PENDAHULUAN
Lepra masih menjadi masalah kesehatan publik di berbagai negara. Indonesia tahun 2013
menempati urutan ketiga di dunia setelah India dan Brazil dengan jumlah kasus lepra baru
sebanyak 16.856 kasus dan jumlah kecacatan tingkat 2 di antara penderita baru sebanyak
9,86%. Kasus baru lepra tahun 2015 dilaporkan sebanyak 17.202 kasus dengan 84,5% di
antaranya merupakan tipe Multibasiler (MB). Angka cacat tingkat 2 pada tahun 2015 sebesar
6,60 per 1 juta penduduk. Provinsi Sulawesi Utara menempati urutan tertinggi angka cacat
tingkat 2 per 1.000.000 penduduk pada tahun 2015 yaitu sebanyak 21,14% disusul daerah
lain seperti Papua Barat (19,51%) dan Gorontalo (18,53%). Walaupun telah menyelesaikan
terapi banyak penderita mengalami reaksi lepra, kecacatan dan disfungsi neurologik akibat
kerusakan saraf perifer yang ireversibel. Penyakit ini juga berkaitan erat dengan mitos
terhadap stigma, kematian dan mutilasi. Persepsi ini menimbulkan prasangka, diskriminasi
dan eksklusi sosial sehingga penderita tidak hanya sakit fisik tapi juga mental dan
berpengaruh terhadap kehidupan personal dan profesional mereka. Penularan mungkin
terjadi melalui saluran pernafasan atas dan kontak kulit pasien lebih dari 1 bulan terus
menerus
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Lepra.
ETIOLOGI
Imunologi adalah kunci utama penyakit lepra, karena respon imun penderita menentukan
gambaran klinis penyakit. Kondisi imunodepresi menyebabkan timbulnya gambaran klinis
yang berat. Bila M leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak
gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepromatosa. Tipe tuberkuloid dengan respon imun tipe Th1 yang kuat akan membatasi
progresi penyakit sehingga lesi kulit sedikit dan kerusakan saraf terbatas (tanpa adanya
respon humoral). Tipe lepromatosa yang ditandai oleh respon imun humoral Th2 dominan
(produksi antibodi IgM atau IgG yang tinggi) menyebabkan respon imun inadekuat
terhadap bakteri intraseluler dan tidak mampu mengontrol multiplikasi basil.
Mycobacterium leprae memiliki tropism pada kulit dan sel Schwann saraf perifer.
Kerusakan saraf awalnya ditandai dengan sensori neuritis, namun penderita yang tidak
berobat biasanya akan mengalami kelainan motorik yang berat.
PETA KONSEP
FAKTOR RISIKO
1. Sosial ekonomi rendah
2. Kontak lama dengan pasien, misalnya anggota keluarga yang menderita lepra
3. Imunokompromais
4. Tinggal di daerah endemis lepra
5. Memiliki predisposisi/kerentanan genetik untuk menderita lepra
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Anamnesis harus dilakukan dengan cermat agar didapatkan riwayat penyakit yang akurat
mengenai tanda-tanda utama (cardinal signs) berupa bercak kulit yang mati rasa, penebalan
saraf tepi disertai gangguan fungsi saraf seperti hilang rasa, kelemahan otot, kulit kering dan
kerontokan rambut tertentu yang berlangsung lama. Kelainan kulit tidak sembuh dengan
pengobatan rutin. Keluhan juga dialami pada mata berupa kelemahan otot mata, kabur atau
luka. Terdapat riwayat kontak anggota keluarga atau orang sekitar dan pernah tinggal di
daerah endemis. Beberapa pertanyaam berikut dapat berguna dalam pertimbangan diagnosis
lepra:
1. Apakah ada bercak kulit (berwarna putih dan atau merah), datar atau menimbul, yang
mati rasa?
2. Apakah ada bercak kulit yang tidak gatal, kering, bersisik, halus dan mengkilat?
3. Apakah ada bercak kulit yang tidak berkeringat?
4. Apakah ada alis mata yang rontok/tidak berambut?
5. Apakah ada lepuh atau luka tanpa rasa nyeri?
6. Apakah ada nyeri tekan dan atau spontan pada saraf tepi?
7. Apakah ada rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri pada anggota gerak?
8. Apakah ada kelemahan anggota gerak dan/atau kelopak mata?
9. Apakah ada cacat atau luka yang sulit sembuh?
PEMERIKSAAN
Saraf tepi yang paling sering terkena dan perlu diperiksa tampak pada gambar berikut:
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terutama memenuhi
gejala utama berupa bercak kusta yang hilang rasa disertai gangguan/kerusakan saraf perifer.
Pemeriksaan penunjang bakteriologik lepra berupa kerokan jaringan kulit pada kusta
multibasiler akan ditemukan basil tahan asam/BTA.
DIAGNOSIS BANDING
1. Bercak eritema
Psoriasis vulgaris
Pitiriasis rosea
Tinea corporis
Dermatitis seboroik
2. Bercak putih
Vitiligo
Pitiriasis versikolor
Pitirias alba
3. Nodul
Neurofibromatosis
Sarkoma
Kaposi
Prurigo nodularis
1. LEPRA PAUSIBASILER
2. Lepra pausibasiler
Cara pemberian dan dosis MDT untuk Pausibasiler (I, TT, BT atau tipe dengan BTA
negatif)
Reaksi lepra adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronik.
Dua macam reaksi yang paling banyak dianut adalah ENL (eritema nodusum leprosum) dan
reaksi reversal. Pada reaksi ENL timbul gejala klinis berupa nodus eritema dan nyeri dengan
predileksi di lengan dan tungkai disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat. Gejala
klinis reaksi reversal umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif
dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat.
Jadwal pemberian reaksi lepra yang dianjurkan Sub Direktorat Kusta-Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) adalah sebagai berikut:
1. Pemberian prednison
2. Pemberian lampren
ENL yang berat dan berkepanjangan dan ketergantungan dengan steroid, perlu ditambahkan
lampren, untuk dewasa 300mg/hari selama 2-3 bulan. Bila ada perbaikan turunkan dosis
200mg/hari selama 2-3 bulan kemudian 100mg/hari selama 2-3 bulan. Selanjutnya kembali ke
dosis lampren semula 50 mg/hari.
Algoritma Tatalaksana Lepra Di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
1. Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai seluk beluk penyakit,
sifat penyakit, perubahan penyakit (apakah membaik atau memburuk), terutama cara
penularan dan pengobatannya
2. Keluarga diminta untuk membantu mengawasi pengobatan pasien sehingga dapat selesai
sesuai dengan waktu pengobatan
3. Apabila terdapat tanda dan gejala serupa pada anggota keluarga lainnya, perlu dibawa
dan diperiksakan ke pelayanan kesehatan
MONITORING PENGOBATAN
Penderita lepra yang telah dinyatakan selesai pengobatan harus tetap dilakukan pemantauan
oleh petugas Puskesmas untuk menghindari reaksi lepra yang dapat menyebabkan
disabilitas. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemantauan dan evaluasi
pengobatan, yaitu:
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.
2. Apabila Penderita lepra terlambat mengambil obat, paling lama dalam 1 bulan harus
dilakukan pelacakan.
3. Release From Treatment (RFT) dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa
diperlukan pemeriksaan laboratorium. Setelah RFT Penderita lepra dikeluarkan dari
register kohort.
4. Penderita lepra yang sudah RFT namun memiliki faktor risiko:
a. disabilitas tingkat 1 atau 2
b. pernah mengalami reaksi
c. BTA pada awal pengobatan positif >3 (ada nodul atau infiltrat) dilakukan
pengamatan secara semi-aktif.
5. Penderita lepra PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9
bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
6. Penderita lepra MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam
waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
7. Putus obat (default) jika seorang Penderita lepra PB tidak mengambil/minum obatnya
lebih dari 3 bulan dan Penderita lepra MB lebih dari 6 bulan secara kumulatif maka
yang bersangkutan dikategorikan sebagai putus obat (default). Pasien defaulter tidak
diobati kembali bila tidak terdapat tanda-tanda klinis aktif. Bila setelah terapi kembali
pada defaulter, ternyata berhenti setelah lebih dari 3 bulan, maka dinyatakan default
kedua. Bila default lebih dari dua kali, perlu dilakukan tindakan dan penanganan
khusus.
8. Relaps
Relaps atau kambuh terjadi bila sebelumnya Penderita lepra sudah pernah dinyatakan
sembuh atau telah menyelesaikan pengobatan MDT oleh dokter atau petugas
kesehatan. Penderita lepra dapat diberikan MDT maksimal 24 bulan dengan follow up
pemeriksaan MI setiap 3 bulan. Jika MI sudah negatif maka MDT dihentikan. Jika di
akhir bulan ke 24 hasil MI masih positif maka harus dilakukan pemeriksaan resistensi
MDT.
9. Indikasi pengeluaran Penderita lepra dari register kohort adalah RFT, meninggal,
pindah, salah diagnosis, ganti klasifikasi, default.
10. Pada keadaan-keadaan khusus (misalnya akses yang sulit ke pelayanan kesehatan)
dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan penyuluhan lengkap
mengenai efek samping, tanda-tanda reaksi, agar secepatnya kembali ke pelayanan
kesehatan.
KRITERIA RUJUKAN
Bila pengobatan tidak berhasil, dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut. Pasien
yang dirujuk adalah:
1. Terdapat efek samping obat yang serius
2. Reaksi kusta dengan kondisi:
a. ENL melepuh, pecah (ulcerasi), suhu tubuh tinggi, neuritis
b. Reaksi tipe 1 dengan disertai dengan bercak ulserasi atau neuritis
c. Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya hepatitis, DM,
hipertensi, tukak lambung yang berat, dan lain-lain.
d. Reaksi ENL berat dan berulang
KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul pada penyakit lepra antara lain:
1. Reaksi ENL yang mengenai organ lain seperti iridosiklitis, neuritis akut,
limadenitis, artritis, orkitis dan nefritis akut
2. Disabilitas/cacat kusta pada tangan, kaki dan mata
PROGNOSIS
Prognosis untuk vitam umumnya bonam, namun dubia ad malam pada fungsi ekstremitas,
karena dapat terjadi mutilasi, demikian pula untuk kejadian berulangnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes RI,2016. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015. Jakarta: Kemenkes RI : 175-
178
2. PB IDI, 2014. Panduan Praktek Klinis bagi dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer; 43-52
3. Sri Linuwih Menaldi, Kusmarinah Bramono, Wresti Indriatmi, 2017. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit FKUI; 87-102
4. SKDI Tahun 2012, Edisi Kedua, 2012 Cetakan Pertama, Desember 2012, KKI
5. Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI no 11 tahun 2019. Pedoman Penanggulangan
Kusta. Jakarta; 30-66
6. Reibel F, Cambau E, Aubry A, 2015. Update on the epidemiology, diagnosis and
treatment of leprosy. Medecine et maladies infectieuses 45;383-393