Anda di halaman 1dari 4

Manifestasi Klinis Striktur Uretra

Pada anamnesis diawali dengan didapatkannya keluhan sulit kencing atau pasien harus
mengejan untuk memulai kencing namun urine hanya keluar sedikit-sedikit. Gejala-gejala
lain yang harus ditanyakan ke pasien adalah adanya disuria, frekuensi kencing meningkat,
hematuria, dan perasaan sangat ingin kencing yang terasa sakit. Jika curiga penyebabnya
adalah infeksi, perlu ditanyakan adanya tanda-tanda radang seperti demam atau keluar
nanah.

Tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada pasien striktur uretra:
a. Pancaran urine berkurang
b. Kencing menetes (postvoiding dribbling)
c. Gejala infeksi atau sistitis akut
d. Retensi urine akut jarang terjadi kecuali terjadi infeksi atau obstruksi prostat
e. Frekuensi urine
f. Disuria ringan
g. Indurasi pada area striktur dapat terpalpasi
h. Massa yang membesar sepanjang uretra biasanya menandakan abses peri uretra
i. Fistula uretrokutaneus
j. Vesica urinaria terpalpasi jika terjadi retensi urine kronik

Pemeriksaan Diagnostik Striktur Uretra


1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan lewat inspeksi dan palpasi. Pada inspeksi, perhatikan meatus
uretra eksterna, adanya pembengkakan atau fistel disekitar penis, skrotum, perineum, dan
suprapublik. Kemudian kita palpasi apakah teraba jaringan parut sepanjang uretra
anterior pada ventral penis, jika ada fistel, pijat muaranya untuk mengeluarkan nanah
didalamya.

2. Pemeriksaan colok dubur


Pemeriksaan colok dubur berguna untuk menyingkirkan diagnosis lain seperti
pembesaran prostat.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Uroflowmetri
Alat untuk mengetahui pancaran urine secara obyektif. Derasnya pancaran diukur
dengan membagi volume urine saat kencing dibagi dengan lama proses kencing.
Kecepatan pancaran normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang dari
10 ml/detik menandakan adanya obstruksi.

b. Pemeriksaan foto Retrograde Uretrogram dikombinasikan dengan Voiding


Cystouretrogram
Pemeriksaan ini tetap dijadikan standar pemeriksaan untuk menegakan diagnosis.
Radiografi ini dapat menentukan panjang dan lokasi dari striktur uretra.
c. Penggunaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG berguna dalam mengevaluasi striktur pada pars bulbosa dan juga
bisa mengevaluasi panjang striktur dan derajat luas jaringan parut, contohnya
spongiofibrosis.

d. Urethroscopy dan sistoskopi


Penggunaan kamera fiberoptik masuk ke dalam uretra sampai ke buli-buli untuk
melihat penyebab, letak, dan karakter striktur secara langsung.

e. Pencitraan menggunakan magneting resonance imaging


Pemeriksaan ini bagus dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur secara pasti
panjang striktur, derajat fibrosis, dan pembesaran prostat. Namun alat ini belum
tersedia secara luas dan biayanya sangat mahal sehingga jarang digunakan.

f. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis atau cek darah lengkap rutin dikerjakan
untuk melihat perkembangan pasien dan menyingkirkan diagnosis lain

Penatalaksanaan Striktur Uretra


1. Penatalaksanaan dini
Pada penatalaksanaan dini dilakukan pemasangan kateter uretra dan pemberian antibiotik
dan analagetik sebagai terapi simtomatik seperti pemberian Ciprofloxacin 500 mg/12 jam
serta Asam mefenamat 500mg/8 jam.

2. Penatalaksanaan lanjut
a. Uteroskopi
Uteroskopi dapat menvisualisasikan striktur secara langsung.

b. Uretrotomi interna
Striktur biasanya diinsisi sirkumferensial dengan insisi multipel dengan melihat secara
langsung melaui endoskop. Pisau yang digunakan pada internal uretrotomi adalah
pisau Otis atau pisau Sachse. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktura total,
sedangkan pada striktura yang lebih berat, pemotongan striktura memakai pisau
sachse.

c. Sonourethrography
Sonourethrography digunakan untuk membantu dalam menentukan luas, lokasi dan
derajat jaringan parut.

d. Repair surgical terbuka


Repair surgical terbuka dilakukan jika uretrotomi dibawah penglihatan langsung
gagal.
Manifestasi Klinis Trauma Uretra
Manifestasi klinik khas pada ruptur traktus urinaria adalah hematuria akibat rupturnya
vaskular dinding buli yang menyebabkan urine bercampur darah. Gejala lain yang dapat
dikeluhkan pasien ruptur buli adalah distensi abdomen, memar area suprapubik, nyeri tekan
abdomen, distensi abdomen, terdapat darah di meatus urethra, gangguan miksi, hingga
pasien dapat jatuh dalam keadaan syok.

Penatalaksanaan Trauma Uretra


Menurut Guideline American Urological Association (AUA) dan European Association of
Urology (EAU), menyatakan penanganan kasus trauma buli tanpa komplikasi hanya
membutuhkan terapi konservatif berupa drainase kateter urethra dan observasi
perkembangan pasien. Stabilitas hemodinamik adalah syarat utama dalam tatalaksana
konservatif trauma traktus urinarius. Terapi ini meliputi drainase kateter, tirah baring total
sampai hematuria teratasi, dan observasi ketat tanda vital dan perdarahan.

Guideline American Urological Association (AUA) merekomendasikan drainase uretra


dilakukan selama 2-3 minggu. Setelah itu, pasien harus di follow up dengan melakukan
pemeriksaan cystography kembali untuk menilai perbaikan pada vesica urinari. Apabila
ruptur tidak mengalami perubahan dalam 4 minggu perawatan maka di anjurkan tindakan
operatif. Sedangkan, trauma buli dengan komplikasi disertai fraktur pelvis, laserasi rektum,
atau ruptur leher buli membutuhkan penanganan tindakan operatif segera.

1. Ruptur Anterior
a. Pada ruptur anterior yang partial cukup dengan memasang kateter dan melakukan
drainase bila ada
b. Pada ruptur yang total hendaknya sedapat mungkin dilakukan penyambungan
dengan membuat end-to-end, anastomosis dan suprapubic cystostomy.
c. Kontusio : observasi, 4-6 bulan kemudian dilakukan uretrografi ulang.
d. Sistosomi, 2 minggu kemudian dilakukan uretrogram dan striktura sache jika timbul
stiktura uretra.
e. Debridement dan insisi hematom untuk mencegah infeksi.

2. Ruptur uretra posterior


a. Pada rupture yang total suprapubic cystostomy 6-8 minggu.
b. Pada ruptur uretra posterior yang partial cukup dengan memasang douwer kateter.
c. Operasi uretroplasti 3 bulan pasca ruptur.
Pemeriksaan Diagnostik Striktur Uretra
Pemeriksaan CT Scan Cystografi maupun kovensional merupakan modalitas utama
yang dianjurkan untuk menegakkan diagnosis ruptur buli terutama pada kasus non
iatrogenik karena memiliki sensitivitas sebesar 90-95% dan spesifisitas hingga 100%. CT
Cystograf memiliki keunggulan dalam menentukan dengan tepat lokasi ruptur buli dan
dapat mendiagnosis cedera organ lain dalam abdomen.

DAFTAR PUSTAKA
Harista, R. A., dan S. Mustofa. 2017. Striktur Uretra Pars Bulbosa. Jurnal Medula. 7(5):
84-90.
Sesa, W. C., W. Suarsana, dan Aristo. 2019. Conservative Treatment Of Bladder
Contusio. Jurnal Medical Profession. 1(1): 62-67.

Anda mungkin juga menyukai