Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

FAKTOR-FAKTOR PEMBANGUN DAN PENGHAMBAT KOMPETENSI KOMUNIKASI


ANTARBUDAYA MASYARAKAT PEGUNUNGAN MUSLIM WALESI DI KOTA JAYAPURA

Dr. Tatik Nuryanti


STIKOM Muhammadiyah Jayapura
Nuryanti9tatik@gmail.com

ABSTRAK

Sebagai Ibu kota propinsi, Jayapura dihuni oleh beragam suku baik dari sekita Papua maupun
suku yang berasal dari luar Papua. Sejak lama masyarakat pegunungan mendapatkan stigma
negatif dari ligkugan masyarakat sekitar Papua. Oleh karena itu sulit bagi masyarakat
pegunungan untuk berbaur degan masyarakat lain di luar kelmpkya terutama ketika mereka
harus meratau di kota Jayapura. Penelitian ini mengkaji bagaimana masyarakat pegunungan
muslim Walesi ketika mereka merantau di kota Jayapura.Penelitian ini merupaka penelitian
kualitatif dengan subyek penelitiannya adalah masyarakat pegunungan muslim Walesi yang
sudah minimal selama lima tahun tinggal di kota Jayapura. Teknik pengambilan data dilakukan
dengan metode indepth interview, observasi partisipan, dan studi literatur. Analisis data dengan
menggunakan interactive model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua faktor yang
membentuk kompetensi komunikasi antarbudaya masyarakat pegunungan muslim Walesi yang
meratau di Jayapura. Selain itu penelitian ini juga menemukan beberapa faktor yang
menjadikann rendahnya kompetensi komunikasi antarbudaya masyarakat muslim pegunungan
Walesi di kota Jayapura.

Kata Kunci: kompetensi komunikasi, kompetensi komunikasi antarbudaya, komunikasi


antarbudaya.
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

Pendahuluan

Penduduk Papua secara etnobiologis merupakan suku bangsa yang memiliki pertalian
etnis tersendiri dibandingkan dengan suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia. Kondisi
geografis Papua yang terdiri dari laut dan gunung atau pegunungan membuat masyarakat
hidup pada wilayah pesisir pantai dan wilayah pegunungan. Akibat kedua pembagian wilayah
secara geografis tersebut maka memunculkan dua istilah untuk menyebut “kelompok”
masyarakat Papua. Istilah tersebut adalah masyarakat pesisir dan masyarakat gunung.
Dalam “pembagian” kelompok tersebut melahirkan perbedaan perlakuan. Selain itu
perbedaan yang sangat mencolok baik dari sisi adat dan budaya, kebiasaan serta bahasa,
yang kemudian mempengaruhi pula pola komunikasi dan interaksi diantara berbagai elemen
masyarakat tersebut.

Pembagian masyarakat dalam dua kategori kelompok tersebut berakibat juga pada
timbulnya stereotype negatif pada masyarakat yang tinggal di pegunungan. Masyarakat
pegunungan, seringkali mendapat penilaian yang berkonotasi negatif sehingga menyulitkan
bagi masyarakat pegunungan untuk beradaptasi, baik dengan masyarakat pendatang maupun
masyarakat pesisir. Orang gunung dianggap sebagai orang yang bodoh, terbelakang, primitif,
kriminal, kasar dan sederet penilaian yang sinonim dengan kata tersebut. Akibatnya proses
interaksi sosial dan komunikasi antara masyarakat pesisir dengan pegunungan tidak bisa
berjalan dengan baik. Proses komunikasi di antara kedua kelompok masyarakat tersebut
sering terganggu.

Hal ini yang terjadi pula pada masyarakat Pegunungan muslim walesi di Kota Jayapura
Papua dimana ketika mereka mencoba untuk memulai komunikasi maka mereka merasa tidak
bisa berkomunikasi dengan baik akibat stereotype yang melekat pada diri mereka. Kurang
lancarnya proses komunikasi ini, bisa dikatakan sebagai sebuah kegagalan komunikasi.
Kegagalan komunikasi biasanya disebabkan banyak faktor. Diantaranya adalah faktor etnis,
agama, sosial, budaya, psikologis, kebangsaan dan bahasa (Melikyan, 2012: 93-94). Lebih jauh
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

Melikyan menuliskan bahwa kegagalan komunikasi dalam konteks “perilaku individu” maka
faktor utama penyebab kegagalan komunikasi adalah komunikasi antarbudaya. Kegagalan
komunikasi dalam komunikasi antarbudaya terjadi di antara individu yang berbeda bangsa
atau berbeda suku bangsa. Di mana setiap bangsa atau suku bangsa tersebut memiliki pola
pikir, norma, nilai-nilai budaya, perilaku yang telah didapatnya secara turun temurun yang
kemudian menjadi stereotype yang melekat.

Menurut Rustanto, daerah- daerah yang relatif terbuka, khususnya daerah pesisir,
paling cepat mengalami perubahan. Dengan semakin baiknya sarana dan prasarana
transportasi, hubungan antar kelompok masyarakat semakin intensif dan semakin sering pula
mereka melakukan pembauran. (2015:44). Demikian pula yang terjadi pada masyarakat pesisir
di wilayah Papua. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang lebih “maju”. Baik dalam segi
pendidikan maupun tingkat sosial ekonominya dibandingkan dengan masyarakat pegunungan.
Masyarakat pesisir relatif lebih mudah berinteraksi dengan berbagai kalangan baik dengan
orang Papua asli maupun dengan para pendatang yang bermukim di wilayah papua. Pola
interaksi ini pula yang menimbulkan penilaian maupun kesan positif kepada masyarakat
pesisir.

Lahirnya stereotype negatif yang sampai saat ini masih melekat pada masyarakat
pegunungan muslim walesi tersebut, kenyataannya telah menyulitkan komunikasi di antara
kedua belah pihak dan berakibat pada sulitnya terjadi integrasi pada masyarakat Papua.
Padahal kemampuan untuk berkomunikasi atau biasa disebut kompetensi komunikasi
diantara berbagai budaya akan membuat masyarakat Papua memiliki keterbukaan dan
kesadaran terhadap budaya yang dimiliki oleh pihak lain.

Menurut Mulyana, kesalahpahaman-kesalahpahaman antarbudaya dapat dikurangi


bila kita sedikitnya mengetahui prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya dan
mempraktekkannya dalam berkomunikasi dengan orang lain (Mulyana,2005:ix). Dengan
demikian kompetensi komunikasi yang baik akan memudahkan masyarakat Papua untuk
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

melakukan integrasi budaya sehingga tidak ada lagi dikotomi masyarakat pegunungan dan
masyarakat pesisir sebagaimana yang dicita-citakan oleh Gubernur Papua saat ini.

Selain itu juga sebagaimana yang telah peneliti uraikan di atas bahwa komunikasi
merupakan hal yang penting dalam proses interaksi sosial, maka melalui proses komunikasi
nilai-nilai dan norma budaya dapat ditransformasikan dan disampaikan sehingga diharapkan
tidak ada lagi terdapat “pemisahan” antara masyarakat pesisir dengan masyarakat
pegunungan yang berakibat timbulnya “gap” di antara masyarakat Papua itu sendiri.
Sebagaimana yang telah diserukan oleh gubernur Papua bahwa “sebaiknya tidak ada lagi
sebutan orang gunung atau orang pesisir karena sebenarnya orang di luar Papua mengenal
orang Papua itu sebuah kesatuan. Tetapi mengapa orang Papua sendiri yang memisahkan
masyarakat Papua”.

Dalam konteks inilah peneliti tertarik untuk mengkaji faktor-faktor yang menjadi
pembentuk dan penghambat kompetensi komunikasi antarbudaya pada masyarakat muslim
pegunungan Walesi di kota Jayapura.

Metodologi

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan


kualitatif (qualitative research). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007: 4) mendefinisikan
metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.Subjek dalam
penelitian ini adalah masyarakat Pegunungan muslim walesi yang mendiami kota Jayapura.
Sebagaimana menurut pandangan Taylor dan Bogdan (1998) yang menyebutkan istilah
informan untuk menggantikan istilah subjek penelitian dalam penelitian kualitatif. Berkaitan
dengan informan yang menjadi subjek penelitian ini adalah informan yang memiliki kontribusi
dalam menemukan data penelitian.
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

Pemilihan informan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah berdasarkan
pada asas subyek yang menguasai permasalahan, memiliki data, dan bersedia memberikan
imformasi lengkap dan akurat. Penelitian kualitatif tidak dipersoalkan jumlah informan, tetapi
bisa tergantung dari tepat tidaknya pemilihan informan kunci, dan komplesitas dari
keragaman fenomena sosial yang diteliti. Dengan demikian, informan ditentukan dengan
teknik purposive sampling, yakni proses penentuan informan yang didasarkan pada kriteria
dan syarat yang ditentukan peneliti.

Penelitian ini dilakukan secara mendalam sebagaimana tuntunan dalam metode


penelitian studi kasus dimana data yang dikumpulkan bersumber dari multi sources yaitu
informan yang akan saya wawancarai adalah mereka yang secara spesifik adalah orang yang
berasal dari pegunungan muslim walesi berusia minimal 17 tahun dan saat ini sedang berada
di Jayapura atau yang sedang merantau. Selain itu informan dalam penelitian ini adalah orang
pesisir yang berada di Jayapura dan pendatang yang telah lama (minimal 5 tahun) bertempat
tinggal di Jayapura. Dalam penelitian ini didapatkan informan sebanyak 12 orang. Metode
pengumpulan data yang dilakukan dalam peneliti adalah dengan menggunakan metode
wawancara mendalam, observasi, serta studi kepustakaan.
Kajian Literatur yang digunakan adalah meliputi kajian komunikasi antar budaya yang akan
dijabarkan dibawah ini:

1 Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan
penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. (Mulyana,2005: 20). Konsep definisi
antar budaya tersebut maka bisa dijelaskan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi apabila
terdapat dua budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses
komunikasi.
Komunikasi antarbudaya, Lustig and Koester’s menyatakan (2003: 49-51), adalah sebuah
“proses simbolik yang mana orang dari dari budaya – budaya yang berbeda menciptakan
pertukaran arti – arti”. Hal tersebut terjadi “ketika perbedaan-perbedaan budaya yang besar
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

dan penting menciptakan interpretasi dan harapan-harapan yang tidak sama mengenai
bagaimana berkomunikasi secara baik”. Ringkasnya, komunikasi antarbudaya menjelaskan
interaksi antar individu dan kelompok – kelompok yang memiliki persepsi yang berbeda dalam
perilaku komunikasi dan perbedaan dalam interpretasi.

2. Kompetensi Komunikasi Antarbudaya


Kompetensi Komunikasi lintas budaya berkembang dalam kajian riset kompetensi komunikasi
lintas pribadi. Memungkinkan bahwa seorang individu sangat berkompeten dalam
berkomunikasi dengan pihak lain dalam kultur kelompoknya namun tidak memiliki
kompetensi ketika berinteraksi dengan pihak lain yang berlatar belakang budaya berbeda
(Gudykunst,2005; Hampden-Turner &trompenaars, 2000;Landis, Bennett & Bennett, 2004
dalam Ant al & Friedman,2003).
Kompetensi dilihat pada tiga faktor yaitu pengetahuan, keahlian dan sikap yang dimiliki
seseorang. Kompetensi komunikasi sama dengan kemampuan seseorang dalam
berkomunikasi. Meskipun setiap hari orang berkomunikasi, tetapi jarang orang yang tahu
sejauh mana efektivitas komunikasi kita, baik secara individual, sosial, maupun secara
professional. Sedangkan kompetensi komunikasi memiliki pengertian kemampuan yang
meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sesuai dalam mengelola pertukaran
pesan verbal dan non-verbal berdasarkan standart tertentu.

Definisi lain tentang kompetensi komunikasi yang dikemukakan oleh Trenholm dan
Jensen (2002:10) adalah kemampuan individu untuk berkomunikasi secara efektif dan
mampu menghargai orang lain secara sosial. Wiseman (2002) dalam Zhang (2015: 49)
menuliskan definisi kompetensi komunikasi antarbudaya mengacu pada kemampuan
seseorang untuk melakukan tindakan yang berarti, tepat, dan efektif ketika berkomunikasi
dengan orang lain yang berbeda latar belakang budaya.. Kompetensi komunikasi antarbudaya
terdiri dari tiga dimensi memiliki hubungan erat namun terpisah yaitu dimensi: kognitif,
afektif, dan tingkah laku. Seorang komunikator dikatakan kompeten dalam komunikasi
antarbudaya jika dia memiliki kemampuan dalam salah satu dari tiga dimensi itu.
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

Kompetensi komunikasi antarbudaya memiliki beberapa unsur diantaranya:


a. Kesadaran adanya stereotype dan kemampuan untuk tidak menyerah kepada prasangka
b. Kesadaran adanya gejala shock culture baik yang terjadi pada diri sendiri maupun pada
orang lain
c. Memperbesar pengetahuan tentang strategi akulturasi,
d. Negosiasi dan mendefinisikan prinsip-prinsip kerjasama di lingkungan yang multikultural
e. Membangun dan mempertahankan hubungan antarbudaya positif

Hasil dan Pembahasan

Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Komunikasi antarbudaya Masyarakat


Walesi.

Dapat diterimanya masyarakat gunung muslim Walesi di lingkungan kota Jayapura


terlihat dari sudah tidak adanya diskriminasi terhadap keberadaan masyarakat gunung baik di
lingkungan formal maupun nonformal. Masyarakat pesisir pun sudah memiliki persepsi yang
lebih baik terhadap masyarakat gunung muslim Walesi muslim ini. Penelitian ini selanjutnya
mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang membangun kompetensi komunikasi
antarbudaya pada masyarakat gunung muslim Walesi. Kedua faktor tersebut adalah: 1)
faktor agama; 2) faktor pendidikan. Selanjutnya peneliti akan menguraikan masing-masing
faktor tersebut.

Agama

Masuknya agama Islam pada kehidupan masyarakat Walesi telah membawa banyak
perubahan. Perubahan tersebut tercermin dari perilaku yang ditunjukkan masyarakat muslim
Walesi dalam kehdupan sehari-hari. Dikenalnya Islam sebagai agama dalam kehidupan
masyarakat Walesi telah membuka kesadaran pada masyarakat Walesi bahwa sebagai
sesama muslim adalah satu saudara. Inilah juga yang menjadi salah satu alasan mengapa
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

agama Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat Walesi. Karena pada dasarnya
masyarakat Walesi memiliki warisan yang meyakini nilai-nilai tingkat kekerabatan dan
kekeluargaan yang tinggi. Masyarakat Walesi sangat menjunjung tinggi nilai kekeluargaan
tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh bapak Ponto berikut ini:

“Walesi ini adalah wilayah konfederasi perang ini adalah istilah antropologi yaa.
Juga adalah aliansi yaitu wilayah pesta babi. Di dalam wilayah konfederasi dan
aliansi itu memang ada klan- klan wilayah adat dan disatukan oleh kepentingan
konfederasi perang dan kami di sini menjaga itu. Istilah sesepuh kami itu kalo kita
di wamena itu sudah di sini itu berarti dalam satu noken,tidak bisa bercerai berai,
satu pesawat di sini, jadi kita harus saling menjaga, organisasi kami ini diakui oleh
kelompok lain, karena relative kami bisa menjaga anggota. Singkatnya catatan
kami tidak pernah berurusan dengan pihak kepolisian karena ketua jayawijaya
dulu almarhum Helitopo sering mencontohkan kami punya kelompok kumpul baik.
Beberapa gereja dan masjid dalam kegiatan keagamaan seperti natal dan idul fitri
panitianya sama- sama dan pihak luar itu sering mengapresiasi. Tapi bagi kami
kedekatan itu bukan karena agama, tapi karena kekerabatan ada”.1

Fakta tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai kekerabatan tersebut telah ada sejak
lama dan telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Walesi. Hal ini terlihat juga
bagaimana dalam proses pengambilan keputusan, semua orang berhak mengemukakan
pendapat serta didengarkan seluruh warga kemudian akan dicari solusi bersama. Kebiasaan
tersebut sebagai contoh bahwa ada kebersamaan yang kuat dalam Masyarakat Walesi dalam
kehidupan keseharian mereka Nilai ini sejalan dengan nilai yang ditanamkan dalam ajaran
Islam yang menegaskan pentingnya kebersamaan dan persaudaraan. Oleh karena itu Islam
dengan ajarannya yang juga mengedepankan nilai persaudaraan dalam kehidupan umat
muslim tersebut mudah menyatu dalam keyakinan masyarakat Walesi.
Hal senada dikatakan oleh Bapak Thaha seorang tokoh dari Pesisir tentang bagaimana
masyarakat Walesi lebih mudah diterima oleh masyarakat pendatang sebagai berikut:

“Karena Islam, jadi itu faktor penting”.2

1
Wawancara taggal 18 maret 2015
2
Wawancara tanggal 25 januari 2016
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

Fenomena tersebut semakin menguatkan pengamatan peneliti selama melakukan


penelitian bahwa masyarakat gunung dari Walesi yang membawa identitas Islam ternyata
lebih mudah diterima di lingkungan masyarakat Jayapura khususnya di lingkungan
masyarakat pendatang. Padahal sebenarnya banyak masyarakat pendatang yang merasa
tidak suka dengan masyarakat gunung karena masyarakat pendatang sering mendapatkan
perlakuan yang buruk dari masyarakat gunung.

Fakta bahwa agama (Islam) ternyata menjadi faktor yang menyebabkan mudahnya
masyarakat gunung berkomunikasi dengan masyarakat lain di luar kelompoknya sangat
dirasakan oleh masyarakat gunung. Akibatnya masyarakat gunung banyak yang merasa
kurang nyaman ketika harus berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda agama.
Sebagaimana yang disampaikan oleh informan no 7 bagaimana ia merasa kesulitan
berkomunikasi dengan masyarakat pesisir (non muslim): “karena faktor agama”.3

Pada dasarnya tidak mudah sebenarnya bagi masyarakat gunung untuk diterima dan
berinteraksi dengan masyarakat pesisir maupun masyarakat pendatang sekalipun. Hal ini
dikarenakan masyarakat gunung selalu dipersepsikan “negatif”. Meskipun sudah banyak
bergeser dan perubahan dalam kehidupan masyarakat gunung tetapi persepsi bahwa
masyarakat gunung itu keras, tertutup, sulit diajak komunikasi masih saja melekat pada
masyarakat Papua pada umumnya.

Pendidikan
Secara umum kualitas hidup manusia bisa dilihat dari tingkat pendidikan yang sudah
ditempuhnya. Oleh karena itu pemerintah propinsi Papua sangat menyadari hal tersebut
sehingga sejak tahun 1970-an sudah diupayakan agar masyarakat yang tinggal di
pegunungan yang selama ini sulit dijangkau dapat mendapatkan akses yang mudah untuk
mendapatkan pendidikan yang baik. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Propinsi

3
Wawancara tanggal 11 maret 2015
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

Papua saat itu adalah dengan membuka akses masyarakat gunung yaitu membangun
infrastuktur yang baik.

Data penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat gunung yang memiliki pendidikan yang
baik ternyata mempunyai kompetensi komunikasi antarbudaya yang lebih baik daripada
masyarakat gunung yang pendidikannya rendah. Informan dapat melakukan komunikasi
dengan masyarakat di luar kelompoknya. Seperti yang dikatakan informan no 9 berikut ini:
“ya kalo saya bicara dengan mereka yang tinggal di pegunungan itu saya bisa
terima,tapi kalo kita bicara tentang orang Walesi yang ada di kota Jayapura,
pernyataan itu terbantahkan…kita ini kan ada di dunia modern, kan perubahan itu
tidak revolusioner, Cuma kan saya katakan itu, persoalan sumberdaya manusia,
semakin tinggi semakin baik tingkat pendidikan suatu kominitas, semakin mereka
mampu beradaptasi dan semakin mereka cerdas dalam memposisikan diri, dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan, mereka itu sebagian besar tidak sekolah, itu
persoalannya, karena mereka sebagian besar tidak sekolah….”4
Hal ini dikarenakan pendidikan telah membuka wawasan masyarakat gunung bahwa ada
kelompok masyarakat lain dengan budaya yang berbeda di luar sana. Dengan bekal
pendidikan yang dimilikinya masyarakat gunung merasa lebih “sepadan” dengan masyarakat
pesisir dan masyarakat pendatang.

Dalam kenyataannya peneliti mengamati masyarakat gunung muslim Walesi yang


pendidikannya baik lebih memiliki kemampuan dalam memabangun dan menjaga komunikasi
dengan masyarakat lain di luar kelompoknya.

Faktor-Faktor Penghambat Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Walesi

Berdasarkan data penelitian ini bila dikaitkan dengan konsep kompetensi yang meliputi
pengetahuan, ketrampilan dan sikap maka masih ada masyarakat muslim pegunungan Walesi
yang memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya dalam kategori rendah. Dalam arti
bahwa kompetensi komunikasi anatarbudaya masyarakat muslim pegunungan Walesi masih

4
Wawancara 24 januari 2016
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

terbatas. Hal ini bisa dilihat dari masyarakat gunung sendiri masih agak tertutup dengan
masyakat lain di luar kelompoknya. Masyarakat gunung masih ragu untuk berbaur dengan
masyarakat di luar kelompoknya.

Peneliti melihat bahwa kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi
penghambat bagi masyarakat muslim Walesi dalam melakukan komunikasi antarbudaya di
kota Jayapura. Faktor-faktor tersebut seperti yang terlihat dalam gambar 1 berikut ini:

Gambar 1. Faktor Penghambat Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Masyarakat


Pegunungan Muslim Walesi
Sumber : Hasil Penelitian

Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi
pehambat kompetensi komunikasi antarbudaya masyarakat pegunungan Muslim Walesi
yaitu: 1) pengetahuan masyarakat Gunung terhadap budaya lain; 2) Pemahaman Bahasa di
Luar Kelompoknya; 3) Sulitnya Menerapkan Budaya secara fleksibel; 4) Bersifat Tertutup 5)
Masih melekatnya Stereotype tentang Masyarakat Gunung.
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

Kesimpulan

Faktor agama dan pendidikan menjadi faktor penting dalam membangun. kompetensi

komunkasi antarbudaya pada masyarakat gunung Walesi. Faktor agama di sini adalah agama

Islam. Masyarakat gunung Walesi yang Islam dan berpendidikan tinggi memiliki kompetensi

komunikasi antarbudaya yang lebih baik.

Keterbatasan kompetensi komunkasi antarbudaya pada masyarakat gunung Walesi

disebabkan beberapa faktr yaitu: terbatasnya kemampuan bahasa yang dimiliki oleh

masyarakat gunung Walesi. Termasuk berbahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan masyarakat

gunung Walesi jarang menggunakan bahasa selain bahasa Ibu. Minimnya kemampuan

berbahasa masyarakat gunung Walesi tersebut menyebabkan masyarakat gunung merasa

rendah diri ketika berhadapan dengan masyarakat lain di luar kelompoknya. Oleh karena itu

masyarakat gunung Walesi lebih suka berkomunikasi hanya dengan sesama masyarakat

gunung. Selain itu sifat yang tertutup dan masih melekatnya stereotype pada masyarakat

gunung juga menjadi faktor penghambat terbentuknya kompetensi komnikasi antarbudaya

pada masyarakat gunung Walesi.


Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

DAFTAR PUSTAKA

Booth-Butterfield, M. & Jourdan, F.F. 1989. Communication Adaptation among Racially


homogenous and Heterogenous Groups. The Southern Communication Journal, 54. P: 253-272

Gudykunst,William B.(Ed) “Intercultural Communication Theory “ Beverly Hills, California


:Sage Publications, 1983

Gudykunst, William B. 2002. “Intercultural Communication Theories” in William B. Gudykunst


& Bella Mody (eds). Handbook of International and Intercultural Communication. 2nd Ed.
Sage Publications. California.

Kashima, E. S., & Loh, E. (2006) International students’ acculturation: Effects of international,
conational and local ties and need for closure. International Journal of Intercultural Relations,
30, 471-485.
Kuhn, Thomas. 2005. The structure of scientific revolutions. (terjemahan). Jakarta: Remaja
Rosdakarya
Lustig, W.M., dan Koester, Jolene. 2003. Intercultural Competence: Interpersonal
Communication Across Cultures. Fourth Edition. Boston: Allyn and Bacon.

Melikyan, Laura. 2012. Communicative Failures as Result of Cultural and Linguistic


Stereotypes. The International Journal of The Humanities vol. 9 Issue 11. p: 93-99.

Moleong, Lexy J, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya

Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda Karya

Spitzberg, B. H., & Cupach, W. R. (1984). Interpersonal communication competence. Beverly


Hills, CA: Sage.

Samovar, A., Larry and Porter, E., Richard. 2000. Communications Between Cultures. Fourth
Edition. Bellmont: Wadsworth.

Yu, Han. 2012. Intercultural Competence in Technical Communication: A Working Definition


and Review of Assessment Methods. Technical Communication Quarterly. 21: 168-186

Zhang, (Leaf), Yi. 2015. Intercultural Communication Competence: Advising International


Students in a Texas Community College. NACADA Journal Volume 35(2) 2015, p: 48-59

Anda mungkin juga menyukai