Anda di halaman 1dari 16

ALKUTURASI KEBUDAYAAN

1.) Menjelaskan Pengaruh Masuknya Hindu-Buddha


Terhadap Masyarakat Indonesia :

a.) Bidang agama/kepercayaan


 yaitu berkembangnya agama Hindu-Buddha di Indonesia .Sebelum masuk
pengaruh India, kepercayaan yang berkembang di Indonesia masih
bersifat animisme dan dinamisme. Masyarakat pada saat itu melakukan
pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan kekuatan-kekuatan benda-benda
pusaka tertentu serta kepercayaan pada kekuatan-kekuatan alam.

b.) Bidang Politik


pengaruhnya terlihat jelas dengan lahirnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-
Buddha di Indonesia. Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu-Buddha di
Indonesia tampaknya belum mengenal corak pemerintahan dengan sistem
kerajaan. Sistem pemerintahan yang berlangsung masih berupa pemerintahan
kesukuan yang mencakup daerah-daerah yang terbatas. 

c.) Bidang Sosial


Di bidang sosial, tradisi Hindu-Buddha berpengaruh terhadap sistem
kemasyarakatan dan pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan asli Indonesia,
masyarakat Indonesia tersusun dalam kelompok-kelompok desa yang dipimpin
oleh kepala suku. Sistem itu kemudian terpengaruh oleh ajaran Hindu-Buddha.
Timbul kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha.

d.) Bidang Budaya


Dibidang kesenian ini dapat dilihat bahwa Hindu Budda mempengaruhi model
seni yang ada di Indoensia, misal pahatan-pahatan patung, relief dan
sebagainya.

2.) Menjelaskan Pengaruh Masuknya Hindu-Buddha


Terhadap Masyarakat Indonesia :
a.) Bidang Arsitektur
masyarakat indonesia telah membangun monumen monumen punden
berundak bagi sarana pemujaan roh nenk moyang sebelum mendapat
mengaruh hendu budha. setelah adanya pengaruh dari hendu budha dalam
bidang agama dengan pemujaan kepada dewa dewa dan bodisatwa, maka
masyarakat indonesia kemudian mengenal teknologi arsitektur (bangunan
pemujaan) seperti candi, stupa dan pertitraan

b.) Bidang Seni

bangunan merupakan salah satu peninggalan budaya Hindu-Buddha di


Indonesia yang sangat menonjol antara lain berupa candi dan stupa. Selain itu,
terdapat pula beberapa bangunan lain yang berkaitan erat dengan kehidupan
keagamaan, seperti: ulan dan satramerupakan semacam pesanggrahan atau
tempat bermalam para pe iarah;sima adalah daerah perdikan yang
berkewajiban memelihara bangunan suci di suatu daerah; patapan adalah
tempat melakukan tapa;sambasambaran yang berarti tempat
persembahan; meru merupakan bangunan berbentuk tumpang yang
melambangkan gunung Mahameru sebagai tempat tinggal dewadewa agama
Hindu.

c.) Bidang Bahasa, Aksara, dan Sastra


Dari segi bahasa, orang-orang Indonesia mengenal bahasa Sanskerta dan
huruf Pallawa. Pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, seni sastra
sangat berkembang terutama pada aman kejayaan kerajaan Kediri. Karya
sastra itu antara lain,
a. Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa yang disusun pada masa pemerintahan
Airlangga.
b. Bharatayudha, karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh disusun pada aman
kerajaan Kediri.
c. Gatotkacasraya, karya Mpu Panuluh disusun pada aman kerajaan Kediri.
d. Arjuna Wijaya dan Sutasoma, karya Mpu Tantular yang disusun pada aman
kerajaan Majapahit.
e. Negarakertagama, karya Mpu Prapanca disusun pada aman kerajaan
Majapahit.
f. Wretta Sancaya dan Lubdhaka, karya Mpu Tanakung yang disusun pada
aman kerajaan Majapahit.
Pengaruh Hindu & Budha dalam bidang aksara antara lain masuknya aksara
india di Indonesia,sehingga terjadi akulturasi antara aksara India dan
Indonesia,aksara tersebut banyak digunakan di dalam relief relief candi di
Indonesia

d.) Bidang Pendidikan


Dalam bidang pendidikan, pengaruh hindu budha di Indonesia yaitu lahirnya
lembaga-lembaga pendidikan. Walaupun lembaga pendidikan yang ada masih
sangat sederhana, yaitu hanya mempelajari satu bidang saja( keagamaan).
Namun, lembaga pendidikan yang lahir pada masa Hindu-Buddha ini menjadi
cikal bakal bagi lahirnya berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. Beberapa
bukti yang menunjukkan bahwa pendidikan pada masa kerajaan Hindu-
Buddha di Indonesia telah berkembang yaitu:

a. Dalam catatan perjalanan I-Tsing (pendeta dari Cina), ia pernah singgah di


Sriwijaya. Di Sriwijaya I-Tsing melihat bahwa pendidikan agama Budha telah
berkembang dengan pesat, sehingga dia memutuskan untuk menetap di
Sriwijaya selama beberapa bulan dan menerjemahkan salah satu kitab agama
Buddha. Berita I-Tsing tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama
Buddha di Sriwijaya sudah maju.

b. Pada prasasti Turun Hyang, yaitu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja
Airlangga menyebutkan tentang pembuatan Sriwijaya Asrama. Sriwijaya
Asrama adalah suatu tempat yang dugunakan sebagai pusat pendidikan dan
pengajaran keagamaan.

c. Istilah surau yang biasanya digunakan orang Islam untuk menunjuk


lembaga pendidikan Islam tradisional di Minangkabau pada awalnya berasal
dari pengaruh Hindu-Buddha. Surau adalah tempat pada masa Raja
Adityawarman yang dibangun sebagai tempat beribadah orang Hindu-
Buddha.

3.) Menjelaskan Tentang Candi di Indonesia :


a.) Candi Borobudur
Borobudur  adalah sebuah candi Buddha yang terletak
di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini terletak kurang
lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah
barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi
berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha
Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa
pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil
Buddha terbesar di dunia[1][2], sekaligus salah satu monumen Buddha
terbesar di dunia[3].
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di
atasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan
2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha[4]. Borobudur
memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia[3]. Stupa
utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini,
dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya
terdapat arca Buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna
dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda
dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai
tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai
tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu
duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.
[5]
 Para peziarah masuk melalui sisi timur dan memulai ritual di dasar candi
dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil
terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam
kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa
nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud).
Dalam perjalanannya para peziarah berjalan melalui serangkaian lorong
dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah
yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14
seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta
mulai masuknya pengaruh Islam.[6] Dunia mulai menyadari keberadaan
bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles,
yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa.
Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya
penyelamatan dan pemugaran (perbaikan kembali). Proyek pemugaran
terbesar digelar pada kurun waktu 1975 hingga 1982 atas
upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs
bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.[3]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap
tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara
berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia
pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling
banyak dikunjungi wisatawan.[7][8][9]
Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi;
istilah candi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan
purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara,
misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula
nama Borobudur tidak jelas,[10] meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di
Indonesia tidak diketahui.[10] Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah
Pulau Jawa" karya Sir Thomas Stamford Raffles.[11] Raffles menulis mengenai
monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang
menyebutkan nama yang sama persis.[10] Satu-satunya naskah Jawa kuno yang
memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk
kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada
1365.[12]
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles
dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa
Bore (Boro); kebanyakan candi memang sering kali dinamai berdasarkan desa tempat
candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan
istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".
[10]
 Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari
istilah bhudhara yang berarti gunung.[13]
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan
bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya
"gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat
beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para
Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah
bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal
dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa
Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi",
atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah
sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor
pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan.
Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri
Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang
melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat
diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur
diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula
disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī
Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang
disebut Bhūmisambhāra.[14] Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti
tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur
dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra
Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh
tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.[15]
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mi) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak
di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sindoro-
Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah
utaranya terdapat Bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran
perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai
Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal
sebagai Dataran Kedu adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa
dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan
tanahnya.[16]
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada
masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya
yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis
lurus.[17] Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng
penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di
kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya
jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan
tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini.
Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan
ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan
adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi
bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.
[12]

Selain Candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa
peninggalan purbakala lainnya, di antaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk
dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa
wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan
di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi
bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di sebelah utara
Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut Candi Banon.
Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan
cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi
Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada
saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini
disimpan di Museum Nasional Indonesia.

b.) Candi Prambanan


Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang adalah kompleks candi
Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi
ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma
sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa
sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli
kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna
‘Rumah Siwa’), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini
bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan
bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Kompleks candi ini terletak di kecamatan Prambanan, Sleman dan
kecamatan Prambanan, Klaten,[1] kurang lebih 17 kilometer timur laut
Yogyakarta, 50 kilometer barat daya Surakarta dan 120 kilometer selatan
Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah
Istimewa Yogyakarta.[2] Letaknya sangat unik, Candi Prambanan terletak
di wilayah administrasi desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, sedangkan
pintu masuk kompleks Candi Prambanan terletak di wilayah adminstrasi
desa Tlogo, Prambanan, Klaten.
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu
terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia
Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai
dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi
utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah
kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil.[3] Sebagai salah satu
candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik
kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.[4]
Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun
850 masehi oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas
oleh Balitung Maha Sambu, pada masa kerajaan Medang Mataram.
ETIMOLOGI
Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diduga
merupakan perubahan nama dialek bahasa Jawa dari istilah teologi Hindu
Para Brahman yang bermakna “Brahman Agung” yaitu Brahman atau
realitas abadi tertinggi dan teragung yang tak dapat digambarkan, yang
kerap disamakan dengan konsep Tuhan dalam agama Hindu. Pendapat
lain menganggap Para Brahman mungkin merujuk kepada masa jaya candi
ini yang dahulu dipenuhi oleh para brahmana. Pendapat lain mengajukan
anggapan bahwa nama “Prambanan” berasal dari akar kata mban dalam
Bahasa Jawa yang bermakna menanggung atau memikul tugas, merujuk
kepada para dewa Hindu yang mengemban tugas menata dan
menjalankan keselarasan jagat.
Nama asli kompleks candi Hindu ini adalah nama dari Bahasa Sansekerta;
Siwagrha (Rumah Siwa) atau Siwalaya (Alam Siwa), berdasarkan Prasasti
Siwagrha yang bertarikh 778 Saka (856 Masehi). Trimurti dimuliakan dalam
kompleks candi ini dengan tiga candi utamanya memuliakan Brahma, Siwa,
dan Wisnu. Akan tetapi Siwa Mahadewa yang menempati ruang utama di
candi Siwa adalah dewa yang paling dimuliakan dalam kompleks candi ini.
Candi Prambanan Di Antara Kabut Pagi.
Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah
dibangun di Jawa kuno, pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai
oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi Buddha Borobudur dan juga
candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa sejarawan
lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk
menandai kembali berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait
teori wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; yaitu
wangsa Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra penganut Buddha.
Pastinya, dengan dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran
Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan, setelah
sebelumnya wangsa Sailendra cenderung lebih mendukung Buddha aliran
Mahayana. Hal ini menandai bahwa kerajaan Medang beralih fokus
dukungan keagamaanya, dari Buddha Mahayana ke pemujaan terhadap
Siwa.
Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai
Pikatan dan secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja
Lokapala dan raja Balitung Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha
berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun untuk memuliakan
dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah
Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: ‘Rumah Siwa’) atau Siwalaya
(Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: ‘Ranah Siwa’ atau ‘Alam Siwa’).[5]
Dalam prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha
tengah berlangsung, dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air
untuk memindahkan aliran sungai di dekat candi ini. Sungai yang dimaksud
adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi
barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya
aliran sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu
dekat dengan candi sehingga erosi sungai dapat membahayakan
konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan dengan membuat sodetan
sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan poros utara-selatan
sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran sungai asli
kemudian ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas bagi
pembangunan deretan candi perwara (candi pengawal atau candi
pendamping).
Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang
utama) dalam candi Siwa sebagai candi utama merupakan arca
perwujudan raja Balitung, sebagai arca pedharmaan anumerta dia.
Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja
Medang Mataram berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan
diperluas dengan membangun ratusan candi-candi tambahan di sekitar
candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan berfungsi
sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai
upacara penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan
menduga bahwa ratusan pendeta brahmana dan murid-muridnya
berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini untuk mempelajari kitab
Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara
pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu
tempat di dekat Prambanan di Dataran Kewu.
Ditelantarkan
Sekitar tahun 930-an, ibu kota kerajaan berpindah ke Jawa Timur oleh Mpu
Sindok, yang mendirikan Wangsa Isyana. Penyebab kepindahan pusat
kekuasaan ini tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi sangat mungkin
disebabkan oleh letusan hebat Gunung Merapi yang menjulang sekitar 20
kilometer di utara candi Prambanan. Kemungkinan penyebab lainnya
adalah peperangan dan perebutan kekuasaan. Setelah perpindahan ibu
kota, candi Prambanan mulai telantar dan tidak terawat, sehingga pelan-
pelan candi ini mulai rusak dan runtuh.
Bangunan candi ini diduga benar-benar runtuh akibat gempa bumi hebat
pada abad ke-16. Meskipun tidak lagi menjadi pusat keagamaan dan
ibadah umat Hindu, candi ini masih dikenali dan diketahui keberadaannya
oleh warga Jawa yang menghuni desa sekitar. Candi-candi serta arca
Durga dalam bangunan utama candi ini mengilhami dongeng rakyat Jawa
yaitu legenda Rara Jonggrang. Setelah perpecahan Kesultanan Mataram
pada tahun 1755, reruntuhan candi dan sungai Opak di dekatnya menjadi
tanda pembatas antara wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta (Solo).
PENEMUAN KEMBALI
Reruntuhan candi Prambanan segera setelah ditemukan.
Penduduk lokal warga Jawa di sekitar candi sudah mengetahui keberadaan
candi ini. Akan tetapi mereka tidak tahu latar belakang sejarah sesungguhnya,
siapakah raja dan kerajaan apa yang telah membangun monumen ini. Sebagai
hasil imajinasi, rakyat setempat menciptakan dongeng lokal untuk menjelaskan
asal-mula keberadaan candi-candi ini; diwarnai dengan kisah fantastis
mengenai raja raksasa, ribuan candi yang dibangun oleh makhluk halus jin
dan dedemit hanya dalam tempo satu malam, serta putri cantik yang dikutuk
menjadi arca. Legenda mengenai candi Prambanan dikenal sebagai kisah
Rara Jonggrang.
Pada tahun 1733, candi ini ditemukan oleh CA. Lons seorang
berkebangsaan Belanda. Candi ini menarik perhatian dunia ketika pada
masa pendudukan Britania atas Jawa. Ketika itu Colin Mackenzie, seorang
surveyor bawahan Sir Thomas Stamford Raffles, menemukan candi ini.
Meskipun Sir Thomas kemudian memerintahkan penyelidikan lebih lanjut,
reruntuhan candi ini tetap telantar hingga berpuluh-puluh tahun. Penggalian
tak serius dilakukan sepanjang 1880-an yang sayangnya malah
menyuburkan praktik penjarahan ukiran dan batu candi. Kemudian pada
tahun 1855 Jan Willem IJzerman mulai membersihkan dan memindahkan
beberapa batu dan tanah dari bilik candi. Beberapa saat kemudian Isaäc
Groneman melakukan pembongkaran besar-besaran dan batu-batu candi
tersebut ditumpuk secara sembarangan di sepanjang Sungai Opak. Arca-
arca dan relief candi diambil oleh warga Belanda dan dijadikan hiasan
taman, sementara warga pribumi menggunakan batu candi untuk bahan
bangunan dan pondasi rumah.
PEMUGARAN
Pemugaran dimulai pada tahun 1918, akan tetapi upaya serius yang
sesungguhnya dimulai pada tahun 1930-an. Pada tahun 1902-1903,
Theodoor van Erp memelihara bagian yang rawan runtuh. Pada tahun
1918-1926, dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige Dienst) di
bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih sistematis sesuai kaidah
arkeologi. Sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan
pemindahan dan pembongkaran beribu-ribu batu secara sembarangan
tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali. Pada tahun 1926
dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun
1931 digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga pada tahun 1942 dan
kemudian diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra Indonesia
dan itu berlanjut hingga tahun 1993 [7].
Upaya renovasi terus menerus dilakukan bahkan hingga kini. Pemugaran
candi Siwa yaitu candi utama kompleks ini dirampungkan pada tahun 1953
dan diresmikan oleh Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno.
Banyak bagian candi yang direnovasi, menggunakan batu baru, karena
batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain. Sebuah
candi hanya akan direnovasi apabila minimal 75% batu asli masih ada.
Oleh karena itu, banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan
hanya tampak fondasinya saja.
Kini, candi ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia yang dilindungi oleh
UNESCO, status ini diberikan UNESCO pada tahun 1991. Kini, beberapa
bagian candi Prambanan tengah direnovasi untuk memperbaiki kerusakan
akibat gempa Yogyakarta 2006. Gempa ini telah merusak sejumlah
bangunan dan patung.
Pemandangan Prambanan dikala malam yang disoroti lampu dari arah
panggung terbuka Trimurti.
Dokumentasi pemeran utama Sendratari Ramayana, Rama (Tunjung
Sulaksono) dan Sinta (Sumaryaning) bersama Charlie Chaplin dan GPH
Suryohamijoyo di PanggungTerbuka Roro Jonggrang (1961).
Pada awal tahun 1990-an pemerintah memindahkan pasar dan kampung
yang merebak secara liar di sekitar candi, menggusur kawasan
perkampungan dan sawah di sekitar candi, dan memugarnya menjadi
taman purbakala. Taman purbakala ini meliputi wilayah yang luas di tepi
jalan raya Yogyakarta-Solo di sisi selatannya, meliputi seluruh kompleks
candi Prambanan, termasuk Candi Lumbung, Candi Bubrah, dan Candi
Sewu di sebelah utaranya. Pada tahun 1992 Pemerintah Indonesia
Perusahaan milik negara, Persero PT Taman Wisata Candi Borobudur,
Prambanan, dan Ratu Boko. Badan usaha ini bertugas mengelola taman
wisata purbakala di Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, serta kawasan
sekitarnya. Prambanan adalah salah satu daya tarik wisata terkenal di
Indonesia yang banyak dikunjungi wisatawan dalam negeri ataupun
wisatwan mancanegara.
Tepat di seberang sungai Opak dibangun kompleks panggung dan gedung
pertunjukan Trimurti yang secara rutin menggelar pertunjukan Sendratari
Ramayana. Panggung terbuka Trimurti tepat terletak di seberang candi di
tepi Barat sungai Opak dengan latar belakang Candi Prambanan yang
disoroti cahaya lampu. Panggung terbuka ini hanya digunakan pada musim
kemarau, sedangkan pada musim penghujan, pertunjukan dipindahkan di
panggung tertutup. Tari Jawa Wayang orang Ramayana ini adalah tradisi
adiluhung keraton Jawa yang telah berusia ratusan tahun, biasanya
dipertunjukkan di keraton dan mulai dipertunjukkan di Prambanan pada
saat bulan purnama sejak tahun 1960-an. Sejak saat itu Prambanan telah
menjadi daya tarik wisata budaya dan purbakala utama di Indonesia.
Setelah pemugaran besar-besaran tahun 1990-an, Prambanan juga
kembali menjadi pusat ibadah agama Hindu di Jawa. Kebangkitan kembali
nilai keagamaan Prambanan adalah karena terdapat cukup banyak
masyarakat penganut Hindu, baik pendatang dari Bali atau warga Jawa
yang kembali menganut Hindu yang bermukim di Yogyakarta, Klaten dan
sekitarnya. Tiap tahun warga Hindu dari provinsi Jawa Tengah dan
Yogyakarta berkumpul di candi Prambanan untuk menggelar upacara pada
hari suci Galungan, Tawur Kesanga, dan Nyepi.[8][9]

Menjelaskan peran wali songo


4. Sunan Gresik :
menyebarkan Islam di wilayah Gresik, Jawa Timur. Maulana Malik Ibrahim bekerja sebagai
pedagang dan tabib yang membantu mengobati masyarakat secara gratis.

Beliau juga mengajarkan cara bercocok tanam kepada masyarakat kelas bawah yang
selama ini disisihkan oleh ajaran Hindu. Beliau berdawkah lewat pergaulan yang baik
dengan masyarakat sekitar.

Beliau meninggal pada tahun 1419 M setelah selesai membangun dan menata pondok
pesantren yang akan digunakan sebagai tempat belajar agama di Leran.

5. Sunan Ampel :
Sunan Ampel merupakan putra pertama Sunan Gresik. Beliau membangun pondok
pesantren di Ampel Denta di Surabaya untuk menyebarkan ajaran Islam.

Ketika Kesultanan Demak hendak dibangun, Sunan Ampel turut memprakarsai lahirnya
kerajaan Islam pertama di Jawa tersebut. Beliau pula yang menunjuk muridnya, Raden
Patah, putra dari Prabu Brawijaya V yang merupakan Raja Majapahit, untuk menjadi Sultan
Demak.

6. Sunan Bonang :
Sunan Bonang menyebarkan Islam mulai dari Kediri, Jawa Tengah, hingga ke berbagai
pelosok Pulau Jawa. Beliau memiliki kebiasaan berkelana ke daerah terpencil seperti
Tuban, Pati, Madura dan Pulau Bawean. Ajaran Sunan Bonang berfokus pada filsafat cinta
('isyq), yang terlihat mirip dengan gaya Jalalludin Rumi. Kesenian menjadi media
dakwahnya. Sunan Bonang menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika
Hindu menjadi gamelan khas Jawa yang menggunakan instrumen bonang.

Beliau merupakan sosok di balik tembang "Tombo Ati”. Selain itu, Sunan Bonang juga
seorang dalang yang menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
7. Sunan Derajat :
Sunan Drajat menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran
masyarakat sebagai pengamalan dari agama Islam. Oleh sebab itu, beliau terlebih dahulu
mengupayakan kesejahteraan sosial sebelum memberikan pemahaman tentang ajaran
Islam.

Beliau mendapat gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah yang merupakan Sultan
Demak kala itu. Penghargaan ini diberikan berkat keberhasilan Sunan Drajat menyebarkan
agama Islam dan mengurangi kemiskinan warganya.

8. Sunan Giri :
Sunan Giri menyebarkan Islam melalui seni. Karya seni yang sering dianggap berhubungan
dengan Sunan Giri adalah permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng,
serta beberapa gending seperti Asmaradana dan Pucung. Tembang Lir-ilir mengandung
pesan keimanan dan ajakan berubah ke arah yang lebih baik.

9. Sunan Kalijaga :
Paham keagamaan Sunan Kalijaga cenderung sufistik berbasis salaf, serupa dengan
mentor beliau, yakni Sunan Bonang. Pemikiran kesufian yang ditampilkan Sunan
Kalijaga adalah tentang konsep zuhud.
Pemikiran zuhud adalah upaya membangun kesadaran masyarakat pada arti bekerja
dan beramal. Orang boleh bekerja apa saja asalkan layak bagi martabat manusia. Orang
bekerja untuk memperoleh makanan yang halal dan pantas untuk diri dan keluarganya.
Sunan Kalijaga juga memilih seni sebagai media dakwahnya. Beliau menggunakan seni
ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk. Beliau juga merupakan tokoh pencipta
baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, dan lakon wayang
Petruk Jadi Raja. Seni tersebut membuat banyak orang tertarik, bahkan berhasil
membuat sebagian besar adipati di Jawa untuk memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga.

10. Sunan Kudus :


Cara berdakwah Sunan Kudus meniru pendekatan Sunan Kalijaga yang sangat toleran pada
budaya setempat. Dakwah beliau juga disampaikan secara halus.

Beliau juga mendekati masyarakat dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha.
Ini bisa terlihat pada arsitektur Masjid Kudus. Beliau juga pernah menjadi Senapati atau
panglima perang Kerajaan Islam Demak.
11. Sunan Muria :

Sunan Muria banyak menyebarkan Islam di sekitar Jawa Tengah. Sarana yang
dipakai untuk berdakwah serupa dengan Sunan Kalijaga, yakni lewat kesenian
dan kebudayaan. Beliau juga bergaul dengan rakyat jelata sambil mengajarkan
keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut.

12. Sunan Gunung Jati :

Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya wali yang menjadi kepala


pemerintahan. Beliau mendirikan Kasultanan Cirebon dan Banten. Posisinya
tersebut dimanfaatkan untuk mengembangkan Islam. Beliau juga mendekati
rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan penghubung
antar wilayah.

Alkuturasi dan Proses Interaksi Lokal, Hindu


Buddha dan Islam di Indonesia :

13.) Bidang Agama, Pemerintahan, Bahasa, Pendidikan

Bidang System Pemerintahan

Dulu sistem pemerintahan dipimpin oleh seorang kepala suku yang


menggunakan sistem Primus Interpares ( orang nomor satu diantara
sesamanya ). Sedangkan dalam Hindu-Buddha sistem pemerintahannya
berupa kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja. Tetapi di dalam Islam
nama Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sebagai buktinya di daerah
Banten tepatnya di daerah Baduy, dalam penduduknya di pimpin oleh
seorang Kepala Suku dan pada jaman dulu banyak kerajaan-kerajan yang
berdiri di Nusantara ini yang menggunakan sistem pemerintahan yang di
pimpin oleh seorang Raja, setelah Islam masuk dan menyebar sangat luas
Raja digantikan dengan sebutan Sultan seperti halnya Sultan Hassanudin
di Banten.

14.) Bidang, Bangunan, Tingkatan Sosial (Kemasyarakatan), Kebudayaan /


Kesenian
 Bidang sosial
System masyarakat yang dulunya dibedakan berdasarkan profesi, setelah
agama Hindu-Budha masuk, system kemasyarakatan dibedakan
berdasarkan kasta. Tetapi dengan masuknya agama Islam sitem kasta mulai
menghilang, meskipun sekarang masih kita jumpai pada masyaakat
tertentu.
Bidang budaya
Sebelum pengaruh budaya Hindu-Budha masuk, bangsa Indonesia
talah menggunakan bahasa melayu kuno dan Jawa kuno. Setelah masuknya
Hindu-Budha masyarakat menggunakan bahasa sansekerta dan bahasa
podi. sedangkan Masuknya agama Islam ke Indonesia, Islam menggunakan
bahasa Arab. Hal itu membuat
perbendaharaan kata semakin banyak.
Bidang bangunan
Candi Hindu-Budha yang ditemukan di Indonesi pada dasarnya merupakan
wujud akulturasi dari zaman megalithikum yaitu dari bangunan punden
berundak.
 Letak bangunan utama
Bentuk candi menyasuaikan dir ke entuk bangunan punden brundak.
Bangunan utamanya berada di bagian belakang dan bentuknya bertingkat.
 Fungsi candi
Selain befungsi sebagai tempat pemujaan dewa, juga berfungsi sebagai
tempat untuk pemujaan nenek moyang.
15.) Sistem Perdagangan Di Nusantara : Mata Uang, Hasil
Pedagangan (Out Dan In), Jalur Perdagangan
Awal abad Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur sutera) tetapi
beralih kejalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan antara Cina dan India
melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif dalam perdagangan
tersebut.
Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara Indonesia
dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab
masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia.

Mengenai siapa yang membawa atau menyebarkan agama Hindu - Budha ke


Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti, walaupun demikian para ahli memberikan
pendapat tentang proses masuknya agama Hindu - Budha atau kebudayaan India ke
Indonesia.
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat
hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih
jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu
masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh
para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa
terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para
musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien. Pada abad ke-4 di
Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan
Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-
16. Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan
Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha
Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing
mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak
kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan
Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan
Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga
1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini
sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung
Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan
pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita
Ramayana. Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan
kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera
Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan
tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan
Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era ini.

Anda mungkin juga menyukai