Disusun Oleh:
Maria Dafrosa Yunita, S.Ked
Sientiawati Tjahyono, S.Ked
Denny Christiawan, S.Ked
Pembimbing
Dr. Utoyo Sunaryo, Sp.S
1
Kata Pengantar
Tim penulis
2
Daftar Isi
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Botulisme merupakan intoksikasi, seperti halnya
dengan tetanus. Toksin botulisme diproduksi oleh
Closytrodium botulinum. Botulisme adalah penyakit langka
tapi sangat serius. Merupakan penyakit paralisis gawat
yang disebabkan oleh racun (toksin) yang menyerang saraf
yang diproduksi bakteri Clostridium Botulinum.
Clostridium botulinum berkembang biak melalui
pembentukan spora dan produksi toksin. Toksin tersebut
dapat dihancurkan oleh suhu yang tinggi, karena itu
botulisme sangat jarang sekali dijumpai di lingkungan atau
masyarakat yang mempunyai kebiasaan memasak atau merebus
sampai matang. (5)
Ada 3 jenis utama botulisme
1. Foodborne Botulisme
Disebabkan karena makanan yang mengandung toksin
botulisme.
2. Wound Botulisme
Disebabkan toksin dari luka yang terinfeksi oleh
Clostridum Botulinum.
3. Infant Botulisme
Disebabkan karena spora dari bakteri botulinum,
yang kemudian berkembang dalam usus dan melepaskan
toksin. (3)
Semua bentuk botulisme dapat fatal dan merupakan
keadaan darurat. Foodborne botulisme mungkin merupakan
jenis botulisme yang paling berbahaya karena banyak orang
dapat tertular dengan mengkonsumsi makanan yang tercemar.
(2, 3)
5
2.2. Insiden
Di USA dilaporkan sekitar 110 kasus terjadi tiap
tahunnya. Dan sekitar 25% nya foodborne botulisme, 72%
infant botulisme dan sisanya adalah wound botulisme.
Foodborne botulisme biasanya karena mengkonsumsi makanan
kaleng. Wound botulisme meningkat karena penggunaan heroin
terutama di california. (3)
2.3. Etiologi
Etiologi dari botulisme adalah Clostridium
botulinum. Clostridium botulinum merupakan kuman anaerob,
gram positif, mempunyai spora yang tahan panas, dapat
membentuk gas, serta menimbulkan rasa dan bau pada makanan
yang terkontaminasi. (8)
2.4. Patofisiologi
Clostridium Botulinum berbiak melalui pembentukan
spora dan produksi toksin. Racun botulisme diserap di
dalam lambung, duodenum dan bagian pertama jejunum.
Setelah diedarkan oleh aliran darah sistemik, maka racun
tersebut melakukan blokade terhadap penghantaran serabut
saraf kolinergik tanpa mengganggu saraf adrenegik. Karena
blokade itu, pelepasan asetilkolin terhalang. Efek ini
berbeda dengan efek kurare yang menghalang-halangi efek
asetil kolin terhadap serabut otot lurik. Maka dari itu
efek racun botulisme menyerupai khasiat atropin, sehingga
manifetasi klinisnya terdiri dari kelumpuhan flacid yang
menyeluruh dengan pupil yang lebar (tidak bereaksi
terhadapt cahaya), lidah kering, takikardi dan perut yang
mengembung. Kemudian otot penelan dan okular ikut terkena
juga, sehingga kesukaran untuk menelan dan diplopia
menjadi keluhan penderita. Akhirnya otot pernafasan dan
6
penghantaran impuls jantung sangat terganggu, hingga
penderita meninggal karena apnoe dan cardiac arrest. (5)
2.5 Diagnosa
Kecurigaan akan botulisme sudah harus dipikirkan
dari riwayat pasien dan pemeriksaan klinik. Bagaimanapun,
baik anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak cukup untuk
menegakkan diagnosa karena penyakit lain yang merupakan
diagnosa banding, seperti Guillain-Barre Syndrome, stroke
dan myastenia gravis memberikan gambaran yang serupa.
Dari anamnesa didapatkan gejala klasik dari
botulisme berupa diplopia, penglihatan kabur, mulut
kering, kesulitan menelan. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan kelemahan otot. Jika sudah lama, keluhan
bertambah dengan paralise lengan, tungkai sampai kesulitan
nafas karena kelemahan otot-otot pernafasan.
Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong untuk
menegakkan diagnosa botulisme adalah CT-Scan, pemeriksaan
serebro spinalis, nerve conduction test seperti
electromyography atau EMG, dan tensilon test untuk
myastenia gravis.
Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin
botulisme di serum pasien juga dalam urin. Bakteri juga
dapat diisolasi dari feses penderita dengan foodborne atau
infant botulisme. (3,4,5)
2.6 Komplikasi
Botulisme dapat menyebabkan kematian karena
kegagalan nafas. Dalam 50 tahun terakhir, banyak pasien
dengan botulisme yang meninggal menurun dari 50% menjadi
8%. Pasien dengan botulisme yang parah membutuhkan alat
bantu pernafasan sebagai bentuk pengobatan dan perawatan
7
yang intensif selama beberapa bulan. Pasien yang selamat
dari racun botulisme dapat menjadi lemah dan nafas yang
pendek selama beberapa tahun dan terapi jangka panjang
dibutuhkan untuk proses pemulihan (2, 3)
8
yang dapat menimbulkan koma bahkan membawa kematian
(6)
2. Miastenia gravis
Kelainan mulai dari otot-otot kelopak mata,
otot pengunyah parese palatum mole/arkus
faringeus/uvula/otot-otot faring dan lidah (tahap
awal). Pada tahap lanjut otot-otot leher dapat
terkena sehingga kepala harus ditegakkan dengan
tangan. Kemudian menyusul otot anggota gerak dan
interkostal.
Gejala yang khas yaitu pada pagi hari pasien
merasa tidak terdapat gangguan, makin siang kelainan
mulai dari kelopak mata yang setengah menutup
(ptosis) dan badan terasa lemah. Bicara mulai parau,
kesukaran menelan, merupakan keluhan bila sudah lama.
(7)
2.8 Penatalaksanaan
Para penderita botulisme dapat mengalami kesulitan
bernafas (pada stadium lanjut) karena itu membutuhkan alat
bantuan nafas atau ventilator selama berminggu-minggu
(biasanya 4 minggu) atau sampai efek toksin habis,
ditambah perawatan dan pengobatan yang intensif. Setelah
beberapa minggu, paralisis secara bertahap muncul dan
semakin jelas. Jika diagnosa bisa ditegakkan secara awal,
foodborne dan wound botulisme dapat diobati dengan anti
toksin yang dapat memblok aksi toksin dalam peredaran
darah. Hal ini dapat membantu agar keadaan pasien tidak
memburuk, tapi proses pemulihan masih membutuhkan waktu
selama berminggu-minggu. Mungkin diperlukan enema atau
memancing agar penderita muntah untuk mengeluarkan makanan
9
yang mengandung toksin yang masih ada di dalam usus. Luka
harus segera diobati, biasanya dengan operasi, untuk
menyingkirkan sumber produksi dari toksin botulisme.
Penggunaan anti toksin tidak untuk mengobati infant
botulisme perlu dipikirkan lagi, sedangkan antibiotika
tidak dibutuhkan, kecuali pada wound botulisme. (1, 3)
2.9 Prognosa
Sementara, prognosis dari botulisme bervariasi,
tergantung dari jenis botulisme yang menginfeksi dan
kecepatan diagnosis dan pemberian obat. Makin awal
diagnosis dapat ditegakkan atau makin cepat penderita
berobat, makin baik prognosisnya. (3)
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Botulisme adalah penyakit paralisis gawat yang
disebabkan oleh racun (toksin) yang menyerang
saraf yang diproduksi bakteri Clostridium
Botulinum.
2. Ada 3 jenis botulisme, yaitu :
a. Foodborne botulisme
b. Wound botulisme
c. Infant botulisme
3. Gejala dari botulisme adalah diplopia, penglihatan
kabur, mulut kering, kesulitan menelan, kelumpuhan
flacid yang menyeluruh dengan pupil yang lebar
(tidak bereaksi terhadap cahaya), lidah kering,
takikardi dan perut yang mengembung. Otot
pernafasan dan penghantaran impuls jantung sangat
terganggu, hingga penderita meninggal karena apnoe
dan cardiac arrest.
4. Diagnosa dari botulisme dibuat berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan berupa CT-Scan, pemeriksaan serebro
spinalis, nerve conduction test seperti
electromyography atau EMG, dan tensilon test untuk
myastenia gravis.
5. Pengobatan dan perawatan botulisme antara lain:
Anti toksin pada diagnosa dini.
Perawatan luka untuk Wound Botulisme.
11
Antibiotika untuk Wound Botulisme.
Enema atau untuk memancing penderita muntah
pada foodborne botulisme.
Ventilator sebagai alat bantu napas pasien
pada stadium lanjut.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.who/nt/mediacentre/factsheets/who270/en
2. http://www.cdc.gov/ncidod/dbrnd/diseaseinfo/botulism-
9.htm
3. http://www.en.wikipdia.org/wiki/botulism
4. http://www.nhdirect.nhs.uk/he.asp?articleid=57&linkid
=2343
5. Sidharta P, Neurologi klinis dasar, Dian Rakyat
Jakarta, 1999,hal 160;168-170;183
6. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi klinis dasar, Dian
Rakyat Jakarta, 2003, hal 42-43
7. Harsono (Ed.), Kapita Selekta Neurologi, Gajah Mada
University press, edisi 2, oktober 2003, hal
189;192;224
8. Chusip, J.G, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi
Fungsional Bag.2, Gajah Mada University press, 1990,
hal 589
13