Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

Stroke merupakan gangguan mendadak pada sirkulasi serebral di satu

pembuluh darah atau lebih yang mensuplai otak. Stroke menginterupsi atau

mengurangi suplai oksigen dan umumnya menyebabkan kerusakan serius

atau nekrosis di jaringan otak (Nursing, 2011).

Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan

peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak

sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian.

Sedangkan menurut Hudak (1996), stroke adalah defisit neurologis yang

mempunyai serangan mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari

cardiovaskular disease (CVD) (Batticaca, 2011).

Stroke adalah suatu sindrom klinis yang ditandai oleh timbulnya defisit

neurologis fokal secara mendadak yang menetap setidaknya 24 jam

disebabkan oleh kelainan sikulasi otak (McPhee dan Ganong, 2010).

Stroke atau penyakit serebrovaskuler mengacu kepada setiap gangguan

neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran

darah melalui sistem suplai arteri otak (Price dan Wilson, 2006).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan stroke adalah kelainan

fungsi otak yang timbul mendadak keadaan dikarenakan aliran darah ke otak

tersumbat dan suplai darah tidak bisa mengalir menuju otak sehingga dapat

terjadi kelumpuhan, kehilangan fungsi otak, bahkan kematian.


B. Klasifikasi

Menurut Muttaqin (2008), klasifikasi stroke yaitu:

1. Stroke Hemoragi

Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan

subaraknoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area

otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukkan aktifitas atau saat

aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran klien umumnya

menurun. Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:

a. Perdarahan Intraserebral. Pecahnya pembuluh darah

(mikroaneurisma) terutama karena hipertensi mengakibatkan darah

masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan

jaringan otak, dan menimbulkan edema otak.

b. Perdarahan subaraknoid. Perdarahan ini berasal dari pecahnya

aneurisma berry. Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh

darah sirkulasi Willisi dan cabang–cabangnya yang terdapat di luar

parenkim otak. Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang subaraknoid

menyebabkan Tekanan Intra Kranial (TIK) meningkat mendadak,

meregangnya struktur peka nyeri, dan vasospasme pembuluh darah

serebral yang berakibat disfungsi global (sakit kepala, penurunan

kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemi sensorik,

afasia, dan lain-lain).


2. Stroke Nonhemoragik

Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral, biasanya

terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari.

Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan

hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran

umumnya baik.

C. Etiologi/Penyebab

Menurut Muttaqin (2008) penyebab stroke dapat di bedakan menjadi:

1. Trombosis serebral

Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi

sehingga menyebabkan iskemik jaringan otak yang dapat menimbulkan

odema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang

tua yang sedang tidur atau bangun tidur.

Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan trombosis otak:

aterosklerosis, hiperkoagulasi pada polisitemia, arteritis (radang pada

arteri), emboli.

2. Hemoragi

Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan

dalam ruang subaraknoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan

ini dapat terjadi karena aterosklerosis dan hipertensi.

3. Hipoksia Umum

Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum

adalah hipertensi yang parah, henti jantung-paru, dan curah jantung turun

akibat aritmia.
4. Hipoksia setempat

Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat

adalah spasme arteri serebral yang disertai perdarahan subaraknoid dan

vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.

D. Faktor Resiko

Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya stroke menurut

Tarwanto, dkk (2007), antara lain:

1. Usia: makin bertambah usia resiko stroke semakin tinggi, hal ini

berkaitan dengan elastisitas pembuluh darah.

2. Jenis kelamin: laki-laki memiliki kecenderungan lebih tinggi.

3. Ras dan keturunan: stroke lebih sering ditemukan pada kulit putih.

4. Hipertensi: hipertensi menyebabkan aterosklerosis pembuluh darah

serebral sehingga lama kelamaan akan pecah menimbulkan perdarahan.

Stroke yang terjadi adalah stroke hemoragik.

5. Penyakit jantung: pada fibrilasi atrium menyebabkan penurunan kardiac

output, sehingga terjadi hambatan dalam aliran darah ke otak.

6. Diabetes Mellitus (DM): pada penyakit DM terjadi gangguan vaskuler

sehingga terjadi hambatan dalam aliran darah ke otak.

7. Polisitemia: kadar hemoglobin yang tinggi (Hb lebih dari 16 mg/dl)

menimbulkan darah menjadi lebih kental dengan demikian aliran darah ke

otak menjadi lebih lambat.

8. Perokok: rokok menimbulkan plaque pada pembuluh darah oleh nikotin

sehingga terjadi aterosklerosis.


9. Alkohol: pada alkoholik dapat mengalami hipertensi, penurunan aliran

darah ke otak dan kardiak aritma.

10. Peningkatan kolesterol: kolesterol dalam tubuh menyebabkan

aterosklerosis dan terbentuknya lemak sehingga aliran darah lambat.

11. Obesitas: pada obesitas kadar kolesterol darah meningkat dan terjadi

hipertensi.

E. Manifestasi Klinis

Menurut Tarwanto, dkk (2007) pada stroke akut gejala klinis meliputi:

1. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis) yang

timbul secara mendadak.

2. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan.

3. Penurunan kesadaran (konfusi, delirum, letargi, stupor atau koma).

4. Afasia (kesulitan dalam berbicara).

5. Disatria (bicara pelo).

6. Gangguan penglihatan, diplopia.

7. Ataksia

8. Vertigo, mual, muntah dan nyeri kepala.

F. Patofisiologi

Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di

otak. Luasnya infark bergantung pada faktor–faktor seperti lokasi dan

besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area

yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak
dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus,

emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum

(hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai

faktor penyebab infark pada otak. Trombus dapat berasal dari plak

aterosklerotik, atau darah dapat beku pada area stenosis, tempat aliran darah

mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi.

Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai

emboli dalam aliran darah. Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak

yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan

kongesti di sekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih

besar dari pada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam

beberapa jam atau kadang–kadang sesudah beberapa hari. Dengan

berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena

trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi

pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan

nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada

dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika

sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan

dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan

serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.

Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan

hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan

lebih sering menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit


serebrovaskular, karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak,

peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan

herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum.

Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak,

dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang

otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus

perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus, dan pons.

Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral.

Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk

waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit.

Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah

satunya henti jantung.

Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif

banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan

tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif

darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,

menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi

(Muttaqin, 2008).
G. Pathways
Faktor-faktor resiko stroke

Katup jantung
Aterosklerosis hiperkoagulasi rusak, miokard infark, firliasi,
artesisi Aneurismen

Tromiosis
Penyumiatan
sereiral
pemiuluh darah otak oleh iekuan darah,
Pe

Pemiuluh darah oklusi Peremiesan


↓ Emioli sereiral
Iskemik jaringan otak Pe
↓ Stroke
Edema dan kongesti jaringan sekitar
(cereiro vascular accident)

Defsit neurologi

Infark sereiral
Kehilangan
Kerusakan
kontrol
terjadi
Resiko
voluter
pada
Peningkatan
loius frontal
TIK kapasit

2.Penurunan perfusi jaringan sereiral


Hemiplegi dan hemiparesis
Herniasi falk sereiri dan ke foramen magn

Kerusakan fungsi kogni
4.Kerusakan metaiolismeKompresi
fsik iatang otak

Lapang perhatian teriatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi, frustasi, l
Depresi saraf kardiovaskular dan pernapas
Koma

Intake nutrisi tidak adekuat


Kelemahan
Kegagalan kardiovaskuler dan pernapasa
fsik umum

5.Peruiahan pemenuhan nutrisi


10.Koping individu tidak efe
Kematian
11.Peruiahan proses ierfk
12. Penurunan gairah seksu
Penurunan
Disfungsi persepsi
tingkat kesadaran
visual14.Gangguan 13.Resiko
spasial dan kehilangan
psikologis ketidakpatuhan t
sensori
15.Peruiahan peran keluarga
16. Kecemasan klien dan keluarga
17.Resiko penurunan pelaksanaan iiadah
8.Resiko trauma
18.Peruiahan
(Cedera) persepsi sensori
Kemampuan iatuk menurun,Disfungsi
kurang mok

Penekanan jaringan
6.Resiko
setempat
tinggi kerusakan integrasi kulit

3.Resiko ketidakiersihan
7.G

Gambar 1.1 Pathway Stroke (Muttaqin,2008)


H. Komplikasi

Menurut Purwanto, dkk (2007), komplikasi dari stroke adalah:

1. Hipertensi/hipotensi

2. Kejang

3. Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)

4. Kontraktur

5. Tonus otot abnormal

6. Trombosis vena

7. Malnutrisi

8. Aspirasi

9. Inkontinensia urin, bowel.

I. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Misbach (2011), pemeriksaan penunjang stroke, terdiri dari:

1. Laboratorium

a. Pemeriksaan darah rutin

b. Pemeriksaan kimia darah lengkap, diantaranya gula darah sewaktu,

ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati (SGOT/SGPT/CPK), dan

profil lipid (kolesterol total, trigliserida, LDL, HDL)

c. Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap) meliputi: waktu

protrombin, APTT, kadar fibrinogen, D-dimer, INR, dan viskositas

plasma
d. Pemeriksaan tambahan yang di lakukan atas indikasi: Protein S,

Protein C, ACA, dan Homosisten.

2. Pemeriksaan Kardiologi

Pada sebagian penderita stroke terdapat juga perubahan

elektrokardiografi (EKG). Perubahan ini dapat berarti kemungkinan

mendapat serangan infark jantung atau pada stroke dapat terjadi

perubahan-perubahan EKG sebagai akibat perdarahan otak yang

menyerupai suatu infark mikroid.

3. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang paling penting adalah:

a. Pemeriksaan foto thoraks: dapat memperlihatkan keadaan jantung,

apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan tanda

hipertensi kronis. Selain itu dapat mengidentifikasi kelainan paru

yang potensial mempengaruhi oksigenasi serebral dan dapat

memperburuk prognosis.

b. CT scan otak: segera memperlihatkan perdarahan intra serebral.

Pemeriksaan ini sangat penting karena perbedaan management

perdarahan otak dan infark otak. Perdarahan/infark di batang otak

sangat sulit diidentifikasi, oleh karena itu perlu dilakukan

pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) untuk memastikan

proses patologik di batang otak.


J. Penatalaksanaan

Menurut Batticaca (2011), penatalaksanaan penyakit stroke meliputi:

1. Penatalaksanaan Medis

a. Terapi stroke hemoragik pada serangan akut.

1) Saran operasi di ikuti dengan pemeriksaan

2) Masukan klien ke unit perawatan syaraf untuk di rawat di bagian

bedah syaraf

3) Penatalaksanaan umum di bagian saraf

4) Penatalaksanaan khusus pada kasus tertentu seperti

parenchymatous hemorrhage

5) Neurologis: pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya,

kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian

jaringan otak

6) Terapi perdarahan dan perawatan pembuluh darah

7) kontrol adanya yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak

8) pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya.

b. Perawatan umum klien dengan serangan stroke akut

1) Pengaturan suhu, atur suhu menjadi 8-20o C

2) Pemantauan (monitoring) keadaan umum klien

3) Pengukuran suhu tubuh tiap 2 jam.

2. Penatalaksanaan Keperawatan

a. Pasien ditempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan

kepala tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral

agak berkurang.
b. Intubasi endotrakhea dan ventilasi mekanik diperlukan untuk pasien

dengan stroke masif, karena henti pernafasan biasanya faktor yang

mengancam kehidupan.

c. Memantau adanya komplikasi pulmonal (aspirasi, ateletaksis,

pneumonia), yang mungkin berkaitan dengan kehilangan refleks

jalan nafas, immobilitas, atau hipoventilasi.

d. Pemeriksaan fisik jantung, untuk abnormalitas dalam ukuran dan

irama serta tanda gagal jantung kongestif.

K. Fokus Pengkajian

Menurut Misbach (2011), pengkajian pasien stroke di mulai dari

riwayat penyakit atau status kesehatan sebelum sakit: apakah pasien memiliki

riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, TIA (Transient

Ischemic Attack), dislipiemia, hiperagregasi trombosit, obesitas, atau penyakit

lain sebagai faktor resiko stroke.

Pola atau kebiasaan atau gaya hidup sebelum sakit: merokok, minum

alkohol, stres, kurang aktifitas, kepribadian tipe A.

1. Pemeriksaan fisik

a. Tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu

b. Tingkat kesadaran

c. Pupil: ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya

d. Fungsi serebral umum: orientasi, atensi, konsentrasi, memori, retensi,

kalkulasi, similaritas, keputusan, dan berfikir abstrak


e. Fungsi serebral khusus: kemampuan bicara dan berbahasa,

kemampuan mengenal objek secara visual, audio dan perabaan, serta

kemampuan melakukan suatu ide secara benar dan tepat

f. Fungsi saraf kranial I-XII

g. Fungsi serebellum: tes keseimbangan dan koordinasi otot

h. Fungsi motorik: ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot, gerakan

involunter

i. Fungsi sensorik

j. Faktor psikososial: respon terhadap penyakit, tersedianya sistem

pendukung atau support system, kebiasaan menyelesaikan masalah,

pekerjaan, peran dan tanggung jawab dalam keluarga dan masyarakat

serta pengambilan keputusan dalam keluarga

k. Pemeriksaan penunjang: CT Scan otak, MRI otak, photo Thorax,

EKG, laboratorium.

2. Diagnosa keperawatan

Kemungkinan diagnosa keperawatan yang ada pada pasien stroke

adalah:

a. Risiko/aktual: jalan nafas tidak efektifnya, berhubungan dengan

penumpukan lendir sekunder terhadap penurunan tingkat kesadaran,

gangguan menelan atau isfagia

b. Perubahan perfusi serebral dengan iskemik, edema, peningkatan

tekanan intra kranial


c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan

penurunan intake cairan sekunder terhadap penurunan tingkat

kesadaran, disfagia

d. Perubahan pemasukan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, disfagia

e. Perubahan eliminasi urin: inkontinensia urine berhubungan dengan

penurunan tingkat kesadaran, gangguan fungsi kognisi, immobilisasi

f. Perubahan eliminasi bowel: konstifasi berhubungan dengan

immobilisasi

g. Perubahan sensori persepsi: audio, visual, sentuhan berhubungan

dengan penurunan fungsi serebral sekunder terhadap kerusakan

struktur serebri

h. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan penurunan tingkat

kesadaran, hemiparese

i. Gangguan komunikasi verbal

j. Kurang mampu merawat diri/ketergantungan dalam pemenuhan hidup

sehari-hari

k. Respon emosi psikologis secara umum terhadap stroke, termasuk:

takut, koping tidak efektif, cemas, isolasi sosial, perubahan konsep

diri

l. Resiko injuri berhubungan dengan trauma jatuh, kejang

m. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.


Sedangkan fokus pengkajian menurut Doenges (2000) yaitu:

1. Aktivitas/Istirahat

Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktifitas karena kelemahan,

kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia).

Tanda: gangguan tonus otot, terjadi kelemahan umum, gangguan

penglihatan, gangguan tingkat kesadaran.

2. Sirkulasi

Gejala: adanya penyakit jantung polisitemia, riwayat hipotensi postural.

Tanda: hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme atau

malformasi vaskular. Nadi; frekuensi dapat bervariasi (karena

ketidakstabilan fungsi jantung atau kondisi jantung, obat–obatan, efek

stroke pada pusat vasomotor). Disritmia, perubahan Elektro Kardiogram

(EKG), desiran karotis, femoralis, dan arteri illiaka yang abnormal.

3. Integritas Ego

Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa.

Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, dan

gembira serta kesulitan untuk mengekspresikan diri.

4. Eliminasi

Gejala: perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urin, anuria.

Distensi abdomen (distensi kandung kemih berlebihan), bising usus

negatif (Ileus paraliti).


5. Makanan/Cairan

Gejala: nafsu makan menurun atau hilang, mual muntah selama fase akut

(peningkatan TIK), kehilangan sensasi rasa pada lidah, pipi dan

tenggorok, disfagia.

Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan faringea),

obesitas.

6. Neurosensori

Gejala: sinkope atau pusing, sakit kepala, kelemahan/kesemutan/kebas,

penglihatan menurun, kehilangan daya lihat sebagian, penglihatan ganda,

hilangnya rangsang sensorik kontralateral pada ekstremitas dan kadang–

kadang ipsilateral (yang satu sisi) pada wajah.

Tanda: biasanya terjadi koma pada tahap awal hemoragi, gangguan

tingkah laku, gangguan fungsi kognitif, kelemahan atau paralisis pada

ekstremitas, genggaman tidak sama, reflek tendon melemah secara

kontralateral, afasia, kehilangan kemampuan menggunakan motorik,

ukuran atau reaksi pupil tidak sama.

7. Nyeri/Kenyamanan

Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbeda–beda.

Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot/fasia.

8. Pernapasan

Gejala: merokok (faktor resiko).

Tanda: ketidakmampuan menelan, batuk, hambatan jalan nafas,

timbulnya pernafasan sulit dan tidak teratur, terdengar ronchi.


9. Keamanan

Gejala: terjadi masalah dengan penglihatan, perubahan persepsi terhadap

orientasi tempat tubuh, tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan

wajah yang dapat dikenalnya dengan baik, gangguan regulasi suhu tubuh.

10. Interaksi Sosial

Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi.

L. Fokus Intervensi

Menurut Doenges (2000), fokus intervensi penyakit stroke adalah

sebagai berikut:

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan

oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.

Tujuan: Perfusi jaringan serebral kembali utuh.

Kriteria Hasil:

a. Mempertahankan atau meningkatkan kesadaran, kognitif, sensorik,

motorik.

b. Menunjukkan kestabilan tanda–tanda vital dan tidak ada peningkatan

TIK.

c. Menunjukkan tidak ada kelanjutan deteriorasi/kekambuhan defisit.

Intervensi:

a. Tentukan faktor–faktor yang berhubungan dengan keadaan atau

penyebab khusus selama koma atau penurunan perfusi serebral dan

potensial terjadinya peningkatan TIK.


Rasionalisasi: mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau

kemunduran tanda dan gejala neurologis atau kegagalan

memperbaikinya setelah fase awal memerlukan tindakan

pembedahan dan pasien harus dipindahkan ke ruang perawatan kritis

untuk melakukan pemantauan terhadap peningkatan TIK.

b. Catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan

keadaan standar.

Rasionalisasi: mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan

potensial peningkatan TIK dan mengetahui lokasi, luas dan kemajuan

kerusakan Susunan Saraf Pusat (SSP). Dapat menunjukkan TIK yang

merupakan tanda terjadi trombosis CVS yang baru.

c. Catat perubahan dalam penglihatan, seperti adanya kebutaan dan

gangguan lapang pandang.

Rasionalisasi: gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan

daerah otak yang terkena, mengindikasikan keamanan yang harus

mendapat perhatian dan mempengaruhi intervensi yang akan

dilakukan.

d. Letakkan kepala agak tinggi dan dalam posisi anatomis.

Rasionalisasi: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan

drainase dan meningkatkan perfusi serebral.

e. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi oksigen.

Rasionalisasi: menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan

vasodilatasi serebral dan tekanan meningkat atau terbentuknya

edema.
f. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antikoagulasi.

Rasionalisasi: dapat digunakan untuk meningkatkan aliran darah

serebral dan selanjutnya dapat mencegah pembekuan saat embolus

atau trombus merupakan faktor masalahnya.

g. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antihipertensi.

Rasionalisasi: hipertensi kronis memerlukan penanganan yang hati–

hati, sebab penanganan yang berlebihan meningkatkan resiko

terjadinya perluasan kerusakan jaringan.

h. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vasodilatasi perifer.

Rasionalisasi: digunakan untuk memperbaiki sirkulasi kolateral atau

menurunkan vasospasme.

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, parestesia,

paralisis hipotonik, paralisis spastik.

Tujuan: Mobilitas pasien meningkat.

Kriteria Hasil:

a. Mempertahankan posisi dan fungsi optimal dengan tidak adanya

kontraktur.

b. Mempertahankan kekuatan dan fungsi area yang sakit serta

kompensasi bagian tubuh yang lain.

c. Menunjukkan perilaku aktifitas yang lebih baik.

d. Mempertahankan integritas kulit.


Intervensi:

a. Kaji kemampuan fungsional otot. Klasifikasikan dengan skala 0–4.

Rasionalisasi: mengidentifikasi kekuatan atau kelemahan dan dapat

memberikan informasi mengenai pemulihan.

b. Ubah posisi tiap 2 jam, terutama pada bagian yang sakit.

Rasionalisasi: menurunkan resiko terjadinya trauma atau iskemia

jaringan. Daerah yang terkena mengalami sirkulasi yang lebih jelek

dan menurunkan sensasi dan lebih besar menimbulkan dekubitus.

c. Berikan posisi telungkup jika pasien dapat mentoleransinya.

Rasionalisasi: membantu mempertahankan ekstensi pinggul

fungsional.

d. Berikan rentang gerak aktif dan pasif untuk semua ekstremitas.

Rasionalisasi: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,

mencegah terjadinya kontraktur hiperkalsuria dan menurunkan

resiko terjadinya osteoporosis. Jika masalah utamanya adalah

perdarahan.

e. Sangga ekstremitas pada posisi fungsionalnya.

Rasionalisasi: mencegah kontraktur dan memfasilitasi kegunaannya

jika berfungsi kembali.

f. Observasi sisi yang sakit meliputi warna, edema atau tanda lain dari

gangguan sirkulasi.

Rasionalisasi: jaringan yang mengalami edema lebih mudah

mengalami trauma dan penyembuhannya lambat.


g. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat relaksan otot dan

anti spasmodik.

Rasionalisasi: diperlukan untuk menghilangkan spastisitas pada

ekstremitas yang terganggu.

3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sirkulasi

serebral, kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus/kontrol otot fasial.

Tujuan: kemampuan komunikasi pasien meningkat.

Kriteria Hasil:

a. Pasien dapat menunjukkan masalah komunikasi.

b. Pasien mampu mengekspresikan perasaannya.

c. Mampu menggunakan bahasa isyarat.

Intervensi:

a. Kaji tipe atau derajat disfungsi.

Rasionalisasi: membantu menentukan daerah atau derajat kerusakan

serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau

seluruh tahap proses komunikasi.

b. Perhatikan kesalahan komunikasi dan berikan umpan balik.

Rasionalisasi: membantu dalam mengklarifikasikan isi dan makna

yang terkandung dalam ucapan pasien.

c. Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana.

Rasionalisasi: melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan

sensorik.
d. Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda

tersebut.

Rasionalisasi: melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan

motorik.

e. Gunakan kata–kata singkat tapi jelas dan biarkan pasien berespon.

Rasionalisasi: menurunkan kebingungan selama proses komunikasi

dan berespon pada informasi yang lebih banyak pada satu waktu

tertentu.

f. Berikan metode komunikasi alternatif, misal dengan menulis.

Rasionalisasi: memberikan komunikasi tentang kebutuhan

berdasarkan keadaan atau defisit yang mendasarinya.

4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi

sensori, transmisi, integrasi dan stres neurologi.

Tujuan: Persepsi sensori pasien mengalami peningkatan.

Kriteria Hasil:

a. Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perseptual.

b. Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan

residual.

Intervensi:

a. Lihat kembali proses patologis kondisi individual.

Rasionalisasi: kesadaran akan tipe atau daerah yang terkena

membantu untuk mengantisipasi defisit spesifik dalam perawatan.


b. Evaluasi adanya gangguan penglihatan.

Rasionalisasi: munculnya gangguan penglihatan dapat berdampak

negatif terhadap kemampuan pasien untuk menerima lingkungan

dan mempelajari kembali ketrampilan motorik.

c. Ciptakan lingkungan yang sederhana dan nyaman.

Rasionalisasi: menurunkan jumlah stimulasi penglihatan yang

mungkin dapat menimbulkan kebingungan terhadap intepretasi

lingkungan dan menurunkan resiko terjadinya kecelakaan.

d. Kaji kesadaran sensorik.

Rasionalisasi: penurunan kesadaran terhadap sensorik dan

kerusakan perasaan kinetik berpengaruh buruk terhadap

keseimbangan atau posisi tubuh dan kesesuaian dari gerakan yang

mengganggu ambulasi.

e. Berikan stimulasi terhadap sentuhan.

Rasionalisasi: membantu melatih kembali jaras sensorik untuk

mengintegrasikan persepsi dan intepretasi stimulasi. Membantu

pasien untuk mengorientasikan bagian dirinya dan kekuatan

penggunaan dari daerah yang terpengaruh.

f. Hilangkan stimulasi eksternal yang berlebihan.

Rasionalisasi: menurunkan ansietas dan respon emosi yang

berlebihan atau kebingungan yang berhubungan dengan sensori

berlebihan.
g. Bicara dengan tenang, perlahan dan dengan menggunakan kalimat

yang pendek.

Rasionalisasi: pasien mungkin mengalami keterbatasan dalam

rentang perhatian atau masalah pemahaman sehingga dapat

membantu pasien dalam berkomunikasi.

5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,

penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan koordinasi otot.

Tujuan: Kemampuan pasien dalam merawat diri meningkat.

Kriteria Hasil:

a. Mampu melakukan perubahan gaya hidup untuk memenuhi

kebutuhan perawatan diri.

b. Melakukan aktifitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan

sendiri.

c. Mengidentifikasi sumber pribadi atau komunitas memberikan

bantuan sesuai kebutuhan.

Intervensi:

a. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan dengan menggunakan

skala 0–4.

Rasionalisasi: membantu dalam mengantisipasi atau merencanakan

kebutuhan secara individual.

b. Biarkan pasien melakukan aktifitas yang ditoleransi.

Rasionalisasi: sangat diperlukan untuk melakukan aktifitas

sebanyak mungkin untuk diri sendiri sehingga dapat

mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan.


c. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang

dilakukan.

Rasionalisasi: meningkatkan rasa makna diri, kemandirian, dan

mendorong pasien untuk berusaha secara kontinyu.

d. Pertahankan dukungan, sikap yang tegas dan beri pasien waktu

untuk mengerjakan tugasnya.

Rasionalisasi: pasien sangat memerlukan sikap empati dari perawat,

tetapi juga perlu ditegaskan bahwa perawat hanya akan membantu

pasien secara konsisten.

Anda mungkin juga menyukai