Anda di halaman 1dari 11

Teori Kepribadian Psikoanalitik

Sigmund Freud
Biografi Singkat Sigmund Freud
Sigmund Freud lahir pada tahun 1856 di Freiberg, Moravia, yang kini jadi bagian dari
Republik Ceko. Freud adalah anak sulung dari Jacob dan Amalie Nathanson Freud, meskipun
sang ayah telah memiliki dua anak laki-laki dewasa, Emanuel dan Phillipp, dari pernikahan
sebelumnya. Jacob dan Amalie Freud mempunyai tujuh anak lagi dalam kurun waktu
sepuluh tahun, tetapi Sigmund selalu menjadi kesayangan ibunya, yang masih belia serta
memanjakan, yang secara tidak langsung membuat dirinya berkembang menjadi pribadi
yang percaya diri sepanjang hidup. Sebagai remaja yang serab serius dan anak sekolahan,
Freud tidak memiliki persahabatan yang erat dengan adik-adiknya. Akan tetapi ia menikmati
hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang dengan ibunya sehingga di tahun-tahun
berikutnya ia melihat hubungan ibu dan anak sebagai hubungan yang paling sempurna dan
paling jelas di antara semua hubungan antar manusia.
Freud terpikat oleh bidang kedokteran bukan karena ia jatuh cinta dengan praktik
kedokteran, tetapi karena ia memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang sifat manusia. Ia
masuk ke Sekolah Kedokteran Universitas Wina tanpa berniat untuk mempraktikkan
kedokteran. Ia justru lebih tertarik mengajar dna melakukan penelitian fisiologi, yang ia
lanjutkan sekalipun ia telah lulus dari Institut Fisiologi di Universitas tersebut.

Pandangan tentang Sifat Manusia


Pandangan Freudian tentang sifat manusia pada dasarnya pesimistik, deterministik,
mekanistik, dan reduksionistik. Menurut Freud, manusia dideterminasi oleh kekuatan-
kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-
dorongan biologis dan naluriah, dan oleh peristiwa-peristiwa psikoseksual yang terjadi
selama enam tahun pertama dari kehidupan.
Manusia dipandang sebagai sistem-sistem energi. Menurut pandangan Freudian
yang ortodoks, dinamika kepribadian terdiri dari cara-cara energi psikis dibagikan kepada id,
ego, dan superego. Karena energi psikis itu terbatas, maka satu sistem memegang kendali
atas energi yang tersedia sambil mengorbankan dua sistem yang lainnya. Tingkah laku
dideterminasi oleh energi psikis ini.
Freud juga menekankan pada naluri-naluri. Meskipun awalnya ia menggunakan
istilah libido untuk menunjuk kepada energi seksual, istilah tersebut kemudian diperluas
dengan memasukkan energi dalam semua naluri kehidupan. Naluri ini dapat digunakan
sebagai kelangsungan hidup individu dan umat manusia; mereka berorientasi pada
pertumbuhan, perkembangan, dan kreativitas. Libido, kemudian, harus dipahami sebagai
sumber motivasi yang meliputi energi seksual, tetapi juga melampaui itu. Freud
memasukkan semua tindakan yang menyenangkan dalam konsep tentang naluri kehidupan;
ia melihat bahwa banyak tujuan hidup untuk mendapatkan kesenangan dan menghindari
rasa sakit. Manusia memiliki naluri-naluri kehidupan maupun naluri-naluri kematian.
Menurut Freud, tujuan segenap kehidupan adalah kematian; kehidupan tidak lain adalah
jalan melingkar ke arah kematian.

Struktur Kepribadian
Menurut pandangan psikoanalitik, struktur kepribadian terdiri dari tiga sistem yakni id, ego,
dan superego. Ketiganya adalah nama bagi proses-proses psikologis dan jangan dipikirkan
sebagai agen-agen yang secara terpisah mengoperasikan kepribadian; merupakan fungsi-
fungsi kepribadian sebagai keseluruhan ketimbang sebagai tiga bagian yang terasing satu
sama lain. Id adalah komponen biologis, ego adalah komponen psikologis, sedangkan
superego adalah komponen sosial.
Id. Id adalah sistem kepribadian yang orisinil; kepribadian setiap orang hanya terdiri dari
id ketika dilahirkan. Id merupakan tempat bersemayam naluri-naluri. Id kurang
terorganisasi, buta, menuntut, dan mendesak. Seperti kawah yang terus mendidih dan
bergolak, id tidak dapat menoleransi tegangan, dan bekerja untuk melepaskan tagangan itu
sesegera mungkin serta untuk mencpaai keadaan homeostatik. Dengan diatur oleh asas
kesenangan yang diarahkan pada pengurangan tegangan, penghindaran kesakitan, dan
perolehan kesenangan, id bersifat tidak logis, amoral, dan didorong oleh satu kepentingan
yakni memuaskan kebutuhan-kebutuhan naluriah sesuai dengan asas kesenangan. Id tidak
pernah matang dan selalu menjadi anak manja dari kepribadian, tidak berpikir, hanya
menginginkan atau bertindak. Id bersifat tak sadar.
Ego. Ego memiliki kontak dengan dunia eksternal dari kenyataan. Ego adalah eksekutif
dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan, dan mengatur. Sebagai “polisi lalu
lintas,” tugas utama ego adalah mengantarai naluri-naluri dengan lingkungan sekitar. Ego
mengendalikan kesadaran dan melaksanakan sensor. Denga diatur oleh asas kenyataan, ego
berlaku realistis dan berpikir logis serta merumuskan rencana-rencana tindakan bagi
pemuasan kebutuhan-kebutuhan. Apa hubungan antara ego dan id? Ego adalah tempat
bersemayam intelegensi dan rasionalitas yang mengawasi dan mengendalikan implus-
implus buta dari id. Sementara id hanya mengenal kenyataan subjektif, ego
memperbedakan bayangan-bayangan mental dengan hal-hal yang terdapat di dunia
eksternal.
Superego. Superego adalah cabang moral atau hukum dari kepribadian. Superego
adalah kode moral individu yang urusan utamanya adalah apakah suatu tindakan baik atau
buruk, benar atau salah. superego merepresentasikan hal-hal yang ideal dari yang nyata dan
mendorong bukan sekedar kesenangan melainkan kepada kesempurnaan. Superego
merepresentasikan nilai-nilai tradisional dan ideal-ideal masyarakat yang diajarkan oleh
orang tua kepada anak. Superego berfungsimenghambat implus-implus id, kemudiansebagai
internalisasi standar-standar orang tua dan masyarakat, superego berkaitan dengan
imbalan-imbalan dan hukuman-hukuman. Imbalan-imbalannya adalah perasaan bangga dan
mencintai diri, sedangkan hukuman-hukumannya ialah perasaan berdosa dan rendah diri.
Kesadaran dan Ketidaksadaran
Mungkin sumbangan-sumbangan terbesar Freud adalah konsep-konsepnya tentang
kesadaran dan ketidaksadaran yang merupakan kunci-kunci untuk memahami tingkah laku
dan masalah-masalah kepribadian. Ketidaksadaran tidak dapat dipelajari secara langsung ia
dapat dipelajari dari tingkah laku. Pembuktian klinis guna membuktikan konsep
ketidaksadaran mencakup: (1) mimpi-mimpi, yang merupakan representasi-representasi
simbolik dari kebutuhan-kebutuhan, hasrat-hasrat, dan konflik-konflik tidak sadar; (2) salah
ucap atau lupa, misalnya terhadap nama yang dikenal; (3) sugesti-sugesti pascahipnotik; (4)
bahan-bahan yang berasal dari teknik-teknik asosiasi bebas; (5) bahan-bahan yang berasal
dari teknik proyektif; dan (6) isi simbolik gelaja psikotik.
Bagi Freud, kesadaran merupakan bagian terkecil dari keseluruhan jiwa. Seperti
gunung es yang mengapung yang bagian terbesarnya berada di bawah permukaan air,
bagian jiwa yang terbesar berada di bawah permukaan kesadaran. Ketidaksadaran itu
menyimpang pengalaman-pengalaman, ingatan-ingatan, dan bahan-bahan yang direpresi.
Kebutuhan-kebutuhan dan motivasi-motivasi yang tidak dapat dicapai - yakni terletak di luar
kesadaran – juga berada di luar daerah kendali. Freud juga percaya bahwa sebagaian besar
fungsi psikologis terletak di luar kawasan kesadaran. Oleh karena itu, sasaran terapi
psikoanalitik adalah membuat motif-motif tak sadar menjadi disadari, sebab hanya ketika
menyadari motif-motifnyalah individu dapat melaksanakan pilihan. Pemahaman terhadap
peran ketidaksadaran itu penting guna menangkap esensi model tingkah laku psikoanalitik.
Meskipun di luar kesadaran, ketidaksadaran mempengaruhi tingkah laku. Proses-proses
tidak sadar adalah akar segenap gejala dan tingkah laku neurotik. Dari perspektif ini,
“penyembuhan” adalah upaya menyikapi makna gejala-gejala, sebab-sebab tingkah laku,
dan bahan-bahan yang merintangi fungsi psikologis yang sehat.

Kecemasan
Hal yang juga esensial untuk memahami pandangan psikoanalitik tentang sifat manusia
adalah memahami konsep kecemasan. Kecemasan adalah suatu keadaan tegang yang
memotivasi kita untuk melakukan sesuatu. Fungsinya adalah memperingatkan adanya
ancaman bahaya – yakni sinyal bgai ego yang akan terus meningkat jika tindakan-tindakan
yang layak untuk mengatasi ancaman bahaya itu tidak diambil. Apabila tidak dapat
mengendalikan kecemasan melalui cara-cara yang rasional dna langsung, maka ego akan
mengandalkan cara-cara yang tidak realistis, yakni tingkah laku yang berorientasi pada
pertahanan ego.
Ada tiga macam kecemasan: kecemasan realistis, kecemasan neurotik, dna
kecemasan moral. Kecemasan realistik adalah ketakutan terhadap bahaya dari dunia
eksternal, dan taraf kecemasannya sesuai dengan derajat ancaman yang ada. Kecemasan
neurotik adalah ketakutan terhadap tidak terkendalinya naluri-naluri yang menyebabkan
seseorang melakukan suatu tindakan yang dapat mendatangkan hukuman bagi dirinya.
Kecemasan moral adalah ketakutan terhadap hati nurani sendiri. Orang yang hati nuraninya
berkembang baik cenderung merasa berdosa apabila dia melakukan sesuatu yang
berlawanan atau bertentangan dengan kode moral yang dimilikinya.

Mekanisme Pertahanan Ego


Mekanisme-mekanisme pertahanan ego membantu individu mengatasi kecemasan dan
mencegah terlukanya ego. Mekanisme-mekanisme pertahanan ego itu tidak selalu
patologis, dan dapat memiliki nilai penyesuaian jika tidak menjadi suatu gaya hidup untuk
menghindari kenyataan. Mekanisme-mekanisme pertahanan yang digunakan oleh individu
bergantung pada taraf perkembangan dan derajat kecemasan yang dialaminya. Mekanisme-
mekanisme pertahanan sama-sama memiliki dua ciri: menyangkal atau mendistorsi
kenyataan, dan beroperasi pada taraf tak sadar. Teori Freud adalah model pengurangan
ketegangan atau sistem homeostatis. Mekanisme-mekanisme pertahanan ego yang
dikemukakan oleh Freud antara lain:
 Represi
Represi menjadi basis pertahanan ego dari gangguan-gangguan neurotik dengan cara
melupakan isi kesadaran traumatis atau mendorong kenyataan yang tidak dapat
diterima kepada ketidaksadaran, untuk tidak menyadari hal-hal yang menyakitkan.
 Penyangkalan
Penyangkalan merupakan bentuk pertahanan, yang mana ego berusaha menutup
mata dari kenyataan yang mengancam.
 Formasi Reaksi
Formasi reaksi yaitu melakukan tindakan yang berlawanan dengan hasrat-hasrat tak
sadar. Apabila perasaan-perasaan yang lebih dalam menimbulkan ancaman, maka
orang akan menampilkan tingkah laku yang berlawanan guna menyangkal perasaan-
perasaan yang menimbulkan ancaman itu. Seorang ibu yang membenci anaknya
mencoba menunjukkan kasih sayang yang berlebihan, hanya untuk menutupi
kebencian dan perasaan-perasaan negatifnya.
 Proyeksi
Proyeksi adalah mengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego
kepada orang lain.
 Pengalihan
Pengalihan adalah mengarahkan energi kepada objek atau orang lain apabila objek
asal atau orang yang sesungguhnya tidak dapat dijangkau. Seorang anak yang marah
kepada orang tuanya, kemarahannya itu dialihkan dengan menendang adiknya atau
binatang piaraannya.
 Rasionalisasi
Rasionalisasi adalah menciptakan alasan-alasan yang baik guna menghindarkan ego
dari cidera atau memalsukan diri sehingga kenyataan yang mengecewakan menjadi
tidak terlalu menyakitkan. (Atau lebih tepat disebut sebagai kamuflase)
 Sublimasi
Sublimasi adalah cara menemukan jalan keluar yang lebih aman untuk menutupi
kecemasan dan kekurangannya yang secara sosial agar lebih dapat diterima oleh
orang banyak. Anak laki-laki yang berperilaku seperti wanita dapat menyalurkan
minatnya ke bidang olah raga fitnes, sehingga menemukan identitas diri yang
sebenarnya bagi pengungkapan perasaan agresifnya sebagai pria sejati.
 Regresi
Regresi adalah melangkah mundur ke fase perkembangan yang lebih awal yang
tuntutannya tidak terlalu besar. Anak yang takut kesekolah, mengisap jarinya, ketika
adiknya lahir, ia minta pada ibunya botol susu atau dot untuk ngedot.
 Introyeksi
Introyeksi merupakan upaya mengadopsi nilai-nilai luar yang dianggapnya cocok dan
baik bagi dirinya.
 Identifikasi
Meskipun identifikasi merupakan bagian dari proses perkembangan di mana anak-
anak belajar tentang peran dan perilaku, itu juga dapat menjadi reaksi defensif.
Identifikasi dapat meningkatkan harga diri dan melindungi dari keyakinan sebagai
orang yang mengalami kegagalan. Dengan demikian, orang-orang yang merasa
rendah diri pada dasarnya dapat mengidentifikasi dirinya sebagai orang yang sukses,
dengan harapan mereka akan dianggap sebagai yang berharga oleh orang lain.
 Kompensasi
Kompensasi terdiri dari menutupi kelemahan yang dirasakan atau mengembangkan
sifat-sifat positif tertentu untuk menebus keterbatasan. Mekanisme ini dapat
memiliki nilai adjustive langsung, dan juga dapat menjadi upaya oleh orang untuk
mengatakan, “Jangan melihat saya dengan cara dimana saya lebih rendah, tetapi
lihat saya melalui prestasi-prestasi saya.”

Perkembangan Kepribadian
Pentingnya perkembangan awal. Sumbangan yang berarti dari model psikoanalitik
adalah pelukisan tahap-tahap perkembangan psikososial dan psikoseksual individu darilahir
hingga dewasa. Kepada konselor ia menyuguhkan perangkat-perangkat konseptual bagi
pemahaman kecenderungan-kecenderungan dalam perkembangan, karakteristik, tugas-
tugas perkembangan utama dari berbagai taraf pertumbuhan , fungsi personal dan sosial
yang normal dan abnormal, kebutuhan-kebutuhan yang kritis berikut pemuasan dan
frustrasinya, sumber-sumber kegagalan perkembangan kepribadian yang mengarah pada
masalah-masalah penyesuaian di kemudian hari, serta penggunaan mekanisme-mekanisme
pertahanan ego yang sehat dan yang tidak sehat.
Menurut penulis, pemahaman terhadap pandangan psikoanalitik tentang
perkembangan adalah hal yang esensial jika seorang konselor mengangani para kliennya
secara mendalam. Penulis telah menemukan bahwa masalah-masalah yang paling khas yang
dibawa orang-orang, baik ke dalam situasi-situasi konseling individual maupun kelompok,
terdiri dari: (1) ketidakmampuan menaruh kepercayaan kepada diri sendiri dan pada orang
lain, ketakutan untuk mencintai dan untuk membentuk hubungan yang intim, dan
rendahnya rasa harga diri; (2) ketidakmampuan mengakui dan mengungkapkan perasaan-
perasaan benci dan marah, penyangkalan terhadap kekuatan sendiri sebagai pribadi, dan
kekurangan perasaan-perasaan otonom; (3) ketidakmampuan menerima sepenuhnya
seksualitas dan perasaan-perasaan seksual diri sendiri, kesulitan untuk menerima diri sendiri
sebagai pria atau wanita, dan ketakutan terhadap seksualitas. Menurut pandangan
psikoanalitik Freudian, ketiga area perkembangan personal dan sosial (cinta dan rasa
percaya, penanganan perasaan-perasaan negatif, dan pengembangan penerimaan yang
positif terhadap seksualitas) itu berlandaskan enam tahun pertama dari kehidupan. Periode
perkembangan ini merupakan landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya.

Proses Terapeutik
Tujuan-tujuan terapeutik
Tujuan terapi psikoanalitik adalah membentuk kembali struktur karakter individual dengan
jalan membuat kesadaran yang tidak disadari di dalam diri klien. Proses terapeutik
difokuskan pada upaya mengalami kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak.
Pengalaman-pengalaman masa lampau direkonstruksi, dibahas, dianalisis, dan ditafsirkan
dengan sasaran merekonstruksi kepribadian. Terapi psikoanalitik menekankan dimensi
afektif dari upaya menjadikan ketidaksadaran diketahui. Pemahaman dan pengertian
intelektual memiliki arti penting, tetapi perasaan-perasaan dan ingatan-ingatan yang
berkaitan dengan pemahaman diri lebih penting lagi.

Fungsi dan peran terapis


Karakteristik psikoanalitik adalah terapis (analis yang anonim) membiarkan dirinya anonim
serta hanya berbagai sedikit perasaan dan pengalaman sehingga klien memproyeksikan
dirinya kepada terapis. Proyeksi-proyeksi klien, yang menjadi bahan terapi, ditafsirkan dan
dianalisis.
Analisis terutama berurusan dengan usaha membantu klien dalam mencapai
kesadaran diri, kejujuran, keefektifan dalam melakukan hubungan personal, dalam
menangani kecemasan secara realistis, serta dalam memperoleh kendali atas tingkah laku
yang implusif dan irasional. Terapis terlebih dahulu harus membangun hubungan kerja
dengan klien, kemudian perlu banyak mendengar dan menafsirkan. Terapis memberi
perhatian khusus pada penolakan-penolakan klien. Sementara yang dilakukan oleh klien
sebagian besar adalah berbicara, yang dilakukan oleh terapis adalah mendengarkan dan
berusaha untuk mengetahui kapan dia harus membuat penafsiran-penafsiran yang layak
untuk mempercepat proses penyingkapan hal-hal yang tidak disadari. Terapis
mendengarkan kesenjangan-kesenjangan dan pertentangan-pertentangan pada cerita klien,
mengartikan mimpi-mimpi dan asosiasi bebasa yang dilaporkan oleh klien, mengamati klien
secara cermat selama pertemuan terapi berlangsung, dan peka terhadap isyarat-isyarat
yang menyangkut perasaan-perasaan klien terhadap terapis. Pengorganisasian proses-
proses terapeutik dalam konteks pemahaman terhadap terhadap struktur kepribadian dan
psikodinamik-psikodinamik itu memungkinkan terapis dapat merumuskan sifat
sesungguhnya dari masalah-masalah klien. Salah satu fungsi utama terapis adalah
mengajarkan arti proses-proses ini kepada klien sehingga klien mampu memperoleh
pemahaman terhadap masalah-masalahnya sendiri, mengalami peningkatan kesadaran atas
cara-cara untuk berubah dan dengan demikian memperoleh kendali yang lebih rasional atas
kehidupannya sendiri.

Pengalaman klien dalam terapi


Klien harus bersedia melibatkan diri ke dalam proses terapi yang intensif dan berjangka
waktu panjang. Setelah beberapa kali pertemuan tatap muka dengan terapis, klien
kemudian diminta berbaring melakukan asosiasi bebas, yakni mengatakan apa saja yang
terlintas dalam pikirannya. Proses asosiasi bebas ini diketahui sebagai “aturan yang
fundamental”. Saat berbaring, klien melaporkan perasaan-perasaan, pengalaman-
pengalaman, asosiasi-asosiasi, ingatan-ingatan, dan fantasi-fantasinya. Berbaring di atas
balai-balai memaksimalkan kondisi-kondisi bagi refleksi-refleksi yang mendalam dari klien,
dan mengurangi stimulus yang dapat menghambat klien dalam memperoleh hubungan
dengan konflik-konflik dan produksi-produksi internalnya.
Klien mencapai kesepakatan dengan terapis mengenai pembayaran biaya terapi,
mendatangi pertemuan terapi pada waktu tertentu, dan bersedia terlibat dalam proses yang
intensif. Klien sepakat untuk berbicara karena produksi-produksi verbal klien merupakan
esensi terapi psikoanalitik. Klien secara khusus diminta untuk tidak mengubah gaya
hidupnya selama peride terapi.
Selama proses terapi, klien bergerak melalui tahap-tahap tertentu: mengembangkan
hubungan dengan terapis, mengalami krisis treatment, memperoleh pemahaman atas masa
lampaunya yang tidak disadari, mengembangkan resistansi-resistansi untuk belajar lebih
banyak tentang diri sendiri, mengembangkan suatu hubungan transferensi dengan terapis,
memperdalam terapi, menangani resistansi-resistansi dan masalah yang tersingkap, dan
mengakhiri terapi.

Hubungan antara terapis dan klien


Hubungan klien dengan terapis dikonseptualkan dalam proses transferensi yang menjadi inti
pendekatan psikoanalitik. Transferensi mendorong klien untuk mengalamatkan pada terapis
“urusan yang tak selesai,” yang terdapat dalam hubungan klien di masa lampau dengan
orang yang berpengaruh. Proses terapi mencakup rekonstruksi klien dan menghidupkan
kembali pengalaman-pengalaman masa lampaunya. Setelah terapi berjalan dengan baik,
perasaan-perasaan dan konflik-konflik masa kanak-kanak klien mulai muncul ke permukaan
dari ketidaksadarannya. Klien mundur secara emosional. Sejumlah perasaan klien timbul
dari konflik-konflik seperti percaya vs tidak percaya, cinta vs benci, bergantung vs mandiri,
otonomi vs malu dan berdosa. Tranferensi terjadi pada saat klien membangkitkan kembali
konflik-konflik masa dininya yang menyangkut cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan, dan
dendamnya, membawa konflik-konflik itu ke saat sekarang, mengalaminya kembali, dan
menyangkutkannya pada terapis. Klien kemungkinan memandang terapis sebagai figur
kekuasaan yang menghukum, menuntut, dan mengendalikan. Klien mungkin mengalihkan,
misalnya, perasaan-perasaan yang tidak terselesaikan terhadap ayahnya yang keras dan
tidak mencintainya kepada terapis, yang di mata klien, keras dan tidak memiliki rasa cinta.
Perasaan-perasaan benci adalah hasil transferensi yang negatif, tetapi ada pula
kemungkinan klien mengembangkan transferensi yang positif terhadap terapis, misalnya,
jatuh cinta kepada terapis, atau melalui banyak cara mencoba memperoleh cinta,
penerimaan, dan persetujuan dari terapis yang sangat berkuasa. Pendek kata, terapis
menjadi pengganti orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupan klien.
Jika terapi diinginkan memiliki pengaruh menyembuhkan, maka hubungan
transferensi harus digarap. Proses penggarapan melibatkan eksplorasi oleh klien atas
kesejajaran-kesejajaran antara pengalaman masa lalu dan pengalaman masa kininya. Klien
memiliki banyak kesempatan untuk melihat cara-cara dirinya memanifestasikan konflik-
konflik inti dan pertahanan-pertahanan intinya dalam kehidupan sehari-hari. Karena dimensi
utama dari proses penggarapan itu adalah hubungan transferensi, yang membutuhkan
waktu untuk membangunnya serta membutuhkan tambahan waktu untuk memahami dan
melarutkannya, maka penggarapannya memerlukan jangka waktu yang panjang bagi
keseluruhan proses terapeutik.
Jika terapis mengembangkan pandangan-pandangan yang tidak selaras yang berasal
dari konflik-konfliknya sendiri, maka akan terjadi kontratransferensi. Kontratransferensi ini
dapat terdiri dari perasaan tidak suka atau ketertarikan dan keterlibatan yang berlebihan.
Kontratransferensi dapat mengganggu kemajuan terapi karena reaksi-reaksi dan masalah-
masalah terapis sendiri akan menghambat penanganan masalah-masalah klien. Terapis
harus menyadari perasaan-perasaannya terhadap klien, dan mencegah pengaruh-
pengaruhnya yang merusak. Terapis diharapkan agar relatif objektif dalam menerima
kemarahan, cinta, bujukan, kritik, dan perasaan-perasaan lainnya yang kuat dari klien.
Bagaimanapun, karena terapis juga manusia, dan karenanya menjadi subjek pengaruh-
pengaruh yang tidak disadari dan masalah-masalah yang tidak terpecahkan,
kontratransferensi tampaknya menjadi bagian yang tidak dapat dihindarkan dalam
hubungan terapeutik. Sebagian besar program latihan psikoanalitik mewajibkan calon
terapis untuk menjalani analisis yang intensif sebagai klien. Terapis dianggap telah
berkembang mencapai taraf di mana konflik-konflik utamanya sendiri terselesaikan, dan
karenanya dia mampu memisahkan kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalahnya sendiri
dari situasi terapi. Jika terapis tidak mampu mengatasi kontratransferensi, maka dia
dianjurkan agar kembali menjalani terapis pribadi.
Sebagai hasil hubungan terapeutik, khususnya penggarapan situasi transferensi,
klien memperoleh pemahaman terhadap psikodinamika-psikodinamika tak sadarnya.
Kesadaran dan pemahaman atas bahan yang direpresi merupakan landasan bagi proses
pertumbuhan analitik. Klien mampu memahami asosiasi antara pengalaman-pengalaman
masa lampaunya dengan kehidupan sekarang. Pendekatan psikoanalitik berasumsi bahwa
kesadaran diri dapat secara otomatis mengarah pada perubahan kondisi klien.

Aplikasi: Teknik-teknik dan prosedur-prosedur terapeutik


Teknik-teknik pada terapi psikoanalitik disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran,
memperoleh pemahaman intelektual atas tingkah laku klien, dan untuk memahami makna
berbagai gejala. Kemajuan terapeutik berawal dari pembicaraan klien kepada katarsis, ke
arah tujuan-tujuan pemahaman dan pendidikan ulang intelektual dan emosional, yang
diharapkan mengarah pada perbaikan kepribadian. Keenam teknik dasar terapi psikoanalitik
adalah (1) asosiasi bebas, (2) penafsiran, (3) analisis mimpi, (4) analisis atas resistensi, (5)
analisis atas transferensi.

Asosiasi bebas. Teknik utama terapi psikoanalitik adalah asosiasi bebas. Terapis
meminta kepada klien agar membersihkan pikirannya dari pemikiran-pemikiran dan
renungan-renungan sehari-hari, dan sedapat mungkin, mengatakan apa saja yang melintas
dalam pikirannya, betapapun menyakitkan, tolol, remeh, tidak logis, dan tidak relevan
kedengarannya. Singkatnya, dengan melaporkannya segera tanpa ada yang disembunyikan,
klien terhanyut bersama segala perasaan dan pikirannya. Cara yang khas ialah klien
berbaring di atas balai-balai sementara terapis duduk di belakangnya sehingga tidak
mengalihkan perhatian klien pada saat asosiasi-asosiasinya mengalir bebas.
Asosiasi bebas adalah suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa
lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi-situasi traumatik di masa
lampau, yang dikenal dengan sebutan katarsis. Katarsis hanya menghasilkan peredaan
sementara atas pengalaman-pengalaman menyakitkan yang dialami klien, tidak memainkan
peran utama dalam proses terapi psikoanalitik. Katarsis mendorong klien untuk
menyalurkan sejumlah perasaannya yang terdalam, dan karenanya meratakan jalan bagi
pencapaian pemahaman. Guna membantu klien dalam memperoleh pemahaman dan
evaluasi diri yang lebih objektif, terapis menafsirkan makna-makna utama dari asosiasi
bebas ini. Selama proses asosiasi bebas berlangsung, tugas terapis adalah mengenali bahan
yang dikurung dalam ketidaksadaran. Urutan asosiasi-asosiasi membimbing terapis dalam
memahami hubungan-hubungan yang dibuat oleh klien di antara peristiwa-peristiwa yang
dialaminya. Penghalangan-penghalangan atau pengacauan-pengacauan oleh klien terhadap
asosiasi-asosiasi merupakan isyarat bagi adanya bahan yang membangkitkan kecemasan.
Terapis menafsirkan bahan itu dan menyampaikannya kepada klien, membimbing klien ke
arah peningkatan pemahaman atas dinamika-dinamika yang mendasarinya, yang tidak
disadari oleh klien.

Penafsiran. Penafsiran adalah suatu prosedur dasar dalam menganalisis asosiasi-asosiasi


bebas, mimpi-mimpi, resistensi-resistensi, dan transferensi-transferensi. Prosedurnya terdiri
atas tindakan-tindakan terapis yang menyatakan, menerangkan, bahkan mengajari klien
makna-makna tingkah laku yang dimanifestasikan oleh mimpi-mimpi, asosiasi bebas,
resistensi-resistensi, dan oleh hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi penafsiran-penafsiran
adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses
penyikapan bahan tak sadar lebih lanjut. Penafsiran-penafsiran terapis menyebabkan
pemahaman dan tidak terhalanginya bahan tak sadar pada pihak klien.
Penafsiran-penafsiran harus tepat waktu, sebab klien akan menolak penafsiran-penafsiran
yang diberikan pada saat yang tidak tepat. Sebuah aturan umum adalah bahwa penafsiran
harus disajikan pada saat gejala yang hendak ditafsirkan itu dekat dengan kesadaran klien.
Dengan perkataan lain, terapis harus menafsirkan bahan yang belum terlihat oleh klien,
tetapi yang oleh klien dapat diterima dan diwujudkan sebagai miliknya. Aturan umum yang
lainnya adalah bahwa penafsiran harus berawal dari permukaan serta menembus hanya
sedalam klien mampu menjangkaunya sementara dia mengalami situasi itu secara
emosional. Aturan umum yang ketiga adalah bahwa resistensi atau pertahanan paling baik
ditunjukkan sebelum dilakukan penafsiran atas emosi atau konflik yang ada di baliknya.

Analisis mimpi. Analisis mimpi adalah sebuah prosedur yang penting untuk
menyingkap bahan yang tak disadari dan memberikan kepada klien pemahaman atas
beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan
melemah, dan perasaan-perasaan yang direpresi muncul ke permukaan. Freud memandang
mimpi-mimpi sebagai “jalan istimewa menuju ketidaksadaran,” sebab melalui mimpi-mimpi
itu hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, katakutan-ketakutan yang tidak disadari,
diungkapkan. Beberapa motivasi sangat tidak dapat diterima oleh orang yang bersangkutan
sehingga diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan secara terang-
terangan dan langsung.
Mimpi-mimpi memiliki dua taraf isi yakni laten dan manifes. Isi laten terdiri atas motif-motif
yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan
mengancam, dorongan-dorongan seksual dan agresif tak sadar yang merupakan isi laten
ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih dapat diterima, yakni impian
sebagaimana yang tampil pada si pemimpi. Proses transformasi isi laten mimpi ke dalam isi
manifes yang kurang mengancam itu disebut kerja mimpi. Tugas terapis adalah menyingkap
makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat pada isi
manifes mimpi. Selama jam terapi, terapis dapat meminta klien untuk mengasosiasikan
secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian guna menyingkap makna-makna yang
terselubung.

Analisis dan penafsiran resistensi. Resistensi, sebuah konsep yang fundamental dalam
praktik terapi psikoanalitik, adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan
mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas atau
asosiasi kepada mimpi-mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk
menghubungkan pemikiran-pemikiran, dan pengalaman-pengalaman tertentu. Freud
memandang resistensi sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai
pertahanan terhadap kecemasan yang tidak dapat dibiarkan, yang akan meningkat jika klien
menjadi sadar atas dorongan-dorongan dan perasaan-perasaannya yang direpresi itu.
Sebagai pertahanan terhadap kecemasan, resistensi bekerja secara khas dalam terapi
psikoanalitik dengan menghambat klien dan terapis dalam melaksanakan usaha bersama
untuk memperoleh pemahaman atas dinamika-dinamika ketidaksadaran klien. Karena
resistensi ditujukan untuk mencegah bahan yang mengancam memasuki ke kesadaran,
terapis harus menunjukkannya, dan klien harus menghadapinya jika dia mengharapkan
dapat menangani konflik-konflik secara realistis. Penafsiran terapis atas resistensi ditujukan
untuk membantu klien agar menyadari alasan-asalan yang ada di balik resistensi sehingga
dia dapat menanganinya. Sebagai aturan umum, terapis harus membangkitkan perhatian
klien dan menafsirkan resistensi-resistensi yang paling nampak, guna mengurangi
kemungkinan klien menolak penafsiran dan guna memperbesar kesempatan bagi klien
untuk mulai melihat tingkah laku resistifnya.
Resistensi-resistensi bukanlah hanya sesuatu yang harus diatasi. Karena merupakan
perwujudan dari pendekatan-pendekatan defensif klien yang biasa dalam kehidupan sehari-
harinya, resistensi-resistensi harus dilihat sebagai alat bertahan terhadap kecemasan, tetapi
menghambat kemampuan klien untuk mengalami kehidupan yang lebih memuaskan.

Analisis dan penafsiran transferensi. Sama halnya dengan resistensi, transferensi


merupakan inti dari terapi psikoanalitik. Transferensi memanifestasikan dirinya dalam
proses terapeutik ketika “urusan yang tak selesai” di masa lampau klien dengan orang-orang
yang berpengaruh menyebabkan dia mendistorsi masa sekarang dan bereaksi terhadap
terapis sebagaimana dia bereaksi terhadap ibu atau ayahnya. Sekarang, dalam hubungannya
dengan terapis, klien mengalami kembali perasaan-perasaan menolak dan membenci
sebagaimana yang dulu dirasakannya terhadap orang tuanya. Sebagian besar terapis
psikoanalitik menekankan bahwa pada akhirnya klien harus mengembangkan “neurosis
transferensi” itu, sebab neurosis yang dialami klien bersumber pada enam tahun pertama
kehidupannya, dan sekarang dia seacar tidak semestinya membawa neurosis itu ke masa
dewasa sebagai kerangka hidupnya. Proses terapi membangkitkan neurosis transferensi
dengan kenetralann, keobjektifan, keanoniman, dan kepasifannya yang relatif.
Analisis transferensi adalah teknik yang utama dalam psikoanalisis, sebab mendorong klien
untuk menghidupkan kembali masa lampaunya dalam terapi. Ia memungkinkan klien
mampu memperoleh pemahaman atas sifat dari fiksasi-fiksasi dan deprivasi-deprivasinya,
dna menyajikan pemahaman tentang pengaruh masa lampau terhadap kehidupannya
sekarang. Penafsiran hubungan transferensi juga memungkinkan klien mampu menembus
konflik-konflik masa lampau yang tetap dipertahankannya hingga sekarang dan yang
menghambat pertumbuhan emosionalnya. Singkatnya, efek-efek psikopatologis dari
hubungan masa dini yang tidak diinginkan, dihambat oleh penggarapan atas konflik
emosional yang sama yang terdapat dalam hubungan terapeutik dengan terapis.

Anda mungkin juga menyukai