Anda di halaman 1dari 6

MATERI KE 2:

A. Dr. Muhamad Fajar Pramono, M.Si dalam SOSIOLOGI AGAMA DALAM


KONTEKS INDONESIA (2017) menjelaskan agama dalam pengertian
Edward Burnett Tylor yang mengaitkan kemunculan agama dengan
perkembangan manusia. Menyebutkan bahwa agama merupakan suatu
sistem yang muncul dikarenakan kegelisahan manusia dalam
pencariannya akan suatu dzat yang mengatur kehidupan dan
kematiannya. Berdasarkan penelitiannya terhadap masyarakat suku-
suku primitif di Amerika Selatan dan Australia, Tylor lebih
memfokuskan pada Perbedaan antara kehidupan dan kematian yang
terjadi pada manusia primitif. Faktor itulah yang kemudian menjadi
rujukan pokok E.B Tylor tentang agama. Dalam teorinya animisme,
Tylor menyebutkan bahwa manusia primitif dihadapkan pada masalah
perbedaan antara hidup dan mati. Kematian merupakan sesuatu yang
dipertanyakan oleh manusia primitif. Manusia primitif juga merasa
heran saat bermimpi melihat jiwa yang bisa lepas dari tubuh dan
kembali lagi. Taylor meyakini bahwa agama muncul pertamakali dimulai
dengan keyakinan manusia terhadap Anima (jiwa), keyakinan terhadap
Tuhan diganti dengan keyakinan kepada Jiwa orang-orang mati.
Teorinya tersebut memunculkan Dr. Muhamad Fajar Pramono, M.Si 73
Bab 5: Tokoh-Tokoh Lain Sosiologi Agama dua pemahaman tentang
agama sebagai sistem sosial. Pertama, pemahaman tentang agama lahir
hasil dari kebudayaan manusia. Dan yang Kedua, pemahaman tentang
agama yang memunculkan kebudayaan pada manusia. Jadi Taylor
mendefinisikan asal-usul agama pada manusia dimulai dari animisme.
Berbeda dengan Tylor, Sir Jhon Lubbock menyatakan adanya tingkatan-
tingkatan dalam agama. Lubbock menyebutkan bahwa asal-usul agama
pertama kali adalah Atheisme karena sistem keyakinan manusia pada
saat itu belum terdapat adanya mithos-mithos atau pun bentuk
kepercayaan tertentu. Namun tesis Lubbock tidak mampu menyanggah
teori agama dari Tylor, karena bagi Tylor teori Lubbock sendiri kurang
komprehensif dalam tingkatan-tingkatannya Berbeda dengan
keduanya,Andrew Langtokoh yang banyak dijadikan rujukan setelah
Tylor. Merupakan pengikut Tylor yang paling terkenal. Menurutnya
asalusul agama dalam masyarakat primitif bukan dimulai dari
keyakinan animisme ataupun atheisme seperti yang dikemukakan dua
tokoh diatas. Menurutnya asalusul agama dalam masyarakat primitif
dimulai pada keyakinan akan Dewa-dewa tertinggi (High Gods). Lang
menyatakan bahwa keyakinan masyarakat primitif terhadap satu wujud
tertinggi (Supreme Being) pencipta spiritual dan abadi dalam
kehidupannya diwujudkan dengan keyakinan masyarakat primitif
terhadap dewadewa. Dalam ungkapannya untuk mengkritisi teoriteori
sebelumnya Lang menyatakan bahwa mereka telah melakukan
kesalahan fundamental, karena sengaja mengabaikan bukti-bukti yang
tidak sejalan dengan teori mereka dan menjelaskan agama dari hal-hal
yang sebenarnya bukan agama. Lang menyatakan bahwa suku-suku
paling primitif pun pasti mempunyai semacam konsep tentang suatu
wujud tertinggi yang abadi. Menurutnya wujud tertinggi tersebut bukan
roh leluhur ataupun hantu tapi Tuhan (Dewa). Dari analisanya diatas
Lang lebih cenderung pada konsep Monotheisme yang terjadi pada
masyarakat primitif. Dari sedikit uraian tentang teori asal-usul agama
diatas dapat disimpulkan bahwa keyakinan manusia akan agama
muncul dikarenakan beberapa faktor. Pertama, kegelisahan manusia
akan adanya siklus kehidupan, berputar dari kehidupan menuju
kematian. Kedua, kegelisahan manusia akan adanya dzat yang maha
tinggi yang mengatur kehidupan alam. Ketiga, kegelisahan manusia
terhadap kekuatan luar biasa (Magi) yang tidak bisa dijangkau oleh
manusia. Dari ketiga faktor diatas kalau kita kontekskan dengan teks-
teks agama semitik maka akan sinkron, karena dalam kitab-kitab suci
agama semitik menyebutkan tentang proses pencarian Tuhan yang
dilakukan oleh Ibrahim. Yang disebabkan oleh kegelisahannya akan
Tuhan. Begitupun dalam konteks keyakinan manusia dewasa ini. Apa
yang disebutkan Marx tentang agama adalah candu ataupun tentang
konsep manusia adalah homo religi, sebetulnya terdapat kesamaan
faktor utama yang kemudian mempengaruhi pendapat tersebut yakni
“kegelisahan manusia”.

B. Dr. H. M. Rozali, MA dalam metodologi studi Islam (2020) memaparkan


tentang definisi Agama Secara etimologis, Agama berasal dari bahasa
Sanskerta yang tersusun dari kata “a” berarti “tidak” dan “gam” berarti
“pergi”. Dalam bentuk harfiah yang terpadu, kata agama berarti “tidak
pergi”, tetap di tempat, langgeng, abadi yang diwariskan secara terus-
menerus dari satu generasi kepada generasi yang lainnya”. Pada
umumnya, kata “agama” diartikan tidak kacau, yang secara analitis
diuraikan dengan cara memisahkan kata demi kata, yaitu “a” berarti
“tidak” dan “gama” berarti “kacau”. Maksudnya orang yang memeluk
agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dengan sungguh, hidupnya
tidak akan mengalami kekacauan. Secara terminologi menurut sebagian
orang, agama merupakan sebuah fenomena yang sulit didefinisikan. WC
Smith mengatakan, “Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa hingga
saat ini belum ada definisi agama yang benar dan dapat diterima”. Meski
demikian, para cendekiawan besar dunia memiliki definisi, atau yang
lebih tepatnya kita sebut dengan kesimpulan mereka tentang fenomena
agama. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Emile Durkheim mengartikan, agama sebagai suatu kesatuan sistem
kepercayaan dan pengalaman terhadap suatu yang sakral, kemudian
kepercayaan dan pengalaman tersebut menyatu ke dalam suatu
komunitas moral.
b. Karl Mark berpendapat bahwa agama adalah keluh kesah dari
makhluk yang tertekan hati dari dunia yang tidak berhati, jiwa dari
keadaan yang tidak berjiwa, bahkan menurut pendapatnya pula bahwa
agama dijadikan sebagai candu bagi masyarakat.
c. Spencer mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan sesuatu
yang Maha mutlak.
d. Dewey menyebutkan agama sebagai pencarian manusia akan cita-cita
umum dan abadi meskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat
mengancam jiwanya, agama adalah pengenalan manusia terhadap
kekuatan gaib yang hebat.
e. Sebagian pemikir mengatakan bahwa apa saja yang memiliki tiga ciri
khas di bawah ini dapat disebut sebagai agama: 1) Keyakinan bahwa di
balik alam materi ini ada alam yang lain, 2) Penciptaan alam memiliki
tujuan, 3) Alam memiliki konsep etika. Pada semua definisi tersebut di
atas, ada satu hal yang menjadi kesepakatan semua, yaitu kepercayaan
akan adanya sesuatu yang agung di luar alam. Namun, lepas dari
semua definisi yang ada di atas maupun definisi lain yang dikemukakan
oleh para pemikir dunia lainnya, kita meyakini bahwa agama adalah
kepercayaan akan adanya Tuhan yang menurunkan wahyu kepada para
NabiNya untuk umat manusia demi kebahagiaannya di dunia dan
akhirat. Dari sini, kita bisa menyatakan bahwa agama memiliki tiga
bagian yang tidak terpisah, yaitu akidah (kepercayaan hati), syari’at
(perintah-perintah dan larangan Tuhan) dan akhlak (konsep untuk
meningkatkan sisi rohani manusia untuk dekat kepada-Nya). Meskipun
demikian, tidak bisa kita pungkiri bahwa asas terpenting dari sebuah
agama adalah keyakinan akan adanya Tuhan yang harus disembah.
C. M. Yusuf Wibisono dalam Sosiologi Agama (2002), menjelaskan bahwa
masyarakat beragama dapat diartikan sekumpulan atau sekelompok
individu yang mempunyai ikatan norma agama tertentu dan dijadikan
pedoman hidup mereka. Masyarakat beragama juga dapat dikatagorikan
sebagai masyarakat etika religius atau masyarakat teosentris.
Masyarakat jenis ini beranggapan, Tuhan sebagai satu-satunya arah dan
tujuan akhir hidup (ultimate goal) yang ingin diraih. Refleksi
kepatuhannya diwujudkan melalui pengabdian dan kepasrahan (ibadah)
serta pengharapan akan pertolongan hanya ditujukan kepada Tuhan.
Selain itu pula, yang lebih bermakna bagi masyarakat ini adalah
perwujudan kepatuhan kepada Tuhan melalui pola kehidupan
bermasyarakat yang berlandaskan aturan-aturan-Nya. Elizabeth
K.Nottingham (1994:16) menyebutkan bahwa masyarakat agama adalah
sekumpulan individu manusia yang memiliki kepercayaan yang sama
dan mengamalkannya bersama-sama dalam kelompok masyarakat
tertentu. Dengan terbentuknya kelompok masyarakat jenis ini, maka
setiap doktrin kepercayaan dan aktivitas ritual keagamaan dapat
dilesterikan. Elizabeth mengkatagorisasikan jenis kelompok manusia
beragama sebagai mayarakat yang mempunyai ciri-ciri berbeda dengan
jenis kelompok manusia yang lainnya. Kelompok individu yang
mempunyai kepercayaan dan pengamalan keagamaan yang sama
menjadi masyarakat religius, karena seluruh pengalaman dan kegiatan
ritualitas menjadi rujukan utama dalam kehidupan keseharian mereka.
Dalam memelihara hubungan antar anggota di antara mereka, etika
religius yang dijadikan standar pola interaksinya. Misal, memelihara
interaksi sosial dikalangan umat Islam menjadi sesuatu kemestian yang
harus dilakukan oleh setiap umat Islam, istilah umumnya, silaturrahmi.
Hal inilah menurut Elizabeth yang membedakan dengan jenis
masyarakat lainnya. Bagi masyarakat beragama, bahwa hidup tidak
akan sempurna bila tidak mempunyai komitmen dengan sesuatu yang
bersifat supernatural dalam hal ini agama. Mereka mempercayai,
manusia pada hakikatnya tidak dapat lepas dari sesuatu kepercayaan
Adi- kodrati yang dapat mengikat segala prilaku kehidupan manusia.
Untuk itu, agama bagi mereka merupakan kebutuhan dasar (basic need)
untuk pedoman hidupnya baik ritual maupun sosial. Dengan demikian
fungsi agama dalam masyarakat beragama sangatlah relevan, sebab
selain sebagai tata cara atau aturan dalam meyakini sesuatu Adi-kodrati
(Tuhan), dan pedoman hidup (way of life) para pemeluknya, juga sebagai
sumber inspirasi dalam melakukan interaksi sosial, baik antar individu
dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan
kelompok. Gejala masyarakat beragama sudah sejak lama menjadi tema
dalam kajian-kajian sosiologis, bahkan sejak sosiologi klasik pun agama
dianggap memainkan peranan yang signifikan dalam mengkonstruksi
manusia menjadi sebuah masyarakat. Seperti halnya di awal munculnya
sosiologi sebagai disiplin ilmu mandiri yang digagas oleh Comte –
menyakini bahwa pada dasarnya pembentukan masyarakat pun terjadi
evolusi. Tahapan di mulai dari pembentukan fase masyarakat teologis,
dan kemudian fase masyarakat metafisik, yang terakhir adalah fase
masyarakat positivistik. Dalam perkembangan kajian sosiologi
berikutnya, masyarakat beragama (religious group) selalu mendapat
perhatian serius dari para sosiolog. Max Weber misalnya, dalam tesis
penelitiannya tentang kapitalisme mengungkapkan, sebuah fakta
pertumbuhan semangat kapitalisme tumbuh disebabkan pengaruh
doktrin agama (Protestan Calvinisme). Hasil penelitian Weber ini
dibukukan dengan judul “The Protestan Ethic and The Spirit of
Capitalisme”, yang menegaskan tentang pengaruh luar biasa dari
doktrin agama terhadap para pemeluknya, terutama hubungannya
dengan kegiatan ekonomi. Kajian yang lebih spesifik menjelaskan
tentang masyarakat beragama adalah Sosiologi Agama, yang didalam
juga berbicara tentang berbagai varian dan berbagai jenis atau tipe,
antara lain: Tipe pertama, adalah masyarakat beragama yang kecil,
terisolasi dan terbelakang. Masyarakat beragama jenis ini tingkat
perkembangan teknologinya rendah dan pembagian kerja tidak
berdasarkan profesi dan bentuk kelas sosial mereka sangat homogen.
Keluarga merupakan lembaga yang paling penting dan spesialisasi
pengorganisasian kehidupan pemerintahan dan ekonomi masih amat
sederhana. Tipe masyarakat ini pada umumnya, secara bersamasama
menganut agama yang sama dan paham keagamaan atau kelompok
keagamaan (aliran) yang sama pula. Mereka cenderung berkelompok
dalam lembaga keagamaan yang “sederhana”, yaitu yang tidak banyak
menuntut para anggotanya untuk lebih profesional dan ahli di bidang
tertentu. Akan tetapi, lembaga atau institusi yang berdasarkan ikatan
kekerabatan dan persaudaraan (brotherhood). Tipe kedua, adalah
masyarakat beragama yang secara geografis tidak terlalu terpencil dan
tidak terisolasi seperti tipe pertama. Masyarakat jenis ini pun dapat
menerima perkembangan teknologi yang lebih tinggi dengan ditandai
penggunaan produk teknologi sesuai dengan kemampuan mereka.
Selain itu juga, kemampuan baca-tulis mereka sudah mencapai tingkat
tertentu, sehingga tidak termasuk katagori masyarakat terbelakang.
Dalam hal pembagian kerja, mereka relatif sudah memperhatikan
keahlian seseorang ketimbang aspek kedekatan, meski dalam tahap
penyempurnaan. Keberadaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat jenis
ini beragam, dan dengan pendapatan ekonomi yang beraneka ragam
pula. Dalam konteks sosiologis, masyarakat beragama jenis ini lebih
mengedapankan formalitas dengan menyediakan tenaga ahli yang sesuai
dengan kebutuhan organisasi. Mereka pun berusaha untuk bekerja
sama dengan lembaga-lembaga pemerintah dalam urusan
pengembangan keagamaan sesuai yang mereka butuhkan. Di samping
itu, terdapat sesuatu yang unik dari sebagian besar mereka, satu sisi
sudah dapat menerima kehadiran kemajuan teknologi, namun dalam hal
tertentu kadangkala masih mempercayai keberadaan mistisisme (arti
lain “dunia klenik”) dalam kehidupan mereka. Salah satu contoh adalah,
sebagian mereka masih mempercayai dunia perdukunan untuk
menjawab problematika kehidupan mereka. Dengan demikian, tipe
masyarakat ini seringkali mengalami split-personality (keterbelahan jiwa)
dalam merespon perubahan dalam dirinya. Tipe ketiga, adalah
masyarakat beragama industry-perkotaan. Masyarakat jenis ini dengan
perkembangan teknologinya cenderung meningkatkan mobilitas
masyarakatnya. Bagi mereka, teknologi sangat berpengaruh terhadap
semua aspek kehidupannya, juga sebagian besar dalam rangka
penyesuaian-penyesuaian terhadap alam sekitarnya, juga penyesuaian
akan hubungan dengan sesame mereka.

Anda mungkin juga menyukai