Anda di halaman 1dari 11

LEPRA

No. ICD-10 : A30 Leprosy (Hansen Disease)


No. ICPC-2 : A78 Infectious diseases other/NOS
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Lepra masih menjadi masalah kesehatan publik di berbagai negara. Indonesia tahun 2013
menempati urutan ketiga di dunia setelah India dan Brazil dengan jumlah kasus lepra baru
sebanyak 16.856 kasus dan jumlah kecacatan tingkat 2 di antara penderita baru sebanyak
9,86%. Kasus baru lepra tahun 2015 dilaporkan sebanyak 17.202 kasus dengan 84,5% di
antaranya merupakan tipe Multibasiler (MB). Angka cacat tingkat 2 pada tahun 2015 sebesar
6,60 per 1 juta penduduk. Provinsi Sulawesi Utara menempati urutan tertinggi angka cacat
tingkat 2 per 1.000.000 penduduk pada tahun 2015 yaitu sebanyak 21,14% disusul daerah
lain seperti Papua Barat (19,51%) dan Gorontalo (18,53%). Walaupun telah menyelesaikan
terapi banyak penderita mengalami reaksi lepra, kecacatan dan disfungsi neurologik akibat
kerusakan saraf perifer yang ireversibel. Penyakit ini juga berkaitan erat dengan mitos
terhadap stigma, kematian dan mutilasi. Persepsi ini menimbulkan prasangka, diskriminasi
dan eksklusi sosial sehingga penderita tidak hanya sakit fisik tapi juga mental dan
berpengaruh terhadap kehidupan personal dan profesional mereka. Penularan mungkin
terjadi melalui saluran pernafasan atas dan kontak kulit pasien lebih dari 1 bulan terus
menerus

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Lepra.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyakit atau memutuskan rantai
penularan, dan akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, farmakologis, diet, olah raga atau
perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip
kendali mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi, menerapkan dan melakukan monitor evaluasi kegiatan pencegahan
penyakit lepra yang tepat, berkaitan dengan pasien, anggota keluarga dan masyarakat.
DEFINISI
Penyakit Lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat.
Penyakit lepra juga dikenal sebagai penyakit Kusta atau Hansen disease’s. Belum ditemukan
medium artifisial, sehingga belum bisa dikultur. Sumber infeksi utama adalah manusia; di
Afrika dilaporkan juga menular melalui monyet hijau dan armadillo di Louisiana. Penderita
yang mengandung M leprae lebih banyak, memiliki daya penularan dua sampai sepuluh kali
lebih besar. Kuman dapat ditemukan di sputum, kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan
air susu ibu, jarang di dalam urin. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan.
Masa inkubasi berkisar antara 40 hari sampai 40 tahun; rata-rata 3-5 tahun.
Spektrum klinis sangat bervariasi, mulai dari fase awal (indeterminate) yang sulit dikenali
sampai ditemukan adanya gejala klinis. Ridley and Jopling membedakan gejala klinis lepra
menjadi polar tuberkuloid leprosy (TT), borderline tuberkuloid leprosy (BT), borderline-
borderline leprosy (BB), borderline lepromatous leprosy (BL) dan polar lepromatous
leprosy (LL). WHO membedakan gambaran klinis lepra untuk mempermudah pemberian
terapi menjadi tipe pausibasiler yaitu lepra dengan basil tahan asam (BTA) negatif pada
pemeriksaan kerokan jaringan (tipe I, TT, BT). Sedangkan lepra multibasiler adalah semua
penderita lepra tipe BB, BL, LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif.

ETIOLOGI
Imunologi adalah kunci utama penyakit lepra, karena respon imun penderita menentukan
gambaran klinis penyakit. Kondisi imunodepresi menyebabkan timbulnya gambaran klinis
yang berat. Bila M leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak
gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepromatosa. Tipe tuberkuloid dengan respon imun tipe Th1 yang kuat akan membatasi
progresi penyakit sehingga lesi kulit sedikit dan kerusakan saraf terbatas (tanpa adanya
respon humoral). Tipe lepromatosa yang ditandai oleh respon imun humoral Th2 dominan
(produksi antibodi IgM atau IgG yang tinggi) menyebabkan respon imun inadekuat
terhadap bakteri intraseluler dan tidak mampu mengontrol multiplikasi basil.
Mycobacterium leprae memiliki tropism pada kulit dan sel Schwann saraf perifer.
Kerusakan saraf awalnya ditandai dengan sensori neuritis, namun penderita yang tidak
berobat biasanya akan mengalami kelainan motorik yang berat.
PETA KONSEP

FAKTOR RISIKO
1. Sosial ekonomi rendah
2. Kontak lama dengan pasien, misalnya anggota keluarga yang menderita lepra
3. Imunokompromais
4. Tinggal di daerah endemis lepra
5. Memiliki predisposisi/kerentanan genetik untuk menderita lepra
PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Anamnesis harus dilakukan dengan cermat agar didapatkan riwayat penyakit yang akurat
mengenai tanda-tanda utama (cardinal signs) berupa bercak kulit yang mati rasa, penebalan
saraf tepi disertai gangguan fungsi saraf seperti hilang rasa, kelemahan otot, kulit kering dan
kerontokan rambut tertentu yang berlangsung lama. Kelainan kulit tidak sembuh dengan
pengobatan rutin. Keluhan juga dialami pada mata berupa kelemahan otot mata, kabur atau
luka. Terdapat riwayat kontak anggota keluarga atau orang sekitar dan pernah tinggal di
daerah endemis. Beberapa pertanyaam berikut dapat berguna dalam pertimbangan diagnosis
lepra:
1. Apakah ada bercak kulit (berwarna putih dan atau merah), datar atau menimbul, yang
mati rasa?
2. Apakah ada bercak kulit yang tidak gatal, kering, bersisik, halus dan mengkilat?
3. Apakah ada bercak kulit yang tidak berkeringat?
4. Apakah ada alis mata yang rontok/tidak berambut?
5. Apakah ada lepuh atau luka tanpa rasa nyeri?
6. Apakah ada nyeri tekan dan atau spontan pada saraf tepi?
7. Apakah ada rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri pada anggota gerak?
8. Apakah ada kelemahan anggota gerak dan/atau kelopak mata?
9. Apakah ada cacat atau luka yang sulit sembuh?
PEMERIKSAAN

1. Pemeriksaan pada kulit


a. Lesi kulit bisa berupa makula, infiltrat, papul atau nodul yang eritema atau
hipopigmentasi, datar atau menimbul
b. Lesi hipoestesi atau anestesi
c. Lesi yang tidak gatal
d. Anestesi atau parestesi pada tangan dan kaki
e. Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat (anhidrosis), mengkilap atau kering
bersisik, dan atau alis mata tidak berambut (madarosis).
f. Bengkak atau penebalan pada wajah dan cuping telinga
g. Lepuh tidak nyeri pada tangan dan kaki
2. Pemeriksaan pada saraf tepi
a. Nyeri tekan dan atau spontan pada saraf
b. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri pada anggota gerak
c. Kelemahan anggota gerak dan atau kelopak mata
d. Pembesaran saraf
e. Adanya cacat (disabilitas, deformitas)
f. Luka (ulkus) yang sulit sembuh
3. Kelainan pada mata
a. Penurunan tajam penglihatan
b. Gangguan fungsi kelopak mata
c. Kemerahan pada mata, kelainan secret dan lensa mata

Saraf tepi yang paling sering terkena dan perlu diperiksa tampak pada gambar berikut:

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Fasilitas kesehatan tingkat pertama/tingkat lanjut


a. Pemeriksaan bakterioskopik
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap
basil tahan asam (BTA) yaitu Ziehl-Neelsen (Slit skin smear). M leprae tergolong
BTA, akan tampak merah pada sediaan, dibedakan menjadi batang utuh (solid), batang
terputus (fragmented) dan butiran (granular). Kepadatan BTA tanpa membedakan
solid dan non solid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB)
dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang
pandang.
2. Fasilitas kesehatan tingkat lanjut
a. Pemeriksaan histopatologik
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid/pausibasiler adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non solid.
Gambaran histopatologik tipe lepromatosa/multibasiler adalah kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone) , adanya sel Virchow dengan banyak kuman.
Tipe borderline terdapat campuran unsur-unsur tersebut.
b. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta berdasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M leprae. Antibodi yang spesifik terhadap M leprae
adalah antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD
serta 35 kD

DIAGNOSIS KLINIS

Diagnosis klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terutama memenuhi
gejala utama berupa bercak kusta yang hilang rasa disertai gangguan/kerusakan saraf perifer.
Pemeriksaan penunjang bakteriologik lepra berupa kerokan jaringan kulit pada kusta
multibasiler akan ditemukan basil tahan asam/BTA.

DIAGNOSIS BANDING

1. Bercak eritema
Psoriasis vulgaris
Pitiriasis rosea
Tinea corporis
Dermatitis seboroik
2. Bercak putih
Vitiligo
Pitiriasis versikolor
Pitirias alba
3. Nodul
Neurofibromatosis
Sarkoma
Kaposi
Prurigo nodularis

SARANA DAN PRASARANA

1. Pemeriksaan bakteriologik kerokan jaringan kulit BTA dengan perwarnaan Ziehl-


Nielsen dan menghitung nilai Indeks Bakteri (IB) dan Indeks Morfologi (IM)
2. Terapi fisik
3. Terapi okupasi
4. Pemberian ortosis dan prosthesis
5. Perawatan luka
6. Supporting psikologis melalui peresepan latihan yang sesuai
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Tujuan utama penatalaksanaan penyakit Lepra adalah memutus rantai penularan, mencegah
cacat atau menangani agar cacat tidak berlanjut, menangani komplikasi, memperbaiki
kualitas hidup penderita serta menghilangkan stigma dan diskriminasi.
Penatalaksanaan
1. Pasien diberikan informasi mengenai kondisi pasien saat ini, serta mengenai pengobatan
dan pentingnya kepatuhan untuk eliminasi penyakit
2. Kebersihan diri dan pola makan yang baik dan bergizi perlu dilakukan
3. Pasien dimotivasi untuk segera memulai terapi hingga selesai terapi dilaksanakan
4. Terapi menggunakan MDT (Multi Drug Therapy) pada:
a. Pasien yang baru didiagnosis lepra dan belum pernah mendapat MDT
b. Pasien ulangan, yaitu pasien-pasien yang mengalami hal-hal berikut yaitu relaps,
masuk kembali setelah default (PB ataupun MB), pindahan dan berubah tipe klinis.
TERAPI FARMAKOLOGIS
1. Lepra Multibasiler
Cara pemberian dan dosis MDT untuk Multibasiler (BB. BL, LL atau semua tipe dengan BTA
positif)

1. LEPRA PAUSIBASILER

2. Lepra pausibasiler
Cara pemberian dan dosis MDT untuk Pausibasiler (I, TT, BT atau tipe dengan BTA
negatif)

Reaksi lepra adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronik.
Dua macam reaksi yang paling banyak dianut adalah ENL (eritema nodusum leprosum) dan
reaksi reversal. Pada reaksi ENL timbul gejala klinis berupa nodus eritema dan nyeri dengan
predileksi di lengan dan tungkai disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat. Gejala
klinis reaksi reversal umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif
dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat.
Jadwal pemberian reaksi lepra yang dianjurkan Sub Direktorat Kusta-Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) adalah sebagai berikut:

1. Pemberian prednison

Minggu pemberian Dosis harian yang dianjurkan


Minggu 1-2 40 mg
Minggu 3-4 30 mg
Minggu 5-6 20 mg
Minggu 7-8 15 mg
Minggu 9-10 10 mg
Minggu 11-12 5 mg

2. Pemberian lampren
ENL yang berat dan berkepanjangan dan ketergantungan dengan steroid, perlu ditambahkan
lampren, untuk dewasa 300mg/hari selama 2-3 bulan. Bila ada perbaikan turunkan dosis
200mg/hari selama 2-3 bulan kemudian 100mg/hari selama 2-3 bulan. Selanjutnya kembali ke
dosis lampren semula 50 mg/hari.
Algoritma Tatalaksana Lepra Di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

KONSELING DAN EDUKASI

1. Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai seluk beluk penyakit,
sifat penyakit, perubahan penyakit (apakah membaik atau memburuk), terutama cara
penularan dan pengobatannya
2. Keluarga diminta untuk membantu mengawasi pengobatan pasien sehingga dapat selesai
sesuai dengan waktu pengobatan
3. Apabila terdapat tanda dan gejala serupa pada anggota keluarga lainnya, perlu dibawa
dan diperiksakan ke pelayanan kesehatan
MONITORING PENGOBATAN
Penderita lepra yang telah dinyatakan selesai pengobatan harus tetap dilakukan pemantauan
oleh petugas Puskesmas untuk menghindari reaksi lepra yang dapat menyebabkan
disabilitas. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemantauan dan evaluasi
pengobatan, yaitu:
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.
2. Apabila Penderita lepra terlambat mengambil obat, paling lama dalam 1 bulan harus
dilakukan pelacakan.
3. Release From Treatment (RFT) dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa
diperlukan pemeriksaan laboratorium. Setelah RFT Penderita lepra dikeluarkan dari
register kohort.
4. Penderita lepra yang sudah RFT namun memiliki faktor risiko:
a. disabilitas tingkat 1 atau 2
b. pernah mengalami reaksi
c. BTA pada awal pengobatan positif >3 (ada nodul atau infiltrat) dilakukan
pengamatan secara semi-aktif.
5. Penderita lepra PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9
bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
6. Penderita lepra MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam
waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
7. Putus obat (default) jika seorang Penderita lepra PB tidak mengambil/minum obatnya
lebih dari 3 bulan dan Penderita lepra MB lebih dari 6 bulan secara kumulatif maka
yang bersangkutan dikategorikan sebagai putus obat (default). Pasien defaulter tidak
diobati kembali bila tidak terdapat tanda-tanda klinis aktif. Bila setelah terapi kembali
pada defaulter, ternyata berhenti setelah lebih dari 3 bulan, maka dinyatakan default
kedua. Bila default lebih dari dua kali, perlu dilakukan tindakan dan penanganan
khusus.
8. Relaps
Relaps atau kambuh terjadi bila sebelumnya Penderita lepra sudah pernah dinyatakan
sembuh atau telah menyelesaikan pengobatan MDT oleh dokter atau petugas
kesehatan. Penderita lepra dapat diberikan MDT maksimal 24 bulan dengan follow up
pemeriksaan MI setiap 3 bulan. Jika MI sudah negatif maka MDT dihentikan. Jika di
akhir bulan ke 24 hasil MI masih positif maka harus dilakukan pemeriksaan resistensi
MDT.
9. Indikasi pengeluaran Penderita lepra dari register kohort adalah RFT, meninggal,
pindah, salah diagnosis, ganti klasifikasi, default.
10. Pada keadaan-keadaan khusus (misalnya akses yang sulit ke pelayanan kesehatan)
dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan penyuluhan lengkap
mengenai efek samping, tanda-tanda reaksi, agar secepatnya kembali ke pelayanan
kesehatan.
KRITERIA RUJUKAN
Bila pengobatan tidak berhasil, dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut. Pasien
yang dirujuk adalah:
1. Terdapat efek samping obat yang serius
2. Reaksi kusta dengan kondisi:
a. ENL melepuh, pecah (ulcerasi), suhu tubuh tinggi, neuritis
b. Reaksi tipe 1 dengan disertai dengan bercak ulserasi atau neuritis
c. Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya hepatitis, DM,
hipertensi, tukak lambung yang berat, dan lain-lain.
d. Reaksi ENL berat dan berulang

KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul pada penyakit lepra antara lain:
1. Reaksi ENL yang mengenai organ lain seperti iridosiklitis, neuritis akut,
limadenitis, artritis, orkitis dan nefritis akut
2. Disabilitas/cacat kusta pada tangan, kaki dan mata

PROGNOSIS
Prognosis untuk vitam umumnya bonam, namun dubia ad malam pada fungsi ekstremitas,
karena dapat terjadi mutilasi, demikian pula untuk kejadian berulangnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes RI,2016. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015. Jakarta: Kemenkes RI : 175-
178
2. PB IDI, 2014. Panduan Praktek Klinis bagi dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer; 43-52
3. Sri Linuwih Menaldi, Kusmarinah Bramono, Wresti Indriatmi, 2017. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit FKUI; 87-102
4. SKDI Tahun 2012, Edisi Kedua, 2012 Cetakan Pertama, Desember 2012, KKI
5. Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI no 11 tahun 2019. Pedoman Penanggulangan
Kusta. Jakarta; 30-66
6. Reibel F, Cambau E, Aubry A, 2015. Update on the epidemiology, diagnosis and
treatment of leprosy. Medecine et maladies infectieuses 45;383-393

Anda mungkin juga menyukai