Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN

AGAMA TERHADAP KASUS


DISPENSASI UMUR
(No.174/Pdt.P/2021/PAJU)

Oleh :

Islamiyah
20030004

Sekolah Tinggi Agama Islam


Perguruan Tinggi Da’wah Islam Indonesia
Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah
Jakarta
2021
Daftar Isi

Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan Pustaka
E. Kegunaan Hasil Penelitian
BAB II KETENTUAN DAN PROSEDUR DISPENSASI PERNIKAHAN
A. Pengertian Pernikahan
B. Dasar Hukum Pernikahan
C. Prosedur dispensasi nikah
BAB III ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA
UTARA No.174/Pdt.P/2021/PAJU
A. Analisis Terhadap Putusan Nomor 174/Pdt.P/2021/PAJU
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri tanpa
hubungan sosial, bersifat bermasyarakat dan berkelompok di suatu tempat.
Manusia memiliki ikatan batin persaudaraan dan meginginkan hubungan
yang harmonis antar satu sama lain tanpa membedakan suku, warna kulit,
bahasa, dan agama. Sebagaimana firman Allah Subhanahuwata’ala dalam
surah Al-Hujarat/131 :
“Hai manusia sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dam menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa. Allah Maha
Mengetahui, Maha Teliti”
Nikah dalam Bahasa berarti menghimpun dan dalam pengertian fiqih, nikah
adalah akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri
dengan lafal nikah atau kawin. Tujuan pernikahan adalah membangun
keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Sebagaimana dalam Qur’an surah
Ar Ruum/21 :
“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenis mu sendiri, agar kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”
Pada prinsipnya menurut undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal. Sebagaimana pasal 1 yang menjelaskan,
“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar
kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan hanya terjadi
1
Sunardi, ”Analisis putusan pengadilan agama terhadap gugat cerai seorang istri dalam
keadaan hamil”, 2018, Hal 1
pada manusia saja, tetapi juga diantara hewan dan tumbuhan. Namun,
manusia adalah makhluk yang berakal, maka perkawinan merupakan salah
satu budaya yang memiliki aturan sesuai perkembangan budaya dalam
masyarakat.
Islam mensyari’atkan perkawinan menjadi pertalian suami istri dalam ikatan
perkawinan yang kokoh dan suci, karena terdapat nilai-nilai yang tinggi dan
tujuan yang baik bagi manusia. Sebagaimana Al Qur’an memberi istilah
ikatan perkawinan dengan Mitsaqan Ghalidzan yang bermakna Janji Yang
Kukuh2.
Firman Allah Subhanahuwata’ala dalam surah An Nisa/21 :
“bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”
Maka dari itu perkawinan harus dipilih atas dasar rasa kasih sayang dan
saling cinta mencintai, islam mengharamkan perkawinan yang sifatnya
sementara atau dalam waktu tertentu hanya sekedar untuk melepaskan hawa
nafsu saja, seperti nikah mut’ah, nikah muhallil, dan sebagainya. Karena hal
tersebut dapat memicu putusnya perkawinan dalam pengertian apabila
pernikahan dilanjutkan maka akan terjadi kemudharatan, perkawinan harus
disiapkan secara matang baik lahir maupun batin.
Negara telah mengatur batasan umur matang menikah pada undang-undang
Nomor 16 Tahun 2019 yakni minimal usia kawin perempuan 19 tahun dan
laki-laki pun usia 19 tahun. Namun, UU Perkawinan tetap mengatur izin
pernikahan dibawah usia 19 tahun dengan melaksanakan perkara dispensasi
kawin. Dispensasi adalah pemberian hak kepada seorang untuk menikah
meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan.
Dalam UU perkawinan terbaru hal ini dapat dilakukan melalui permohonan
pengajuan dispensasi oleh orang tua salah satu atau kedua belah pihak calon
mempelai. Sebagaimana yang terjadi pada kasus dispensasi nikah perkara
No. 174/Pdt.P/2021/PAJU.
Bahwa calon mempelai telah mempersiapkan rencana pernikahan dari bulan
maret dan berencana menikah di bulan mei. Langkah awal persiapan
berjalan lancar, namun pada saat pemeriksaan di puskesmas tentang
2
Sunardi, ”Analisis putusan pengadilan agama terhadap gugat cerai seorang istri dalam
keadaan hamil”, 2018, Hal 2
kelayakan kesehatan ditemukan kurangnya kelayakan mempelai wanita
melaksanakan pernikahan karena umur yang belum mencukupi, dimana
calon mempelai wanita akan menginjak usia 19 tahun baru pada bulan
desember. Untuk mengatasi hal tersebut agar tetap dapat dilangsungkan
pernikahan di bulan mei, KUA menyarankan untuk melakukan pengajuan
dispensasi ke pengadilan agama Jakarta utara.
B. Identifikasi masalah
1. Manusia merupakan makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri tanpa
hubungan sosial, bersifat bermasyarakat dan berkelompok, sesuai dengan
firman Allah surah Al-Hujarat/13.
2. Tujuan pernikahan adalah membangun keluarga sakinah, mawaddah,
warahmah. Sebagaimana dalam Qur’an surah Ar Ruum/21
3. Pada prinsipnya menurut undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal.
4. Islam mensyari’atkan perkawinan menjadi pertalian suami istri dalam
ikatan perkawinan yang kokoh dan suci, karena terdapat nilai-nilai yang
tinggi dan tujuan yang baik bagi manusia. Sebagaimana Al Qur’an
memberi istilah ikatan perkawinan dengan Mitsaqan Ghalidzan yang
bermakna Janji Yang Kukuh.
5. Negara telah mengatur batasan umur matang menikah pada undang-
undang Nomor 16 Tahun 2019 yakni minimal usia kawin perempuan 19
tahun dan laki-laki pun usia 19 tahun. Namun, UU Perkawinan tetap
mengatur izin pernikahan dibawah usia 19 tahun dengan melaksanakan
perkara dispensasi kawin. Dispensasi adalah pemberian hak kepada
seorang untuk menikah meski belum mencapai batas minimum usia
pernikahan.
6. Dalam UU perkawinan terbaru hal ini dapat dilakukan melalui
permohonan pengajuan dispensasi oleh orang tua salah satu atau kedua
belah pihak calon mempelai. Sebagaimana yang terjadi pada kasus
dispensasi nikah perkara No. 174/Pdt.P/2021/PAJU.
7. Bahwa calon mempelai telah mempersiapkan rencana pernikahan dari
bulan maret dan berencana menikah di bulan mei. Langkah awal
persiapan berjalan lancar, namun pada saat pemeriksaan di puskesmas
tentang kelayakan kesehatan ditemukan kurangnya kelayakan mempelai
wanita melaksanakan pernikahan karena umur yang belum mencukupi,
dimana calon mempelai wanita akan menginjak usia 19 tahun baru pada
bulan desember.
8. Agar tetap dapat dilangsungkan pernikahan di bulan mei, KUA
menyarankan untuk melakukan pengajuan dispensasi ke pengadilan
agama Jakarta utara.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara Nomor
174/Pdt.P/2021/PAJU?
2. Bagaimana putusan Pengadilan Agama kota Jakarta Utara Nomor
174/Pdt.P/2021/PAJU dalam perspektif hukum Islam?

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim
Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara Dispensasi Nikah.
2. Untuk mengetahui putusan Pengadilan Agama kota Jakarta Utara dilihat
dari segi yuridis berkaitan dengan kasus Dispensasi Nikah.

E. Kegunaan Hasil Penelitian


Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pemikiran
bagi disiplin keilmuan pada umumnya dan dapat digunakan untuk hal-hal
berikut :
1. Secara teoritis
 Dapat menambah khazanah pemikiran Islam tentang konsep gugatan
Dispensasi Nikah.
 Dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.
 Dapat dijadikan sebagai pengetahuan hukum secara teori dan praktek di
Pengadilan Agama kota Jakarta Utara terutama masalah Dispensasi
Nikah.
2. Secara praktis
 Dapat memenuhi tugas mata kuliah advokasi bantuan hukum
 Dapat mengetahui prosedur persidangan dalam hukum acara Pengadilan
Agama kota Jakarta Utara.

BAB II
DESKRIPSI UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN PROSEDUR
DISPENSASI NIKAH
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Pernikahan
Dispensasi perkawinan merupakan suatu kelonggaran yag diberikan oleh
pengadilan kepada calon suami istri yang belum mencapai batas umur
terendah dalam melakukan perkawinan. Dispensasi umur perkawinan telah
diatur Dalam undang-undang perkawinan dalam Nomor 16 Tahun 2019
“Perkawinan hanya diizinkan juka pihak pria sudah mencapai usia 19
(Sembilan belas) Tahun dan wanita sudah berusia 19 (Sembilan belas)
tahun” pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita (UU RI
No 1 Tahun 1974)3
Undang-undang sama sekali tidak membicarakan tentang rukun perkawinan.
Undang-undang hanya membicarakan tentang syarat perkawinan yang mana
dalam syarat tersebut berkaitan dengan rukun pernikahan. Dalam pasal 14
“untuk melaksanakan perkawinan harus ada : calon suami, calon istri, wali
nikah, dua orang saksi, dan ijab Kabul” keseluruhan rukun tersebut
mengikuti fiqh syafi’iy.
syarat perkawinan menurut undang-undang dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Syarat materiil
Yakni syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak untuk
melangsungkan perkawinan :
a. Syarat materiil umum atau mutlak
 Adanya kata sepakat
Persetujuan bebas dari para piak dalam melangsungkan perkawinan (Pasal
28 KUH Perdata). Persetujuan bebas adalah hakekat dari perkawinan. Bebas
dari pengaruh paksaan siapapun. Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6
Ayat 1 “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai”. Diperkuat dengan pasal 16 ayat 1 “perkawinan didasarkan atas
persetujuan calon mempelai”.
 Adanya batas usia perkawinan
Batas usia yang diatur pada undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yakni
minimal usia kawin perempuan 19 tahun dan laki-laki pun usia 19 tahun.
 Asas yang dianut adalah asas monogamy
Calon suami isteri pada saat yang bersamaan tidak terikat pada perkawinan
lain (pasal 27 KUH Perdata). Sedangkan dalam undang-undanng No 1 Tahun
1974 pasal 9 “seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat 2
dan pasal 4 undang-undang ini”.
 Adanya waktu tunggu bagi wanita yang mengalami putus dalam
perkawinan
3
Widihartati Setiasih, “Analisis putusan dispensasi nikah dibawah umur dalam perspektif
perlindungan perempuan”, Jurnal PPKM, III, 2017, Hal 237
Dalam KUH Perdata ketentuan waktu tunggu adalam selama 300 hari bagi
wanita yang perkawinannya putus dan akan melaksanakan perkawinan baru
(pasal 34 KUHP), hal ini diatur dalam UU Perkawinan diatur didalam pasal
11 UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 PP Nomor 9 tahun 1975.
b. Syarat materiil khusus atau relatif
 Larangan/halangan untuk melakukan perkawinan
Larangan kawin bagi mereka yang mempunyai hubungan yang sangat erat
(nasab) sebagaimana dalam pasal 30 KUHP. Sedangkan UU Perkawinan No
1 Th 1974 Diatur dalam pasal 8 sub a dan b. dan menurut KHI diatur dalam
pasal 39 (1).
Larangan kawin antara mereka yang mempunyai hubungan kekeluargaan
semendo, baik dalam garis lurus keatas dan kebawah maupun dalam garis
menyimpang (pasal 31 KUHP) sedangkan menurut UU Perkawinan No 1 Th
1974 diatur dalam pasal 8 sub c. dan menurut KHI pasal 39 (2).
Larangan kawin dengan teman berzina (pasal 32 KUHP), tidak diizinkannya
menikah antara seorang pria dan wanita yang telah melakukan hubungan
seksual tanpa melalui pernikahan.
Larangan kawin antara mereka yang sebelumnya telah ada pembubaran
perkawinan sebanyak 2 kali (pasal 33 KUHP), karena masing masing pihak
dianggap tidak dapat hidup sebagai suami istri apabila telah bercerai
sebanyak 2 kali. UU Nomor 1 Tahun 1974 dalam hal ini tersurat pada pasal
10. Sedangkan KHI mengaturnya dalam pasal 43 angka (1) huruf (a).
Larangan kawin antara mereka yang mempunyai hubungan susunan diatur
dalam pasal 8 sub d UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. Sedangkan dalam
KHI diatur dalam pasal 39 ayat 3.
Larangan kawin antara mereka yang mempunyai hubungan saudara dengan
istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami
lebih dari seorang, diatur dalam pasal 8 sub e UU Perkawinan No 1 Tahun
1974, sedangkan dalam KHI dalam pasal 41.
Larangan kawin menurut hukum agama. Hal ini dijelaskan dalam pasal 8 sub
f UU Perkawinan No 1 Tahun 1974.
 Adanya izin perkawinan
Izin perkawinan berlaku bagi mereka yang berada dibawah umur tapi juga
berlaku bagi mereka yang sudah cukup umur namun masih dibawah usia 30
tahun (pasal 35 sampai pasal 42 KUHP). Menurut UU Perkawinan No 1
Tahun 1974 untuk melangsungkan suatu perkawinan, seorang yang belum
mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya (pasal 6
ayat 2). Peraturan perundang undangan ini diperkuat oleh KHI pasal 15 ayat
2.
Izin ini juga diperlukan untuk mereka yang ingin beristri lebih dari satu
orang. Pasal 3 ayat 2 “pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang
bersangkutan”.
c. Syarat formal
Diatur dalam pasal 3 sampai pasal 9 Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun
1975 tentang pelaksanaan undang undang No 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan yang terdiri dari 3 tahap.
1. Pemberitahuan kepada pegawai pencatat perkawinan
Calon suami isteri melaporkan niat mereka pada pegawai pencatat negeri
sipil di wilayah hukum salah satu pihak, baik lisan maupun tertulis (pasal 50
dan 51 KUHP)
2. Penelitian syarat perkawinan
Hal yang diteliti ialah kutipan akta kelahiran, persetujuan calon mempelai,
surat keterangan tentang orang tua, surat izin dari pengadilan agama (bagi
mempelai yang belum berumur 21 tahun), surat dispensasi dari pengadilan
agama bagi calon mempelai yang belum berumur 19 tahun, dan surat izin
dari pejabat sesuai aturan yang berlaku.
3. Pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan
perkawinan
Pegawai catatan negeri sipil memasang pengumuman akan dilangsungkan
perkawinan selama lebih kurang 30 hari (pasal 52 KUHP), sedangkan
menurut UU Perkawinan, Perkawinan baru boleh dilangsungkan setelah 10
hari atau paling lambat setelah 1 tahun sejak pengumuman tersebut (pasal 12
UU perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 10 ayat 1 PP No 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan).4

B. Prosedur Dispensasi Nikah


Dalam peraturan Menteri agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tentang kewajiban
pegawai pencatat nikah dan tenaga kerja pengadilan agama pasal 13
disebutkan lebih rinci mengenai dispensasi nikah, bahwa :
 Apabila seorang calon suami belum mencapai umu 19 tahun dan calon
istri belum mencapai umur 19 tahun juga, hendaknya melangsungkan
pernikahan setelah mendapat dispensasi dari pengadilan agama.
 Permohonan dispensasi nikah bagi mereka tersebut diajukan oleh kedua
atau salah satu orang tua calon mempelai kepada pengadilan agama yang
mewilayahi tempat tinggalnya.
 Pengadilan agama setelah memeriksa dalam persidangan dan
berkeyakinan bahwa terdapat hal hal yang memungkinkan untuk
memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan.

4
Ary Ardila, “Analisis yudiris terhadap penolakan dispensasi nikah bagi pasangan nikah sirri
di bawah umur dalam penetapan pengadilan agama Kraksaan”, 2012, Hal 23
 Salinan itu dibuat dan diberikan kepada pemohon untuk memenuhi
persyaratan melangsungkan pernikahan.
1. Permohonan dispensasi nikah diajukan ke pengadilan agama setelah
kehendak untuk melangsungkan perkawinan ditolak oleh pegawai
KUA dengan alasan belum terpenuhinya persyaratan perkawinan
yakni salah satu atau kedua calon mempelai dibawah ketentuan umur
perkawinan.
2. Proses awal pengajuan permohonan di meja 1. Kemudian diperiksa
kelengkapannya, Adapun permohonan itu antara lain berisi :
 Identitas para pihak dalam permohonan. Nama, umur, agama,
pekerjaan, tempat tanggal lahir, dan kewarganegaraan
pemohon.
 Posita, penjelasan tentang keadaan atau peristiwa yang
berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan
permohonan.
 Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh pemohon supaya
dikabulkan oleh hakim.
Surat surat kelengkapan yang harus disiapkan adalah :
a) Pengantar dari RT/RW bagi calon mempelai
b) Surat pengantar dari lurah atau kepala desa yang berisi tentang keadaan
atau hal-hal yang bersangkutan perlu untuk memperoleh dispensasi
kawin, meliputi :
 Surat keterangan untuk menikah
 Surat keterangan asal usul
 Surat persetujuan mempelai
 Surat keterangan tentang orang tua
 Surat izin orang tua
c) Akta kelahiran calon mempelai yang dimohonkan dispensasi kawin
d) Kartu susunan keluarga (KSK) orang tua calon mempelai
e) Surat penolakan dari KUA tempat perkawinan akan dilangsungkan
Selanjutnya meja 1 menaksir panjar biaya perkara, dibuatkan SKUM
rangkap 3 dibayar ke kasir oleh penggugat/pemohon untuk membayar PBP
(Panjar Biaya Perkara). Kemudian berlanjut ke meja 2. Berkas perkara
dimasukkan dalam register perkara dengan memberi nomor register sesuai
dengan Nomor SKUM. Kemudian diserahkan kepada ketua pengadilan
agama oleh wakil panitera/panitera untuk diperiksa kelengkapan formalnya.
Ketua pengadilan agama kemudian membuat penetapan majelis hakim dan
dikembalikan kepada panitera. Panitera menunjuk panitera sedang/panitera
pengganti. Majelis hakim membuat penetapan hari sidang serta
mengembalikan berkas ke meja 2, meja 2 pun membuat surat panggilan
sidang kepada pemohon dan calon mempelai yang akan dimintai dispensasi
kawin beserta saksi-saksi guna melaksanakan sidang.
Setelah para pihak yang berperkara hadir melalui surat panggilan sidang,
maka sidang pertama pun dapat dimulai. Persidangan permohonan dispensasi
nikah pun sama dengan perkara lainnya, yaitu sidang pertama, mediasi,
pembacaan surat permohonan, jawaban termohon, pembuktian, hingga
berakhir dengan putusan/penetapan. Alat-alat bukti tersebut ialah:
pembuktian dengan surat (alat bukti tertulis), keterangan saksi, persangkaan,
pengakuan, dan yang terakhir ialah sumpah.5

BAB III
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA
NO. 174/Pdt.P/2021/PAJU

A. Analisis Terhadap Putusan No. 174/Pdt.P/2021/PAJU

5
Ary Ardila, “Analisis yudiris terhadap penolakan dispensasi nikah bagi pasangan nikah sirri
di bawah umur dalam penetapan pengadilan agama Kraksaan”, 2012, Hal 37
Pada bab 2 telah di uraikan teori mengenai Pernikahan dan dasar hukum dari
Pernikahan itu sendiri. Sedangkan pada bab 3 telah diuraikan tentang
deskripsi Pengadilan Agama Jakarta Utara dan mengenai isi putusan No.
174/Pdt.P/2021/PAJU. Menguraikan bagaimana analisis yuridis mengenai isi
putusan No.174/Pdt.P/2021/PAJU.

Sebagaimana dijelaskan pada bab 2 bagaimana pengertian perkawinan


adalah merupakan bagian dari pernikahan dimana telah pernah di sebutkan
bahwa Dispensasi Perkawinan ada karena adanya persyaratan yang tidak
terpenuhi apabila diadakan pernikahan, karena itu perkawinan dilaksanakan
saat semua prosedur sudah terpenuhi.

Sesuai dengan ajaran agama Islam, agama Islam tidak membatasi umur
terjadinya pernikahan asalkan sudah akil baligh, akan tetapi aturan
pemerintah harus tetap dilaksanakan dan terpenuhi. Apabila terjadi suatu
permasalahan di dalam rumah tangga, orang tua atau saudara kedua belah
pihak berhak meluruskan dan mencarikan solusi agar permasalahan tersebut
dapat ditempuh dengan jalan damai. Jika permasalahan tersebut tidak
menemukan jalan untuk memperbaiki hubungan pernikahan antara
keduanya, maka diperbolehkan untuk mengambil jalan melalui Pengadilan
Agama dan akan diurus sesuai aturan hukum negara karena terdapat catatan
pernikahan.

Perkara dispensasi Pernikahan ini dapat dikabulkan apabila telah cukup jelas
bagi pengadilan mengenai:
1. Sebab-sebab mengapa akan dilangsungkannya pernikahan pada saat usia
mempelai belum mencukupi telah jelas.
2. Sifat dan bentuk alasan atau sebab tersebut setelah dipertimbangkan
ternyata benar-benar mencukupi dan kedua belah pihak telah siap membina
rumah tangga yang harmonis.
3. Tidak ada perihal yang mendesak sehingga pernikahan menjadi
keterpaksaan dari satu pihak maupun kedua belah pihak.

Dari beberapa paparan mengenai dispensasi pernikahan di atas, pada putusan


Pengadilan Agama No. 174/Pdt.P/2021/PAJU, yang menjadi permasalahan
utama pada penulisan karya ilmiah ini adalah pada saat akan
dilangsungkannya pernikahan, calon mempelai wanita belum mencukupi
umur yang sesuai dengan aturan negara yakni 19 Tahun. Sehingga calon
mempelai beserta orang tua mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama
Jakarta Utara, pada saat itu pernikahan akan dilangsungkan sebulan
berikutnya. Tetapi dalam putusan Pengadilan Agama No.
174/Pdt.P/2021/PAJU tertulis bahwa sidang putusan dilaksanakan setelah
seminggu dilakukannya pengajuan permohonan.

Bahwa pada saat sidang pembuktian terdapat pengakuan dari pemohon yang
bernama Evi Binti Sutarya, pengakuannya menyatakan:
Bahwa syarat syarat untuk melaksanakan pernikahan tersebut baik menurut
ketentuan hukum islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan antara kularga para pemohon dan orang tua calon suami anak pemohon
telah merestui rencana pernikahan tersebut dan tidak ada pihak ketiga
lainnya yang keberatan atas berlangsungnya pernikahan tersebut.

Putusan hakim mengizinkan keduanya untuk menikah tidak dapat


disalahkan, karena sebab-sebab atau alasan-alasan Penggugat cukup menjadi
alasan keduanya untuk melangsungkan pernikahan dan membangun rumah
tangga. Untuk masalah gugatan calon mempelai yang berusia kurang dari 19
tahun adalah boleh, hal ini sesuai dengan tuntunan agama islam yang
memperbolehkan umat islam menikah pada saat akil baligh.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuai dengan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik
kesimpulan yaitu sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tentang kewajiban
pegawai pencatat nikah dan tenaga kerja pengadilan agama pasal 13
disebutkan lebih rinci mengenai dispensasi nikah. Dengan demikian, maka
gugatan Penggugat dinyatakan telah terbukti menurut hukum dan patut untuk
dikabulkan. Jika tetap dilanjutkan ditakutkan terjadi hal hal yang
menyimpang dari agama dan akan menimbulkan banyak kemadharatan.
2. Dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara ini
yaitu karena kedua calon mempelai telah mapan serta akil baligh dan siap
untuk menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga. Begitupun calon suami
sudah siap pula untuk menjadi seorang suami dan kepala rumah tangga.
3. Hakim mengambil hukum positif dan hukum Islam yang keduanya
bersesuaian untuk memutuskan perkara ini. Dasar perspektif Hukum Islam
dalam putusan Nomor 174/Pdt.P/2021/PAJU ini telah sesuai menurut
hukum. Karena putusan ini sesuai ketentuan yang tertuang dalam Peraturan
Menteri agama RI Nomor 3 Tahun 1975 dan undang-undang perkawinan
dalam Nomor 16 Tahun 2019 yang dimintai dispensasi kepada pengadilan
atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
wanita (UU RI No 1 Tahun 1974).
4. Perkara perkawinan ini dapat dikabulkan apabila telah cukup jelas
bagi pengadilan mengenai:
1. Sebab-sebab mengapa akan dilangsungkannya pernikahan pada saat usia
mempelai belum mencukupi telah jelas.
2. Sifat dan bentuk alasan atau sebab tersebut setelah dipertimbangkan
ternyata benar-benar mencukupi dan kedua belah pihak telah siap membina
rumah tangga yang harmonis.
3. Tidak ada perihal yang mendesak sehingga pernikahan menjadi
keterpaksaan dari satu pihak maupun kedua belah pihak.

B. Saran
1. Dalam suatu rumah tangga yang atau yang diharapkan dari suatu
pernikahan adalah dapat hidup bersama selamanya antara suami dan istri,
jadi saling berusaha menyiapkan diri lahir batin agar pernikahan menjadi
sakinah, mawaddah, marahmah.
2. Sebelum mengambil keputusan untuk mengajukan gugatan calon
pengantin harus mengerti tentang gambaran kehidupan setelah menikah yang
pastinya tidak selalu mulus, dan meyakinkan diri bahwa mampu serta siap
untuk menghadapi hal tersebut bersama dengan saling mendukung satu sama
lain.
3. Untuk melakukan pengajuan gugatan dispensasi perkawinan berdasarkan
hukum positif dan hukum islam diperbolehkan, karena adanya sebab atau
alasan tertentu. Maka hendaknya untuk melangsungkan pernikahan sesuai
dengan perspektif islam dan memenuhi peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA

Sunardi, ”Analisis putusan pengadilan agama terhadap gugat cerai seorang istri
dalam keadaan hamil”, 2018
Widihartati Setiasih, “Analisis putusan dispensasi nikah dibawah umur dalam
perspektif perlindungan perempuan”, Jurnal PPKM, III, 2017

Ary Ardila, “Analisis yudiris terhadap penolakan dispensasi nikah bagi pasangan
nikah sirri di bawah umur dalam penetapan pengadilan agama Kraksaan”, 2012

Trisnawati, “Nikah sirri dan factor penyebabnya di kelurahan Lanjangiru kecamatan


Ujung Padang”, 2015

Anda mungkin juga menyukai