ABSTRACT
Public health improvement can be seen as a continuum from health promotion dan
ill health prevention to timely and appropriate clinical care. Good public health
practice creates a community benefit. It is delivered in a social, cultural, and
economic context that affects quality of life and health in general. Prmotion and
prevention have to go hand in hand, and complement each other. Increasing
problems of truancy, violence, substance abuse, teen pregnancy, sexually
transmitted diseases, and other psychological and social problems among our
students should be seen as an alarming sign of the seriousness of any promotion
and prevention strategies. This articles attempts to raise awareness of the
importance of an integrated and multifaceted approach to health promotion and
mental health problem prevention.
PENDAHULUAN
Prinsip mendasar yang harus kita pegang ketika berurusan dengan anak-
anak dan remaja adalah bahwa kesehatan dan gangguan mental pada mereka
adalah urusan kita semua. Artinya bahwa semua profesional, masyarakat dan
orangtua yang berhubungan dengan kehidupan anak sehari-hari selayaknya
Promosi dan prevensi 2
PROMOSI KESEHATAN
pada faktor-faktor resiko, dibandingkan dengan mereka yang tidak rentan. Dalam
realitas, sering tidak mudah menentukan secara lebih spesifik faktor-faktor resiko
apa yang memberikan kontribusi real dan ini benar untuk berbagai gangguan,
bergantung pada tahap perkembangan anak juga.
PREVENSI
Ada tiga tahapan yang dikenal dalam prevensi yang awalnya dikemukakan
oleh Leavell dn Clark pada tahun 1950s (Dwivedi & Harper, 2010), yakni primer,
sekunder dan tersier. Leavell dan Clark mendeskripsikan prensi primer sebagai
measures applicable to a particular disease or group of diseases in order to
intercept the causes of disease before they involve man in the form of specific
immunization, attention to personal hygiene, use of environmental sanitation,
protection against accupational hazards, protecttion from accidents, use of specific
nutrients, protection from carcinogens, and avoidance of allergens (dalam Cohen &
Chehimi, 2007, p. 5).
Definisi yang terutama berorientasi pada penyakit ini selanjutnya diadopsi
oleh bidang-bidang yang lebih luas seperti prevensi problem-problem sosial,
kekerasan, degradasi kualitas lingkungan, dan oleh kesehatan mental. Inisiatif
prevensi primer bersifat proaktif dan diarahkan pada populasi, bukan sekedar
perorangan. Prevensi primer berupaya untu mengurangi angka kasus-kasus baru.
Banyak kecelakaan dan penyakit dapat dihindari dan nyawa diselamatkan
dengan tindakan-tindakan preventif primer. Kita ambil misalnya regulasi tentang
merokok, imunisasi rutin bagi anak, penggunaan helm bagi pengendaraan sepeda
motor, penggunaan sabuk pengaman dalam mobil, larangan penggunaan HP saat
mengendarai, pelarangan penggunaan timbal dalam cat, dan fluoridasi air minum
adalah contoh-contoh yang memberikan evidensi bahwa inisiatif-inisiatif preventif
primer bisa efektif. Oleh karena itu regulasi-regulasi semacam itu harus
ditanamkan pada anak sejak awal dan dilakukan secara tegas oleh penegak
hukum.
Promosi dan prevensi 6
selektif secara tipikal difokuskan pada anak dan remaja yang mulai
memperlihatkan peningkatan resiko untuk mengalami problem kesehatan mental
sebagai akibat dari terpaparnya mereka pada faktor-faktor resiko yang diketahui.
Sedangkan program prevensi terindikasi menargetkan anak dan remaja yang
memperlihatkan simptom-simptom awal problem/gangguan kesehatan mental
(Sawyer, dkk., 2010).
Setiap upaya serius untuk mereduksi problem/kesulitan keprilakuan
harus memprioritaskan usaha-usaha preventif dengan kelompok yang
menunjukkan “tanda-tanda peringatan” (warning signs) tentang perilaku
problematik. Tujuan (goals) harus mencakup baik promosi dampak perkembangan
yang positif dan prevensi kesulitan/gangguan, melalui pengembangan apa yang
oleh Greenberg dan Weissberg (2001, dalam Poulou, 2005) disebut mediator
kompetensi (competency mediators). Kompotensi ini dimaksudkan sebagai
mediator dalam intervensi, misalnya, pengenalan-diri yang efektif sebagai mediator
bagi perilaku oposisional. Setiap definisi tentang kompetensi harus mencakup
elemen-elemen ketrampilan seperti kesadaran-diri (self-awareness), kontrol
impulsivitas, kooperasi (bekerja bersama) serta caring pada diri dan orang lain
(Elias, Hoover & Poedubicky, 1997, dalam Poulou, 2005).
Sistem pendidikan memberikan sarana dan cara yang paling efisien dan
sistematis untuk meningkatkan perkembangan positif pada kelompok muda usia
dalam jumlah besar. Guru harus memandang diri bukan sekedar berperan sebagai
instruktor akademik. Guru bisa membuat perbedaan dalam hidup muridnya melalui
karya dan pribadi mereka. Mereka seringkali orang yang terdahulu dalam
mendeteksi bahwa siswa yang memiliki defisit dalam ketrampilan kognitif juga
mengalami kesulitan emosional dan perilaku. Belum banyak penelitian yang
menyoroti persepsi dan peran guru terhadap pengembangan atau implementasi
program ketrampilan sosial, emosional dan kognitif di dalam setting sekolah. Salah
satu penelitian oleh Poulou (2005) mencoba untuk menginvestigasi persepsi guru
mengenai apa skills yang paling penting yang seharusnya dimiliki oleh para siswa
pendidikan dasar shingga mereka bisa terhindar dari kesulitan emosional dan
Promosi dan prevensi 8
keprilakuan. Dari sudut pandang guru, ketrampilan yang dianggap penting adalah
sebagai berikut:
Ketrampilan emosional:
1. Mengenali dan mengidentifikasikan emosi
2. Ekspresi emosi
3. Asesmen intensitas emosi
4. Manipulasi emosi
5. Kontrol atas ketidaksabaran
6. Kontrol atas impulsivitas
7. Reduksi kecemasan
8. Pengakuan akan adanya perbedaan antara emosi dan tindakan
Ketrampilan kognitif:
1. Dialog dengan diri sendiri (internal monologue)
2. Persepsi dan interpretasi mengenai tanda-tanda sosial (pengertian
mengenai efek pengaruh sosial atas perilaku
3. Menggunakan tahap-tahap pemecahan masalah
4. Memahami pandangan orang lain
5. Memahami aturan-aturan yang menyangkut perilaku
6. Mengadopsi perilaku positif dan asertif dalam kehidupan
7. Mengembangkan kesadaran-diri (self-awareness)
Spectrum of Prevention
Atas dasar apa yang telah disebutkan di atas, maka inisiatif preventi yang
berhasil haruslah komprehensif. Dia merupakan hampiran yang terintegrasi dan
bersisi majemuk (multifaceted). Ada satu contoh model yang disebut Spectrum of
Prevention yang awal mulanya dkembangkan oleh Larry Cohen di tahun 1983
ketika dia bekerja sebagai direktur program preventif pada Contra Costa County
Health Department (Cohen & Chehimi, 2005). Kita bisa belajar dari program
semacam ini, dan untuk itu program ini akan dipaparkan di sini mengikuti apa yang
ditulis oleh Cohen dan Chehimi.
Promosi dan prevensi 10
Enam tahapan atau aras dalam program ini memungkinkan kita untuk
beroperasi lebih dari sekedar pendekatan penyebaran brosur dengan merumuskan
berbagai area di mana prevensi bisa diimplementasikan. Setiap tahap dalam
prgoram ini bersifat saling menunjang atau saling melengkapi. Apabila digunakan
bersamaan, masing-masing tahap menguatkan yang lainnya, mengarah kepada
efektivitas yang lebih besar.
Aras pertama, “Memperkuat pengetahuan dan ketrampilan perorangan”,
menekankan peningkatan skills individual yang esensila dalam perilaku
kesehatan. Berbagai layanan yang tengah dilaksanakan oleh pemerintah atau
swasta merupakan satu kesempatan yang umum untuk pengembangan skills ini,
misalnya memberikan ASI untuk ibu baru, dukungan sosial sebelum dan sesudah
anak dilahirkan agar pemberian ASI bisa dilakukan dan dijaga kelangsungannya.
Aras kedua, “Mempromosikan edukasi komunitas,” berupaya menjangkau
omasyarakat dengan informasi dan sumber-sumber yang tersedia untuk
mempromosikan kesehatan dan keselamatan mereka. Secara tipikal, pendidikan
Promosi dan prevensi 11
seperti pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, berpikir kreatif dan kritis,
komunikasi dan relasi interpersonal, kesadaran-diri (self-awareness) dan empati,
hingga koping dengan emosi dan stressor. Muatan program ini direncanakan
diberikan pada tiga tahap. Tahap pertama berisi pengajaran komponen-komponen
dasar mengenai life skills, dipraktekkan dalam hubungannya dengan situasi-situasi
kehidupanan sehari-hari. Pada tahap kedua, fokus diberikan pada aplikasi life skills
pada tema-tema yang berkaitan dengan berbagai problema kesehatan dan sosial.
Pada tahap ketiga, ada aplikasi life skills dalam hubungan dengan situasi-situasi
beresiko spesifik yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan problem kesehatan
dan sosial. Kekuatan dari program ini adalah fleksibilitas dalam implementasinya.
Program ini juga bisa diaplikasikan dalam kurikulum ekstra kurikular (misalnya,
inisiatif promosi kesehatan mental) ataupun terintegrasi dalam kurikulum (misalnya
sebagai pelajaran pendidikan personal, sosial dan kesehatan (PSHE) dan/atau
dileburkan sebagai bagian dari suatu mata pelajaran (misalnya, ketrampilan
berkomunikasi sebagai bagian pelajaran bahasa).
Yang amat penting dalam program ini adalah kegiatan latihan dalam
kelompok yang sifatnya eksperiensial dengan mempertimbangkan cara-cara untuk
lebih lanjut mengembangkan dan mengimplementasikan masing-masing topik
dalam kehidupan sekolah. Dalam pengembangan program dari sisi konten dan
metode, para ahli dalam bidang yang dipandang relevan bisa dilibatkan untuk
menyusun program. Dukungan dan konsultasi dengan para ahli di luar sekolah
tetap bisa dijaga selama dan sesudah pelatihan berakhir. Mekanisme semacam ini
akan mendorong dan menyemangati para guru untuk lebih lanjut mengembangkan
life skills di dalam kelas mereka, dan dalam sekolah secara keseluruhan.
Kalau program semacam ini masuk dalam kurikulum sekolah, dia tidak diuji
dan dinilai seperti mata pelajaran lainnya. Uji sesungguhnya bagi program
semacam ini barangkali akan tiba waktunya dalam perjalanan hidup si individu,
dan uji kehidupan bisa lebih keras daripada pemberian nilai mata pelajaran. Jika
seorang siswa tidak memenuhi syarat minimum untuk lolos dalam suatu pelajaran,
dia bisa mengikuti program remedy atau mengikuti tes tahun berikutnya. Namun,
Promosi dan prevensi 14
apabila si remaja menjadi hamil atau kecanduan narkoba atau terlibat dalam tindak
kriminal, dia tidak bisa mengikuti remedy dalam satu tahun seperti anak yang
gagal matematika. Pengalaman semacam ini tentunya akan menimbulkan dampak
yang bertahan lama pada anak, keluarga, dan sekolah.
Semua yang bekerja bersama anak dalam profesinya menyadari bahwa
banyak anak yang bersekolah, dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan
tinggi bahkan, kurang memiliki life skills. Ketergantungan/kecanduan pada games
dan telepon selular mencerminkan relasi interpersonal yang tidak berkembang. Di
rumah, anak mendapatkan perhatian dari orangtua justru hanya ketika anak
berulah, dan apabila dia duduk tenang manis dengan HP atau komputernya, dia
tidak mendapatkan perhatian dari orangtua. Inilah contoh kecil dari sedemikian
banyak hal yang dari awalnya anak memang tidak mendapatkan peluang untuk
memperoleh life (social) skills. Dengan begitu, intervensi promotif danpreventif
serta peluang pada tingkat pendidikan prasekolah dan dasar dapat mememberikan
pengaruh pad aperkembangan emosional dan kesejahteraan mental mereka.
Intervensi dini bersifat krusial bagi keberhasilan pengembangan dan pembentukan
kompetensi sosial yang efektif. Apabila anak sebagai pembelajar memandang
dirinya sebagai mampu berhasil dalam menyelesai tugas yang dihadapi, maka dia
memiliki peluanglebih besar dalam menguasai ketrampilan, dan keberhasilan ini
juga akan meluas pada ketrampilan-ketrampilan yang dia butuhkan untuk menjadi
insan yang dia cita-citakan. Aktualisasi diri mendekatkan diri yang real (real self)
kepada diri ideal (ideal self), dan ini amat bergantung pada dimilikinya harga-diri
dan akuisisi life skills (Coley & Dwivedi, 2004).
Berbagai kegiatan ekstra-kurikular, kunjungan di luar sekolah, pameran,
festival, pentas, olahraga, memasak, mengelola kafetaria sekolah, koperasi,
penata acara saat tamu berkunjung ke sekolah, dan organisasi siswa, semuanya
bisa menawarkan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan life skills. Anak-
anak yang sudah biasa terpapar pada berbagai strategi seperti ini akan
mengembangkan skills dan bergerak maju pada aktivitas yang lebih kompleks.
Promosi dan prevensi 15
Orangtua perlu terlibat dan komunikasi dengan orangtua hendaknya mencakup life
skills yang juga dilakukan di sekolah. Keterlibatan orangtua bisa berarti dukungan
bagi guru dan kedua pihak bisa berbagi strategi untuk koping dengan stres,
kesehatan, dan kebutuhan serta persoalan yang aktual dan yang potensial.
Apabila anak merasakan bahwa sekolah memperhatikan isu dan persoalan yang
mereka anggap penting di dalam kehidupan mereka, atau dalam kehidupan
teman-teman mereka, maka sekolah menjadi bagian yang relevan dari hidup
mereka, sebagai bagian penting yang dirasakan memberikan kontriobusi berarti
bagi hidup mereka. Perasaan begini akan mereduksi perilaku membolos dan
ketidak-pedulian antar teman dan terhadap nilai pendidikan.
KESIMPULAN
Prinsip yang harus dipegang bilamana kita berurusan denga kesehatan )fisk
dan mental), khususnya pada anak dan remaja, adalah bahwa kesehatan adalah
urusan semua pihak. Dengan semakin meningkatnya masalah kesehatan dan
gangguan emosional serta perilaku yang kita amati deasa ini, strategi dan
pendekatan promotif dan preventif menjadi pilihan yang harus mendapatkan
prioritas. Tanpa ada prioritas ke sini, kita akan dihadapkan dengan persoalan dan
biaya yang amat besar sebagai dampak yang ditimbulkan dari problem-problem
kesehatan. Pendekatan preventif dan promotif harus dilakukan sedini mungkin,
justru apa yang dimengerti sehat dan berperilaku sehat diinginkan dimiliki oleh
setiap individu. Oleh karena itu pendidikan dasar adalah setting yang penting untuk
memulai strategi ini. Dua model yang ditampilkan di sini diharapkan bisa
membantu kita untuk memiliki gambaran mengenai apa (konten) dan bagaimana
(metode) intervensi promotif dan preventif dibangun dan diimplementasikan.
Promosi dan prevensi 16
DAFTAR PUSTAKA
Dwivedi, K.N., & Harper, P.B. (2004). Promoting the emotional well-being of
children and adolescent and preventing their mental ill health. London:
Jessica Kingsley.
Cohen, L., & Chehimi, S. (2007). Beyond brochures – The imperative for primary
prevention. Dalam L. Cohen, V. Chavez, & S Chehimi (Eds.), Prevention is
primary: Strategies for community well-being (pp. 3-24). San Francisco, CA:
Jossey-Bass.
Coley, J., & Dwivedi, K.N. (2004). Life skills education through schools. Dalam K.N.
Dwivedi & P.B. Harper (Eds.), Promoting the emotional well-being of
children and adolescent and preventing their mental ill health (pp. 132-148).
London: Jessica Kingsley.