Anda di halaman 1dari 25

BAB II

PERBEDAAN TEORI ATOMISME DAN HOLISME

A. TEORI ATOMISME
Atomisme adalah filsafat alam yang berkembang di
beberapa peradaban kuno. Di dalam peradaban Barat, atomisme
merujuk pada Leukippos dan muridnya, Democritus dari abad
ke-5 SM. Pengikut atomisme ini mengajukan teori bahwa dunia
alami terdiri dari dua benda yang mendasar, saling berlawanan,
dan tidak dapat dibagi  atom dan kehampaan. Atom tidak dapat
diisi oleh sesuatupun, atom bergerak di kehampaan menuju
klaster yang berbeda-beda (dan klaster-klaster ini membentuk
senyawa-senyawa penghambat). Atom adalah kenyataan
bendawi terkecil, satuan bangunan yang tidak dapat
dimusnahkan.
Kata atomisme diturunkan dari kata sifat bahasa
Yunani, atomos, yang arti harfiahnya adalah tidak dapat
dipenggal “a tomos” (tidak dapat dipenggal) tomos adalah
sekawan dari kata kerja bahasa Yunani temnein (memenggal)
 Konsep atomisme terbentuk akibat kecelakaan sejarah, yaitu
fakta bahwa para kimiawan dan fisikawan sebelum abad ke-19
mengira bahwa partikel tidak dapat dibagi, sehingga dikenali
sebagai a-tom tak terpenggal dari tradisi kuno. Namun, pada
abad ke-20 diketahuilah bahwa atom ternyata terdiri dari entitas
yang lebih kecil: elektron, neutron, dan proton. Bahkan
percobaan tahap lanjut menunjukkan bahwa proton dan neutron
terdiri dari beberapa kuark. Kuark yang dimaksud ini secara
empirik belum terbukti memiliki substruktur. Meskipun
penamaan ini menjadi kurang relevan, ungkapan "kenyataan
bendawi yang tidak dapat dibagi" masih menjadi pedoman di
dalam konsep atomisme.
Atomisme adalah teori filosofis dan ilmiah bahwa keyataan
dibentuk oleh bagian-bagian elementer yang tak dapat dibagi
yang disebut atom. Dengan adanya eksistensi atom maka akan
terdapat juga lawan atom, atau “anti-atom” yaitu kekosongan.
Democritus dari Abdera (469-370) menamakannya atom,yang
berasal dari “atomos”  yang dalam bahasa Yunani berati “tidak
bisa dipotong”. Atom, menurut Democritus, bagaikan blok-blok
yang sangat kecil hingga tak terlihat lagi, yang tidak bisa dibagi
dan bersifat abadi.
Democritus beranggapan bahwa ada  tak terhingga jenis
atom di alam semsta, di mana masing-masing atom mempunyai
sifat tersendiri. “Atom kayu”, sebagai contoh, akan berperilaku
berbeda dengan “Atom air”. Sifat-sifat dari atom yang akan
terasa oleh indra kita, sabagai warna, berat dan lain-lain.
Perkembangan sains telah mengidentifikasika sejumlah jenis
atom, misal ferrum (besi) dan aurum (emas) dan kombinasi
atom-atom, misal air dari atom hidrogen dan atom oksigen.

a. Atomisme Logis Betrand Russel


Atomisme logis merupakan salah satu teori yang ada dalam
aliran filsafat analitik bahasa. Istilah ini dinisbatkan kepada dua
filosof Anglo-Saxon, yaitu Bertran Russell dan Ludwig
Wittgenstein (1899-1951). Bertran Russel adalah seorang
sarjana yang lahir dari lingkungan Universitas Cambridge
Inggris. Ia banyak menulis tentang berbagai persoalan
diantaranya tentang filsafat, politik, pendidikan, sejarah dan
agama.
Konsep atomisme logis yang dikembangkan oleh Russell
dan wittgenstein sebenarnya terdapat perbadaan antara
keduanya. Akan tetapi jika dilihat dari sudut pandang
pendekatannya antara keduanya terdapat kesamaan yang sangat
signifikan. Menurut Russell untuk memahami atomisme logis
kita harus memahami tujuan filsafat terlebih dahulu yang terdiri
dari tiga tujuan yaitu:
1. mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa
yang paling padat dan sederhana. Menurutnya tugas filsafat
yaitu merumuskan pandangan yang mendasari semua ilmu
khusus, yaitu dengan jelas merumuskan suatu sintesis.
2. Menghubungkan logika dan matematika. Russel
menghendaki dalam dunia pendidikan antara jurusan ilmu
pasti (eksak) dan jurusan sastra tidak dipisahkan. Karena
menurutnya logika dan tata bahasa tidak hanya penting bagi
bahasa, melainkan juga merupakan dasar bagi matematika.
3. Analisis bahasa. Tujuan ketiga ini pada dasarnya merupakan
titik puncak dari tujuan filsafat Russell, yaitu untuk mencari
pengetahuan yang benar.
Ketiga tujuan filsafat Russell tersebut sangat mempengaruhi
seluruh pemikiran filsafatnya, termasuk mempengaruhi konsep
atomisme logis. Juga merefleksi terhadap landasannya, yaitu
bahasa logika dan corak logika, teori isomorfi (teori
kesepadanan) dan proposisi atomik. Ketiga landasan filsafat ini
merupakan arah prinsipil untuk memahami filsafat atomisme
logis.
Bahasa logika menurut Russell akan sangat membantu
terhadap aktivitas analisis bahasa. Sebab, ia berkeyakinan bahwa
teknik analisis bahasa yang didasarkan pada bahasa logika yang
mampu melukiskan hubungan antara struktur bahasa dan
struktur realitas.
Selanjutnya, kata Russell tugas dari filsafat pada dasarnya
merupakan analisis logis yang diikuti sintesis logis tentang
fakta-fakta. Yang dimaksud dengan analisis logis tentang fakta
adalah ialah pemikiran yang didasarkan pada metode deduksi
untuk mendapatkan argumentasi apriori, yaitu kebenaran yang
sudah diketahui kebenarannya sebelum dilakukan suatu
percobaan atau penelitian. Sedangkan sintesis logis yaitu suatu
proses menentukan makna pernyataan atas dasar empirik yang
dengan sendirinya akan melahirkan pengetahuan yang baru.
Dalam filsafat Kant pengetahuan ini disebut dengan
pengetahuan sintesis a-posteriori.
Russell menerapkan teknik analisis bahasa untuk
memecahkan problema filsafat . akan tetapi ia lebih
mendahulukan analosis logis daripada sintesis logis. Karena
baginya, teori yang hanya didasarkan pada fakta-fakta yang
bersifat empiris tidak akan bisa menjangkau pengetahuan yang
universal. Sebab katanya, kebenaran yang bersifat logis dan
matematis yang diungkapkan melalui analisis logis akan
meyakinkan kita untuk mengakui keberadaan sifat-sifat yang
universa. Berdasarkan uraian tersebut, tampak jelas bahwa
Russell hendak menyusun atomisme logis dengan berpijak pada
bahasa logika. Dengan bahasa logika itulah ia melakukan kerja
analisis bahasa bagi bahasa filsafat untuk memperoleh apa yang
disebutnya sebagai atom-atom logis atau proposisi atomis
Russell memandang proposisi sebagai suatu simbol-simbol
yang rumit yang bisa benar atau salah, dan dia juga menegaskan
bahwa di dunia realita ini yang menentukan proposisiitu benar
atau salah adalah fakta. Proposisi itu terdiri dari simbol-simbol
atau sebutan-sebutan (nama) yang simpel. Suatu sebutan
mempunyai makna jika merujuk pada objek. Namun demikian
ini tidak berarti bahwa semua nama yang terdapat dalam
kehidupan sehari-hari adalah simbol-simbol dalam pengertian
ini. Hal ini karena struktur bahasa keseharian bisa jadi salah dan
ini merupakan salah satu tugas dari bahasanya. Russell meminta
teorinya tentang deskripsi merupakan pelaksanaan paradigmatis
dari tugas ini. Maksudnya bahwa frase yang bersifat deskriptif
merupakan simbol-simbol yang tidak sempurna yang
kegunaannya tidak bergantung pada suatu refrensi tertentu dan
karena itu implikasi ontologis yang salah dari bahasa sehari-hari
tidak diperdebatkan. Dengan cara ini, Russell mengangkat
maxim (dalil) metodologi bahwa melalui analisis bahasayang
logis seseorang bisa mengungkapkan simbol-simbol yang benar-
benar sederhana dengan mana dunia dibangun .  

b. Atomisme Logis Wittgenstein


Wittgenstein adalah seorang filosof asal Wina Austria yang
merupakan sahabat dan sekaligus murid Russell yang sangat
cemerlang. Akan tetapi dalam berbagai hal Russell
mengakuinya sebagai murid dari Wittgenstein. Dari sini kita
dapat melihat bahwa hubungan antara Russell dan Wittgenstein
tidak hanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang
intelektual saja, akan tetapi di luar itu juga

Pada awalnya filsafat wittgenstein banyak hal yang mirip


dengan logika atomisme Russell. Tulisan-tulisan keduanya
sama-sama berasumsi bahwa analisis yang logis dari bahasa
harus menjelaskan unsur pokok atom dari dunia ini. Namun,
wittsgenstein tidak mencurahkan perhatiannya terhadap hakikat
atom dan batas pengetahuan kita tentang atom sebagai unsur
pokok, melainkan lebih mencurahkan pada hakekat dan batas-
batas bahasa itu sendiri.
Ciri-ciri khas proposisi sebagai gambar realitas yang logis
yakni dapat melahirkan batasan yang sempit pada wilayah
wacana yang signifikan. Batasan itu ditandai oleh dua sikap
ekstrim yang berhadap-hadapan, dan diantara dua ekstrim ini
terdapat statemen-statemen yang sejati, yang semuanya
memfungsikan proposisi pokoknya untuk kebenaran. Jika
proposisi ini hanya menggambarkan gambar realitas empirik,
maka persoalan-persoalan kehidupan lainnya seperti etika, tata
nilai, tentang makna dan tujuan hidup menjadi terusir kaluar dari
wilayah wacana yang signifikan .
Permainan bahasa yang banyak jumlahnya, sehingga
memiliki sifat yang sangat beragam dan kompleks berakibat
pada terjadinya proses inovatif dalam penggunaan bahasa yang
sifatnya tidak dapat diprediksi dan spontan. Ia menegaskan
bahwa sesuatu yang baru, spontan dan khusus senantiasa
muncul sebagai suatu permainan bahasa. Proses inovatif dalam
permainan bahasa merupakan suatu fenomena yang dinamis dan
bersifat unik. Sebagai suatu contoh permainan bahasa dengan
data indera dalam filsafat dari cara melihat dan berbicara
diistilahkan sebagai suatu gerakan gramatikal. Wittgenstein
menegaskan bahwa apa yang telah ditemukan terutama suatu
cara baru dalam melihat hal-hal atau benda-benda, dianalogikan
sebagai seorang senima menemukan suatu cara baru dalam
melukis atau nada dalam lagu baru. Perubahan tersebut dapat
terjadi pada permainan bahasa pertama kali. Menurut
Wittgenstein ketika permainan bahsa berubah, maka akan terjadi
perubahan dalam konsep, sehingga dengan demikian akan
berakibat pada perubahan arti dan kata-katanya (Kaelan, 2002:
191).
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita menjumpai
kata atau ungkapan bahasa yang sama namun dipergunakan
dalam berbagai bentuk kehidupan dan berbagai bentuk
permainan bahasa. Menurut Wittgenstein hal itu dapat saja
terjadi yaitu bahasa yang menghasilkan hal yang bersifat umum.
Namun fenomena konteks kehidupan yang dilukiskan melalui
bahasa tersebut bukanlah suatu pengertian yang bersifat umum.
Itu disebabkan kata atau ungkapan tersebut dihubungkan dalam
banyak cara yang berbeda. Wittgenstein menganalogkan hal
tersebut dengan aneka kemiripan diantara anggota keluarga.
Dengan demikian penggunaan kata atau kalimat yang sama
dalam berbagai cara yang berbeda bukanlah berarti memiliki
makna yang sama. Meskipun secara struktur ungkapan kalimat
atau kata memiliki kemiripan namun dalam penerapan dan
penggunaan yang berbeda maka akan memiliki konsekuensi
makna yang berbeda dan sangat tergantung pada aturan main
dalam konteks penggunaannya.
Wittgenstein menyatakan bahwa terdapat berbagai
macam permainan bahasa yang layak untuk diperbandingkan,
terutama dalam cara penggunaannya. Berikut ini beberapa
contoh penggunaan kata-kata, kalimat-kalimat dalam beberapa
permainan bahasa (Kaelan, 2002: 197):
1. Memberikan perintah dan mematuhinya.
2. Menjabarkan penampakan suatu objek atau memberikan
pengukurannya.
3. Membangun suatu objek dari suatu deskripsi.
4. Melaporkan suatu kejadian.
5. Berspekulasi mengenai suatu peristiwa.
6. Membentuk da menguji suatu hipotesis.
7. Menyajikan hasil percobaan dalam table dan diagram.
8. Menyusun cerita dan membacanya.
9. Bermain akting
10. Menyanyikan rangkaian
11. Menebak teka-teki.
12. Membuat lelucon, menceritakannya.
13. Memecahkan masalah dalam aritmatika praktis.
14. Menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain.
15. Bertanya, berterima kasih, memaki, menyambut, dan
berdoa.
B. TEORI HOLISME
a. Pengertian
Istilah “holistik” atau holisme adalah sebuah persitilahan
yang berasal dari kata dalam bahasa Inggeris, yaitu: “whole”
yang berarti keseluruhan. Dalam kamus Webster`s New World
Dictionary (1979:643) istilah holistic diartikan “ relating to
holism and of concerned with or dealing with wholes or
integrated system rather than with their parts.” Berdasarkan
definisi ini, menurut Husein Heriyanto (2003:12), paradigma
holistik adalah suatu cara pandang yang menyeluruh dalam
mempersepsi realitas. Berpandangan holistik artinya lebih
memandang aspek keseluruhan daripada bagian-bagian,
bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, nonmekanik,
nonlinier. Di samping itu sebagaimana disebutkan dalam
Webster`s New Unabridged English Dictionary (1989) bahwa
istilah heal (penyembuhan) dan health) (kesehatan) secara
etimologis memiliki akar kata yang sama dengan istilah whole
(keseluruhan). Hal ini mengindikasikan bahwa berpikir holistik
berarti berpikir sehat. Atau dapat diartikan pula bahwa agar
sembuh dan hidup sehat sebagai manusia, maka kita hendaknya
berpikir holistik.
Berdasarkan pengertian paradigma sebelumnya dan pengertian
holistik di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma pendidikan
holistik adalah cara memandang pendidikan yang menyeluruh
bukan merupakan bagian-bagian yang parsial, terbatas, dan
kaku. Pendidikan holistik menurut Jeremy Henzell-Thomas
merupakan suatu upaya membangun secara utuh dan seimbang
pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran, yang
mencakup spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya,
estetika, emosi dan fisik yang mengarahkan seluruh aspek-aspek
tersebut ke arah pencapaian sebuah kesadaran tentang
hubungannya dengan Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari
semua kehidupan di dunia.
Lahirnya pendidikan holistik sejatinya adalah merupakan
suatu respon yang bijaksana atas ekologi, budaya, dan tantangan
moral pada abad ini, yang bertujuan untuk mendorong para
kaum muda sebagai generasi penerus untuk dapat hidup dengan
bijaksana dan bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang
saling pengertian dan secara berkelanjutan ikut serta berperan
dalam pembangunan masyarakat.Persoalan ekologi, budaya,
dan tantangan moral pada abad ini itu tentu tidak bisa
dipisahkan dari persoalan dan kegagalan paradigma Cartesian-
Newtonian dalam menjawab berbagai tantang dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini serta
berbagai problema krusial yang diakibatkannya.
Secara historis, paradigma pendidikan holistik
sebetulnya bukan hal yang baru. Beberapa tokoh klasik perintis
pendidikan holistik, diantaranya : Jean Rousseau, Ralph Waldo
Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi,
Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Beberapa tokoh lainnya
yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik, adalah :
Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey,
John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard
Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl
Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.
Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan
holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan
paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-
an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari
kalangan penganut aliran holistik. Gerakan itu muncul sebagai
akibat dari keprihatinan terhadap krisis ekologis, dampak nuklir,
polusi kimia, dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya
masyarakat tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional serta
institusinya. Kemajuan yang signifikan terjadi ketika
dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Nasional
yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan
Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The
National Center for the Exploration of Human Potential. Enam
tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai
memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan
sebutan 3 R’s, akronim dari relationship, responsibility dan
reverence.
Akhir-akhir ini gagasan pendidikan holistik telah
mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif,
yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda
dengan pendidikan pada umumnya. Muncul konsep atau teori
yang berbasis kuantum dalam dunia pendidikan, yang akhir-
akhir ini dikenal dengan istilah model kuantum teaching and
learning, axelerated learning, Integrated Learning, emotional
intelegent, spiritual intelegent, dan sebagainya Semua itu adalah
merupakan konsekuensi dari upaya untuk menjawab dan
ketidakpuasan dengan konsep dan teori-teori pendidikan yang
berlandaskan paradigma Cartesian-Newtonian.
Munculnya konsep-konsep dan teori-teori baru dalam
pendidikan tersebut tentau juga tidak lepas dari munculnya teori
dan konsep di bidang ilmu pengetahuan pada dekade abad 2000
dan 2001 untuk menjawab berbagai tantangan yang tidak
terpecahkan oleh keterbatasan paradigma Cartesian-Newtonian.
Sebut saja, munculnya teori Relativitas yang memandang alam
semesta yang dinamis dan primasi realasi terhadap entitas; Teori
Kuantum yang mengemukakan cara pandang interdeterminisme,
kesatuan subjek-objek dan cara pandang holistik; teori Boostrap
yang memandang alas sebagai jaringan; dan Dissipative Struktur
yang memilikia pandangan berpikir pla, tatanan (order), berpikir
nonlinier, sistemik dan menjembatani sistem hidup-tak hidup.
Beberapa teori tersebut pada dasarnya telah keluar dari
paradigma Cartesian-Newtonian yang berpikir dualistik,
atomistik, mekanistik, deterministik, reduksionistik, dan
instrumentalistik.
Di Indonesia saat telah muncul berbagai upaya
pendidikan yang dilaksanakan dengan paradigma holistik, di
antaranya adalah homeschooling>, yang saat ini sedang
berkembang, termasuk di Indonesia. Selain itu, Heritage
Foundation (IHF) telah mengembangkan sebuah model
Pendidikan Holistik Berbasis Karakter yang memfokuskan pada
pembentukan seluruh aspek dimensi manusia, sehingga dapat
menjadi manusia yang berkarakter. Kurikulum Holistik Berbasis
Karakter ini disusun berdasarkan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) dan diterapkan dengan menggunakan
pendekatan Student Active Learning, Integrated Learning,
Developmentally Appropriate Practices, Contextual Learning,
Collaborative Learning, dan Multiple Intelligences yang
semuanya dapat menciptakan suasana belajar yang efektif dan
menyenangkan, serta dapat mengembangkan seluruh aspek
dimensi manusia secara holistik. Model pendidikan holistik
berbasis karakter ini telah dipakai oleh Departemen Pendidikan
Nasional dalam proyek pengembangan “Model Penyelenggaraan
BBE (Pendidikan Berorientasi Keterampilan Hidup) Melalui
Pembelajaran Terpadu di TK dan SD Kelas Rendah” (Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah).
Kehadiran berbagai model baru dalam pembelajaran
holisitik di atas bukan berarti tanpa kekurangan, sebab nyatanya
paradigma yang dibangun masih menyisakan paradigma
Cartesian-Newtonian yang sangat teknologis dan bersifat
materialistik, yakni harus diarahkan pada pencapaian kompetesi
yang harus terukur dan terpilah secara detail yang sering
mengabaikan holistisitas peserta didik. Selain itu dominasi
konsep Bloomian yang masih sangat kuat pada praktek
pendidikan di Negara kita, dimana aspek kognitif dalam
kurikulum dan pembelajaran masih menjadi sesuatu yang sangat
dominan dan cenderung manapikan aspek kompetensi dan
potensi anak lainnya.
Pilihan pada paradigma pendidikan holistik ini juga
sejalan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
yang secara tegas dinyatakan bahwa pendidikan di Indonesia:
...berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (UUSPN No. 20 tahun 2003, Bab II
pasal 3).

Pada bagian lain dinyatakan bahwa :


1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural,
dan kemajemukan bangsa.
2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang
sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat.
Dari berbagai gambaran tentang kondisi dan berbagai
persoalan yang dihadapi oleh paradigm Cartesian-Newtonian
dewasa ini serta berbagai kondisi dan tuntutan saat ini,
khususnya di dunia pendidikan, maka kehadiran dan pilihan
pada paradigma holistik adalah merupakan sebuah keniscayaan.

b. Karakteristik Paradigma Pendidikan Holistik


Dari sudut pandang filosofis pendidikan holistik adalah
merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari
pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat
menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui
hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-
nilai spiritual. Dalam koneks ini, meminjam formulasi
Heriyanto (2003) tentang paradigma “holistik-dialogis”nya,
bahwa setidaknya ada dua karateristik pendidikan holistik yang
harus diperhatikan, yaitu: pertama, paradigma pendidikan
holistik berkaitan dengan pandangan antropologisnya bahwa
“subjek” merupakan pengertian yang berkorelasi dengan
“subjek-subjek” lain. Makna “subjek” dalam paradigma ini jauh
berbeda dengan paradigma Modern Cartesian Newtonian, yaitu
tidak terisolasi, tidak tertutup, dan tidak terkungkung, melainkan
berinterkoneksi dengan pengada-pengada lain di alam raya.
Kedua, paradigma pendidikan holistik juga berkarakter realis-
pluralis, kritis-konstruktif, dan sintesis-dialogis. Pandangan
holistik tidak mengambil pola pikir dikotomis atau binary logic
yang memaksa harus memilih salah satu dan membuang yang
lainnya, melainkan dapat menerima realitas secara plural
sebagaimana kekayaan realitas itu sendiri. Dalam konteks ini
sistem pendidikan dibangun terpusat pada anak berdasarkan
asumsi connectedness, wholeness dan being fully human. Dalam
pendidikan holistik sangat menapikan adanya dikotomi dalam
sebaga bentunya, seperti dikotomi, dunia-akhirat, ilmu umum-
agama/ ilmu syar`iyah-ghairu syar`iyah, akal-fisik, dan lain-lain.
Keduanya harus ada dan diperhatikan serta dibangun dalam
relasi yang tidak terputus.
Pendidikan holistik membantu mengembangkan potensi
individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan
dan menggairahkan, demokratis dan humanis melalui
pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui
pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi
dirinya sendiri (learning tobe). Dalam arti dapat memperoleh
kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar
melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh
kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan
emosionalnya. Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow,
maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk
memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai
dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau
kemandirian; dan (4) kepercayaan.
Pendidikan holistik tidak membatasi pada tiga ranah
Bloomian saja tetapi menunut untuk memperhatikan seluruh
kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam
aspek intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual.
Dalam konteks ini Howard Gardner, dalam bukunya yang
berjudul Frame of Mind, menyebutkan ada sembilan kecerdasan
yang harus dikembangkan dan harus mendapat perhatian
sebagai kehkususan, yaitu:
1. kecerdasan linguistik kecerdasan untuk membaca, menulis,
bercerita, bermain kata dan menjelaskan. Pembentukan ini
agar anak kelak berkemampuan dalam bidang pemberitaan,
jurnalistik, berpidato, debat, percakapan dan lain-lain.
2. kecerdasan logis atau matematis yaitu kecerdasan dalam
bereksperimen, bertanya, memecahkan teka-teki dan
berhitung. Pembentukan ini diarahkan agar anak berhasil
dalam bidang matematika, akutansi, program komputer,
perbankan dan lain-lain.
3. kecerdasan spatial atau visual yaitu kecerdasan dalam
mendisain, menggambar, membuat sketsa,
menvisualisasikan. Pembentukan kecerdasan ini agar anak
memiliki kemampuan yang baik antara lain membuat peta,
fotografi, melukis, desain rencang bangun dan lain- lain.
4. kecerdasan body atau kenestetik yaitu kecerdasan untuk
menari, berlari, membangun, menyentuh, bergerak dan
kegiatan fisik lainnya. Pembinaan kecerdasan ini agar anak
cemerlang dalam olah raga, seni tari, seni pahat, dan
sebagainya.
5. kecerdasan Musikal adalah kecerdasan untuk menyanyi,
bersiul, bersenandung, menghentak-hentakkan kaki atau
tangan, mendengar bunyi-bunyian. Pembinaan kecerdasan ini
diarahkan agar anak mempunyai kecenderungan ini akan
sukses dalam bernyanyi, menggubah lagu, memainkan alat
musik dan lain-lain.
6. kecerdasan interpersonal yaitu kecerdasan untuk memimpin,
mengatur, menghubungkan, bekerja sama, berpesta dll.
Pembinaan kecerdasan ini agar anak berhasil dalam
pekerjaan seperti guru, pekerja sosial, pemimpin kelompok,
organisasi, politik.
7. kecerdasan intrapersonal yaitu kecerdasan untuk suka
mengkhayal, berdiam diri, merencanakan, menetapkan
tujuan, refleksi. Pembinaan kecerdasan ini agar anak
cemerlang dalam filsafat, menulis penelitian dan sebagainya.
8. kecerdasan natural yaitu kecerdasan untuk suka berjalan,
berkemah, berhubungan dengan alam terbuka, tumbuh-
tumbuhan, hewan. Pembinaan kecerdasan ini agar anak
dapat menguasai dan menyenangi dengan baik bidang botani,
lingkungan hidup, kedokteran dan lain-lain.
9. kecerdasan Eksistensialis yaitu kecerdasan untuk suka
berfilsafat, suka agama, kebudayaan dan isu-isu sosial. Pada
umumnya mereka berhasil dalam bidang keagamaan dan
psikologi.
Berbagai gambaran tentang pendidikan holistik diatas
tampaknya lebih banyak didominasi oleh konsep kurikulum
humanistik. Kurikulum ini adalah kurikulum yang didasari oleh
suatu pandangan bahwa anak adalah merupakan sosok pribadi
yang unik yang memiliki potensi dan kekuatan untuk
berkembang sesuai dengan jati dirinya. Menurut para Humanis,
kurikulum berfungsi menyediakan pengalaman yang berharga
bagi setiap murid yang akan membantu memperlancar
perkembangan pribadi anak. Bagi mereka tujuan pendidikan
adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis yang
diarahkan kepada pertumbuhan, integritas dan otonomi
kepribadian, sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang lain
dan belajar. Ini semua merupakan cita-cita perkembangan
manusia yang teraktualisasi (self actualizing person). Seorang
yang telah mampu mengaktualisasikan diri adalah orang yang
telah mencapai keseimbangan (harmoni) perkembangan seluruh
aspek pribadinya, baik aspek kognitif, estetika, maupun moral.
Kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik
antara pendidik dengan anak didik. Pendidikan harus mampu
menciptakan hubungan yang harmonis dan hangat, selain juga
mampu menjadi manusia sumber. Ia harus mampu memberikan
materi yang menarik dan mampu menciptakan situasi yang
memperlancar proses belajar. Sesuai dengan prinsip ayang
dianut, kurikulum humanistik menekankan integrasi, yaitu
kesatuan perilaku bukan saja yang bersifat intelektual, tetapu
juga emosional dan tindakan, bahkan yang spiritual. Kurikulum
harus dapat memberikan pengalaman yang menyeluruh, bukan
pengalaman yang terpenggal-penggal.
Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal
sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif. Oleh karena itu
strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar
dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus
dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran
holistik, diantaranya:
(1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif;
(2) prosedur pembelajaran yang fleksibel;
(3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu,
(4) pembelajaran yang bermakna, dan
(5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu
berada. Sekolah menjadi tempat peserta didik dan guru
bekerja guna mencapai tujuan yang saling
menguntungkan
Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting,
perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari
pada kompetisi. Untuk itu, sekolah harus memberi kesempatan
kepada setiap siswa untuk bertumbuh dan berkembang sesuai
dengan kecerdasan yang dimilikinya. Sekolah juga berkewajiban
memberikan penilaian secara jujur dan proporsonal terhadap
perkembangan setiap aspek siswa agar tingkat
perkembangannya dapat diukur dan diarahkan. Sistem
pendidikan holistik yang mengembangkan setiap potensi siswa
akan membuat membuat proses belajar mengajar menjadi sangat
menyenangkan (learning is fun). Hal penting yang perlu dicatat
bahwa aspek kognitif intelektual itu hanya sebagian kecil dari
aspek-aspek yang lain yang tidak kalah pentingnya untuk
dikembangkan. Aspek yang sangat dibutuhkan saat ini justru
adalah dalam bentuk pembinaan watak dan kepribadian peserta
didik secara utuh dan terpadu.
Dalam upaya perwujudan pendidikan holistik yang dapat
pembinaan karakter dan kepribadian tersebut (di keluarga,
sekolah, dan masyarakat) hendaknya melakukan model-model
pendidikan sebagai berikut:
Pertama, menerapkan pendekatan modeliing atau exemplary
yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan
pendidikan untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai
akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan.
Setiap tenaga pendidik hendaknya mampu menjadi teladan
yang hidup bagi setiap peserta didik.
Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta
didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik
dan buruk dengan pendekatan yang bisa diterima oleh
peserta didik.
Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter
(character-based education). Hal ini bisa dilakukan dengan
menerapkan character-based approach kedalam setiap mata
pelajaran yang ada di samping matapelajaran-matapelajaran
khusus untuk pendidikan karakter, seperti pelajaran agama,
sejarah, pancasila, dan sebagainya.
Keempat, Jika masih menggunakan model pengembangan
pembelajaran Bloomian harus memperhatikan keseimbangan
ketiga ranah dan memasukkan ranah lainnya seperti ranah
emosional, spiritual, dan ranah kecerdasan lainnya secara
terpadu, sehingga berbagai indikator proses dan pencapaian
pembelajaran tidak dikemas dan diukur semata-mata dalam
kacamata behavioristik yang harus selalu terpilah, jelas,
terukur dan harus bisa diobservasi.
Pendidikan holistik juga dapat diaplikasikan dalam
proses pembelajaran dengan menerapkan Integrated Learning
atau pembelajaran terintergrasi/ terpadu, yaitu suatu
pembelajaran yang memadukan berbagai materi dalam satu
sajian pembelajaran. Inti pembelajaran ini adalah agar siswa
memahami keterkaitan antara satu materi dengan materi lainnya,
antara saru mata pelajaran dengan mata pelajaran lain. Dari
integrated learning inilah muncul istilah integrated curriculum
(kurikulum terintegrasi/terpadu). Karakteristik kurikulum
terintegrasi secara praktis menurut Lake dalam Megawangi,
et.al (2005) antara lain : Adanya keterkaitan antar mata
pelajaran dengan tema sebagai pusat keterkaitan, menekankan
pada aktivitas kongkret atau nyata, memberikan peluang bagi
siswa untuk bekerja dalam kelompok. Selain memberikan
pengalaman untuk memandang sesuatu dalam perspektif
keseluruhan, juga memberikan motivasi kepada siswa untuk
bertanya dan mengetahui lebih lanjut mengenai materi yang
dipelajarinya.
Dalam bidang kurikulum dan pembelajaran
implementasi pendidikan holistik banyak dikenal dengan istilah
“integrated curriculum and learnig”. Istilah ini sebagaimana
Fogarty (1991:xii-viii) adalah suatu model kurikulum yang
dapat mengintegrasikan skills, themes, concepts, and topics baik
dalam bentuk within single disciplines, across several
disciplines, dan within and across learners. Ia mengemukakan
ada 10 model pengintergrasian kurikulum yang
dikelompokkannya dalam tiga kelompok, yaitu: (1) within
single disciplines, meliputi: (a) Fragmented, (b). Connected, dan
(c) nested; (2) across several disciplines, meliputi: (d)
sequenced, (e) shared, (f) webbed, (g) threaded, dan (h)
integrated; (3) within and across learners, meliputi: (i)
immersed dan (j) networked. Selain itu kurikulum dan
pembelajaran terintegrasi juga mengintegrasikan sekolah dengan
lingkungannya.
Dari pengertian istilah di atas dapat disimpulkan bahwa
kurikulum terpadu sebagai sebuah konsep dapat dikatakan
sebagai sebuah sistem dan pendekatan pembelajaran yang
melibatkan beberapa disiplin ilmu atau mata pelajaran/bidang
studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna dan luas
kepada peserta didik. Dikatakan bermakna karena dalam konsep
kurikulum terpadu, peserta didik akan memahami konsep-
konsep yang mereka pelajari itu secara utuh dan realistis.
Dikatakan luas karena pengetahuan yang mereka dapatkan tidak
dibatasi oleh lingkup disiplin tertentu saja, tetapi melingkupi
semua lintas disiplin yang dipandang berkaitan antar satu sama
lain. Sebagaimana dikemukakan Fogarty di atas dapat dalam
bentuk antar dua disiplin atau inter beberapa disiplin ilmu.
Dalam kontek pelajaran disekolah, konsep kurikulum terpadu
dapat merupakan pemaduan materi, tema, pokok bahasan dan
sub pokok bahasan yang terpadap pada dua atau beberapa mata
pelajaran/bidang studi yang terdapat di sekolah.
Kurikulum terintegrasi dalam pendidikan holistik
membuat siswa belajar sesuai dengan gambaran yang
sesungguhnya, hal ini karena kurikulum terintegrasi
mengajarkan keterkaitan akan segala sesuatu sehingga terbiasa
memandang segala sesuatu dalam gambaran yang utuh.
Kurikulum terintegrasi dapat memberikan peluang kepada siswa
untuk menarik kesimpulan dari berbagai sumber infomasi
berbeda mengenai suatu tema, serta dapat memecahkan masalah
dengan memperhatikan faktor- faktor berbeda (ditinjau dari
berbagai aspek). Selain itu dengan kurikulum terintegrasi,
proses belajar menjadi relevan dan kontekstual sehingga berarti
bagi siswa dan membuat siswa dapat berpartsipasi aktif
sehingga seluruh dimensi manusia terlibat aktif (fisik, social,
emosi, akademik, dan spiritual).
Dari gambaran model pendidikan holistik di atas dapat
disimpulkan bahwa pendidikan holistik memiliki karakteristik
sebagai berikut: Pertama, bahwa pendidikan holistik adalah
merupakan suatu upaya membangun peserta didik secara utuh
dan seimbang dalam seluruh aspek dirinya sebagai manusia,
baik aspek jasmani maupun rohani, yang mencakup aspek fisik,
intelektual, emosional, spiritual, dan lainnya. Dalam istilah lain,
pendidikan yang dapat membangun segenap potensi
(kecerdasan) yang dimiliki anak, yang meliputi: kecerdasan
linguistik, kecerdasan logis atau matematis, kecerdasan spatial
atau visual, kecerdasan body atau kenestetik, kecerdasan
musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal,
kecerdasan natural, dan kecerdasan eksistensialis. Kedua,
pendidikan yang mencakup pemberian segenap ilmu
pengetahuan secara lengkap dan utuh, baik ilmu pengetahuan
duniawi maupun ukhrawi, ilmu pengetahuan umum maupun
ilmu pengetahuan keagamaan, ilmu pengetahuan umum maupun
spesialis. Ketiga, pendidikan yang tidak teralienasi dengan
lingkungan dan budayanya. Dalam konteks ini, ilmu
pengetahuan dan proses pembelajaran yang dilakukan harus
menyatu dan sejalan dengan budaya dan perkembangan
lingkungannya. Keempat, pendidikan yang melibatkan segenap
pihak yang bertanggung jawab, baik pendidikan di lingkungan
rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Kelima, pendidikan
yang dikembangkan melalui pembelajaran yangtidak dibatasi
pada model dan pendekatan pendidikan subjek akademik dan
teknologis semata, tetapi juga memasukkan model dan
pendekatan pendidikan humanistik dan rekonstruksi sosial.

Anda mungkin juga menyukai