Anda di halaman 1dari 1

Tidak terjawab. Lagi.

Younghoon seharusnya mengerti, kejadian ini terulang tak satu dua kali.

Batinnya berteriak,

Juyeon, kamu dimana?

Malam itu, ia ditemani salju yang mengucur deras, sama seperti air matanya.

Paginya dibuat terkejut karena mendapati dirinya tidur di kasur empuk. Matanya berpendar dan
mendapati Juyeon di hadapan cermin, melilitkan dasi tak tentu arah.

“Kok nggak bangunin?”

Juyeon menatap lewat kaca yang memantul, penampakan Younghoon mengerikan, aslinya. Rambut
seperti sarang burung dan mata membengkak seperti dipukul preman. Mana tega ia membangunkan
orang yang tidurnya saja kelihatan merana.

“Lo keliatan capek, gak tega,” akunya jujur.

Younghoon beranjak, mendekati Juyeon dan tiba-tiba menggaet dasi yang dari tadi sibuk diputar
balikkan. “Kasihan dasinya dipegang sama orang nggak ahli,”

Juyeon mengernyitkan alisnya, “Lo kaya istri gue,”

Pemuda di depannya mendengus. Juyeon dan segala ucapan blak-blakannya.

“Kalau ngomong difilter, gue cowo,”

Yang di omeli cuma meringis. Tangannya menepuk pundak Younghoon pelan, menghantarkan ucapan
terima kasih.

Younghoon beranjak, derapnya pasti menuju dapur. Sudah pasti Juyeon belum membuat sarapan.
Younghoon tidak tega, anak itu gampang sakit.

“Jangan dibawain salad lagi ya, Hoon. Nggak mau makan sayur pokoknya nggak mau atau bekalnya gue
buang!” Juyeon berteriak dari pintu kamar.

“Masih mending dibikinin, beli aja kalau gitu,” pemuda itu berucap tenang. Tangannya bersedekap,
sombong ceritanya.

Juyeon menghentakkan kakinya, “Kok gitu sih? Nggak sayang lagi ya?”

“Jangan bikin geli, Ju. Jadi gimana, mau salad atau beli sendiri?”

Anda mungkin juga menyukai