selama perkuliahan MK ini berjalan melalui rancangan-
rancangan metode pembelajaran yang akan kami laksanakan bersama. Tidak lupa juga
terima kasih kepada pihak Prodi Psikologi dan Universitas Negeri Manado yang telah
memfasilitasi kami dengan website khusus Unima yang telah dirancang sedemikan rupa untuk
digunakan oleh Dosen dan Mahasiswa terutama selama mengikuti Perkuliahan Daring
(khususnya dimasa-masa Pandemi Wabah Virus Corona) yang memudahkan Mahasiswa dan
Dosen dapat saling berkomunikasi bahkan menjadi wadah untuk kami tetap dapat
menjalankan proses perkuliahan diantaranya Diskusi sampai pada Pemberian dan
Pemasukan tugas.

Tomohon, 25 Maret 2020

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

i. Latar Belakang

Konflik adalah kata yang tidak asing lagi bagi kita. Saat mendengar kata Konflik, yang ada
dalam pikiran manusia pasti negatif. Manusia secara spontan mengartikan Konflik ini sebagai
sesuatu yang didalamnya ada Pro dan Kontra untuk satu masalah tertentu. Bahkan bagi
sebagain orang, kata Konflik pasti akan ditakuti dan menjadi momok bagi umat manusia
apapun latar belakang dan dimanapun ia berada. Konflik sudah ada sejak manusia diciptakan
diunia ini oleh Tuhan sebagaimana disebutkan dalam literatur agama. Faktor penyebab dan
pemicu konflik dapat dibedakan menjadi beberapa hal misalnya; agama, ekonomi, politik,
budaya, serta aspek-aspek lainnya. Saat kita mendengar kata konflik, kita pasti akan
bertanya-tanya siapa saja yang sedang ada dalam konflik tersebut, apa penyebabnya,
mengapa terjadi konflik, darimana asal mula terjadinya konflik itu.

Saat kita mendengar kata konflik, tidak lupa kitapun akan berpikir bagaimana cara
penyelesaian konflik tersebut. Penyelesaian suatu konflik tentunya harus disesuaikan dengan
pemicunya sendiri. Bahkan kita harus memperhatikan beberapa hal baik individu yang terkait
dalam konflik, lingkungan sekitar dan juga dampak yang terjadi setelah adanya konflik.

Dalam makalah ini, kita tidak hanya akan membahas tentang kata “konflik” ini melainkan
secara lebih luas, kita akan mempelajari, menganalisa melalui pembahasan atau diskusi
bersama tentang “Teori Konflik”. Melalui Teori Konflik, kita akan melihat bagaimana
perubahan-perubahan sosial terjadi dan kemudian capaian-capaian kesepakatan seperti apa
yang diambil oleh masyarakat untuk mengurangi terjadinya perubahan sosial tersebut,
terlebih jika ada perilaku-perilaku dalam masyarakat yang mulai mengalami penyimpangan.

ii. Rumusan Masalah


➢ Bagaimana Sejarah Teori Konflik?
➢ Siapa saja tokoh dalam Teori Konflik?
➢ Apa saja kajian-kajian Teori Konflik?

iii. Tujuan Pembahasan


➢ Mengetahui Sejarah Teori Konflik
➢ Mengetahui tokoh-tokoh dalam Teori Konflik
➢ Mengetahui kajian-kajian dalam Teori Konflik
BAB II
PEMBAHASAN

TEORI KONFLIK

A. Sejarah Teori Konflik

Teori konflik yang muncul pada abad ke sembilan belas dan dua puluh dapat dimengerti
sebagai respon dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga
kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau
akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Mc Quarrie, 1995: 65). Selain itu teori
sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme
struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham
konsensus dan integralistiknya.Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh
klasik seperti Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1864-1920),
sampai George Simmel (1858-1918).

Keempat pemikiran ini memberi kontribusi sangat besar terhadap perkembangan analisis
konflik kontemporer. Satu pemikiran besar lainnya, yaitu Ibnu Khouldoun sesungguhnya juga
berkontribusi terhadap teori konflik. Teori konflik Kholdun bahkan merupakan satu analisis
komprehensif mengenai horisontal dan vertikal konflik.Proposisi ini dipaparkan dalam rangka
untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam masyarakat.

Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat
membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang
berbeda dalam system sosial akan saling mengajar tujuan yang berbeda dan saling
bertanding. Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan–kekuatan yang
saling berlomba dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme
ketidakteraturan sosial (socialdisorder). Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat
terikat bersama adalah kekuatan kelompok atau kelas yang dominant. Para fungsionalis
menganggap nilai-nilai bersama (consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan
bagi teoritis konflik, konsensus itu merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk
memaksakan,nilai-nila.

Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan sosiologi dan
merupakan toeri dalam paradigma fakta sosial. Mempunyai bermacam-macam landasan
seperti teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan
keluar terjadinya konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel berpendapat bahwa
kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang bisa
menyebabkan terjadinya konflik. Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh
kesempurnaannya setelah tradisi pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi atau
pertentangan kelas dari Marx, teori teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber, dan Fakta
sosial dari Durkheim.
B. Kajian Teori menurut para ahli

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui
proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik
yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori ini
didasarkan pada pemilihan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas
dalam masyarakat. Teori konflik ini sebenarnya dibangun dalam rangka untuk menentang
secara langsung terhadap teori fungsionalisme struktural. Karenanya tidak mengherankan
apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang
terdapat dalam teori fungsionarisme struktural.

Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang
paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada
tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif
terhadap teori struktural fungsional.

Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan
perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan
bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas
pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini
berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap
kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran
semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri,
menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar
dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan
tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.

Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori
struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan
dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori
konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan.
Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau
ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan
kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang
berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi.
Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya
perbedaan kepentingan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial.
Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu
terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya
konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai
sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang
dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang
terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori
konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi
modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A.
Coser dan Ralf Dahrendorf.

❖ Lewis A. Coser

Berbeda dari beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang
berbeda yaitu teori kaum fungsional struktural versus teori konflik, Coser mengemukakan
komitmennya pada kemungkinan menyatukan pendekatan tersebut.

Lewis A. Coser (Marga M. Poloma, 1992:103) mengakui beberapa susunan struktural


merupakan hasil persetujuan dan konsensus, yang menunjukkan pada proses lain yaitu
konflik sosial. Dalam membahas berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik yang
realistis dari yang Tidak realities. Konflik yang realities berasal dari kekecewaan
terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan
kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang ditunjuk pada objek yang dianggap
mengecewakan.

Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan
tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model
tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan beberapa ahli
sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan
teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua
pendekatan tersebut.

Berbeda dari beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang
berbeda yaitu teori kaum fungsional struktural versus teori konflik, Coser mengemukakan
komitmennya pada kemungkinan menyatukan pendekatan tersebut.

Lewis A. Coser (Marga M. Poloma, 1992:103) mengakui beberapa susunan struktural


merupakan hasil persetujuan dan konsensus, yang menunjukkan pada proses lain yaitu
konflik sosial. Dalam membahas berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik yang
realistis dari yang Tidak realities. Konflik yang realities berasal dari kekecewaan
terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan
kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang ditunjuk pada objek yang dianggap
mengecewakan.

Dalam hal lain, Lewis A. Coser (Margaret M. poloma, 1992: 113-117) mengemukakan teori
konflik dengan membahas tentang, permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang
intim, fungsionalistas konflik dan kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok
luar dan struktur kelompok sosial, sebagai berikut:

• Permusuhan dalam hubungan sosial yang intim. Bila konflik berkembang dalam
hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realitis dan
nonrealistis lebih sulit untuk dipertahankan. Karena semakin dekat suatu hubungan,
semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanamkan makin besar juga
kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan.
Sedangkan pada hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis,
rasa permusuhan relatif dapat lebih bebas diungkapkan.
• Fungsionalitas konflik. Coser mengutip hasil pengamatan Georg simmel yang
menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang
terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhah dan keseimbangan.
sebagai contoh hasil pengamatan simmel terhadap masyarakat Yahudi, bahwa
peningkatan konflik dalam kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi
dengan dan ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Karena homogenitas mungkin
penting bagi kelangsungan suatu kelompok terisolir yang berarti konflik internal tidak ada,
hal ini dapat juga berarti kelemahan integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat
secara keseluruhan.
• Kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur kelompok
menurut coser, konflik dengan kelompok ruar akan membantu memantapkan batas-batas
struktural. sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi di
dalam kelompok. Tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi merupakan
hubungan timbal-balik paling penting dalam konteks apakah konflik dapat mempertinggi
kohesi kelompok. Bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman dari
luar menjurus bukan pada peningkatan kohesi, tetapi pada kepentingan umum dan
akibatnya kelompok terancam oleh perpecahan.

Bila ditilik teori konflik dari Coser di atas, terlihat bahwa teori yang ia kemukakan berbeda
dengan analisis banyak kaum fungsionalis, yang memandang bahwa konflik itu merupakan
disfunggsional bagi suatu kelompok. Sedangkan Coser memandang kondisi-kondisi di mana
secara positif, konflik membantu mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses
sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya
berbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan para anggota kelompok
melalui pengukuhan kembali identitaskelompok.

Coser juga menyebutkan konflik itu merupakan sumber kohesi atau perpecahan kelompok
tergantung atas asal mula ketegangan, isu tentang konflik, cara bagaimana ketegangan itu
ditangani dan yang terpenting tipe struktur dimana konflik itu berkembang. Berikutnya Coser,
juga menyebutkan bahwa terdapat perbedaan antara, konflik in group dan konflik out Group
antara nilai inti dengan masalah yang lebih bersifat pinggiran,.antara konflik yang
menghasilkan perubahan struktural lawan konflik yang disalurkan melalui lembaga-lembaga
savety value, yaitu salah.satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mernpertahankan
kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Begitu pula antara konflik pada struktur jaringan
longgar dan struktur berjaringan ketat: juga Coser membedakan konflik realistis dengan non
realistis.

Keseluruhan ini merupakan faktor-faktor yang menentukan fungsi konflik sebagai suatu
proses sosial. Teori Coser dapat disebutkan lebih menggambarkan fungsionalisme konflik;
perspektif integrasi dan perseptif konflik bukan merupakan skema penjelasan yang saling
bersaing; keduanya adalah teori-teori parsial yang data atau peristiwanya berhubungan
dengan penjelasan teoritis yang menyeluruh. Konflik dan konsensus, integrasi dan
perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda
merupakan bagian dari setiap system sosial yang dapat dimengerti.

Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial,
mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk
menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk
serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan perspektif
konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup
seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori
sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang
sia- sia). Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max
Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi
bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep
sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan. Penjelasan tentang teori konflik Simmel
adalah pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur
sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang
tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.

Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan
memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik
secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah
kerangka masyarakat.

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan
dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara
dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas
kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang
sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja
kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra- Konsili Vatican
II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah
pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah
memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan
permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan
akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme
khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.
Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah
sistem atau struktur.

❖ Ralf Dahrendorf

Ralf Dahrendorf adalah seorang sosiolog Jerman yang lahir pada tahun 1929. Selama
kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat (1957-1958), ia menyadur kembali teori kelas dan
konflik kelas ke dalam bahasa Inggris (teori Dahrendorf semula diterbitkan dalam bahasa
German). Dahrendorf adalah sarjana Eropa yang sangat memahami teori Marxian. Tetapi,
bagian ujung teori konfliknya terlihat menyerupai cerminan fungsionalisme struktural
ketimbang teori Marxian tentang konflik. Karya utama Dahrendorf adalah Class and Class
Conflict in Industrial Society (1959) adalah bagian paling berpengaruh dalam teori konflik,
tetapi pengaruh itu sebagian besar karena ia banyak menggunakan logika struktural-
fungsional yang memang sesuai dengan logika sosiolog aliran utama. Artinya, tingkat
analisisnya sama dengan fungsionalis struktural (tingkat struktur dan institusi) dan
kebanyakan masalah yang diperhatikan pun sama. Dengan kata lain fungsionalisme struktural
dan teori konflik adalah bagian dari paradigma yang sama. Dahrendorf mengakui bahwa
meski aspek-aspek sistem sosial dapat saling menyesuaikan diri dengan mantap, tetapi dapat
juga terjadi ketegangan dan konflik di antaranya. Seperti halnya Lewis Coser, Dahrendorf juga
merupakan seorang pengkritik fungsionalisme struktural, karena menurutnya telah gagal
memahami masalah perubahan. Sebagai landasan teorinya Dahrendorf tidak menggunakan
teori George Simmel (seperti yang dilakukan Coser) melainkan membangun teorinya dengan
separuh penolakan dan separuh penerimaan serta modifikasi teori sosial Karl Marx.
Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, dan menganggap teori ini
merupakan perspektif yang dapat digunakan untuk menganalisa fenomena sosial. Dahrendorf
menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerjasama (kemudian ia
menyempurnakan sisi ini dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat dianalisa
dengan fungsionalisme struktural dapat pula dianalisa dengan teori konflik dengan lebih baik).
Dahrendorf telah melahirkan kritik penting terhadap pendekatan yang pernah dominan dalam
sosiologi, yaitu kegagalannya di dalam menganalisa masalah konflik sosial. Dia menegaskan
bahwa proses konflik sosial itu merupakan kunci bagi struktur sosial. Bersama dengan Coser,
Dahrendorf telah berperan sebagai suara teoritisi utama yang menganjurkan agar perspektif
konflik digunakan dalam memahami fenomena sosial dengan lebih baik.

Sebagai tokoh utama teori konflik dan merupakan seorang pengkritik fungsionalisme
struktural yang olehnya dianggap gagal memahami masalah perubahan. Sebagai landasan
teorinya tidak menggunakan teori Simmel seperti Coser melainkan ia membangun teorinya
dengan separuh penolakan, separuh menerima serta memodifikasi teori sosiologis Karl Marx.
Seperti Coser, Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, menganggap
teori itu sebagai perspektif yang dapat digunakan untuk menganalisa fenomena sosial.
Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sidikit kerjasama,
kemudian ia menyempurnakan posisi ini dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang
dapat dianalisis dengan fungsionalisme struktural, dapat pula dianalisis dengan teori konflik
dengan lebih baik.

Aspek teori konflik Dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dahrendorf
menganggap fungsi konservatif dari konflik hanyalah satu bagian realitas sosial; konflik juga
menyebabkan perubahan dan perkembangan. Ia berpendapat bahwa segera setelah
kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan
dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik
disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba. Apa pun ciri
konflik, sosiologi harus membiasakan diri dengan hubungan antara konflik dan perubahan
maupun dengan hubungan antara konflik dan status quo.

Dahrendorf melihat teori konflik sebagai perspektif alternatif yang dapat digunakan menurut
situasi. Bila kita tertarik terhadap konflik, kita dapat menggunakan teori konflik; bila kita ingin
meneliti ketertiban kita harus menggunakan perspektif fungsional. Pendirian ini tampaknya
tak memuaskan, karena ada tuntutan yang sangat besar terhadap perspektif teoritis yang
mampu menerangkan konflik dan ketertiban sekaligus.

Fakta kehidupan sosial mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan
distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. Dahrendraf
adalah pencetus pendapat yang mengatakan bahwa masyarakat memiliki dua wajah (konflik
dan konsensus) dan karena itulah teori sosiologi harus dibagi ke dalam dua bagian, teori
konflik dan teori consensus. Teoritisi consensus harus menelaah integrasi nilai di tengah-
tengah masyarakat sementara teoritisi konflik harus menelaah konflik kepentingan dan koersi
yang menyatukan masyarakat di bawah tekanan-tekanan tersebut. Dahrendraf mengakui
bahwa masyarakat tidak mungkin ada tanpa konflik dan consensus, yang merupakan
prasyarat bagi masing-masing. Jadi, kita tidak mungkin berkonflik kecuali terjadi consensus
sebelumnya. Sebagai contoh ibu rumah tangga di Prancis cenderung tidak berkonflik dengan
para pemain catur Chile karena tidak ada kontak antar mereka, tidak ada integrasi
sebelumnyayang menjadi dasar bagi adanya konflik. Sebaliknya konflik dapat mengarah pada
consensus dan integrasi . contohnya adalah aliansi antara Amerika Serikat dengan Jepang
yang berkembang setelah Perang Dunia II. Dahrendraf mengawali pembahasannya dengan,
dan banyak dipengaruhi oleh fungsionalisme structural. Ia mencatat bahwa bagi para
fungsionalis, sistem sosial disatukan oleh kerja sama, sukarela, consensus umum atau
keduanya. Namun bagi teoritisi konflik (atau koersi) masyarakat dipersatukan oleh “kekangan
yang dilakukan dengan paksaan”, sehingga beberapa posisi di dalam masyarakat adalah
kekuasaan yang didelegasikan dan otoritas atas pihak lain. Fakta kehidupan sosial ini
membawa Dahrendraf pada tesis sentralnya bahwa perbedaab distribusi otoritas “ selalu
menjadi factor penentu konflik sosial sistematis”. Dahrendorf memusatkan perhatian pada
struktur sosial yang lebih luas. Dia menyebut otoritas tidak terletak dalam individu tapi dalam
posisi. Sumber struktur konflik harus dicari dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk
mendominasi atau ditundukkan. Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisis konflik adalah
mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Karena memusatkan perhatian
kepada struktur berskala luas seperti peran otoritas itu, Dahrendorf ditentang para peneliti
yang memusatkan perhatian pada tingkat individual.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

➢ Lewis A. Coser (Margaret M. poloma, 1992: 113-117) mengemukakan teori konflik dengan
membahas tentang, permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang intim,
fungsionalistas konflik dan kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok
luar dan struktur kelompok sosial, sebagai berikut:
• Permusuhan dalam hubungan sosial yang intim. Bila konflik berkembang dalam
hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realitis dan
nonrealistis lebih sulit untuk dipertahankan. Karena semakin dekat suatu hubungan,
semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanamkan makin besar juga
kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan.
Sedangkan pada hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan
bisnis, rasa permusuhan relatif dapat lebih bebas diungkapkan.
• Fungsionalis konflik. Coser mengutip hasil pengamatan Georg simmel yang
menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang
terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhah dan keseimbangan.
sebagai contoh hasil pengamatan simmel terhadap masyarakat Yahudi, bahwa
peningkatan konflik dalam kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi
dengan dan ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Karena homogenitas mungkin
penting bagi kelangsungan suatu kelompok terisolir yang berarti konflik internal tidak
ada, hal ini dapat juga berarti kelemahan integrasi kelompok tersebut dengan
masyarakat secara keseluruhan.
• Kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur
kelompok menurut coser, konflik dengan kelompok ruar akan membantu
memantapkan batas-batas struktural. sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga
dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Tingkat konsensus kelompok
sebelum konflik terjadi merupakan hubungan timbal-balik paling penting dalam
konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi kelompok. Bilamana konsensus
dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman dari luar menjurus bukan pada
peningkatan kohesi, tetapi pada kepentingan umum dan akibatnya kelompok
terancam oleh perpecahan.
➢ Dahrendorf adalah tokoh utama teori konflik dan merupakan seorang pengkritik
fungsionalisme struktural yang dianggap gagal memahami masalah perubahan. Sebagai
landasan teorinya tidak menggunakan teori Simmel seperti Coser melainkan ia
membangun teorinya dengan separuh penolakan, separuh menerima serta memodifikasi
teori sosiologis Karl Marx. Seperti Coser, Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik
sebagai teori parsial, menganggap teori itu sebagai perspektif yang dapat digunakan
untuk menganalisa fenomena sosial. Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda,
memiliki sisi konflik dan sidikit kerjasama, kemudian ia menyempurnakan posisi ini dengan
menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat dianalisis dengan fungsionalisme
struktural, dapat pula dianalisis dengan teori konflik dengan lebih baik. Aspek teori konflik
Dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dahrendorf menganggap fungsi
konservatif dari konflik hanyalah satu bagian realitas sosial; konflik juga menyebabkan
perubahan dan perkembangan. Ia berpendapat bahwa segera setelah kelompok konflik
muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur
sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai
tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba. Apa pun ciri konflik,
sosiologi harus membiasakan diri dengan hubungan antara konflik dan perubahan
maupun dengan hubungan antara konflik dan status quo. Dahrendorf melihat teori konflik
sebagai perspektif alternatif yang dapat digunakan menurut situasi.

Anda mungkin juga menyukai