Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI

Disusun oleh :
Bambang Triyadi
012012010

PRODI DIPLOMA III KEPERAWATAN


STIKES ‘AISYIYAH BANDUNG 1435 H / 2014M
I. Laporan Pendahuluan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Persarafan (Gangguan Konduksi) Epilepsi

A. PENGERTIAN
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi
berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak
dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988)
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat
reversibel (Tarwoto, 2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala- gejala
yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversible dengan
berbagai etiologi. Serangan ini ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dan
menghilang secara tiba- tiba pula (Mansjoer Arief, 1999).
Menurut Smeltzer (2001) pengertian epilepsi adalah gejala kompleks
dari banyak gangguan fungsi otak berat yang dikarakteristikan oleh
kejang berulang

B. ETIOLOGI

Menurut (Mansjoer, 2000), penyebab epilepsi antara lain :

1. Idiopatik: sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi pada anak
adalah epilepsi idiopatik.
2. Faktor herediter: ada beberapa penyakit yang bersifat
herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberosa,
neurofibriomatosis, angiomatosis ensepalo- trigeminal, fenilketonuria,
hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
3. Faktor genetik: pada kejang demam dan breath holding spells
4. Kelainan kongenital otak: atropi, forensepali, agenesis korfus kalosum.
5. Gangguan metabolik: Hipoglikemia, hipokalsimia, hiponatremia,
hipernatremia.
6. Infeksi: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
selaputnya, toksoplasmosis.
7. Trauma: Kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural.
8. Neoplasma otak dan selaputnya.
9. Kelainan pembuluh darah, mal formasi, penyakit kolagen.
10. Keracunan: timbal (Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air.
11. Lain-lain: penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon, degenerasi
serebral.

C. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian
berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan
mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain
melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.
Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat
lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan
oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari
fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-
neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada
keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya
akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti
pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan
otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum
yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya
influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar
membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan
yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus
kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang
berikut:
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses
berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan;
kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang.

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik
(aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-
bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit
kepala dan sebagainya)
5. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik
khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa
yang tidak normal seperti pada keadaan normal
8. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan
terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus
tersebut lewat
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara
secara tiba- tiba
10. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya
menendang- menendang
11. Gigi geliginya terkancing
12. Hitam bola matanya berputar- putar
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil

E. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan
diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis
serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan
menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta
beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
 Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang
terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi
potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca
ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter.
 Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat
memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke
dalam membran sinaptik.
 Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik,
sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan
GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl-
pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang potensial
penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital
menambah waktu buka jalur Cl- dan menambah lamanya letupan saluran
Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin dan karbamazepin,
fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh Na .
Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan
cara memblokade saluran Ca peka voltase.
 Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat
GABA-transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim
pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase.
 Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat
saluran Na peka voltase, dapat menambah pelepasan GABA.
 Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.
 Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari
GABA.11
 Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-
nya.Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat
akan efek jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin,
fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan
osteopenia, osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat
menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da kontraktur
Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat
dapat menyebabkan polikistik ovari dan hiperandrogenisme.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di
otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan setelah
kejang demam pertama pada bayi.
a. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
b. Mengalami complex partial seizure
c. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam
sebelumnya)
d. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
e. Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga
sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda
peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan
infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah
menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi,
karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk
dilakukan.
2. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan
gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang
demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis.
Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat
kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat
memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang.
Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang
demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya
kejang demam atau risiko epilepsi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,
magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam,
bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan
dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang
baru terjadi untuk pertama kalinya.

F. KOMPLIKASI
1. Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul akibat
kejang yang berulang
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas ( Elizabeth, 2001 : 174 )
A. Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan
respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari
individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat
mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga
status keehatan menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah.
(Nursalam, 2001).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan
epilepsi menurut Widagdo, wahyu. 2008, Arif, Muttaqin. 2011, Fransisca
B. Batticaca. 2012 adalah:
1. Nyeri akut b.d nyeri kepala sekunder respons pascakejang
(Postikal).
2. Resiko cedera b.d kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi
dan cara penanganan saat kejang serta penurunan tingkat
kesadaran.
3. Kecemasan b.d kejang berulang, penyakit yang diderita.
4. Koping individu tidak efektif b.d depresi akibat epilepsi, stigma
sosial yang berkaitan dengan epilepsi, penyakit yang kronis.
5. Kurang pengetahuan b.d baru pertama didiagnosa, seringnya
aktifitas kejang, status perkembangan dan usia.
6. Defisit perawatan diri b.d kebingungan, malas bangun sekunder
respons pascakejang (postikal).

Anda mungkin juga menyukai