LAPORAN KASUS
PASIEN ICU
ANAMNESA
Identifikasi
Nama lengkap : Ny. Zuraidah
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 52 tahun
Alamat : Pasar Bangko. Merangin
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Tgl Pemeriksaan : 29 Maret 2011
MRS/ICU Tanggal : 29 Maret 2011
Keluhan Utama :
Pasien tidak sadar akibat kecelakaan ± 8 jam SMRS
1
Riwayat Penyakit Keluarga:
Hipertensi disangkal
Diabetes melitus disangkal
KULIT :
Pigmentasi : -
Turgor : baik
Ikterus : -
PEMERIKSAAN ORGAN :
1. Kepala
Bentuk : oval tidak simetris, jejas(+) regio temporal kanan
2. Mata
Conjunctiva : anemis ( - )
Sclera : ikterik ( - )
Pupil : anisokor kanan>kiri
Refleks Cahaya :
3. Telinga : dbn
4. Hidung : dbn
5. Leher
Kel. Getah bening : pembesaran (-)
JVP : 5-2 cmH2O
2
6. Thorax
Bentuk : simetris kiri kanan
Pergerakan dinding dada : tidak ada yang tertinggal
Pulmo
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Statis : simetris Statis : simetris
Dinamis : tidak tertinggal Dinamis : tidak tertinggal
Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Perkusi sonor sonor
Batas paru-hepar :ICS VI
kanan
Auskultasi Vesikuler normal Vesikuler normal
Ronki(-), wheezing (-) Ronki(-), wheezing (-)
Jantung
Pemeriksaan
Inspeksi Iktus cordis tidak tampak
Palpasi Iktus cordis teraba di ICS V linea mid
clavikula sinistra
Perkusi redup
Auskultasi BJ I / II reguler
Murmur (-)
Gallop (-)
7. Abdomen : Supel, BU (+) N, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien
tidak teraba.
Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium (tanggal 29-3-2011):
3
WBC: 14,8 103/mm3
RBC : 4,15.106/mm3
HGB : 12,7 g/dl
HCT : 37,3 %
PLT : 58.103/mm3
PCT : 143 %
GDS : 126 mg/dl
CT-Scan (28-3-2011)
Kesan : edema cerebri dengan intraserbral bleeding pada lobus temporalis kanan dan
fraktur impresif pada tulang temporalis dan occipitalis kanan
Diagnosa : edema cerebri dengan intraserbral bleeding pada lobus temporalis kanan dan
fraktur impresif pada tulang temporalis dan occipitalis kanan
Pengobatan :
O2 5 L/mnt
IVFD Rl gtt 20/mnt
Manitol 250 cc 4 x 125 cc
Inj. Kalnek 3x1 gr
Inj. Ranitidin 3x1 amp
Inj. Cefotaxim 2x1 gr
Inj. Citicholin 2x1 gr
Prognosa
• Qua ad vitam : Dubia ad bonam
FOLLOW UP
4
S O A P
Lab:
WBC:15.9. 103/mm3
RBC: 3,6.106/mm3
HGB: 10,7 gr/dL
HCT : 31,2%
PLT: 198.103/mm3
Faal ginjal:
Ur: 40,9 mg/dL
Kr: 0,8 mg/dL
S O A P
5
- (E2M5V3),TD: 130/66 mmHg, bleeding padalobus Ranitidin 2x1 amp
N: 71x/i, RR: 20x/i, SpO2 : temporalis kanan dan
100% fraktur impresif pada Kalnex 3x500 mg
NGT dan Cateter Folley tulang temporalis dan
terpasang Citicholin 2x500 mg
occipitalis kanan
Intake (obat, diet cair,
parenteral): 3167 cc Piracetam 3x1 gr
Output : urin :2850cc
NGT : 30cc Manitol 4x250
IWL : 1053cc
Lodomer 1 amp 1.m
Jumlah : 3933cc
Keseimbangan Cairan : -766 Diet cair 6x100cc
cc
Kepala : CA-/-, Si-/-, pupil
anisokor ka>ki, reflek cahaya
+/+
Leher :JVP 5-2 cmH2O
Thorak : simetris, paru :
vesikuler (N), rho(-), Whee(-)
Jantung : BJ I/II reguler, M (-),
G(-)
Abdomen : supel, BU(+) N
Eks: akral hangat, edema (-)
S O A P
6
S O A P
Lab:
WBC:15.1. 103/mm3
RBC: 3,0.106/mm3
HGB: 8,9 gr/dL
HCT : 26,5%
PLT: 176.103/mm3
BT : 3’
CT: 4’
S O A P
7
NGT dan Cateter Folley tulang temporalis dan Citicholin 2x500 mg
terpasang occipitalis kanan
Intake (obat, diet cair, Piracetam 3x1 gr
parenteral): 3052 cc
Output : urin :3562 cc Manitol 4x250
NGT : 30cc
IWL : 1042cc Phenitoin 3x100mg
Jumlah : 4634cc
Keseimbangan Cairan : -1582 Po:
cc
new diatab : 3x2 tab
Kepala : CA-/-, Si-/-, pupil
anisokor ka>ki, reflek cahaya yakult 3x1 botol
+/+
Leher :JVP 5-2 cmH2O Inj :
Thorak : simetris, paru :
vesikuler (N), rho(-), Whee(-) prinpran 2x1amp
Jantung : BJ I/II reguler, M (-),
G(-) Diet cair 6x250cc
Abdomen : supel, BU(+) N
Eks: akral hangat, edema (-)
S O A P
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
2.1. Definisi Trauma Kapitis
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen 2.2. Anatomi
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
e. Perikranium.
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan
anak-anak.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya di
bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii
berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior,
fosa media, dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media
adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang
otak dan serebelum
3. Meningen
10
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-
sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus
pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater dari
sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara
manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer
dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik
dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
11
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik,
yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada
batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.
5. Cairan serebrospinal
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri atas
fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior).
2.3. Fisiologi
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu
tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg.
Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari
dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya
dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan serebrospinal
( sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari
12
ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya
dan menaikkan tekanan intra kranial.
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah
satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus mengkompensasi
dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih konstan ). Mekanisme kompensasi intra
kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme
ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam
kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK.
Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan
aliran darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin
meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila
peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan
peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal.
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut
lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga
tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio
“countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang
sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana
caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci.
Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi
kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate
adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup.
13
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup)
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa
perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam
terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak .
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
14
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan,
mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara
pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata
ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS
sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan
nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai
cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera
otak ringan.
a. Ringan
GCS = 13 – 15
b. Sedang
GCS = 9 – 12
c. Berat
GCS = 3 – 8
3. Morfologi
15
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar
tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window”
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak
tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
a. Terbuka
b. Tertutup
16
1. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang
sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin
mengalami amnesia retro/anterograd.
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena
syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada
beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema
dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera
Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang
buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan
terlihat pada manifestasi klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di
area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini
terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak
lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri
dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral
yang membutuhkan tindakan operasi.
17
Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain:
1. Pemeriksaan kesadaran
Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi
Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali
pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran
dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi
perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.
2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil
yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor
ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera
kepala.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat
18
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi
dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk
menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.
a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak
atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan
bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak
dapat digunakan bila CT scan tidak ada.
b. CT-Scan
Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif
normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat
berkembang lesi baru pada 40% dari penderita Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak
sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya
struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan
outcome yang buruk
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa.
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada
pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer,
atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk
untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan
tekanan intrakranial terkontrol baik.
19
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi
baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi
Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan
sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan
MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang
nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan,
tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit
neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators (2008),
Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan terdapatnya
cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis.
Skor Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap
mortalitas pasien. Adapun ditemukannya angka mortalitas yang lebih rendah pada GCS 3
dibandingkan dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi dianggap
sebagai 3.
20
21