Tugas Makalah Pemahaman Agama Pra Islam
Tugas Makalah Pemahaman Agama Pra Islam
Pra Islam
(Makalah)
Dibuat dalam Rangka Tugas pada Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Disusun Oleh:
Muhammad Sukarma
Retno Wijayanti
Nurhayati
Gunawan
Siti Khusnul Khotimah
Marga Saputra
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. M. Damrah Khair, MA
Peneliti
DAFTAR ISI
CAVER.....................................................................................................................
KATA PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN.....................................................................................................
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendahuluan...................................................................................................
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................
...
BAB l
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masa sebelum kedatangan Islam dikenal dengan zaman jahiliyah.
Dalam Islam, periode jahiliyah dianggap sebagai suatu kemunduran dalam
kehidupan beragama. Pada saat itu masarakat Arab jahiliyah mempunyai
kebiasaan- kebiasaan buruk seperti meminum minuman keras, berjudi, dan
menyembah berhala.
Ketika nabi Muhammad SAW lahir (570 M). Mekah adalah sebuah
kota yang sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri Arab,
baik karena tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur
perdagangan yang ramai menghubungkan Yaman di selatan dan Syiria di
utara. Dengan adanya Ka’bah di tengah kota. Mekah menjadi pusat
keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Didalamnya
terdapat 360 berhala mengelilingi berhala utama, Hubal. Mekah kelihatan
makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan
realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta mil
persegi.
Biasanya, dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami
bangsa Arab sebelum Islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada
jazirah Arab, padahal bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah di sekitar
Jazirah. Jazirah Arab memang merupakan kediaman mayoritas bangsa
Arab kala itu.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang kondisi Bangsa
Arab sebelum kedatangan agama Islam. Khususnya mengenai letak
geografisnya, asal- usulnya, agamanya, serta peradabannya.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
1. Mengetahui sejarah kehidupan dan keberagamaan Bangsa Arab
sebelum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN
Masa sebelum Islam, khususnya kawasan jazirah Arab, disebut
masa jahiliyyah.1 Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah
kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dan yang
dimaksud Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi
sesudah datangnya Islam. Ahlul bait di sini, Yaitu keluarga rumah tangga
Rasulullah s.a.w.
1
Al-Qur-an Surat al-Ahzab: 33.
Perekonomian penduduk negeri Mekah umumnya baik karena mereka
menguasai jalur darat di seluruh Jazirah Arab.
Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah
memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang cukup strategis, terutama
kawasan pesisir yang pada waktu itu ramai dilalui kapal-kapal pedagang Eropa
yang hendak menuju India, Asia Tenggara, Cina dan sekitarnya, telah membuat
kawasan ini lebih maju dari pada kawasan Arab yang lain. Makkah pada waktu itu
merupakan kota dagang bertaraf internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya
yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan penghubung jalur
perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria.
Rentetan peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Islam merupakan hal
yang sangat penting untuk dikaji. Hal demikian karena tidak ada satu pun
peristiwa di dunia yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-peristiwa
sebelumnya. Artinya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya terdapat
hubungan yang erat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan Islam
dengan situasi dan kondisi Arab pra Islam.
2
http://emhasemarangan.blogspot.com/2010/02/rahasia-sukses-dakwah-
rasulullah.html, diunduh 29 September 2021.
B. KONDISI GEOGRAFIS JAZIRAH ARAB
Semenanjung Arab adalah semenanjung yang terletak di sebelah barat
daya Asia. Wilayahnya memiliki luas 1.745.900 kilometer persegi.3 Semenanjung
ini dinamakan jazirah karena tiga sisinya berbatasan dengan air, yakni di sebelah
timur berbatasan dengan teluk Oman dan teluk Persi, di sebelah selatan berbatasan
dengan Samudra Hindia dan teluk Aden, di sebelah barat berbatasan dengan laut
merah. Hanya di sebelah utara, jazirah ini berbatasan dengan daratan atau padang
pasir Irak dan Syiria.4
3
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riadi, 2010, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, hal. 16.
4
Fadil, SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah, 2008, Malang:
UIN Malang Press, hal. 26.
2. Sahara Selatan, yakni yang membentang dan menyambung Sahara Langit ke
arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras,
tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan daerah sepi (al-
Rub’ al-Khali).
3. Sahara Harrat, yakni suatu daerah yang terdiri dari tanah liat berbatu hitam.
Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di seluruh sahara ini.6
Secara garis besar, jazirah Arab dibedakan menjadi dua, yakni daerah
pedalaman dan pesisir. Daerah pedalaman jarang sekali mendapatkan hujan,
namun sesekali hujan turun dengan lebatnya. Kesempatan demikian biasa
dimanfaatkan penduduk nomadik dengan mencari genangan air dan padang
rumput demi keberlangsungan hidup mereka. Seperti juga di tempat-tempat lain,
di sini pun [Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-
negeri Arab] dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang
selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara
seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan
keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.7
5
Ibid, 43-44.
6
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 1975, Kairo: Maktabah Najdah al-Misriyyah, hal.
1- 2.
7
http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/masa-nabi-muhammad-saw-pada-
periode.html, diunduh 24
C. KONDISI SOSIAL DAN BUDAYA BANGSA ARAB
Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah. Mereka termasuk
ras atau rumpun bangsa kaukasoid, sebagaimana ras-ras yang mendiami daerah
Mediteranian, Nordic, Alpine dan Indic.9
Bangsa Arab hidup berpindah-pindah (nomad). Demikian ini karena
kondisi tanah tempat mereka hidup terdiri dari gurun pasir kering dan minim turun
hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya
stepa (padang rumput) yang muncul secara sporadis di sekitar oasis atau genangan
air setelah turun hujan. Padang rumput diperlukan badui Arab untuk kebutuhan
makan binatang ternak seperti kuda, onta dan domba.
Maret 2014.
8
Ahmad Mujahidin, Maret 2003, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan
Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya”, Jurnal Akademika, Volume 12,
Nomor 2, hal. 4.
9
Ali Mufrrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 1997, Jakarta: Logos, hal.
5. Ras lain ialah Mongoloid, Negroid dan ras-ras khusus.
Aksi dan reaksi antara penduduk kota dengan masyarakat gurun dimotivasi
oleh desakan kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Orang-orang nomad
bersikeras mendapatkan sumber-sumber tertentu pada orang-orang kota terhadap
apa yang tidak mereka miliki dari lingkungan mereka tinggal. Hal itu dilakukan
baik melalui kekerasan (penyerbuan kilat) atau jalan damai (barter). Orang-orang
badui nomaden dikenal sebagai perampok darat dan makelar. Gurun pasir, yang
merupakan daerah operasi mereka sebagai perampok, memiliki kesamaan
karakteristik dengan laut.10
Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya
kesukuan. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu
rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah
(clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (trible) dan dipimpin oleh
Shaikh.11 Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas
segalanya. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap
tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri,
maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut
konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin,
misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai
suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka
menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya
dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal
kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka
tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.12
Para wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan
yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa
bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan
hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu,
perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
10
Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 28.
11
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 2010, Jakarta: Rajawali Press, hal. 11.
12
http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/masa-nabi-muhammad-saw-pada-
periode.html, diunduh 24
Maret 2014.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran,
seperti :
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran
kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa
menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut
wanita pelacur.
3. Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur
kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil.
Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena
sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.
4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan
peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari
pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki
yang diluar kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa
jahiliyah ialah poligami tanpa ada batasan maksimal, berapapun banyaknya istri
yang dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena
dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki
tanpa ada batasannya.13
Maka tidak heran, jika peperangan antar suku menjadi ciri khas
masyarakat ini. Rendahnya harga wanita seakan-akan menjadi akibat dari keadaan
masyarakat yang suka berperang tersebut.
Akibat tradisi peperangan ini, kebudayaan mereka tidak berkembang.
Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra Islam langka didapatkan di dunia Arab
dan dalam bahasa Arab. Ahmad Shalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya
dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam.14
Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para pe-
13
http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html, diunduh
24 Maret 2014. 14 A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj.
M. Sanusi Latief , 1983, Jakarta: Pustaka Al-Husna, hal. 29.
rawi syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Arab dapat diketahui,
yang antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi
kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu, masyarakat
badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh
lebih murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin
dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf
permulaan perkembangan budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh
penduduk badui adalah penyair.15
Lain halnya dengan penduduk kota yang memiliki kemajuan peradaban,
sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahan
seiring dengan perubahan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Mereka telah
mampu berkarya seperti membuat alat-alat dari besi, bahkan sampai mendirikan
kerajaan-kerajaan. Sampai pada lahirnya Nabi Muhammad, daerah-daerah
tersebut masih merupakan kota-kota perniagaan, sebagaimana diketahui bahwa
daerah tersebut merupakan jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.
Sebagaimana masyarakat badui, penduduk daerah ini juga mahir bersyair.
Biasanya, syair-syair dibacakan di pasar-pasar, semacam pagelaran pembacaan
syair, seperti yang terjadi di pasar ukaz. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan,
tata bahasa dan kiasan.16
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di
antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian.
Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan
kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan
minimnya moralitas.17
15
Gustav Leboun, Hadarat al-‘Arab, Kairo: Matba‘ah ‘Isa al-Babi al-Halabi,
hal. 72.
16
Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hal. 12.
17
http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/masa-nabi-muhammad-saw-pada-
periode.html, diunduh 29 September 2021.
D. AGAMA BANGSA ARAB PRA-ISLAM
Faktor alam merupakan satu hal yang dapat mempengaruhi kehidupan
beragama pada suatu bangsa. Hal itu dapat dibuktikan oleh penyelidik-penyelidik
ilmiah yang menunjukkan bahwa Jazirah Arab dahulunya subur dan makmur.
Karena faktor alam itu pula boleh jadi rasa keagamaan telah timbul pada bangsa
Arab semenjak lama. Semangat keagamaan yang amat kuat pada bangsa Arab
itulah yang menjadi dorongan mereka untuk melawan dan memerangi agama
Islam di saat Islam datang. Mereka memerangi agama Islam karena mereka amat
kuat berpegang dengan agama mereka yang lama yaitu kepercayaan yang telah
mendarah daging pada jiwa mereka. Andai kata mereka acuh tak acuh dengan
agama, tentu mereka membiarkan agama Islam berkembang, tetapi kenyataannya
tidak demikian. Agama Islam mereka perangi mati-matian sampai mereka kalah.
Sampai saat ini pun bangsa Arab, baik dia seorang ulama atau tidak,
terhadap agamanya mereka sangat bersemangat. Agama itu disiarkan serta dibela
dengan sekuat tenaganya. Semangat beragama mereka umumnya bersifat kulitnya
saja. Adapun ibadah dan praktik-praktik keagamaan sering ditinggalkan oleh Arab
Badui. Watak mereka yang amat mencintai hidup bebas dari keterikatan menjadi
sebab mereka ingin bebas dari aturan agama. Mereka sudah lama merasa bosan
dan kesal terhadap agamanya karena dianggap sebagai pengikat kemerdekaannya
sehingga selalu menyelewengkan agama mereka sendiri.28
Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme,
Yahudi, dan Kristen merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Pagan adalah
agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada
di sekitar Ka’bah. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: sanam,
wathan, nusub, dan hubal.
27
Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi,
Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri, 1994, Jakarta: Ilmu Jaya,
hal. 10.
28
http://sejarahperadabanislam77.blogspot.com/2013/05/kehidupan-bangsa-arab-
sebelum- datangnya.html, diunduh 30 September 2021.
Sanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga
dibuat dari batu. Nusub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal
berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling
besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru
jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara- cara
ibadahnya sendiri-sendiri.29 Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur
ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik,
baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi
yang muncul di Syiria dan Mesir.30
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama
di atas adalah Hanifiyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim
yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala- berhala,
juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan
Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah
Hanifiyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke
berbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib,
Taif, dan Mekah.31
29
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, 2011.
Jakarta; Litera Antar Nusa, hal. 19-20.
30
M.M. al-A‘zamī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, 2005.
Jakarta: Gema Insani, hal. 23.
35
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, 2003.
Yogyakarta: LKiS, hal. 15-16.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari paparan diatas, dapat kita simpulkan bahwa:
1. Masa sebelum kedatangan Islam dikenal dengan zaman jahiliyah. Dalam
Islam, periode jahiliyah dianggap sebagai suatu kemunduran dalam
kehidupan beragama.
2. Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut berbagai macam
agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup.
3. Negeri Yaman adalah tempat tumbuh kebudayaan yang amat penting yang
pernah berkembang di Jazirah Arab sebelum Islam datang.
4. Perekonomian orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada
perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian.
5. Masa Jahiliyah bukan berarti masa dimana Bangsa Arab yang belum
mengetahui apapun. Namun masa ketika kemajuan peradaban Bangsa Arab
tanpa disertai kemajuan moralnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Fadil, SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah, 2008,
Malang: UIN Malang Press.
Gustav Leboun, Hadarat al-‘Arab, Kairo: Matba‘ah ‘Isa al-Babi al-Halabi.
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, 2003.
Yogyakarta: LKiS.
Press.