I. PENDAHULUAN
Salah satu gangguan ginjal yang banyak ditemukan dan merupakan masalah yang sangat
penting dalam bidang ilmu penyakit ginjal (nefrologi) adalah penyakit ginjal kronik (PGK) atau
gagal ginjal kronik (GGK) atau sering disebut sebagai /Chronic Kidney Disease (CKD) adalah
keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang menahun disebabkan oleh berbagai
penyakit ginjal. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patalogis
atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis
penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari
60ml/menit/1,73m2.luas permukaan tubuh (Bakri S. 2005, Chetri et al, 2008).
Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia diperkirakan insidens dan prevalensi
PGK masing-masing berkisar 100-150/1 juta penduduk dan 200-250/1 juta penduduk. Data dari
the Third Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) tahun 2003 di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa 11% penduduk berumur > 20 tahun yang diteliti mengidap PGK
(stadium 1: 1.3%, stadium 2: 3%, stadium 3: 4.3%, stadium 4: 0.2% dan stadium 5: 0.2%) (Bakri
S. 2005).
Apabila ginjal gagal berfungsi, terjadi penumpukan produk sisa makanan yaitu ureum
dan air. Gejala ureum yang tinggi di antaranya adalah mual, muntah dan sakit kepala. Selain
terjadi penumpukan sisa makanan, terjadi juga penumpukan air yang ditandai dengan odema dan
kekurangan hemoglobin yang ditandai dengan wajah pucat karena anemia. Saat penyakit ginjal
sudah berada dalam stadium V (laju filtrasi glomerulus/LFG <15 mL/ menit per 1,73 m 2), yang
disebut gagal ginjal (kidney failure) diperlukan adanya terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) berupa dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis) atau tranplantasi
(Bakri S. 2005 Kresnawan). Hemodialisis merupakan salah satu dari terapi penggganti ginjal,
yang digunakan pada penderita dengan penurunan fungsi gingjal, baik akut maupun kronik.
Prinsip dasar dari Hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmotis dan ultrafiltrasi pada
1
ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Hemodialisis dapat dikerjakan
untuk sementara waktu pada gagal ginjal akut atau dapat pula untuk seumur hidup pada PGK.
Prosedur hemodialisis dijalankan secara teratur 2-3 kali seminggu selama 3-5 jam (total 10-15
jam per minggu) sehingga terjadi pembersihan sampah-sampah secara kontinu dan terjadi
keseimbangan bahan-bahan penting seperti elektrolit Kalium, Natrium serta cairan (Mahan et al,
2008).
Penderita gagal ginjal mempunyai kualitas hidup yang jelek Pasien-pasien dengan PGK
banyak mengalami malnutrisi yang dikenal sebagai komplikasi yang umum terjadi pada pasien-
pasien yang ditangani dengan terapi dialisis regular, dan terdapat kehilangan massa otot pada
banyak pasien. Angka prevalensi dari malnutrisi yang terjadi pada pasien-pasien
hemodialisis/HD berkisar antara 10% hingga 50% (Mitch et al, 2002.). Penyebab malnutrisi ini
dipengaruhi oleh banyak faktor. Sebelum dilakukan dialisis, pembatasan protein, sodium,
potassium, fosfat, dan sebagainya sering menunjukkan adanya penurunan asupan makanan yang
signifikan. Setelah dimulai dialisis, banyak pasien mengalami keadaan anoreksia, mual dan
muntah yang disebabkan oleh karena penyakitnya, dialisis yang tidak adekuat, atau obat-
obatan(Mattern et al. 1982; Bergstrom, 1985; Bergstrom et al. 1993). Pasien-pasien dengan gagal
ginjal kronis harus secara periodik memonitor status nutrisinya dengan hati-hati dan apabila
terjadi penurunan berat badan, maka asupan kalori harus dimodifikasi.
Tujuan laporan kasus ini untuk mempelajari salah satu kasus PGK dan komplikasinya
pada pasien rawat jalan di ruangan hemodialisis rumah sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar
dan menerapkan penatalaksanaan gizi untuk memperlambat progresivitas PGK, mengurangi
keluhan atau gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien PGK.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
1 Gagal ginjal kronik yang sekarang disebut penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah
kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau
petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis
penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m². Batasan penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu
kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
berdasarkan kelainan patologik, petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan dan laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan
dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Chonchol, 2005).
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju
filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus
yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium.
Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan
ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan
penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi
ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Perazella, 2005). Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik
3
II.2. Etiologi
Etiologi PGK berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR)
pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak adalah glomerulonefritis (25%),
diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat
penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney
Foundation, 2009).
II.3. Patogenesis
Patogenesis penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan: (1) merupakan
mekanisme pencetus yang spesifik sebagai penyakit yang mendasari kerusakan selanjutnya
seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulonephritis, atau pajanan zat toksin
pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) merupakan mekanisme kerusakan progresif,
ditandai adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nephron yang tersisa (Skorecki et al, 2007).
4
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau
bahkan meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron
yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi
keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan
berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti
infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)
antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal (Suwitra et al, 2006; Brenner et al, 2000).
Fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun penyakit primernya telah
diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi sekunder yang
sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain
yang menguatkan adanya mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang
sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan
adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan
jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut
menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal (Noer, 2006).
5
dan peningkatan berat badan. Oleh karena itu perlu dibatasi asupan natrium dan cairan. Cairan
disesuaikan dengan volume produksi urin ditambah dengan 500 ml (insensible losses).
Kebutuhan cairan bisa bervariasi pada pasien PGK dengan hemodialisis dalam batas 500-1000
ml per hari. Tujuan pengaturan asupan air dan garam adalah membatasi kecepatan kenaikan berat
badan antara terapi dialisis pada 1 lb atau 0,5 kg per hari ( Alper et al 2007; Ix et al, 2006).
Hiperkalemia merupakan masalah sering terjadi pada PGK dengan GFR kurang dari 5%
ml/menit. Asidosis metabolik terjadi akibat terbatasnya kapasitas untuk ginjal mengekskresikan
asam dan meningkatkan buffer. Rendahnya PH darah dapat dikoreksi dengan natrium bikarbonat
per oral sebanyak 20-30 mmol (2-3 g). Gangguan metabolism fosfat, kalsium dan tulang yang
mekanismenya sangat kompleks pada PGK. Kelainan kardiovaskular dan paru-paru. Gagal
jantung kongestif dan edema paru, umumnya akibat kelebihan garam dan cairan. Suatu sindroma
yang belum begitu jelas mekanismenya, telah diamati adanya peningkatan tekanan pada
membrane kapiler alveolus paru sehingga terjadi edema paru. Hipertensi juga sering terjadi
akibat retensi garam dan cairan dan hipereninemia yang akan berdampak pada peningkatan
tekanan darah sistemik. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal
dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
Kelainan hemopoeisis berupa anemia normokrom dan normositer sering ditemukan pada
pasien gagal ginjal kronik. Anemia, terutama akibat kurangnya produksi eritropoitin sehingga
stimulasi pembentukan sel darah merah pada sumsum tulang juga berkurang. Kelainan saluran
cerna terjadi pada lebih dari 25% pada PGK mengalami ulkus pada lambung yang kemungkinan
akibat sekunder dari hiperparatirodisme. Anoreksia, mual dan muntah sering merupakan keluhan
utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesinnya
belum jelas tetapi keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
dilakukan dialisis. Akibat toksin uremia juja menyebabkan kelainan neuromuscular mulai gejala
gangguan tidur ringan, gangguan konsentrasi/memori sampai kejang dan koma pada uremia
berat. Gangguan endokrin dan metabolik pada wanita terjadi penurunan kadar estrogen yang
menyebabkan wanita dengan PGK sulit untuk hamil dan pada laki-laki terjadi penurunan kadar
testosterone, impoten, oligosperma dan dysplasia sel germinal. Selanjutnya pada PGk, ginjal
sebagai lokasi untuk mengeliminasi hormone insulin menurun sehingga waktu paruh hormone
6
insulin meningkat. Hal ini meyebabkan efek kadar insulin yang stabil pada pasien dengan
diabetes mellitus yang sebelumnya sulit dikontrol.
Kelainan kulit berupa gatal dan ekskoriasi sering mengganggu pasien, patogenesisnya
masih belum jelas dan diduga berhubungan hasil deposit kalsium sebagai hasil
hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan
paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea
pada kulit muka dan dinamakan urea frost (Ix et al, 2006).
II.5. Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai tujuan sebagai berikut: a)
Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG); b) Mengejar etiologi GGK yang mungkin
dapat dikoreksi; c) Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors); d)
Menentukan strategi terapi rasional; e) Meramalkan prognosis. Pendekatan diagnosis mencapai
sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari
anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus
(Sukandar, 2006).
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk
semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan
banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan
faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua
faktor pemburuk faal ginjal yaitu: 1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG) meliputi pemeriksaan ureum,
kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal
(LFG); 2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK) meliputi analisis urin rutin, mikrobiologi urin,
kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis; 3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan
penyakit meliputi progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
7
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu: 1)
Diagnosis etiologi PGK yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi
retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU); 2) Diagnosis
pemburuk faal ginjal berupa pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan
pemeriksaan ultrasonografi (USG).
II.6. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada
stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat
dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah
tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak
darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan
(National Kidney Foundation, 2009).
II.7. Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar,
2006). Dalam hal ini peranan diet, penentuan kebutuhan kalori, kebutuhan cairan dan kebutuhan
elektrolit dan mineral menjadi sangat penting untuk mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. Kebutuhan jumlah mineral dan
elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
b. Terapi simtomatik/aktif
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).
Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi
alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum
bikarbonat ≤ 20 mEq/L. Anemia diatasi dengan transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC)
merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
1 Keluhan gastrointestinal berupa anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan
yang sering dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
8
complaint) dari PGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari
mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan
obat-obatan simtomatik. Sedangkan mengatasi kelainan kulit tergantung dengan jenis keluhan
kulit. Kelainan neuromuskular yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa
atau operasi subtotal paratiroidektomi. Hipertensi dengan pemberian obat-obatan anti hipertensi.
Kelainan sistem kardiovaskular, tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan
indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120
mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m²,
mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006). Hemodialisis di Indonesia dimulai
pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.
Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler
selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
Dialisis peritoneal (DP) yaitu Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di
pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity
dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
9
Penilaian status gizi dilakukan sebelum dilakukan intervensi gizi. Ada beberapa cara
untuk menilai status gizi pasien PGK yaitu berdasarkan: 1) Subjective Global Assessment
(SGA), 2) pemeriksaan klinis, 3) antropometri, 4) riwayat diet, 3) laboratorium (pemeriksaan
biokimia). SGA merupakan sebuah metode berupa pertanyaan dan pemeriksaan fisik yang cepat
dan efektif untuk menilai dan memonitor status gizi pasien. Data yang harus ada pada penilaian
status gizi pada pemeriksaan kinis meliputi pemeriksaan fisik, riwayat medis, riwayat
psikososial, demografi, aktifitas fisik, data medis terbaru. Penilaian asupan makanan meliputi
riwayat diet, menilai nafsu makan, menilai jumlah dan kualitas makanan, kebiasaan makan dan
minum. Pada pemeriksaan biokimia meliputi pemeriksaan albumin, prealbumin, yang merupakan
protein visceral, kadar kolesterol serum.Pemeriksaan fungsi imun seperti total jumlah limfosit,
Terapi gizi diindikasikan pada pasien PGK yang menjalani terapi hemodialisis dengan
status gizi kurang, terutama pada pasien dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) kurang dari 20
Kg/M2, berat badan turun lebih dari 10% dalam jangka waktu 6 bulan, serum albumin kurang
dari 35 g/l atau serum prealbumin kurang dari 300 mg/l. Banyak faktor yang mempengaruhi
status gizi pasien PGK. Sindroma uremik dapat menyebabkan status gizi menurun, adapun
penyebabnya dapat karena asupan makan yang kurang, restriksi diet tertentu, toksisitas uremia,
miktroinflamasi (MIA syndrome), asidosis metabolik, resistensi insulin, hiperparatirodisme,
peningkatan leptin dalam plasma, gannguan gastrointestinal dan lainnya. Sindrom uremik
berhubungan dengan hilangnya nafsu makan dan berbagai gangguan pada gastrointestinal, yang
akan menurunkan asupan makan. Ada hubungan antara gangguan ginjal dengan penurunan
asupan makan yang normal. Lebih dari itu, diet restriksi protein dapat menyebabkan gizi kurang,
jika tidak dimonitor secara ketat. Asidosis metabolik pada uremia adalah faktor penting dalam
aktivasi katabolisme protein. Gangguan pengosongan lambung, gangguan motilitas usus,
gangguan percernaan absorbsi dari sekresi kandung empedu dan pankreas dan perubahan bakteri
flora usus sering terjadi pada PGK. Gangguan motilitas usus ini bagian hal penting secara klinis.
Gastroparesis sering terjadi pada pasien dengan diabetik nefropati.
Menurut ESPEN (European Society for Clinical Nutrition and Metabolism) dan NKF
(National Kidney Foundation), kebutuhan energi untuk pasien PGK dengan hemodialisis atau
CAPD (Chronic Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah 30-35 kcal/kg BB/hari yang
dihubungkan dengan balans nitrogen yang lebih baik dan direkomendasikan pada pasien PGK
yang stabil dalam batas berat badan ideal + 10%. Pasien dengan berat badan berlebih dan berat
10
badan kurang disesuaikan dengan kebutuhan energi. Pada keadaan akut hemodialiasis kebutuhan
karbohidrat 3-7 g/kgBB/hari, kebutuhan lemak 0,8-1,5 g/kgBB/hari. Kebutuhan protein dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2: Rekomendasi kebutuhan protein dan energi pada pasien PGK dewasa dengan
terapi hemodialisis
Sehubungan dengan kehilangan vitamin pada saat dialisis, vitamin larut air perlu
ditambahkan, piridoksin 10-20 mg/hari, asam folat 1 mg hari dan vitamin C 30-60 mg/hari.
Vitamin D seharusnya diberikan sesuai dengan kadar Kalsium, Fosfor dan hormon paratiroid
dalam serum. Sedangkan kebutuhan mineral, vitamin dan cairan dapat dilihat masing-masing
pada tabel 3 dan tabel 4. Pada hemodialisis rutin tidak signifikan adanya kehilangan trace
elemen, walaupun demikian pada pasien yang mengalami deplesi mineral ini, suplementasi zat
seng (Zn) 15 mg/hari dan selenium 50-70 ug/hari dapat digunakan (Cano et al, 2006).
11
Defisiensi vitamin larut dalam air kemungkinan besar akan terjadi pada pasien HD,
sebagai hasil dari asupan yang kurang dan pembersihan saat HD. Suplementasi multivitamin
adalah penting untuk menjamin kecukupan mikronutrien ini. Dengan perkecualian vitamin D,
suplementasi vitamin larut dalam lemak lainnya (vitamin A, E, K) biasanya tidak dibutuhkan.
Asupan natrium dibatasi untuk menghindari volume yang berlebihan dan ketidakstabilan
hemodinamik. Kalium dibatasi kurang dari 2 g/hari untuk menghindari potensi komplikasi dari
hiperkalemia. Pembatasan Fosfor juga penting, 600-800 mg/ hari, untuk menghindari potensi
komplikasi hiperfosfatemia, termasuk hipokalsemia, kalsifikasi vaskular. Fosfat yang terikat
dalam tiap makaanan penting juga diperhatikan, mengingat fosfat tidak mudah dibersihkan
dengan HD konvensional ( Cohen et al, 2007).
Tabel 4: kebutuhan vitamin yang dikomendasikan
Pada PGK dengan hemodialisis
tatabe
Terapi gizi yang diberikan per oral berupa suplemen gizi akan memperbaiki status gizi
pasien dengan status gizi kurang yang menjalani hemodialisis. Bila konseling gizi dan terapi gizi
per oral gagal mencapai asupan gizi yang direkomendasikan, maka perlu disarankan atau
dipertimbangkan diberikan melalui tube feeding/nutrisi enteral. Nutrisi enteral diberikan pada
pasien HD dalam kondisi katabolik akut, sedangkan pemberian nutrisi yang normal tidak
memungkinkan. Demikian juga diberikan pada pasien HD dengan asupan per oral yang adekuat
tidak dapat dicapai dan pada pasien HD dengan kesadaran menurun seperti pada kasus neurologi
dan pasien HD yang menjalani perawatan di rumah. Pada gastroparesis yang tidak responsif
terhadap obat prokinetik, nasojejunal feeding sangat dianjurkan. Dalam jangka panjang
12
Percutaneus Endoscopic Gastrostomy (PEG) atau Percutaneus Endosdopic Jejunustomy dapat
dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu.
Pengukuran imbang nitrogen merupakan suatu metode klasik dalam penilaian kebutuhan
protein dalam diet. Studi-studi mengenai imbang nitrogen pada pasien-pasien HD masih sangat
terbatas, tetapi telah dianjurkan asupan protein yang lebih tinggi hingga mencapai 1.2 g/kg/hari,
yang menunjukkan adanya kehilangan nitrogen obligatoar yang lebih tinggi pada pasien-pasien
HD. Pada pasien CAPD, mempunyai residu fungsi ginjal yang lebih baik, kelainan metabolik
yang lebih sedikit daripada terapi HD. Kehilangan protein melalui peritoneal, asam amino dan
mikronutrien sesuai dan absorbsi glukosa meningkat. Kehilangan protein pada CAPD lebih
tinggi daripada HD (5-15 g/hari), substansi yang terikat protein seperti trace elemen. Karena
cairan peritoneal dengan kandungan glukosa yang tinggi adalah standar. CAPD berhubungan
dengan pengambilan glukosa yang tinggi. Oleh karena itu, asupan energi total normal atau
seringkali meningkat. Tingginya asupan glukosa dapat menyebabkan obesitas,
hipertrigliseridemia, hiperglikemia yang dapat menginduksi diabetes mellitus. Formula dengan
kandungan tinggi protein dan rendah karbohidrat dianjurkan pada pasien CAPD (Cano et al,
2006).
Identitas pasien :
Nama : Tn. BHRND
Umur : 32 thn
No.Reg : 374880, R. HD rawat jalan, HD ke-21 (3xseminggu)
Tgl pemeriksaan: 20-03- 2009
Data sosio-ekonomi
› Pekerjaan :-
› Pendidikan : SMA
› Agama : Islam
› Alamat : Maros
13
› Status Sosek : kurang mampu/Jamkesmas
Pagi : nasi 1 piring sedang , telur goreng 1butir, sayur tumis wortel 2 sendok makan,
kue lapis 2 potong sedang
14
Siang: nasi 1 piring, ayam goreng tepung 1 potong, mie goreng 3 sendok makan,
sayur tumis wortel, pepaya 1 potong.
15
UNIT NILAI NILAI NORMAL
Mineral (27/1/09)
Cl mmol/L 96 97 – 111
Urine : (28-2-09)
16
PH: 9 (4,5-8)
72 x Serum kreatinin
72 x 6,85
3. ASSESMENT (A)
A : status gizi : gizi kurang
17
Defisiensi protein (hipoalbunemia)
Ket :
valsartan 0-0-1
nephrovit Fe 1x1
HD reguler
4. PLANNING (P)
Tujuan
Mencegah progresifitas PGK dan memperbaiki kualitas hidup pasien dengan cara:
Memperbaiki status gizi pasien dengan mencukupi kebutuhan energi, protein dan
mikronutrien per hari
Intervensi
Terapi diet:
18
Kebutuhan kalori 35 kalori/kg BB ideal =35x58,5=2047,5 kcal (dibulatkan 2000 kcal/hr)
Komposisi nutrisi:
Protein 1,4 gr/kg BB = 1,4 x 58,5 = 81,9 gr (dibulatkan 82 gr) atau 16, 4% KKT (>50%
berasal dari protein dengan nilai biologis tinggi seperti telur, daging, ikan).
Lemak cukup, 25 % dari kebutuhan kalori total = 55,5 gr/hr (MUFA/PUFA:SAFA >1,5)
Usul pemeriksaan ulang: darah rutin, elektrolit, albumin, serum fe, TIBC.
19
nasi ¾ gelas nasi 1 gelas nasi 1 gelas
telur dadar 1 btr ayam semur 2 ptg ikan masak 2 ptg sedang
teh manis 1 gls tumis tahu 2 ptg tumis tempe 2 ptg sedang
V. DISKUSI
Pasien dengan diagnosis awal PGK dan sedang menjalani terapi hemodialisis reguler
mengeluh sesak nafas. Keluhan sesak dimulai sejak sebelum pasien mendapat terapi
hemodialisis. Sesak pada pasien bisa disebabkan oleh kelainan pada jantung dan kelainan pada
paru. Pasien PGK dengan predisposisi hipertensi bisa menyebabkan komplikasi gagal jantung
Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa
penelitian. Pada gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas terutama saat
aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali dan edema tungkai (Mariyon dkk, 2007).
Pemeriksaan penunjang pada pasien ini mendukung adanya gagal jantung antara lain foto thorax
didapatkan kardiomegali dan adanya odema paru. Untuk itu penatalaksanaan diet disesuaikan,
dengan memberikan makanan secukupnya tanpa memberatkan kerja jantung (Almatsier, 2006).
Gagal ginjal kronis atau gagal ginjal menahun ditandai dengan penurunan laju
penyaringan glomerulus (GFR). Dengan menurunnya laju penyaringan ini, kadar urea darah
meningkat dan nefron yang masih berfungsi yang tersisa akan mengalami hipertrofi. Dengan
naiknya kadar urea darah dan meningkatnya proses penyaringan oleh nefron yang mengalami
hipertrofi tersebut, muatan solute yang sampai ke dalam masing-masing tubulus yang masih
berfungsi akan menjadi lebih besar daripada keadaan normalnya. Salah satu konsekuensi dari
keadaan ini adalah poliuria akibat ketidakmampuan sel-sel tubulus untuk memekatkan filtrat
20
dengan sempurna. Setelah keadaan insufisiensi ginjal menjadi semakin parah, volume air seni
tidak lagi berlebihan tetapi sebaliknya menjadi berkurang di bawah jumlah normal. Kalau GFR
turun hingga 5-10% dari nilai normalnya, aliran air seni menjadi begitu terbatas sehingga
masukan natrium dan air harus dibatasi, karena kalau tidak, hipertensi, edema dan gagal jantung
kongestif akan terjadi (Hartono, 1991). Pada pasien ini, sesak dan edema tungkai, selain karena
gagal jantung dan anemia, dapat disebabkan karena masukan cairan yang berlebihan, karena
pada hasil recall 24 jam cairan, pasien minum + 5 gelas air putih, ditambah dengan makanan
yang mengandung banyak cairan, sedangkan volume urin per 24 jam hanya sekitar 1 gelas.
21
Karbohidrat 58,6 % dan lemak 25% kebutuhan kalori total dengan perbandingan MUFA/PUFA:
SAFA >1,5 untuk menurunkan kadar trigliserida dalam darah (Almatsier, 2005;Suharjono,
1992). Pada pasien ini telah diberikan leaflet contoh diet yang sesuai berdasarkan status gizi
pasien.
Penyuluhan atau edukasi gizi sangat penting bagi pasien dan keluarganya mengingat
prinsip diet pasien GGK agak rumit dan prosedur untuk merencanaka diet yang tepat setiap hari.
Penyuluhan tentang pemilihan makanan serta pemakaian berbagai macam bumbu yang dapat
menambah variasi makanannya sehingga lebih dapat diterima oleh pasien (Mahan et al, 2008).
Pasien telah mendapatkan penyuluhan gizi dengan alat bantu leaflet daftar bahan makanan
penukar dan contoh susunan diet khusus pasien yang menjalani hemodialisis sesuai dengan
kebutuhannya.
Daftar Pustaka
Alpers DH, Steven WF, Taylor, BE, Bier DM. 2008. Manual of Nutritional Therapeutics.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA.
22
Almatsier S. 2006. Penuntun Diet. Edisi Baru. Instalasi Gizi Perjan RS Dr. Cipto
Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Bakri S. 2005. Deteksi Dini Dan Upaya-Upaya Pencegahan Progresivitas Penyakit Ginjal
Kronik. Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005
Bergstrom J. 1985. Protein catabolic factors in patients in renal replacement therapy. In-depth
review. Blood Purif; 43:S215-S236.
Bergstrom J, Lindholm B. 1993. Nutrition and adequacy of dialysis. How do hemodialysis and
CAPD compare ? Kidney Int; 43:S39-S50.
Cano N, Fiaccadori E, Tesinsky P, Toigo G, Druml W. 2006. ESPEN Guidelines on Enteral
Nutrition: Adult Renal Failure. Elsevier, Clinical Nutrition 25, 295-310.
Chetri P.K., Manandhar D.N., Bhattarai, S.P., Pahari L.R., Shrestha R. 2008. Chronic kidney
disease 5 on hemodialysis in Nepal Medical College Teaching HospitalNepal. Med Coll J
2008; 10(1): 8-10
Cohen SD, Kimmel PL. 2007. Nutritional Status, Psychological Issues and Survival in
Hemodialysis Patients in Suzuki H, Kimmel PL (eds): Nutrition and Kidney Disease: A
New Era. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, vol 155, pp 1–17
Chonchol, M., Spiegel, D.M., 2005. The Patient with Chronic Kidney Disease. In: Schrier, R.W.,
6th ed. Manual of Nephrology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 177-186.
Ix JH, Lingappa VR. Renal Disease in Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical
Medicine, 5th Edition. Authors: McPhee, Stephen J.; Ganong, William F.. Copyright
©2006 McGraw-Hill
Hartono A. 1991. Prinsip Diet Penyakit Ginjal. penerbit ARCAN, Jakarta.Jordi DG,
MCQuistson B. 2001. Nutrition and Renal Disease. Nutrition in the Prevention and
Treatment of Disease.
Kresnawan T. Makanan Seimbang Untuk Penyakit Ginjal Kronik. Indonesia Kydney Care Club.
http://www.ikcc.or.id
Kresnawan, T., Markun., 2008. Diet Rendah Protein dan Penggunaan Protein Nabati pada
Penyakit Ginjal Kronik, Divisi Ginjal Hipertensi Bagian Penyakit Dalam FKUI-RSCM.
Available from: http://www.gizi.net/makalah/download/diet-rendah-protein-dan-
penggunaan-protein-nabati-pada-penyakit-ginjal-kronik Accessed15 November 2009
23
Kopple J.D., Ahmed K.R. 1997. Nutrition in Maintenance Hemodialysis Patients. In Nutritional
Management Of Renal Disease. Printer: Edwards Brothers, Inc.
KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification,
and Stratification. Individuals at increased risk of chronic kidney disease. Diunduh dari
http://www.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/p4_class_g3.htm
Mahan and Escott-Stump.2008. Krause’s Food, Nutition& Diet Therapy. Elsevier (USA)
Mariyon H.H, Santoso A. 2007. Tinjauan pustaka: Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8
Nomor 3 Bulan September 2007
Mitch WE, Klahr S. 2002. Handbook of Nutrition and the Kidney 4th edition, Lippincot
Williams & Wilkins.
National Kidney Foundation, 2009. Chronic Kidney Disease. New york: NKF. Available from:
http://www.kidney.org/kidneydisease/ckd/index.cfm#whatis.[Accessed 29 April 2009]
Noer, M.S., 2006. Gagal Ginjal Kronik Pada Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR. Available
from: http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-mqb0gj-pkb.pdf.[Accessed 15 Maret
2009]
Perazella, M.A., 2005. Chronic Kidney Disease. In: Reilly, R.F, Jr., Perazella, M.A., ed.
Nephrology In 30 Days. New York: Mc Graw Hill, 251-274.
Rahardjo, P., Susalit, E., Suhardjono., 2006. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi,
B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi
keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 579-580.
Roesli, R., 2008. Hipertensi, diabetes, dan gagal ginjal di Indonesia. Dalam: Lubis, H.R., et al
(eds). 2008. Hipertensi dan Ginjal. USU Press, Medan: 95-108.
Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII)
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.
Suwitra, K., 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Marcellus, S.K., Setiati, S., Edisi keempat. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 570-573.
Suhardjono, R.P.D., 1992. Gizi Pada Gagal Ginjal Kronik. Perhimpunan Nefrologi Indonesia.
24
Skorecki K, Green J, Brenner B M. Chronic kidney disease in Harrison’s principles of internal
medicine 17th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. p. 1858-69
25