Anda di halaman 1dari 6

Pada praktikum kali ini dilakukan penanganan hewan percobaan dan konversi dosis

dengan menggunakan empat jenis hewan percobaan diantaranya, yaitu mencit, tikus, kelinci,
dan marmot. Pada mencit dan tikus tersedia di laboraturium, sedangkan kelinci dan marmot
hanya ditampilkan saat demo. Hewan-hewan ini dapat digunakan sebagai hewan percobaan
karena struktur organ yang terdapat pada tubuhnya hampir mirip dengan struktur organ yang
terdapat pada manusia. Sehingga hewan-hewan tersebut biasa digunakan untuk uji praklinis
sebelum nantinya akan dilakukan uji klinis yang di ujikan langsung terhadap manusia. Percobaan
ini membahas tentang bagaimana cara penanganan hewan coba sebelum dilakukan pemberian
obat terhadap hewan serta menghitung konversi dosis pada mencit dan tikus.

Sebelum dilakukan percobaan, terlebih dahulu praktikan harus mengetahui mengenai


volume pemberian obat pada hewan percobaan. Volume cairan yang diberikan pada setiap
hewan percobaan tidak boleh melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan. Karena jika
melebihi batas maksimal kemungkinan hewan percobaan akan mengalami efek farmakologis
yang dapat membahayakannya yang bersifat toksisitas.

Hewan yang digunakan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis atau keturunan dan lingkungan
yang memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh,
serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia, maka dari itu
perlu diketahui faktor internal dan eksternal dari hewan percobaan sebelum dilakukannya
percobaan.

Faktor internal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan adalah variasi biologik (usia,
jenis kelamin), ras, dan sifat genetik, status kesehatan, nutrisi bobot tubuh, dan luas permukaan.
Usia dan jenis kelamin berpengaruh pada hasil percobaan karena pada usia yang tepat pada fase
hidup hewan tersebut, efek farmakologi yang dihasilkan akan lebih baik. Jenis kelamin juga
berpengaruh dilihat dari literature bobot badan hewan akan berbeda. Hal ini akan berpengaruh
pada dosis yang akan di gunakan pada hewan percobaan hewan tersebut. Begitu pula dengan ras
dan genetic yang berbeda. Status kesehatan dan nutrisi berpengaruh terhadap hasil percobaan
karena efek yang dihasilkan dalam dosis akan cepat diserap oleh tubuh dan berlangsung cepat
efek yang di hasilkan. Selain itu, bobot tubuh dan luas permukaan tubuh hewan yang besar akan
lebih membutuhkan lebih banyak dosis dibandingkan dengan yang memiliki bobot dan luas
permukaan tubuh kecil. Untuk mendapatkan data kuantitatif yang akurat pada efek far akologis
yang terjadi.

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan adalah pemeliharaan


lingkungan fisiologik (keadaan kandan, suasana asing atau baru, keadaan ruangan temapt hidup
seperti suhu, kelembaban, cahaya , kebisingan serta penempatan hewan), suplai oksigen,
pemeliharaan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau organ untuk percobaan.
Meningkatnya kejadian penyakit infeksi pada hewan percobaan, disebabkan karena kondisi
lingkungan yang jelek di mana hewan itu tinggal. Maka dengan meningkatnya kejadian penyakit
infeksi dan disertai dengan keadaan nutrisi yang jelek pula, akan berakibat resistensi tubuh
menurun, sehingga akan berpengaruh terhadap hasil suatu percobaan. Jadi, untuk menghasilkan
hasil percobaan yang baik, faktor eksternal tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik
hewan percobaan agar hewan tersebut tidak stres. Karena jika hewan tersebut stres akan
menghambat percobaan.

Percobaan pertama pada praktikum ini adalah cara memegang hewan serta cara
menanganinya. Cara memegang hewan serta cara menangani hewan perlu diketahui, karena cara
memegang hewan dari masing-masing jenis itu berbeda-beda berdasarkan sifat hewan, keadaan
fisik (besar atau kecil), serta tujuannya. Kesalahan dalam memegang atau menangani hewan
dapat menyebabkan kecelakaan atau rasa sakit bagi hewan yang akan menyulitkan praktikan
dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah dan juga bagi orang yang memegangnya.

Cara memperlakukan hewan coba yaitu mula-mula mencit atau tikus dapat dipegang
dengan memegang ujung ekor dengan menggunakan tangan kanan, biarkan mencit atau tikus
mencengkram alas kasar (misalnya ram kawat pada penutup kandang). Kemudian tangan kiri
dengan ibu jari dan jari telunjuk mencepit kulit tengkuk, kemudian posisi tubuh mencit atau tikus
dibalikan, sehingga permukaan perut menghadap ke atas dan ekor dijepitkan antara jari manis
dan kelingking tangan kiri. Dengan demikian, mencit atau tikus telah terpegang oleh tangan kiri
dan siap untuk diberi perlakuan.Jika cara penanganan mencit tidak sesuai, biasanya mencit akan
merasa stress dan ketakutan sehingga akan buang air besar dan buang air kecil.

Selain cara memegang hewan yang berbeda-beda, rute pemberian sediaan uji juga
berbeda pada setiap hewan. Rute pemberian ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
respon obat pada hewan percobaan. Bentuk dan jumlah sediaan yang akan digunakan perlu
disesuaikan dengan rute pemberian yang dipilih, disamping juga sifat obat yang akan digunakan.
Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat masuk ke dalam tubuh, sehingga
menjadi penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan. Metode
yang biasa dilakukan dalam penanganan hewan coba diantaranya yaitu :

1. Per oral

Pemberian obat secara oral pada mencit dan tikus dilakukan dengan alat suntik yang
dilengkapi sonde oral. Hal ini untuk meminimalisir terjadinya luka atau cedera ketika hewan uji
akan diberikan sediaan uji. Perlu diperhatikan bahwa cara peluncuran/pemasukan sonde yang
mulus disertai pengeluaran cairan sediaannya yang mudah adalah cara pemberian yang benar.
Cara pemberian yang keliru, masuk ke dalam saluran pernafasan atau paru-paru dapat
menyebabkan gangguan pernafasan dan kematian. Praktikan dapat mengetahui pemberian obat
secara oral ini berhasil atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari cairan yang dimasukan tersebut. Bila
dari hidung hewan uji keluar cairan seperti yang kita berikan menunjukkan adanya kesalahan
dalam proses pemberian.

2. Subkutan

Pemberian obat secara subkutan pada mencit dan tikus dilakukan dengan pemberian obat
melalui bawah kulit dengan menggunakan alat suntik 1 mL. Rute injeksi ini hanya boleh
dilakukan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan, karena dapat menyakiti hewan uji.
Penyuntikkan dilakukan di bawah kulit pada mencit dilakukan pada daerah kulit tengkuk,
sedangkan pada tikus dilakukan di bawah kulit tengkuk atau kulit abdomen. Apabila jarum
suntikkan terasa longgar ketika digerak-gerakkan, berarti suntikan sudah benar. Sebelum
dilakukannya penyuntikkan area kulit yang akan disuntik sebaiknya dibersihkan terlebih dahulu
dengan alkohol 70% agar daerah yang akan disuntik steril dan menjadi aseptik. Pada mencit
diusahakan dilakukan dengan cepat untuk menghindari pendarahan yang terjadi karena
pergerakan kepala dari mencit. Pemberian obat ini dikatakan berhasil jika jarum suntik telah
melewati kulit dan pada saat alat suntik ditekan, cairan yang berada di dalamnya dengan cepat
masuk ke daerah bawah kulit.

3. Intra vena
Pemberian obat secara intra vena pada mencit dilakukan pada vena ekor, sedangkan pada
tikus lebih mudah dilakukan pada vena penis karena ukuran vena ekor pada tikus lebih kecil dan
sulit ditemukan dibandingkan dengan mencit. Tujuan dari pemberian obat dengan rute intra vena
untuk memperoleh reaksi obat yang cepat diabsorbsi daripada dengan injeksi parenteral lain,
untuk menghindari terjadinya kerusakan jaringan dan untuk memasukkan obat dalam jumlah
yang lebih besar. Pada saat melakukan injeksi pada alat suntik tidak boleh ada udara, karena
akan merusak dan membuat aliran darah vena hewan menjadi tidak stabil serta ekor akan
menggelembung. Pada mencit, mencit dimasukkan kedalam kandang restriksi mencit dengan
ekor menjulur keluar agar memudahkan dalam penyuntikkan vena ekor mencit. Lalu ekor mencit
dicelupkan ke dalam air hangat, agar pembuluh vena ekor mengalami dilatasi dan memudahkan
pemberian obat. Ciri-ciri pembuluh vena yang mengalami dilatasi adalah garis merah pada ekor
mencit akan terlihat jelas dan besar sehingga akan memudahkan praktikan untuk menyuntikan.
Jangan menggunakan alkohol/bahan antiseptik lain, karena justru akan menyebabkan
vasokontriksi sehingga akan mempersulit masuknya jarum. Jika pemberian obat secara intravena
berhasil dengan posisi yang benar, maka akan terlihat pada vena ekor mencit pergerakan obat ke
dalam tubuh.

4. Intramuskular

Pemberian obat secara intramuskular pada mencit dan tikus dilakukan pada paha
posterior. Injeksi intramuskular yaitu memasukkan obat kedalam otot dengan menusukkan jarum
suntik dengan sudut tegak lurus atau 90° terhadap permukaan kulit yang secara tidak langsung
masuk ke dalam aliran darah melalui jaringan otot, dimana obat akan diabsorbsikan oleh aliran
darah yang berlebihan melalui kapiler yang melayani otot. Lalu pada tempat suntikkan dipijat
pelan-pelan, agar otot bergerak dan dapat segera menyalurkan obat ke tubuh.

5. Intraperitonial

Pemberian obat secara intraperitonial pada mencit dan tikus dilakukan pada daerah
abdomen. Jarum disuntikkan dengan sudut sekitar 10° dari abdomen pada daerah yang sedikit
menepi dari garis tengah agar jarum tidak mengenai kandung kemih. Penyuntikkan juga jangan
terlalu tinggi untuk menghindari terjadinya penyuntikkan pada hati. Intraperitonial mengandung
banyak pembuluh darah sehingga obat langsung masuk ke dalam pembuluh darah dan efek yang
dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan, karena obat di metabolisme
serempak sehingga durasinya lebih cepat.

Pada pemberian dosis hewan uji, dosis yang diberikan harus sesuai dengan bobot hewan
tersebut, yang berarti setiap hewan memiliki dosis yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan dari
berbagai faktor yang mempengaruhi biovaibilitas obat, yaitu jumlah obat dalam persen terhadap
dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif juga fartor dari obat itu
sendiri, seperti sifat fisikokimia obat yaitu stabilitas pada pH lambung, stabilitas terhadap enzim
percenaan, dll.

Dosis setiap hewan percobaan berbeda-beda, meskipun satu jenis tetap tidak dapat
menjamin dosis yang sama. Hal ini dikarenakan bobot hewan yang berbeda-beda. Maka dari itu
perlu dilakukannya konversi dosis, agar efek farmakologisnya tercapai sempurna. Konversi dosis
juga diperlukan untuk pergantian jumlah dosis dari hewan ke manusia atau dari mencit ke tikus
dan seterusnya. Untuk mengubah dosis hewan ke manusia dapat dihitung dengan cara jumlah
dosis dikali dengan faktor konversi yang dapat dilihat pada pustaka, sehingga didapatkan dosis
manusia.

Dalam beberapa hal, anestesi hewan percobaan sangat diperlukan untuk memudahkan
cara pemberian obat/senyawa bioaktif tertentu. Senyawa-senyawa yang dapat digunakan untuk
anestesi adalah eter, halotan, pentobarbital natrium, heksobarbital natrium dan uretan (etil
karabamat). Anestesi pada setiap hewan percobaan tentunya akan berbeda, mulai dari perlakuan
anestesi, senyawa penganestesi, serta dosis yang dipakainya pun juga berbeda. Pada mencit dan
tikus senyawa yang digunakan adalah eter, halotan, pentobarbital natrium, heksobarbital natrium
dan uretan (etil karabamat). Pada kelinci obat anestetika yang paling banyak digunakan yaitu
pentobarbital natrium, dengan menyuntikkannya secara perlahan-lahan. Pada marmot anestesi
biasa dilakukan dengan menggunakan eter dan pentobarbital natrium. Eter digunakan untuk
anestesi singkat, dengan cara meletakkan obat didalam suatu wadah kemudian hewan
dimasukkan kedalamnya dan wadah ditutup rapat, tunggu hingga hewan sudah kehilangan
kesadaran. Maka hewan siap dilakukan uji percobaan. Sedangkan halotan digunakan untuk
anestesi yang lebih lama.

Apabila proses pengamatan telah selesai, hewan akan dilakukan untuk keperluan
pengamatan, terjadi kecelakaan saat proses percobaan yang mengakibatkan hewan menderita
rasa sakit yang hebat, atau jumlah hewan terlalu banyak dari yang dibutuhkan, maka pada saat
itu perlu dilakukannya pengorbanan hewan. Hal ini dilakukan karena pertimbangan ekonomis,
waktu, dan tempat yang dibutuhkan dalam memelihara hewan. Hewan dikorbankan dengan
prinsip mematikan dalam waktu sesingkat mungkin dan rasa sakit yang seminimal mungkin.
Cara mengorbankan hewan percobaan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara kimia dan
cara fisik. Pada dasarnya cara fisik yaitu dengan melakukan dislokasi leher adalah cara yang
paling cepat, mudah dan berprikemanusiaan, tetapi cara perlakuan kematian juga adab/caranya
agar hewan merasakan sakit yang seminimal mungkin. Cara kimia untuk mengorbankan mencit,
tikus, kelinci dan marmot umumnya sama dengan menggunakan eter atau pentobarbital natrium
pada dosis letal/dosis yang mematikan, perbedaannya yaitu pada kelinci dan marmot dosis
diberikan secara injeksi intra vena, sehingga dapat membunuh hewan-hewan tersebut. Untuk
cara fisik ada beberapa cara yang dapat dilakukan diantaranya yaitu dislokasi leher, memukul
tengkuk leher hewan dengan menggunakan benda keras (tongkat, permukaan meja, dll), atau
dengan mengayunkan hewan hingga tengkuk tepat mengenai permukaan benda keras seperti
pinggir meja.

Anda mungkin juga menyukai