Anda di halaman 1dari 23

CONTOH PROPOSAL PENELITIAN HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seperti kita ketahui bahwa negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari
berbagai macam suku, agama dan adat istiadat yang beraneka ragam dari
sabang sampai merauke. Adat istiadat tersebut sangat berbeda satu sama
lainnya. Sejak negara ini memproklamirkan kemerdekaannya maka, Indonesia
terbentuk menjadi negara kesatuan dengan memiliki satu sistem hukum yang
berlaku secara Nasional. Yang mana sistem hukum itu merupakan salah satu
alat pengitegrasi bangsa ini.
Sistem hukum Indonesia sampai saat ini masih berlaku adalah sistem hukum
yang masih berkiblat kepada negara Belanda yaitu sistem hukum Eropa
Continental atau sistem hukum Civil Law. Bukti adanya sistem hukum ini
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata ( KUHPer ) yang sampai saat ini dianggap masih tetap
berlaku.. Hal ini tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, pasal
1 aturan peralihan yang berbunyi : “ segala peraturan perundang-undangan
yang masih ada dianggap tetap berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut undang-undang dasar 1945”
Terlepas daripada sistem hukum positif yang terulis diatas ada sistem hukum
lain yang dianggap tetap berlaku adalah sistem hukum adat. Hukum adat
adalah hukum yang hidup dan berkembang didalam masyarakat. Namun
apabila hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan hukum
nasional maka dianggap tetap berlaku, namun demikian sebaliknya jika hukum
adat itu dianggap bertentangan dengan hukum positif atau hukum nasional,
maka ketentuan hukum tertulislah yang berlaku. Hal ini seperti yang terdapat
pada salah satu suku di kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, yaitu suku
Naulu. Salah satu suku yang hidup di Petuanan Negeri Sepa, merupakan salah
satu suku terasing di Pulau Seram, tepatnya di Dusun Bonara, yang berjarak 35
km2 dari Pusat kota Kecamatan.
Suku Naulu ini memiliki banyak adat istiadat yang terbilang unik, namun salah
satu adat yang paling mengerikan adalah Tradisi adat memotong kepala
manusia buat persembahan.Oleh masyarakat Suku Naulu diyakini sebagai
kepercayaan yang mutlak dilakukan. Keyakinan itu mengalahkan akal sehat
dan logika manusia, karena diyakini jika tidak mendapat kepala manusia buat
persembahan bisa mendatangkan bala atau musibah. Meskipun demikian tidak
banyak masyarakat Maluku yang mengetahui hal tersebut. Tradisi ini baru
tercium khalayak ramai setelah terjadinya kejadian tahun 2005 silam. Warga di
Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah digegerkan dengan penemuan
dua sosok mayat manusia yang sudah terpotong-potong bagian tubuhnya.
Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane adalah korban persembahan tradisi Suku
Naulu saat akan melakukan ritual adat memperbaiki rumah adat marga
Sounawe.
Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka.
Akibat perbuatannya itu, tiga warga Naulu yang merupakan komunitas adat
tertinggal di Pulau Seram ini divonis hukuman mati oleh majelis hakim di
Pengadilan Negeri Masohi. Mereka adalah Patti Sounawe, Nusy Sounawe, dan
Sekeranane Soumorry. Sementara tiga lainnya divonis hakim hukuman penjara
seumur hidup masing-masing Saniayu Sounawe, Tohonu Somory, dan Sumon
Sounawe. Para pelaku mutilasi ini dinyatakan bersalah melakukan
pembunuhan secara berencana, sebagaimana diatur dalam pasal 340 jo pasal
55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Bunyi pasal 340 KUHP : “barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”
Pasal 55 ayat 1 ( 1) : “ dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang
melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan
Didalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana tersirat
dalam pasal tersebut diatas sangat jelas sekali bahwa para pelaku yang
melakukan pembunuhan dalam hal ini adalah pembunuhan berencana, maka
akan dipidana dengan hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup.
Namun satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa ketiga pelaku tersebut adalah
warga masyarakat yang tidak tahu bahwa tindakan mereka telah melanggar
ketentuan hukum pidana, hukum yang dianggap tidak pernah ada dalam
kehidupan mereka. Hakim mengadili berdasarkan undang-undang, tetapi
hakim bukan corong undang-undang. Hakim harus mengikuti, memahami
hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat, apakah itu hukum
kebiasaan/hukum adat/ atau hukum tidak tertulis. Sebagaimana tertera dalam
pasal 5 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 bahwa :
“ Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”
Dalam realiatanya sangat disayangkan karena pada praktiknya hakim di
Indonesia umumnya hanya menjadi corong undang-undang. Kebanyakan
hakim selalu berpandangan positivisme bahwa apa yang sudah diatur oleh
undang-undang itu adalah hukum. Padahal hukum adat juga merupakan
sumber hukum tidak tertulis yang diakui dan dijadikan pedoman hidup dalam
masyarakat. Terutama masyarakat tradisional, yang jauh dari hiruk pikuk
perkotaan dan tidak memiliki latar belakang pendidikan terutama pendidikan
tentang hukum, dalam hal ini adalah hukum modern sebagaimana tertuang
dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga terkadang apa yang menurut
hukum adat itu merupakan suatu hal yang biasa bagi masyarakat adat ternyata
hal tersebut telah melanggar ketentuan hukum tertulis, dan terlebih lagi
bahwa perbuatan tersebut harus dijatuhi dengan sanki pidana sebagaimana
tercantum dalam ketentuan peraturan peundang-undangan.
Melihat pada kondisi demikian tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi para
penegak hukum terutama hakim, agar dalam memutus perkara perlu lebih
objektif lagi, karena seperti pada upacara adat penggal kepala manusia oleh
masyarakat suku Naulu merupakan suatu hal yang sakral, dan merupakan
kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama yang dilakukan secara turun-
temurun. Dan ketika para pelaku tersebut divonis hukuman mati merupakan
suatu hal yang menurut penulis merupakan keputusan yang kurang memenuhi
rasa keadilan pada masyarakat Naulu karena suku ini terbilang masih asing dan
tidak memiliki latar belakang pendidikan terutama mengenai hukum itu
sendiri. Karena dengan vonis pidana mati itu sangatlah tidak tepat karena
seharusnya suku Naulu ini harus diberi pemahaman dan pengertian tentang
hukum itu agar terciptanya kesadaran hukum diantara mereka.
Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam
masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu hakim yang baik
haruslah dalam memutus perkara seyogyannya harus terjun ditengah-tengah
masyarakat untuk mengetahui mengenal, merasakan dan mampu menyelami
perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan melihat latar belakang tersebut diatas hal ini penulis sangat tertarik
untuk membahas masalah ini dengan mengambil judul “ Penegakkan Hukum
Pidana Terhadap Upacara Adat Penggal Kepala Suku Naulu Di Kabupaten
Maluku Tengah” (Suatu Tinjauan Sosiologis )
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka masalah pkok yang akan
diteliti adalah :
1. Bagaimanakah Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Upacara Adat
Penggal Kepala Suku Naulu Tersebut Jika Dilihat Dari Kacamata Sosiologis ?
2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap para pelaku ( pemenggal kepala manusia )?
3. Bagaimana kebijakan hukum pidana agar upacara adat pemenggalan
kepala manusia tersebut tidak terjadi lagi di masa yang akan datang?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana proses penegakkan
hukum pidana terhadap Upacara Adat penggal kepala manusia Suku Naulu
tersebut jika dilihat dari kacamata sosiologis
2. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana mati terhadap para pelaku.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana agar
upacara adat pemenggalan kepala manusia tersebut tidak terjadi di masa yang
akan datang.

C. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis
Ø Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau
memberikan solusi dalam bidang hukum pidana terkait dengan upacara adat
penggal kepala yang terjadi pada suku Naulu. Dengan demikian pembaca atau
calon peneliti lain akan semakin mengetahui tentang upacara adat penggal
kepala pada masyarakat
Ø Dapat dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin
mengkaji secara mendalam tentang penegakkan hukum pidana berkaitan
dengan masalah yang penulis utarakan diatas.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam
rangka meningkatkan kualitas penegakan hukum pidana khususnya hakim
dalam pengambilan keputusan bila nantinya menghadapi kasus yang serupa.

D. KERANGKA TEORI
Karakteristik hukum adalah memaksa disertai dengan ancaman dan sanksi.
Tetapi hukum bukan dipaksa untuk membenarkan persoalan yang salah, atau
memaksa mereka yang tidak berkedudukan dan tidak beruang. Agar
peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati
sehingga menjadi kaidah hukum, maka peraturan kemasyarakatan tersebut
harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian, hukum
mempunyai sifat mengatur dan memaksa setiap orang supaya menaati tata
tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas ( berupa
hukuman ) terhadap siapa saja yang tidak mau mematuhinya.[1]
Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum public
tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan-
kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan
yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari
perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai
kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman,
ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.[2]
Berbicara tentang penegakkan hukum pidana ada beberapa teori yang
menyertainya antara lain : [3]
1. Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart,
Stahl. Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar keadilan hukum
itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang mendapat hukuman
karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu melulu untuk menghukum saja
(mutlak) dan untuk membalas pebuatan itu (pemabalasan).
2. Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah
pembalasan tetapi lebih kepada maksud/ tujuan hukuman, artinya tujuan ini
mencari manfaat daripada hukuman. Beberapa doktrin mengajarkan yaitu
diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah kejahatan baik pencegahan
umum (Algemene Crime) maupun pencegahan khusus (Special Crime). Selain
itu, terdapat paham lain yaitu tujuan hukuman adalah untuk membinasakan
orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan masyarakat, tujuan
pelaksanaaan daripada hukuman terletak pada tujuan hukuman. Akan tetapi
disamping teori relative ini ini masih dikenal lagi Teori relative modern ,
penganutnya Frans Von Lizt, Van Hommel, D. Simons. Teori ini berpendapat
dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya
adalah Negara, dimana negara melindungi masyarakat dengan cara membuat
peraturan yang mengandung larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/
norma.
3. Teori gabungan (1 dan 2), menurut teori ini dasar hukuman adalah
terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori mutlak)
tetapi disamping itu diakuinya dasar-dasar tujuan daripada hukuman.
Penganut aliran ini diantaranya adalah Binding.
Berdasarkan pada teori ini sebenarnya tujuan dari pada penegakkan hukum
pidana tidak lain adalah untuk memeberikan hukuman pidana kepada
seseorang tidak semata-mata karena pelakunya telah melakukan kejahatan,
tetapi juga mencegah terjadinya kejahatan itu sendiri.
Tujuan hukum pidana sebagaimana disebut diatas adalah merupakan sumber
hukum tertulis atau hukum yang sifatnya modern, namun selain hukum tertulis
itu ada sumber hukum tidak tertulis yang merupakan pedoman hidup
masyarakat adalah hukum adat. Dan didalam peraturan perundang-undangan
hukum adat diakui dan dijadikan sumber hukum tidak tertulis.
Von Savigny mengatakan bahwa terdapat hubungan organik antara hukum
dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari
volkgeist. Oleh karena hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam rahim
volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati
itu tidak dibuat. Ia harus ditemukan. Legislasi hanya penting selama ia memiliki
sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu. [4]
Lebih lanjut Eugen Ehrlich dalam teorinya menyatakan bahwa :[5]
“hukum adalah hukum sosial. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang
bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan.
Kebiasaan itu lambat laun mengikat da menjadi tatanan yang efektif . lalu
kehidupan berjalan dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat hukum yang hidup
itu tidak ditentukan oleh kewibawaan negara. Ia tergantung pada kompetensi
penguasa dalam negara. Memang semua hukum dalam segi ekstrennya dapat
diatur oleh instansi-instansi negara, akan tetapi menurut segi internnya
hubungan-hubungan dalam kelompok sosial tergantung dari anggota-anggota
kelompok itu. Inilah living law.Hukum sebagai norma-norma hukum”
(Rechtsnormen).
Dalam proses penegakkan hukum banyak faktor yang mempengaruhi
bekerjanya hukum. Robert. B. Siedman mengemukakan teorinya tentang
faktor-faktor bekerjanya hukum yaitu : [6]

Bekerjanya hukum menurut Siedman ini menyatukan tiga kekuatan yaitu


kekuatan pembuat undang-undang dalam hal ini adalah legislatif, kekuatan
pelaksana undang-undang dalam hal ini adalah eksekutif dan keuatan sosial
lain yaitu pemegang peran atau masyarakat yang dalam hal ini adalah
menyangkut kesadaran hukum masyarakat.
Hukum sebagai sistem tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan
peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur,
lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure).
Sebagaimana dijelaskan oleh Lawrence M. Friedman bahwa efektifitas hukum
itu dipengaruhi oleh tiga faktor penting antara lain: [7]
1. Substansi hukum
2. Srtuktur hukum
3. Cultur hukum
Ketiga faktor ini sangat tergantung satu sama lainnya, karena apabila substansi
hukumnya sudah baik harus didukung oleh struktur hukum yang baik pula,
demikian juga apabila culutur hukum sangat mempengaruhi dua faktor yang
lainnya. Karena faktor cultur juga melahirkan apa yang dinamakan dengan
kesadaran hukum.
Berl Kutchinky telah mengembangkan suatu teori mengenai kesadaran hukum,
yang sebenarnya merupakan penerapan dari teori-teori yang mula-mula
diketengahkan oleh Adam Podgorecki.:[8]. Dalam teorinya Kutschinky,
mengatakan bahwa kesadaran hukum yaitu variabel yang berisi 4 komponen
yaitu:
Komponen Legal Awareness yaitu aspek mengenai pengetahuan terhadap
peraturan hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Jadi teori hukum menyatakan
bahwa ketika hukum ditegakkan maka mengikat. Menurut teori residu semua
orang dianggap tahu hukum tapi kenyataannya tidak begitu, maka perlu Legal
Awareness.
Legal Acquaintances : pemahaman hukum. Jadi orang memahami isi dari pada
peraturan hukum, mengetahui substansi dari UU.
Legal Attitude ( sikap hukum). Artinya kalau seseorang sudah memberikan
apressiasi & memberikan sikap : apakah UU baik/ tidak, manfaatnya apa dan
seterusnya )
4. Legal Behavior ( perilaku hukum), orang tidak sekedar tahu, memahami
tapi juga sudah mengaplikasikan. Banyak orang tidak tahu hukum tapi
perilakunya sesuai hukum, begitu juga banyak orang tahu hukum tapi justru
perilakunya melanggar hukum. Bahwa orang yang memiliki kesadaran hukum
yang rendah, misal jika menggunakan skor 4-5, sedang yang tertinggi skor 7-10
dst. Bahwa belum tentu ketentuan pertama menjadi prasarat ketentuan
berikutnya.Hal yang lebih ideal, jika ke-4 ketentuan memenuhi syarat.
Asumsinya hal di atas dalam keadaan normal ada proses sosialisasi hukum,
penyuluhan, pendidikan hukum dan seterusnya. [9]

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Penegakkan Hukum
Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi
oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan
karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya
tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat
mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian
sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
Menurut Satjipto Rahardjo,
“penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan
konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses
untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang
disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiranpikiran
pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan- peraturan hukum
itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula
sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-
undang (hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut
menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.”[10]

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto:

“Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam
kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai
rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.Penegakan Hukum sebagai
suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut
pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum,
akantetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi
berada diantara hukum dan moral”[11]

Menurut Jimly Ashhidiq[12]


““Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan
hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan
sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau
sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek
hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan
normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan
mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia
menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi
subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur
penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu
aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya
hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan
untuk menggunakan daya paksa.”

Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum
mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya
sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan
dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau
pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang
memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the
legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan
dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan
(iii) penegakan hukum (the enforcement of law). [13]
Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration
of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif)
yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi
hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat
sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas,
‘the administration of law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules
executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang
sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan
publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan
dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels),
keputusankeputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan
dan putusan (vonis)hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari
pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas,
bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk
hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin
mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya?
Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat
universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan
pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan
masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan
pembudayaan hukum secara sistematis dan bersahaja.
Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal
pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum yang
bersifat membina penjahat dengan cara melakukan pembinaan di lembaga
pemasyarakatan, dengan demikian dapat memberpaiki terpidana di lembaga
pemasyarakatan tersebut. Seharusnya hal ini mampu memberikan wacana
kepada para hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan pidana kepada para
pelaku kejahatan agar mampu menangkap aspirasi keadilan masyarakat.
Sementara itu, dalam kenyataan empiris di bidang pemidanaan secara umum
masih menganut konsep hanya menghukum terpidana di lembaga
pemasyarakatan, dengan demikian dapat memberikan gambaran bahwa
kejahatan tersebut hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali dalam
lingkungan kehidupan sosial masyarakat.
Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum.
Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni: (1) takut
berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan
dengan sifat hukum yang bersifat imperatif; (3) takut karena malu berbuat
jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal mempunyai sasaran dan
tujuan untuk kepentingan internalisasi.[14]
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar
kepentingan manusia terlindungi hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan
hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga
karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus
ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.
Dalam penegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan,yaitu
kepastian hukum ( Rechtssicherheit ), kemanfaatan ( Zwekmassigkeit ) dan
keadian ( Gerechtigkeit ).[15] Ketiga konsep ini pertama kali dikemukan oleh
Gustav Radbruch[16]
Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa:
“Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan
dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Bagaimana
hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan
menyimpang; fiat justitia et pereat mundus ( meskipun dunia ini runtuh
hukum harus ditegakkan ). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum.
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan
adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat
akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena
bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat megharapkan
manfaat dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum. Hukum adalah untuk
manusia, maka pelaksanaan hukum harus member manfaat atau kegunaan
bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau
ditegakkan timbul keresahan didalam masyarakat.” [17]
Unsur yang ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa
dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum keadilan harus diperhatikan.
Dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum harus adil. Hukum tidak identik
dengan keadilan. Keadilan itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan.
Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau
dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai
keadilan dan kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah
peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa
keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai
kepastian hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai
kegunaan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum
maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah
kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat.
Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka
sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai
keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai
kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu
sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.[18]
Semua masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada
dalam masa pergelokan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan
penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia
harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan
mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sifat-sifat yang jahat maupun
yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan
pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu
diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya.
Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari
lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya( Penjelasan
UU No.48/ 2009 )
Oliver Holmes dalam teorinya mengatakan bahwa:[19]
“aturan hukum bukanlah sebuah poros keputusan yang berbobot. Aturan tidak
bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan dunia yang begitu kompleks. Dan
lagi pula kebenaran yang riil, bukan terletak dalam undang-undang, tapi pada
kenyataan hidup. Lebih lanjut Holmes mengatakan seorang pelaksana hukum (
hakim ) sesungguhnya mengahadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Sering
ia menghadapi dua bahkan lebih kebenaran yang seolah meminta kepastian
mana yang lebih unggul dalam konteks tertentu. Salah satu diantaranya adalah
kebenaran versi aturan hukum. Tidak jarang, bahkan amat sering, kebenaran-
kebenaran lain lebih unggul dari yang disodorkan aturan formal. Mereka lebih
relevan, lebih tepat, dan bahkan lebih bermanfaat untuk suatu konteks riil,
ketimbang kebenaran yang ditawarkan aturan legal. Dalam hal inilah seorang
hakim mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya. Ia harus memenangkan
kebenaran yang menurutnya lebih unggul, meski dengan resiko mengalahkan
aturan resmi.”

II. Tinjauan Umum Tentang Pidana

Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang


dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan
dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang
menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang
lainnya. [20] Menurut
Satochid Kartanegara,[21] bahwa :
“Hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-
undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu
norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau
pende-ritaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang
dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus
diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh
seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum
pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang
justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana. Kepentingan hukum
yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut:
1) Jiwa manusia (leven);
2) Keutuhan tubuh manusia (lyf);
3) Kehormatan seseorang (eer);
4) Kesusilaan (zede);
5) Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);
6) Harta benda/kekayaan (vermogen). “
Berikut ini dikutip pengertian pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli:
Menurut van Hamel: [22]
“een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat
gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtreding, van
wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met de
rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.” (suatu penderitaan yang bersifat
khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk
menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari
ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena
orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan
oleh negara.)

Menurut Simons: [23]


“Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm
verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.”
(artinya: suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan
dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim
telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.)

Sedangkan Menurut Sudarto:[24]Pidana adalah penderitaan yang sengaja


dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-
syarat tertentu. Dan oleh Roeslan Saleh : [25]Pidana adalah reaksi atas delik
dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada
pembuat delik itu.
Menurut Ted Honderich:[26] Punishment is an authority‟s infliction of penalty
(something involving deprivation or distress) on an offender for an offence.
(artinya: pidana adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai
hukuman [sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan] yang dikenakan
kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran).

Muladi dan Barda Nawawi Arief, pidana (straf) itu pada dasarnya mengandung
unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: [27]
1) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan;
2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.
Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa “
“pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat
belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak
mungkin dapat mempunyai tujuan. Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan,
agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir
dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut
tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada
beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir
para penulis Belanda itu, secara harfiah telah menterjemahkan perkataan
“doel der straf” dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud
dengan perkataan “doel der straf” itu sebenarnya adalah tujuan dari
pemidanaan”.[28]
Seorang hakim dalam menjatuhkan pidana yang perlu diperhatikan atau
dipertimbangkan adalah sebagai berikut[29]:
1. Kesalahan pembuat
2. Motif dan tujuan dilakukan tindak pidana;
3. Cara melakukan tindak pidana;
4. Sikap batin pembuat;
5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;
6. Sikap dan tindakan pembuat pidana sesudah melakukan tindak pidana;
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak Pidana yang dilakukan;
9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan
10. Tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Jenis- jenis pidana dalam ketentuan KUHP antara lain : menurut pasal 10 :
1. Pidana pokok :
a) Pidana mati
b) Pidana penjara
c) Pidana kurungan
d) Pidana denda
e) Pidana tutupan
2. Pidana tambahan :
a) Pencabutan hak-hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman putusan hakim
III. Konsep Pembunuhan atau Pembunuhan Dalam Upacara Adat Penggal
Kepala Suku Naulu

Seperti sudah disinggung pada latar belakang bahwa salah satu suku di
kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, yaitu suku Naulu. Salah satu suku
yang hidup di Petuanan Negeri Sepa, merupakan salah satu suku terasing di
Pulau Seram, tepatnya di Dusun Bonara, yang berjarak 35 km2 dari Pusat kota
Kecamatan. Suku Naulu ini memiliki banyak adat istiadat yang terbilang unik,
namun salah satu adat yang paling mengerikan adalah Tradisi adat memotong
kepala manusia buat persembahan.Oleh masyarakat Suku Naulu diyakini
sebagai kepercayaan yang mutlak dilakukan. Keyakinan itu mengalahkan akal
sehat dan logika manusia, karena diyakini jika tidak mendapat kepala manusia
buat persembahan bisa mendatangkan bala atau musibah. Meskipun demikian
Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka.
Konsep penggal kepala dalam upacara adat suku naulu dalam pandangan
hakim pengadilan negeri Maluku Tengah merupakan konsep pembunuhan.
Dan Pembunuhan tersebut adalah merupakan pembunuhan yang terencana
sehingga melanggar ketentuan
Pasal 340 KUHP;
“ barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun”
Pasal 55 ayat 1 ( 1) :
“ dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan”

BAB III
METODE PENELITIAN

A. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian Non Doctrinal yaitu berupa studi-studi empiris untuk menemukan
teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya
hukum didalam masyarakat/Socio Legal Research.[30]. Yaitu menganalisa
tentang penegakkan hukum pidana atas putusan hakim pengadilan negeri
Masohi pada penjatuhan pidana mati terhadap suku Naulu yang melakukan
upacara adat penggal kepala manusia dari sisi sosiologis.
2. Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu :
a) Data primer merupakan bahan penelitian yang berupa fakta-fakta empiris
sebagai perilaku maupun hasil perilaku manusia. Baik dalam bentuk perilaku
verbal perilaku nyata, maupun perilaku yang terdorong dalam barbagai hasil
perilaku atau catatan-catatan/ arsip.[31] Data primer diperoleh secara
langsung dari lokasi penelitian yaitu dengan cara wawancara langsung dan
observasi atau pengamatan secara langsung dilapangan
b) Data sekunder merupakan bahan hukum dalam penelitian yang di ambil
dari studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan non hukum. [32].Data sekunder diperoleh dengan studi
dokumentasi dan penelusuran literatur yang berkaitan dengan peneggakkan
hukum pidana dan teori yang mendukungnya.
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya memiliki suatu autoritas mutlak dan mengikat. Berupa ketentuan
hukum yang mengikat seperti, peraturan perundang-undangan, catatan resmi
dan lain-lain yang berkaitan dengan penegakkan hukum pidana.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap/ mengenai bahan hukum primer. Seperti doktrin, jurnal,
karya ilmiah dibidang hukum dan lain-lain.
c. Bahan hukum tersier ( non hukum) adalah bahan hukum yang relevan
seperti kamus hukum, ensiklopedia dan kamus hukum lain yang masih
relevan.

3. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sepa Kabupaten Maluku Tengah dan
Pengadilan Negeri Masohi, Kabupaten Maluku Tengah
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk data primer dilakukan dengan wawancara langsung kepada hakim
pengadilan negeri Maluku Tengah dan pengamatan secara langsung pada
masyarakat adat setempat. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan studi
kepustakaan yaitu pengumpulan data melalui literatur dan dokumen lain yang
berkaitan dengan permasalahan yang ada.
5. Analisa Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan metode
deskriptif kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjajaran,
Bandung
Arief, Barda Nawawi, 2000, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan Pidana Penjara. BPUNDIP, Semarang
Kansil, CST, 1993, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9,
Balai Pustaka, Jakarta,
Kholiq, M.Abdul, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas
Lamintang, P.A.F. 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung
Mahmud Marzuki, Peter, 2005.Penelitian Hukum, Jakarta Kencana, Jakarta
Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum Dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis
Serta Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta
Rahardjo, Satjipto, 1993,Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan
Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta
Rahardjo, Satjipto, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung
Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Dalam Perspektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta
Salman, Otje, 1989, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung
Sunggono, Bambang, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Soekanto, Soerjono , 1983, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan
Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Suharto, dan Efendi Junaidi, 2010, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara
Pidana, Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, Prestasi Pustaka,
Jakarta
Sunarso ,Siswantoro, 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Tanya, Bernard L, Simanjuntak, Yoan, & Hage, Markus, Y. 2010, Teori Hukum,
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta Publishing,
Yogyakarta
Taufik Makarao, Muhammad, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi
Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu
Bentuk Pemidanaan, Kreasi Kencana, Yogyakarta
Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, PT.
Suryandaru Utama, Semarang

Sumber Lain

Ashhidiq, Jimly, 2010, Penegakkan Hukum, http//:www.docudesk.com


Bemmelen, .M. van, 1987, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian
umum, Binacipta, Bandung
Kartanegara, Satochid, 1955, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II,
disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V,www.google.com
Esmi Warassih, 2010, Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, Magister Hukum
UNSOED, Purwokerto,
Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, Anonim, 2009
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[1] Suharto, dan Junaidi Efendi, 2010, Panduan Praktis Bila Menghadapi
Perkara Pidana, Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, Prestasi
Pustaka, Jakarta.hal.25-26
[2] M.Abdul, Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas
Hukum UII, Yogyakarta, hal.15
[3] C.S.T.Kansil, 1993, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9,
Balai Pustaka, Jakarta, hal.97

[4] Bernard L. Tanya, Yoan Simanjuntak, & Markus, Y. Hage, 2010, Teori
Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta Publishing,
Yogyakarta. Hal.103
[5] Ibid. Hal.142
[6] Esmi Warassih, 2010, Bahan Kuliah Sosilogi Hukum, Magister Ilmu Hukum
UNSOED, Purwokerto, hal.4
[7] H. Syafruddin Kalo, 2010, Penegakan Hukum Yang Menjamin Kepastian
Hukum Dan Rasa Keadilan Masyarakat, Suatu Sumbangan Pemikiran, www.
Google.com. hal.1
[8] Otje Salman : 1989, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung,
42
[9] Anonim, 2009, Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, hal.24
[10] Satjipta Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis,
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta; 1983, hal
24
[11] Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan Hukum,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983, hal 5.
[12] Jimly Ashhidiq, 2010, Penegakkan Hukum, http//:www.docudesk.com
[13] Ibid,
[14] Siswantoro Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis.
Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Hal. 142.
[15] Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar,
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal.207
[16] Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal.21
[17] Sudikno, Op.Cit, hal.208
[18] Ibid, hal.21
[19] Sudikno, Op.Cit. hal.166
[20] J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian
umum, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 17.
[21] Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun
oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hal. 275-276.
[22] P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1984),
hal. 34.
[23] Ibid., h. 35.
[24] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 2.
[25] Ibid.
[26] Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,
Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu
Bentuk Pemidanaan, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 18
[27] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., h. 4.
[28] P.A.F. Lamintang, Op.Cit., h. 36
[29] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara. BPUNDIP.Semarang 2000 hal, 147-148
[30]Sunggono, Bambang, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.hal.42
[31] Peter Mahmud Marzuki, 2005.Penelitian Hukum, Jakarta Kencana,
Jakarta, hal.141
[32] Ibid.

Anda mungkin juga menyukai