PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat manusia
mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal bahwa sumber ajaran
islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah yang sangat lengkap.
Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran yang bersifat
pedoman pokok dan global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi
oleh Sunnah secarakomprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang
sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Dilihat dari fungsinya ijtihad berperan sebagai penyalur kretifitas pribadi atau
kelompok dalam merespon peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka.
Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang zhanni al-wurud atau
zhanni ad-dalalah. Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan ruh islam dan berperan sebagai
penyalur kretifitas pribadi.
Dalam ranah historis, ijtihad menjadi sebuah perangkat metodologis yang indentik
dengan proses pengambilan keputusan hokum. Sedangkan Ijtihad dalam pendidikan harus
tetap bersumber dari Al-qur’an dan sunnah yang di olah oleh akal yang sehat dari para ahli
pendidikan islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung
dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori
pendidikan baru hasil ijtihad harus di kaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
3
D. Sistematika Penulisan
Bab III adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad secara harfiah (lugawi;etimologi) berasal dari kata Al Jahd yang berarti usaha
keras, tekun, atau sungguh-sungguh. Kata Al Jahd mempunyai implikasi pada masalah-
masalah yang didalamnya terdapat unsur memberatkan atau menyulitkanh, dan tidak tepat
jika digunakan pada masalah-masalah berimplikasi ringan dan mudah. Al Jahd mengandung
arti badzlu Al-was’i wa Al-Thaqati “mencurahkan kemampuan atau upaya sungguh-
sungguh” seperti yang terdapat pada surat an-Nuur (24) ayat 53:
Artinya :
Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu suruh
mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: "Janganlah kamu bersumpah,
(karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang sudah dikenal. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
في ال َّش ِر ْي َع ِة ِ َع َملِيَّةُ ا ْستِ ْنبَا ِط ْاألَحْ َك ِام ال َّشرْ ِعيَّ ِة ِم ْن اَ ِدلَّتِهَا التَّ ْف
ِ ص ْيلِيَّ ِة
Artinya : “Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil
terperinci dalam syariat”
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar
fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’
(agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para
fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih.
Sedangkan pemgertian ijtihad menurut para ahli yaitu :
2. Menurut Mayoritas Ulama Ushul ialah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang
ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhann mengenai sesuatu hukum
syara’, ini menunjukkan bahwa fungsi ijtihad yaitu untuk mengeluarkan hukum syara’ amaliy
statusnya zhaanny. Dengan demikian Ijtihad tidak berlaku dibidang akidah dan akhlak.
5
3.Menurut Hanafi, Pengertian Ijtihad adalah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk
menemukan hukum agama (Syara’) melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara
tertentu.
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.
Artinya :
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri
di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat
Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu).
6
3. Firman Allah dalam Surat an-Nisa:105
Artinya :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,
dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat.
ُاب فَلَه
َ صَ َ إِ َذا َح َك َم ال َحا ِك ُم فَاجْ تَهَ َد ثُ َّم أ: صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم يَقُوْ ُل
َ ض َي هللاُ َع ْنهُ أَنَهُ َس ِم َع َرسُوْ ُل هللا ِ اص َر ِ َوع َْن َع ْم ِرو ْب ِن ْال َع
]6[ َ
ٌ َ ُمتَّف. أَجْ َرا ِن َوإِ َذا َح َك َم فَاجْ تَ َح َد ثُ َّم أَ ْخطَأ َ فَلَهُ أَجْ ٌر
ق َعليْه
Artinya :
Dan dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad
dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua pahala . Jika ia bergegas memutus
perkara tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya salah , maka ia mendapat satu
pahala” (HR. Asy-Syafi’i dari Amr bin ‘Ash).
C. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
a. Imam ghozali mensyaratkan terhadap seorang mujtahid ada dua hal, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Seorang mujtahid harus mengetahui tentang hukum-hukum syara’, tidak hanya itu,
seorang mujtahid juga di tuntut untuk mendahulukan sesuatu yang wajib di dahulukan dan
mengakhirkan sesuatu yang wajib di akhirkan.
2. Seorang mujtahid harus adil dan juga harus menjauhi perbutan maksiat yang bisa
menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid. Syarat ini bisa untuk menjadi pegangan oleh
para mujtahid, tapi kalau seorang mujtahid tidak adil maka hasil ijtihadnya tidak sah atau
tidak boleh untuk di jadikan sebuah pegangan oleh orang awam.
b. Imam As-Syatiby : seorang yang ingin mencapai derajat mujtahid harus bisa memenuhi
dua syarat di bawah ini:
7
c. Sayf al-Din al-Amidi seorang mujtahid harus memenuhi beberapa syarat di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Seorang mujtahid harus mukallaf, iman kepada allah SWT dan rosululloh SAW.
2. Seorang mujtahid harus bisa memahami dan mengerti tentang hukum syariat islam
serta dalil yang menunjukan pada keabsahan hukum syariat tersebut.
Selain dari pendapat 3 ulama terkemuka tersebut para ulama ushul fiqih juga telah
menetapkan syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang mujtahid sebelum melakukan
ijtihad diantaranya adalah sebagai berikut:
8
9. Niat dan I’tiqad yang benar.
Seorang mujtahid harus niat ikhlas dengan mencari ridho allah SWT, hal ini di
sebabkan karena seorang mujtahid yang mempunyai niat tidak ikhlas sekalipun daya
pikirnya tinggi, maka peluang untuk membelokan jalan pikirannya sangat besar sehingga
berakibat kesalahan produk ijtihadnya.
D. BENTUK IJTIHAD
1. Ijtihad Fardi
Yaitu Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau beberapa orang tak ada
keterangan bahwa semua mujtahid lainnya menyetujuinya dalam suatu perkara.
Ijtihad semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh rasul kepada Muaz ketika
menggutus beliau untuk menjadi qadhi di yaman dan sesuai pula yang pernah dilakukan
Umar bin khatap kepada Abu Musa Al-Asyary, kepada Syuraikh dimana beliau (Umar)
dengan tegas mengatakan kepada Syuraikh yang artinya:
“Apa-apa yang belum jelas bagimu didalam as-sunah maka berijtihadlah padanya dengan
menggunakan daya pikiranmu.”
2. Ijtihad Jami’i
Yaitu setiap Ijtiihad yang dilakukan oleh para mujtahid untuk menyatukan pendapat-
pendapatnya dalam suatu masalah .Terdapat korelasi diantara keduanya bahawa tidak
mungkin akan terjadinya Ijtihad Jama’i apabila tidak dilakukan terlebih dahulu ijtihad yang
bersifat Fardi. Karena Ijtihad Jama’I itu adalah suatu metode ijtihad yang dilakukan untuk
menyatukan semua pendapat yang dihasilkan dari ijtihad Fardi tersebut, dan mencari titik
temu dari semua perbezaan tersebut sebagaimana yang diutarakan diatas. [9] Ijtihad semacam
ini yang dimaksud oleh hadist Ali pada waktu beliau menanyakan kepada rasul tentang
urusan yang menimpa masyarakat tidak diketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunah.
Ketika itu nabi bersabda yang artinya :
“Kumpulkanlah untuk menghadapi masalah itu orang-orang yang berilmu dari masing-
masing orang mu’min dan jadikanlah hal ini masalah yang dimusyawarahkan diantara
kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang.”
(HR. Ibnu Abd barr)
Disamping itu Umar juga pernah berkata kepada Syuraikh yang artinya :
9
Diriwayatkan oleh Maimun bin Mihran bahwasanya Abu bakar dan Umar apabila
keduanya menghadapi sesuatu hal yang tidak ada hukumnya didalam Al-Qur’an dan sunah
maka keduanya mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan menanyakan pendapat-pendapat
mereka. Apabila mereka telah menyepakati sesuatu pendapat merekapun menyelesaikan hal
itu dengan pendapat itu.
E. METODOLOGI ISLAM
1. METODE INTERPRETASI LINGUISTIK
Metode interpretasi linguistik merupakan metode penemuan hukum yang beroperasi
dengan melakukan interpretasi terhadap teks-teks Al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian,
metode linguistik digunakan terkait dengan kasus-kasus yang sudah ada teks hukumnya,
namun teks hukum tersebut masih kabur (tidak jelas), karena di dalamnya terdapat ayat-ayat
hukum yang mutashābih. Pola kajian yang digunakan dalam metode intepretasi linguistik
menghasilkan empat taksonomi pernyataan hukum dari teks-teks hukum, yaitu: Pertama, dari
segi tingkat kejelasannya. Kedua, dari segi pola-pola penunjukkan kepada hukum yang
dimaksudkan. Ketiga dari segi luasan maupun sempitnya cakupan pernyataan hukum.
Keempat, dari segi bentuk-bentuk formula taklif dalam pernyataan.
2. METODE KAUSASI
Metode kausasi merupakan metode penemuan hukum yang penting karena berupaya
mengkonstruksi hukum terhadap kasus-kasus yang tidak ada teks hukumnya. Metode kausasi
berupaya untuk menyelidiki pondasi yang menjadi dasar tegaknya hukum Islam. Dalam hal
ini, metode kausasi ini kemudian dikategorikan menjadi dua model, yaitu yang mendasari
adanya hukum pada illat, dan yang mendasari adanya hukum pada maqāsid al-sharī‟ah.
3. METODE PENYELARASAN
10
F. MODEL-MODEL IJTIHAD DALAM KHAZANAH ISLAM
Model ijtihad yang pernah ada bisa dieksplorasi dan digunakan sebagai suatu proses
berkelanjutan dalam upaya menetapkan suatu keputusan hukum islam, baik pada masa awal
sejarah islam maupun hingga sekarang
a. Ijtihad Rasionalis-Individualis
Ijtihad, atau usaha intelektual yang bersifat individual, merupakan kekuatan penting
dalam mengartikulasikan dan menafsirkan hokum Islam, atau syariat. Ijtihad merupakan term
teknis didalam hukum islam, didalam makana yang terbatas, digunakan untuk metode
penalaran dengan analogi.
Ahmad Hasan juga menegaskan bahwa ijtihad atau proses pemikiran serta penafsiran
ulang hokum secara independen pada priode awal digunakan dengan pengertian yang lebih
sempit dan khusus dibandingkan yang digunakan pada masa Asy-Syafi’I dan sesudahnya .
Ijtihad mengandung arti “ pertimbangan bijaksana yang adil atau pendapat seorang ahli”.
b. Ijtihad Tekstualis-Skriptualis
Cara berijtihad Imam Malik, seperti yang dikutip Thaha jabir Fayadl al- Ulwani, dapat
diringkas sebagai berikut:
Mengambil dari al-Qur’an
Menggunakan zhahir al-Qur’an, yaitu lafal yang umum
Menggunakan dalil al-Qur’an, yaitu mafhum al-muwafaqah
Menggunakan mahfum al-Qur’an, yaitu mahfum mukhalafah
Menggunakan tanbij al-Qur’an, yaitu memperhatikan ‘illah.
11
c. Ijtihad Transformatif – Humanitis
Setelah abad ke-18, orientasi baru pemikiran ijtihad mengalami pergeseran paradigma
yang cukup signifinikan. Hal ini ditandai dengan tuntutan modernitas yang melanda
masyarakat Islam. Sebagai respons terhadap modernitas itu, para pemikir Islam modern
merumuskan gagasan pembaharuan pemikiran islam dan cara pandang baru terhadap dunia.
Munculnya respons ini tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang dibawa modernitas, yang dalam
banyak hal mulai menggeser tradisi kehidupan sebelumnya.
Perlunya pemikiran yang transformatif tersebut tercermin dari berbagai usaha yang
dilakukan oleh para pembaharu abad ke -18 dan seterusnya.
Ada tiga hal pokok yang berkembang pada waktu itu sehubungan dengan hukum
Islam. Pertama, begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban hokum
secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam al-Qur‟an maupun penjelasan dari
Sunnah Nabi. Kedua, timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan
hukumnya dalam al-Qur‟an maupun Sunnah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan
tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan
persoalan yang tengah dihadapi. Ketiga, yakni dalam al-Qur‟an ditemukan penjelasan
terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Contoh masalah: Untuk pertamakalinya
ijtihad dilakukan terhadap masalah yang pertama timbul dalam Islam, yaitu tentang siapa
pengganti Nabi Muhammad sebagai khalifah atau kepala negara setelah beliau wafat?
Menurut ijtihad sahabat dalam bentuk musyawarah, ditetapkan bahwa Abu Bakar r.a. adalah
sebagai khalifah pertama setelah melalui diskusi yang serius.
12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
2. Hasil dari ijtihad haruslah benar, tidak boleh menyimpang. Karena jika menyimpang maka
akan merugikan kalangan orang banyak.
B. SARAN
Setelah mempelajari tentang materi Ijtihad Sumber Dan Metodologi Hukum Islam ini,
ada baiknya para mahasiswa lebih memperdalam lagi pengetahuan dalam ilmu agama Islam.
Dengan begitu, jika suatu saat didalam lingkungan masyarakat menemukan permasalahan
yang perlu di ijtihadkan atau setidaknya ditemukan jalan keluarnya, yang perlu di pikirkan
secara matang tentang kebenarannya akan lebih mudah menganalisisnya karna sudah
mempunyai bekal yang banyak dalam ilmu agama. Karena jika suatu hal di ijtihadkan, maka
hasil dari ijtihadnya tersebut, hasil dari pemikiran matangnya akan suatu permasalahan, tidak
boleh salah atau menyimpang dari ajaran Islam. Disamping itu, jika hal yang di ijtihadkan
benar, sesuai dengan ajaran Islam maka kita juga akan mendapatkan kebaikan dari Allah Swt.
13
DAFTAR PUSTAKA
https://id.scribd.com/document/360803456/Ijtihad-Sumber-Dan-Metodologi-Hukum-Islam
https://ulumuna.or.id/index.php/ujis/article/view/100/90
https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3810/3286
14