Anda di halaman 1dari 10

Artikel Penyimpangan Pancasila

Disusun oleh kelompok 4

Dwi Ayuningtiyas
Nadiyah Juhainatun Jahro
Putri Nurariati
Syifa Fadhilatul Insani

Dosen Pengajar:

Dr. Neti Karnati. Mpd

PRODI D-III KEBIDANAN

POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III

TAHUN AJARAN 2021/2022


Peraturan /Kebijakan Dari Pemerintah Pusat atau Daerah Yang Menyimpang Dari Pancasila

1. UUD 1945 Hasil Amandemen Menyimpang dari Pancasila

UUD 1945 yang mengalami amandemen empat kali dinilai tidak berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Pasalnya ditemukan inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antarpasal dan ayat dalam undang-
undang tersebut. Akibatnya, negara terjebak pada kekuasaan oligarki, praktik penyelenggaraan lebih
berorientasi pada demokrasi dan hukum, namun mengabaikan pembangunan kesejahteraan rakyat sebagai
tujuan utama.

Demikian yang mengemuka dalam Sarasehan Kebangsaan "Mewujudkan UUD Berdasar Pancasila",
Rabu (12/2), di Kampus UGM. Sarasehan yang digagas Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM ini
menghadirkan para pakar dan intelektual seperti Ketua PSP UGM Prof. Dr. Sudjito, Tokoh Masyarakat
Prof. Dr. Ahmad Safii Maarif, Guru Besar Ilmu Filsafat UGM Prof. Dr. Kaelan, dan Sosiolog UGM Prof.
Dr. Sunyoto Usman.

Guru Besar Filsafat UGM, Prof. Dr. Kaelan mengatakan amandemen UUD 1945 yang mengatur tentang
Negara Hukum, Tujuan Negara, dan Demokrasi, tidak menunjukkan adanya hubungan yang koheren
dengan nilai-nilai cita hukum yang terkandung dalam esensi staatsfundamentalnorm yaitu nilai-nilai
Pancasila. “Hasil penjabaran dari amandemen UUD lebih memprioritaskan aspek politik dan hukum
sementara tujuan negara welfare state tidak dijadikan prioritas,” katanya.

Kaelan mencontohkan beberapa pasal UUD 1945 misalnya, ayat 4 pada pasal 33 yang mengatur
perekonomian Indonesia bertentangan dengan tiga ayat sebelumnya. “Yang intinya menyebutkan
demokrasi ekonomi dan dalam prakteknya diterapkan ekonomi liberal. Pasal ini tidak koheren dengan
pembukaan UUD 1945, Pancasila dan Pasal 1 UUD 1945,” katanya.

Pasal lainnya, seperti Pasal 1 ayat (1) menyebutkan Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang
berbentuk Republik, lalu pada ayat 2 Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Namun berdasarkan sistem demokrasi hasil amandemen, kekuasaan eksekutif dan legislatif, menunjukkan
representasi kekuasaan rakyat berhenti pada presiden, DPR dan DPD.

Apabila sebelum amandemen MPR merupakan representasi kekuasaan dan kedaulatan, dengan hasil
amandemen UUD tugas MPR hanya praksis melantik Presiden dan Wakil Presiden saja, “Struktur
kekuasaan negara yang ada saat ini, MPR itu ibarat macan ompong. Setelah tugasnya melantik, kemudian
tidur selama 5 tahun,” selorohnya. 

Menurut Kaelan, jika kedaulatan rakyat berhenti pada presiden dan DPR maka tujuan negara tentang
kesejahteraan sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila akan
mustahil terwujud.
Selain itu pada pasal 22E UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan Umum juga menunjukkan
kontradiksi, dimana proses demokrasi berprinsip liberalisme-individualisme, karena semua dilaksanakan
secara langsung berdasarkan pada prinsip matematis tanpa memberi ruang musyawarah dan mufakat.

Senada, Ahmad Syafii Maarif menilai hasil pemikiran amandemen UUD 1945 saat ini jauh menyimpang
pada nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, titik pangkal persoalan ada pada perilaku elit negara yang tidak
bersikap negarawan. “Amandemen UUD itu karena ada euforia begitu rupa. Amandemen 4 kali itu tidak
sehat, sarat emosional,” ujarnya.

Untuk meluruskan kembali UUD 1945 yang berdasarkan pada Pancasila, Safii Maarif mengusulkan agar
bisa merujuk hasil dokumen konstituante 1956-1959. “Perlu ungkap kembali, 90 persen isinya bagus,”
katanya.

Kepala PSP UGM, Prof. Sudjito, mengatakan amandemen UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan
yang ada saat ini banyak yang tidak sesuai dengan Pancasila. Sebab, wakil rakyat dahulunya tidak
diajarkan tentang ilmu dan norma-norma dasar filsafat Pancasila. “Jika norma dasarnya salah, tataran
praksis akan tetap salah,” tambahnya.

Diakui Sudjito, banyak peraturan perundang-undangan yang dihasilkan hanya menyesuaikan pada
kepentingan partai, kelompok, dan tidak jarang mencomot ideologi asing. (Humas UGM/Gusti
Grehenson)

2. UU Sisdiknas Tidak Sesuai dengan Pancasila

Kongres Pancasila yang berakhir Senin kemarin menghasilkan rekomendasi agar Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional diajukan ke judicial review. UU ini dinilai tidak sesuai
dengan nilai dan falsafah yang terkandung dalam Pancasila. Rekomendasi ini merupakan salah
satu hasil diskusi bidang "Nasionalisme dalam Perspektif Pancasila". "Salah satunya, UU
Sisdiknas tidak memuat kurikulum Pancasila di sekolah," ucap RS Herlambang, salah seorang
tokoh masyarakat yang membaca rekomendasi tersebut di Universitas Gadjah Mada (UGM),
Yogyakarta, Senin (1/6). Selain Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas),
lanjut Herlambang, terdapat sejumlah produk hukum lain yang perlu diajukan ke Mahkamah
Konstitusi untuk judicial review. Produk-produk hukum ini dinilai melenceng dari arahan
Pancasila sebagai dasar negara. Rekomendasi tersebut merupakan salah satu dari enam bidang
yang direkomendasikan dalam kongres. Menurut rencana, rekomendasi ini akan diajukan kepada
pemerintah sebagai bahan pertimbangan. Di bidang Kesejahteraan Rakyat dan Perspektif
Pancasila, rekomendasi yang dihasilkan adalah negara harus menasionalisasi sektor-sektor yang
berpengaruh bagi hajat hidup orang banyak dan meninjau ulang perjanjian-perjanjian ekonomi
yang merugikan perekonomian nasional. "Perundang-undangan, peraturan pemerintah,
keputusan presiden, dan sejumlah peraturan daerah yang berkaitan pengelolaan sumber daya
alam perlu dikaji ulang dan direvisi," kata Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM Agus
Wahyudi, yang juga membacakan rekomendasi. Selain sejumlah rekomendasi, kongres yang
diikuti 400 akademisi dan pendidik itu juga menghasilkan lima butir deklarasi. Deklarasi ini
dibacakan oleh Ketua Senat UGM Sutaryo sebagai sebuah komitmen bersama untuk menggali
nilai Pancasila yang selama beberapa tahun terakhir terabaikan. (IRE)

3. Perppu Ormas, Definisi Paham Bertentangan dengan Pancasila Diperluas

Pemerintah memperluas definisi mengenai ajaran atau paham yang bertentangan dengan
Pancasila dalam UU Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(UU Ormas).

Berdasarkan draf Perppu Ormas, bagian penjelasan Pasal 59 Ayat (4) Huruf c menyebutkan,
"ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran ateisme,
komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945". Adapun dalam UU Nomor 17 Tahun 2013
tentang Ormas, definisi atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila terbatas pada "ateisme,
komunisme, marxisme dan leninisme".Menurut Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan
Keamanan Wiranto, saat ini terdapat kegiatan-kegiatan Ormas yang bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.Kegiatan tersebut
merupakan ancaman terhadap eksistensi bangsa dengan telah menimbulkan konflik di
masyarakat. Wiranto menuturkan, jumlah ormas di Indonesia telah mencapai sekitar 344.000,
yang telah beraktivitas dalam segala bidang kehidupan, baik dalam tingkat nasional maupun di
tingkat daerah.Ormas tersebut, lanjut Wiranto, harus diberdayakan, didayagunakan dan dibina
sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi pembangunan nasional.Oleh karena itu, kata
Wiranto, pemerintah memasukkan ketentuan tersebut ke dalam Perppu Nomor 2 Tahun
2017."Ada ajaran lain yang bisa menggantikan dan bertentangan dengan Pancasila, yang
diarahkan untuk mengganti Pancasila kita, mengganti eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Itu tidak tercakup dalam undang-undang lama," kata dia.

4. Pasal Zina dalam KUHP Bertentangan Dengan Pancasila dan UUD 1945
Konsep pasal perzinaan, pemerkosaan, dan pencabulan sesame jenis dalam KUHP menurut
dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Neng Djubaedah bertentangan dengan jiwa
dan roh Pancasila dan UUD 1945. Sebab, pada dasarnya, agama-agama di Indonesia melarang
seks bebas dan hubungan sesama jenis atau yang saat ini dikenal lesbian, gay, biseksual, dan
transgender (LGBT). Hubungan seks hanya dibenarkan melalui perkawinan yang sah.“Jadi,
segala aturan yang bertentangan nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum,
terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Neng
Djubaedah saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian KUHP di
Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (01/8).Dia menegaskan Penjelasan Pasal 2 UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga menempatkan Pancasila
sebagai dasar, ideologi negara sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila.Dia mencontohkan dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
ada klausul pasal yang menyatakan “calon orang tua angkat bukan pasangan sejenis.” Artinya,
UU Perlindungan Anak tidak mengakui pasangan sejenis dan perzinaan dalam arti luas.Ia
berpendapat paham LGBT tidak boleh masuk dalam materi peraturan perundang-undangan.
Karena itu pula ia mendukung maksud dari materi pengujian KUHP yang diajukan para
pemohon.Ahli pemohon lainnya, dokter Dewi Inong Irana, menyimpulkan hal yang sama bahwa
fenomena seks bebas dan perkawinan sejenis melanggar nilai-nilai Pancasila, terutama
Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya, fenomena munculnya penganut free sex dan
perkawinan sejenis dengan dalih HAM hakikatnya bertentangan dengan Pancasila.“Bagi saya,
persoalan seks bebas dan LGBT bukan hanya perdebatan HAM atau agama (melarang), tetapi
masalah utamanya lebih pada dampak kesehatan berupa berbagai penyakit kelamin menular dan
HIV AIDS yang dapat menghancurkan kualitas dan ketahanan nasional,” ujar dokter spesialis
kulit dan kelamin FKUI ini.Karena itu, dia sangat mengkhawatirkan apabila fenomena LGBT
yang sudah masuk Indonesia disahkan melalui peraturan perundang-undangan. “Bagaimana
kalau LGBT disahkan di Indonesia, bagaimana? Nilai Pancasila kita diletakkan dimana ?” keluh
Anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (Perdoski) ini.Pendapat Neng
Djubaedah dan dokter Inong memperkuat pandangan ahli-ahli sebelumnya yang sudah
dihadirkan pemohon. Pandangan para ahli ini untuk menjawab permohonan yang diajukan 12
orang warga negara. Prof Euis Sunarti (Guru Besar IPB) dan 11 pemohon lainnya
mempersoalkan aturan perzinaan (Pasal 284 KUHP), pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) dan
homoseksual (Pasal 292 KUHP).

Aturan itu dinilai mengancam ketahahan keluarga di Indonesia yang pada akhirnya mengancam
ketahanan nasional. Sebab, pada hakikatnya agama-agama di Indonesia melarang perzinaan
diluar perkawinan (Pasal 284 KUHP), melarang pemerkosaan kepada siapa saja (Pasal 285
KUHP) dan melarang hubungan sesama jenis (Pasal 292 KUHP).Para Pemohon meminta agar
pasal-pasal tersebut dimaknai bersyarat agar sejalan dengan norma agama yang berlaku di
Indonesia. Misalnya, memperluas makna perzinaan dalam Pasal 284 KUHP yang tak hanya
terbatas salah satu pasangan atau keduanya terikat perkawinan (27 BW), tetapi mencakup
hubungan badan dilakukan pasangan yang tidak terikat pernikahan. Sebab, secara a contrario
Pasal 284 KUHP bermakna persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan tindak
pidana (praktik prostitusi).Berlakunya frasa “perempuan yang bukan istrinya” dalam Pasal 285
KUHP pun seharusnya dimaknai menjadi “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa…”. Sebab,
dimaknainya frasa “perempuan yang bukan istrinya” menjadikan korban perkosaan tak hanya
wanita, tetapi bisa terjadi terhadap laki-laki termasuk perkosaan terhadap sesama jenis.Selain itu,
frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal
belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP menunjukkan negara hanya memberi kepastian
perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum
dewasa, dan tidak memberi perlindungan terhadap korban yang telah dewasa. Bagi Pemohon,
tidak ada kebutuhan lain mempertahankan produk zaman kolonial selain harus ditegaskannya
kembali nilai-nilai agama sebagai pedoman hidup bermasyarakat dalam hukum positif negara.

5. Penyimpangan Pancasila dan UUD 45, DPR Protes

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Koordinator Politik dan Keamanan (Korpolkam)
Azis Syamsuddin menghargai dan menganggap wajar tuntutan Koalisi Aksi Menyelamatkan
Indonesia (KAMI) yang ditujukan kepada pemerintah, MPR, DPR dan DPD. Namun, ia tidak
sepakat jika DPR disebut menyimpang dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
45).“Tentunya kritik yang membangun merupakan hal wajar di setiap negara demokrasi. Namun,
dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, DPR berjalan sesuai tata tertib dan
mengedepankan asas Demokrasi. Terkait dengan pembahasan Rancangan Undang Undang
(RUU) di DPR, Azis menegaskan bahwa pembahasan RUU di DPR selalu mendengar masukan
dari seluruh stakeholder dan masyarakat. Tentunya DPR juga selalu menolak adanya paham
komunis dan selalu berdiri tegak pada nilai-nilai Pancasila. DPR selalu melibatkan akademisi,
tokoh masyarakat dan elemen lainnya dalam pembuatan dan pembahasan Undang Undang, kami
pun tegas menolak bangunnya komunisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegas Wakil
Ketua Umum Partai Golkar itu. Terkait dengan penanganan Covid-19, mantan Ketua Komisi III
DPR ini meyakini bahwa pemerintah, DPR serta masyarakat luas sepakat untuk saling gotong
royong dalam memerangi dan menangani Covid-19 beserta dampaknya. Tentunya semua pihak
harus saling bekerja sama dan melakukan upaya pencegahan dengan menerapkan protokol
kesehatan di kehidupan sehari-hari.“Kita selalu berupaya menyelesaikan permasalahan tersebut,
tentu seluruh pihak berharap dapat segera terselesaikan agar roda perekonomian nasional
kembali normal, di tengah krisis global akibat Covid-19,” pungkas Azis.

6. Penyimpangan Pada Era Reformasi


Setiap tanggal 1 Juni, marilah kita merenung tentang dasar negara kita, Pancasila. Kesepakatan
tentang dasar negara yakni Pancasila, adalah sebuah konsensus nasional yang jitu. Konsensus
yang mampu mengakomodasikan semua kepentingan komunitas di Indonesia yang sangat
heterogin. Dasar negara itu digali oleh Bung Karno. Kemudian dilaksanakan secara murni dan
konsekuen oleh Pak Harto. Bahkan Pak Harto berani menerbitkan Undang-Undang yang
mengharuskan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berbangsa dan bernegara. Seluruh
orpol dan ormas di Indonesia diharuskan untuk berdasarkan Pancasila sebagai azas
organisasinya.

Kemudian dalam era reformasi, ternyata UU ini tidak diberlakukan lagi. Inilah kekeliruan yang
sangat fatal dari era reformasi. Karena terlalu sok ber-demokrasi dan terlalu sok ber-HAM.
Gunjang-ganjing yang kini terjadi, termasuk terorisme yang pernah terjadi, adalah disebabkan
karena kita tidak melaksanakan nilai Pancasila dengan sebaik-baiknya. Sebuah negara yang
begini heterogin, haruslah diurus oleh pemerintahan yang kuat. Pemerintahan yang kuat adalah
pemerintahan yang memiliki landasan hukum yang kuat dalam melaksanakan dasar negara.

Kemudian dalam era reformasi ini, kita juga menyaksikan sistem politik yang menyimpang dari
nilai-nilai Pancasila. Yakni pelaksanaan pemilu yang bersifat/berlandaskan konsep satu orang-
satu suara. Sehingga kita akhirnya berkembang menjadi negara yang sangat liberal. Sebagai
negara yang sangat heterogin, para pendiri bangsa ini, telah mewariskan kita dengan konsep
politik dengan azas perwakilan. Bahwa pelaksanaan demokrasi dilaksanakan dalam
permusyawaratan dalam perwakilan. Hal ini seirama dengan Sila ke-4 dari Pancasila.

Pelaksanaannya adalah pemimpin bangsa ini dipilih dalam lembaga perwakilan. Presiden dipilih
oleh MPR, dan gubernur, bupati, walikota dipilih dalam lembaga DPRD. Banyak ada komentar
bahwa sogok-menyogok yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilu/pilkada bisa terjadi,
karena sistem pemilu kita yang bersifat satu orang-satu suara. Kemudian kepala daerah dan juga
anggota parlemen yang menjelma menjadi koruptor, adalah juga disebabkan karena sistem
pemilu kita yang menyimpang dari Pancasila tersebut.Saya merasa yakin bahwa perumusan
Pancasila dan konsensus nasional dari para pendiri bangsa yang menyepakati Pancasila sebagai
dasar negara, pasti dengan dasar pemikiran yang matang. Dalam benaknya yang ada hanyalah
kepentingan bangsa. Karena mereka sebelumnya bersama-sama mengalami penderitaan dalam
menghadapi penjajah. Mereka sadar bahwa kalau Indonesia tidak bersatu, maka kita akan selalu
kalah dan akan mengalami kehancuran.

Tetapi saat ini, generasi bangsa ini, tidak mengalami masa perang kemerdekaan. Kita tidak
pernah menghadapi musuh bersama. Kita tidak pernah mengalami penderitaan, sebagai akibat
perang kemerdekaan. Lalu muncullah kepentingan golongan, kelompok, dan pribadi. Kemudian
menjiplak konsep dasar negara lain, yang tidak mengalami sejarah dan budaya yang sama.
Kemudian, dalam bidang ekonomi, kita juga masih jauh dari implementasi Sila ke-5 dari
Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ketimpangan sosial masih
terasa dimana-mana. Baik ketimpangan pendapatan, maupun ketimpangan regional. Karena
sistem ekonomi yang dilaksanakan cendrung pada sistem ekonomi kapitalis. Lihat saja di media
massa. Kita masih tetap memperbincangkan masalah pertumbuhan ekonomi. Sangat jarang kita
melihat pembahasan tentang keadilan sosial.

Bung Hatta berpendapat bahwa untuk melaksanakan keadilan sosial, maka harus ada sistem
penggajian yang mendorong keadilan sosial. Hatta mengusulkan agar gaji aparat yang tertinggi,
hanya boleh 20 kali lipat dari gaji aparat yang terendah. Sehingga dengan demikian pemerataan
pendapatan dan keadilan sosial akan tercapai dengan sendirinya. Kenapa ? Karena memang
secara sadar dibentuk dalam suatu sistem pengggajian. Hal ini akan berujung pada tatanan tabiat
hidup sederhana.

Tetapi sekarang, elit politik kita sudah terlanjur berada dalam zone nyaman. Gaji yang
berlebihan sudah terlanjur mengakibatkan kenikmatan. Akan sangat sulit untuk meurunkannya.
Itulah sebabnya Hatta mengatakan bahwa setelah kemerdekaan, kita hanya bisa melaksanakan
UUD 1945 hanya sekitar 1,5 tahun. Setelah itu kita terus terlibat dalam perang, untuk melawan
perpecahan bangsa. Kalau saja Hatta terus dapat melaksanakan UUD 1945 itu dengan lugas,
maka nasib bangsa kita mungkin tidak seperti sekarang ini. Kita bisa terhindar dari keadaan di
mana kita terlalu jauh menyimpang dari dasar negara Pancasila. Kalau saja kita dapat
melaksanakan nilai-nilai Panacasila dan UUD 1945 dengan baik, maka pasti bangsa kita akan
bersatu dengan bulat. Karena kita berada dalam kesamaan kondisi sosial-ekonomi. Kebersamaan
dalam berbangsa dan bernegara akan muncul, kalau kita berada dalam posisi yang relatif sama
secara sosial dan secara ekonomi.Dahulu pada zaman perang kemerdekaan, kita bisa bersatu
padu dan kemudian mampu mengusir penjajah, karena pada era itu kita berada dalam posisi yang
sama. Saat ini ketimpangan pendapatan dan ketimpangan regional sangat terasa. Kasus ini harus
kita entaskan bersama-sama dahulu. Selanjunya kebersamaan berbangsa akan muncul dengan
sendirinya.

Misalnya saat ini, tatkala ada serangan korona. Kalau saja kita berada dalam posisi yang relatif
sama dalam aspek sosial dan ekonomi, maka pemerintah pasti tidak akan terlalu susah.
Partisipasi masyarakat akan muncul dengan spontan, karena kita merasa satu nasib dan satu
bangsa. Mungkin itulah sebabnya, kenapa korona dapat dikendalikan dengan baik di Vietnam
dan Taiwan. Karena di sana mungkin ada kebersamaan yang padu. Masyarakatnya menjadi
sangat taat kepada pemerintahnya/negaranya. Di pihak lain, pemerintah melaksanakan tugasnya
sebagai pengayom rakyat yang solid.Akhirnya, tugas kita sekarang adalah membangun
kesadaran baru. Bahwa kita harus kembali kepada pelaksanaan nilai-nilai dasar negara Pancasila,
secara murni dan konsekuen. Saya merasa berkeyakinan, selama kita tidak kembali kepada
Pancasila dan UUD 1945 (dalam bidang ekonomi dan politik), maka kehidupan berbangsa dan
bernegara kita akan selalu gonjang-ganjing.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.ugm.ac.id/id/berita/8687-pakar-uud-1945-hasil-amandemen-menyimpang-dari-
pancasila

https://edukasi.kompas.com/read/2009/06/02/13454454/uu.sisdiknas.tidak.sesuai.dengan.pancasi
la

https://nasional.kompas.com/read/2017/07/12/14001971/perppu-ormas-definisi-paham-
bertentangan-dengan-pancasila-diperluas

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt579f629c31b0e/pasal-zina-dalam-kuhp-langgar-
sumber-dari-segala-sumber-hukum

https://nasional.sindonews.com/read/137164/12/kami-sebut-ada-penyimpangan-pancasila-dan-
uud-45-dpr-protes-1597748930

https://nasional.sindonews.com/read/137164/12/kami-sebut-ada-penyimpangan-pancasila-dan-
uud-45-dpr-protes-1597748930

Anda mungkin juga menyukai