Keheningan Atma Tattwa Kesadaran Atma
Keheningan Atma Tattwa Kesadaran Atma
Selama lebih dari jangka waktu seribu tahun, Tahun Baru Saka
diselenggarakan dengan cara Nyepi [keheningan].
Kenyataan sejati dari semua mahluk adalah Atma. Kenyataan sejati dari
Atma adalah keheningan. Di dalam keheningan, disanalah kenyataan sejati
Atma akan hadir kembali dengan sendirinya.
KEHENINGAN
Atma Tattwa / Kesadaran Atma
Menjaga Bibit
Kekuatan Positif Di Dalam Diri
Tekun Pandangan
Melakukan Kebaikan Positif Dan Lembut
Meditasi
Melatih Diri
Tidak Menyakiti
Hal ini adalah sebagaimana dalam ajaran suci Hindu Dharma terdapat
berbagai macam sistem sadhana sebagai jalan yoga. Misalnya Ashtanga Yoga
dalam Yoga Sutra, Dasa Yama Brata dan Dasa Niyama Brata dalam
Sarasamuscaya, Sadangga Yoga dalam Wrhaspati Tattwa dan Ganapati Tattwa,
dsb-nya. Semuanya secara sistematis mengarahkan sadhaka mencapai
kesempurnaan kesadaran Atma.
Secara pokok ada empat saja, yaitu bagaimana kita memilah pergaulan, apa
yang kita masukkan ke dalam pikiran kita, bagaimana upaya kita
menyeimbangkan energi negatif di dalam diri dengan kekuatan energi positif,
serta tidak mengkonsumsi makanan atau minuman yang melemahkan kesadaran.
1. MEMILAH PERGAULAN
Selain itu, kelilingi diri kita dengan orang baik-baik [teman di jalan dharma],
yang bisa melihat adanya kebaikan-kebaikan di dalam diri kita dan tidak
menyimpan pandangan buruk tentang kita. Cara ini tidak saja menyembuhkan diri
kita sendiri, tapi juga menyembuhkan lingkungan.
Karena hal-hal semacam itu membawa energi dari jiwa-jiwa yang gelisah.
Hindari segala bentuk hal-hal semacam itu, untuk menjaga bibit kekuatan positif
di dalam diri kita. Bacaan, tontonan, serta apa yang kita dengarkan menentukan
energi apa yang kita masukkan ke dalam pikiran kita. Sadar ataupun tidak sadar,
semuanya berpengaruh pada diri kita.
Apa yang kita masukkan ke dalam pikiran kita, akan memberikan pengaruh
pada pertumbuhan kesadaran kita. Sehingga belajarlah untuk selektif di dalam
memilih bacaan, tontonan, serta apa yang kita dengarkan. Pilihlah hanya apa yang
bisa membimbing kita menuju pemikiran serta kesadaran yang terang dan
universal. Misalnya yang berkaitan dengan kehidupan antar sesama mahluk yang
harmonis, saling tolong-menolong, rendah hati, kesadaran, belas kasih dan
kebaikan.
Cara yang praktis dan efektif adalah dengan melukat di parahyangan suci.
Karena air adalah penghantar terbaik bagi energi kosmis suci dari para Ista
Dewata dan alam semesta.
Cara lain yang juga praktis dan efektif adalah dengan tekun melakukan
penjapaan mantra Ista Dewata. Kekuatan suci mantra Ista Dewata melalui
penjapaan mantra akan terserap masuk ke dalam diri kita. Yang memurnikan,
menyembuhkan dan menanamkan benih-benih kesadaran di dalam diri kita. Atau
bisa juga dilakukan dengan cara kita rajin sembahyang Panca Sembah tiga kali
sehari [Tri Sandhya].
Arti kedua yang lebih mendalam, karena makanan dan minuman adalah
penunjang kebugaran dan kelangsungan hidup, maka kita harus bijaksana dalam
memilih makanan dan minuman apa yang kita konsumsi. Makanan dan minuman
tentu saja hanya sebagian dari banyak faktor yang mengkondisikan kesadaran
kita. Tapi secara khusus mengkonsumsi minuman keras dan narkoba adalah yang
benar-benar harus dihindari. Karena tidak saja mengakibatkan tumpukan energi
yang tidak baik di dalam tubuh kita, tapi juga bisa mengakibatkan melemahnya
kesadaran. Ketika kesadaran melemah, konsentrasi dan perhatian akan menurun.
Ketika konsentrasi dan perhatian menurun, maka moralitas dan kebijaksanaan
akan sulit untuk dikembangkan.
RUAS KE-2
Setiap ada masalah, gangguan serta godaan, atau apa saja yang muncul
dalam perjalanan kehidupan kita, belajarlah untuk memandangnya dengan sudut
pandang positif dan lembut. Buanglah setiap sudut pandang yang gelap dan keras.
Secara pokok ada tiga saja, yaitu memandang diri sendiri secara positif dan
lembut, memandang orang lain secara positif dan lembut, serta memandang
perjalanan kehidupan secara positif dan lembut.
Ketidakpuasan atau kekecewaan akan diri sendiri juga dapat muncul karena
kita terlalu memikirkan pendapat orang lain. Sehingga kita mengukur diri kita
sendiri dengan ukuran orang lain. Sekali lagi, itu akan menimbulkan
ketidakpuasan atau kekecewaan akan diri kita sendiri. Hanya masalah waktu kita
akan kelelahan, merasa terasing atau tersesat dalam perjalanan kehidupan kita
sendiri.
Di jaman ini terlalu banyak manusia yang tidak mengenali dirinya sendiri,
untuk kemudian diombang-ambingkan oleh pendapat orang lain. Terutama
disebabkan karena kebanyakan manusia membutuhkan pengakuan. Di jalan
dharma diajarkan, pengakuan adalah makanan dari ego [ahamkara]. Selain itu,
kejernihan, kedamaian dan kebijaksanaan tidak pernah bisa dicapai dengan
pengakuan, melainkan dengan cara menerima diri kita sendiri sebagaimana
adanya, dengan rasa syukur dan rasa terimakasih. Kemudian berkembang dan
mengambil jalan yang paling sesuai dengan diri kita sendiri.
Benih kejernihan sebagai akar kedamaian dan kesadaran baru dapat mulai
bersemi di dalam diri, ketika kita dapat bersyukur dan berterimakasih dengan
keadaan diri kita sendiri sebagaimana adanya. Menjadi diri kita sendiri yang unik
dan berbeda dari orang lain. Tidak bersaing atau membanding-bandingkan diri
kita sendiri dengan orang lain.
Kedua, belajar memandang orang lain secara positif dan lembut. Karena
jika kita memandang orang lain dengan sudut pandang yang gelap dan keras,
maka itu sama dengan menyalakan api di dalam diri kita. Yang pertama terbakar
dan kehilangan kejernihan kesadaran adalah diri kita sendiri. Selain itu juga, akan
seketika membuat kita kehilangan kebijaksanaan dan sifat belas kasih.
Melihat dari sudut pandang positif berarti melihat mereka bukan sebagai
orang jahat, melainkan sebagai guru dharma yang sedang membimbing kita
menuju kesadaran sempurna. Sebab orang-orang yang menyakiti akan memaksa
kita melihat “ke dalam diri”. Tanpa bertemu orang-orang yang menyakiti, kita
tidak akan mau melihat “ke dalam diri”. Kita akan terseret ke dalam arus
kehidupan duniawi yang gelap. Sehingga orang-orang yang menyakiti
sesungguhnya adalah guru dharma yang sedang mengarahkan kita
membangunkan kesadaran Atma.
Melihat dari sudut pandang lembut juga berarti kita dapat melihat bahwa
setiap perkataan, perbuatan atau reaksi [respon] dari orang lain kepada kita
semata-mata merupakan hasil akumulasi dari keseluruhan pengalaman hidup
mereka sendiri. Ketika kita bertemu orang yang mengganggu di jalan, bertemu
kasir supermarket yang kasar, disakiti orang, dsb-nya, itu sesungguhnya tidak ada
hubungannya dengan diri kita. Artinya apa yang dipikirkan, dikatakan dan
dilakukan manusia di dunia ini berasal dari kecenderungan pikiran, pengalaman
buruk, rasa takut dan upaya pertahanan diri mereka sendiri, yang bersumber dari
pengalaman hidup mereka. Sekalipun hal tersebut langsung ditujukan kepada
kita, sesungguhnya itu tidak ada kaitannya dengan diri kita. Melainkan terkait
dengan konflik dan pertempuran pikiran di dalam diri mereka sendiri.
Selain itu perlu diwaspadai, bahwa salah satu jebakan ego [ahamkara] yang
sering muncul ketika kita merasa diri kita sudah baik atau sudah benar, adalah
kita mulai menjadi terlalu kritis dan banyak memberi penilaian buruk terhadap
kekurangan orang lain. Ketika kita melihat kesalahan, kekurangan, keserakahan
dan kegelapan pada orang lain, kita sering tergoda untuk secara agresif memvonis
buruk [menghakimi] orang tersebut. Ini tidak lain muncul dari ego kita
sendiri. Sebuah jebakan ego [ahamkara]. Ketika kita memvonis buruk atau
menyentil orang lain, tanpa disadari benih-benih kebencian, kemarahan,
kesombongan atau avidya [ketidak-tahuan] sudah muncul di dalam diri kita.
Jika kita mudah mengkritik, mudah menyalahkan dan mudah memvonis
buruk [menghakimi] orang lain, secara pasti kita akan mengotori pikiran kita
sendiri. Kita akan kehilangan kejernihan dan kedamaian. Pikiran penuh
penghakiman membuat kejernihan dan kedamaian di dalam diri seketika
menghilang. Lebih jauh lagi, ketika kita mengkritik, menyalahkan atau memvonis
orang lain secara negatif, disaat itu kita sedang menghidupkan kegelapan di
dalam diri kita sendiri, sekaligus menghidupkan kegelapan dalam diri orang lain.
Kita tidak saja sedang menanam bibit kekerasan di dalam diri kita sendiri, tapi
juga sedang menanam bibit kekerasan pada orang lain.
Tidak hanya sebatas memurnikan jiwa saja, tapi sekaligus juga akan
mengirimkan pancaran energi kesejukan dan kedamaian kepada orang lain. Sudah
sering terbukti jika kita dapat memandang orang lain siapa saja, atau mahluk apa
saja, dengan sudut pandang positif dan lembut, dalam jangka waktu tertentu sifat
orang atau mahluk tersebut lama-kelamaan juga akan berubah menjadi positif
dan lembut. Disebabkan karena pancaran energi kesejukan dan kedamaian yang
terus kita kirimkan. Kita tidak saja akan menyelamatkan diri kita sendiri tapi juga
menyelamatkan orang lain. Ini juga yang kemudian akan menghindarkan kita dari
kemungkinan garis nasib yang lebih panas dan sengsara.
3. MEMANDANG KEHIDUPAN SECARA POSITIF DAN LEMBUT
Tapi tidak hanya sebatas itu saja, setiap pengalaman hidup yang
menyakitkan, jika kita merenungkannya dalam-dalam, kita akan dapat menyadari
bahwa kejadian-kejadian yang buruk tersebut bukanlah sesuatu yang negatif atau
buruk. Justru sebaliknya ! Kita akan dapat memahami bahwa dibalik semua
kejadian-kejadian buruk tersebut, sesungguhnya alam semesta sedang
menghadirkan cahaya terang di dalam kehidupan kita. Karena kejadian buruk
adalah konsekuensi bayangan dari kebenderangan. Setiap kejadian buruk yang
muncul dalam kehidupan adalah cara alam semesta mengarahkan kita
membangunkan kesadaran Atma.
Setiap saat hidup ini membawa kita kepada pilihan. Tersedia pilihan tanpa
batas yang kemudian akan menentukan garis nasib kita. Setiap peristiwa dan
setiap pilihan sikap cara pandang, akan bermanifestasi menjadi riak-riak
berikutnya dalam aliran perjalanan kehidupan.
Jika kita sudut pandangnya gelap dan keras, maka pikiran kita juga akan
menjadi gelap seperti dikuasai ketidakpuasan, kemarahan, protes, dsb-nya. Kita
tidak saja akan merasakan sakit dan kesengsaraan di dalam diri, tapi sekaligus
juga sangat mungkin kita akan menyakiti orang lain. Ini juga yang kemudian akan
membawa garis nasib kita menjadi lebih panas dan sengsara. Sudut pandang yang
tidak tepat seperti ini akan membuat kita menghantar diri kita sendiri tenggelam
ke dalam lumpur kegelapan.
Sebaliknya jika kita sudut pandangnya positif dan lembut, maka tidak saja
pikiran kita menjadi lebih tenang dan damai di dalam diri, tapi sekaligus juga
membuat kita terhindar dari menyakiti orang lain. Ini juga yang kemudian akan
membawa garis nasib kita menjadi lebih aman, tenang dan damai.
Karena itu mengalirlah dengan keadaan diri kita dan kehidupan kita sendiri
sebagaimana adanya. Sudah selayaknya kita memiliki pandangan yang positif dan
lembut. Karena lebih mudah untuk menemukan kejernihan dan kedamaian
dengan pikiran yang positif dan lembut, pada setiap kemungkinan dalam
perjalanan, pada setiap keadaan. Apapun yang terjadi akan menjadi karma-karma
yang mengalir di sungai kejernihan dan kedamaian.
Jika semua bentuk pengalaman kehidupan terlihat positif dan lembut, itu
pertanda kita sudah mengalami kejernihan pandangan. Pemahaman mendalam
akan kebenaran seperti inilah yang menghasilkan prajna [kebijaksanaan], yang
akan membebaskan kita dari keserakahan, ketidakpuasan, kemarahan, kesedihan,
keraguan, ketakutan dan kesengsaraan.
RUAS KE-3
Dalam membentuk dasar kesadaran, salah satu hal yang penting untuk
dilakukan adalah menjaga diri kita agar tidak menyakiti, karena itu semua terkait
erat dengan bagaimana terbentuknya kecenderungan pikiran kita sendiri.
Secara pokok tidak menyakiti ada dua saja, yaitu tidak menyakiti diri
sendiri, serta tidak menyakiti orang lain dan mahluk lain.
Ada berbagai cara untuk menyakiti diri kita sendiri. Sayangnya seringkali
kita tidak menyadarinya. Disini kita cukup memfokuskan kepada dua saja, yaitu
terlalu menekan diri dan tenggelam dalam rasa bersalah dari masa lalu.
Terlalu menekan sisi-sisi alamiah di dalam diri kita sendiri, akan memantul
balik dalam bentuk kekacauan di dalam jiwa kita. Setiap bentuk pikiran dan
dorongan energi alamiah yang ditekan dan dilarang secara berlebihan kemudian
akan terlempar ke “gudang” bernama alam bawah sadar. Begitu “gudang” itu
penuh, dia kemudian akan memberikan tanda ke permukaan dalam bentuk galau,
kesedihan tanpa sebab, dsb-nya. Ini jika terus berlanjut, maka dalam jangka
panjang kemudian dapat bermanifestasi menjadi berbagai jenis sifat perilaku yang
bersifat merusak diri sendiri dan orang lain. Seperti misalnya kebencian,
kekerasan dan berbagai bentuk penyimpangan. Inilah yang disebut oleh para
satguru dharma sebagai norma sosial masyarakat, aturan agama dan pandangan
orang lain dapat membuat jiwa manusia menjadi gelisah, rusak dan terbelah.
Sehingga renungkanlah ke dalam diri kita sendiri. Kenali keadaan diri kita
sendiri, agar kita bisa melihat dan memahami kebutuhan diri kita sendiri yang
unik dan berbeda dengan orang lain. Kemudian ekspresikan diri kita secara tepat
dan bijaksana. Artinya memilih kombinasi yang tepat untuk diri kita sendiri,
kombinasi yang unik dan tepat antara menekan diri dan mengekspresikan diri.
Karena itulah cara untuk meraih dasar-dasar kejernihan pikiran.
Setiap manusia itu unik dan berbeda-beda satu sama lain. Setiap manusia
ada satu sisi dirinya memerlukan pertumbuhan kesadaran jiwa harus dengan cara
mengekspresikan diri dan ada sisi lain dirinya memerlukan pertumbuhan
kesadaran jiwa harus dengan cara menekan. Jika satu sisi unik manusia
pertumbuhan kesadaran jiwa-nya yang tepat harus dengan cara mengekspresikan
diri, tapi memilih cara menekan, dia seperti menyimpan api membara di dalam
dirinya. Cara terlalu menekan seperti ini akan menyakiti diri sendiri. Menimbulkan
banyak luka-luka jiwa. Persoalan waktu jiwanya akan kering dan terbakar.
Demikian juga sebaliknya jika satu sisi unik manusia pertumbuhan kesadaran jiwa-
nya yang tepat harus dengan cara menekan, tapi memilih cara mengekspresikan
diri, dia akan banyak melakukan kesalahan-kesalahan berbahaya.
Sehingga ekspresikanlah energi di dalam diri kita secara sehat dan alamiah,
sesuai dengan panggilan alamiah diri kita. Kurangilah menekan-nekan diri dengan
larangan begini dan begitu. Tanpa pelabelan dualitas pikiran seperti baik-buruk,
salah-benar, sukses-gagal, dsb-nya. Sebab jika kita terlalu menekan diri dengan
larangan yang tidak sesuai dengan panggilan alami diri kita, itu berarti kita
melawan arus kekuatan alam, sehingga pikiran kita akan penuh dengan konflik
dan ketidakharmonisan. Tapi dalam mengekspresikan diri tetaplah dengan
berpegang kepada pedoman utama yang penting, yaitu kita tidak melakukan
perkataan atau perbuatan yang menyakiti orang lain atau merugikan orang lain.
Artinya ekspresikan diri sesuai dengan panggilan alami diri kita, tapi dengan tidak
menyakiti atau merugikan orang lain. Terutama karena di alam semesta ada
hukum karma yang tidak bisa dibendung.
Dalam hal mengekspresikan diri ini seringkali sebagian dari norma sosial
masyarakat dan aturan agama menjadi halangan yang mengganggu pertumbuhan
kesadaran jiwa manusia, dengan cara terlalu banyak menekan dan melarang, yang
bersifat kaku dan dualistik [baik-buruk, benar-salah, suci-gelap, dsb-nya]. Padahal
setiap manusia itu memiliki jalan dan pertumbuhan kesadaran jiwa yang unik dan
berbeda-beda satu sama lain. Tidak bisa disamakan. Dampak dari tekanan dan
larangan yang bersifat kaku dan dualistik adalah menekan panggilan alamiah
dalam diri manusia sehingga menimbulkan kegelisahan jiwa melalui konflik di
dalam pikiran, yang muncul dari dualitas pikiran, seperti buruk melawan baik,
kotor melawan suci, dsb-nya.
Tentu saja norma sosial masyarakat dan aturan agama bukan sesuatu yang
buruk. Norma sosial masyarakat dan aturan agama berisi banyak larangan-
larangan, dengan tujuan mulia untuk menjaga manusia agar tidak melakukan
kesalahan-kesalahan berbahaya. Ini tentu tidak salah, karena norma sosial, aturan
dan larangan diperlukan terutama sekali bagi manusia-manusia yang kesadaran
jiwanya baru mulai bertumbuh, yang masih kasar dan kuat sifat binatangnya.
Semata-mata untuk menjaga agar manusia tidak mengekspresikan diri secara
berlebihan untuk kemudian terjerumus ke dalam melakukan kesalahan
berbahaya.
Tapi masalahnya adalah bahwa segala hal tidak sesederhana dualitas hal ini
baik dan hal itu buruk. Setiap manusia itu masing-masing unik dan berbeda dari
orang lain. Setiap orang memiliki panggilan alamiah, jalan pertumbuhan, cara
pertumbuhan, bakat dan tugasnya masing-masing di dunia, sesuai dengan
putaran karmanya sendiri. Setiap orang berbeda tidak bisa disamakan. Ada
jejaring kosmik yang rumit di balik semua hal.
Selain itu dualitas pikiran hanyalah sebatas cara pikiran mengerti dan sama
sekali bukan kebenaran itu sendiri. Artinya kebenaran sangatlah relatif,
sesungguhnya kita bisa memandang apa saja dengan cara apa saja. Leluhur kita di
Bali mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak, tapi kebenaran yang
lebih mendekati adalah kebenaran yang berlandaskan desa, kala, patra [tempat,
waktu, kondisi keadaan].
Setiap manusia itu unik dan berbeda-beda satu sama lain. Jujurlah kepada
diri kita menyangkut diri kita sendiri, apa yang terbaik untuk diri kita sendiri dan
bukan melakukan apa yang diharapkan atau dinilai orang lain. Kita harus percaya
diri karena ini hidup kita sendiri. Tidak ada orang lain yang dapat benar-benar
mengetahui, hanya diri kita sendirilah yang paling tahu tentang diri kita sendiri,
apa yang terbaik bagi diri kita sendiri dan kita sendiri juga yang akan
mendapatkan hasilnya yang positif bagi diri kita sendiri. Sebagian manusia
hidupnya gelisah dan berputar-putar tanpa arah karena terlalu berpegang kepada
pendapat dan sudut pandang pikiran orang lain, termasuk kepada norma sosial
masyarakat dan aturan agama yang sifatnya terlalu menekan. Sehingga dengarkan
pendapat dari luar sebatas secukupnya saja, kemudian belajarlah untuk menjadi
diri sendiri. Berpeganglah kepada prinsip apa-apa yang baik untuk diri kita. Karena
jika kita tidak memiliki pegangan tersebut, maka kejernihan pikiran kita akan
mudah dibuat jatuh oleh hal-hal sepele yang datang dari sudut pandang dari luar
yang belum tentu tepat dan sesuai untuk kondisi unik diri kita sendiri.
Kenalilah fenomena tubuh kita sendiri, kenali fenomena pikiran kita sendiri
dan kenali putaran karma-karma kita sendiri. Intinya adalah mengenali diri kita
sendiri. Pelajari secara seksama diri kita dan kehidupan kita sendiri. Yang
terpenting bukanlah dualitas salah-benar atau baik-buruk, tapi apa kebutuhan
jiwa kita sendiri, bagaimana putaran karma kita sendiri dan kita termasuk jiwa
yang memerlukan pertumbuhan kesadaran jiwa dengan jalan apa ?
Di dalam diri kita masing-masing terdapat kontur-kontur energi yang
sifatnya alamiah sesuai dengan hukumnya, sebagaimana leluhur kita di Bali
mengajarkan bahwa manusia itu “dewa ya bhuta ya”. Kontur-kontur ini ada yang
perlu diekspresikan dan ada juga yang perlu ditekan.
Kontur-kontur ini unik dan berbeda-berbeda pada setiap orang. Tidak ada
manusia yang sama. Jadi jangan mengambil acuan dari orang lain, melainkan kita
harus menggalinya ke dalam diri kita sendiri. Dalam upaya mengenal kontur diri
sendiri yang unik, kita harus dewasa secara spiritual. Artinya kita tidak diombang-
ambingkan pendapat orang lain, kita tidak mencari acuan dari ajaran agama, serta
standar norma dan moralitas masyarakat, kita tidak mencari acuan dari orang
lain. Kita mandiri dalam pandangan, sikap dan langkah. Kita tidak terpengaruh
oleh orang lain dan lingkungan. Karena ini menyangkut diri kita sendiri dan yang
paling mengetahuinya adalah diri kita sendiri, bukan orang lain.
Sehingga renungkanlah ke dalam diri kita sendiri. Kenali keadaan diri kita
sendiri, agar kita bisa melihat dan memahami kebutuhan diri kita sendiri yang
unik dan berbeda dengan orang lain. Kemudian ekspresikan diri kita secara tepat
dan bijaksana. Pilihlah kombinasi yang tepat untuk diri kita sendiri, yaitu
kombinasi yang unik dan tepat antara menekan diri dan mengekspresikan diri.
Jadilah diri kita sendiri sebagaimana adanya.
Belajar dari cerita para Satguru, banyak murid-murid yang datang belajar
dharma dan meditasi, kegelisahan dan kelabilan jiwanya berakar dari kehidupan
yang melompat dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya. Misalnya sebagai
contoh, awalnya mereka memuaskan hidupnya secara berlebihan [seks bebas,
hura-hura, dugem, minum miras, dsb-nya], setelah jiwanya tidak menemukan
apa-apa dalam titik ekstrim kiri tersebut, mereka memasuki dunia spiritual. Tapi
di dunia spiritual mereka melompat ke titik ekstrim kanan, dalam bentuk
kehidupan asketik [seperti puasa, pengendalian diri, dsb-nya] yang menekan diri
secara berlebihan. Akhirnya jiwanya menjadi gelisah dan labil.
Jadi kenali diri kita sendiri, kemudian ekspresikan diri kita secara tepat dan
bijaksana. Kembali kepada ajaran leluhur kita di Bali bahwa tidak ada kebenaran
yang mutlak, tapi kebenaran yang lebih mendekati adalah kebenaran yang
berlandaskan desa, kala, patra [tempat, waktu, kondisi keadaan].
Hanya satu itu saja catatannya yang penting, bahwa kita perlu memiliki
sedikit kehati-hatian di dalam mengekspresikan diri agar tidak berbahaya.
Ekspresikanlah diri berlandaskan desa, kala, patra. Ekspresikanlah diri tapi jangan
sampai perkataan dan perbuatan kita menyakiti orang lain, merugikan orang lain
atau menyakiti diri kita sendiri, karena jika demikian, kemungkinan kita akan
melukai diri kita sendiri dan orang lain. Hasilnya sama saja akan menimbulkan
luka-luka jiwa di dalam diri. Sehingga ekspresikanlah diri berlandaskan desa, kala,
patra [tempat, waktu, kondisi keadaan masing-masing], yang membuat diri kita
sendiri dan orang lain sama-sama damai dan bahagia.
Pada sisi sebaliknya, jika kita terlalu menyalahkan dan memvonis buruk diri
kita sendiri saat melakukan kesalahan, itu merupakan sebuah tindakan menyakiti
diri sendiri. Memvonis buruk diri sendiri atau terlalu tenggelam dalam rasa
bersalah tidak sehat bagi pertumbuhan kesadaran jiwa kita. Memvonis buruk diri
sendiri akan berdampak membuat jiwa kita mudah terluka, sekaligus kita akan
sulit tersembuhkan dari luka-luka jiwa. Pikiran kita akan menjadi keras-kaku, kita
akan mudah sekali menyalahkan orang lain dan kita akan sulit memaafkan
kesalahan orang lain. Ini tentu saja dapat membuat kita mudah terjerat ke dalam
kegelapan pikiran.
Dengan mengakui kesalahan diri kita, berani meminta maaf dan sekaligus
memaafkan diri kita sendiri, pikiran kita akan menjadi lebih jernih. Kita akan dapat
memperbaiki diri sendiri, kita tidak akan menyakiti diri sendiri, kita tidak akan
mudah terluka, kita mudah tersembuhkan dan kita akan mudah memaafkan
kesalahan orang lain. Kita tidak akan mudah terjerat ke dalam kegelapan pikiran.
Apapun yang kita ucapkan dan apapun yang kita lakukan itu tidak saja akan
menghasilkan karma, tapi sekaligus juga pasti akan memantul balik ke dalam
kecenderungan pikiran kita sendiri.
Kalau apa yang kita ucapkan dan lakukan berakibat membahagiakan orang
lain, maka hal itu [entah kita sadari atau tidak] pasti akan mendatangkan
kebahagiaan di dalam pikiran kita sendiri. Sebaliknya kalau apa yang kita ucapkan
dan lakukan berakibat menyengsarakan orang lain, maka hal itu tanpa kita sadari
akan mengotori pikiran kita, yang pasti akan berdampak mengganggu kejernihan,
kesejukan dan kedamaian di dalam pikiran kita sendiri.
Ini semua adalah dharma yang sangat mendasar, yang terkait erat dengan
upaya kita membangun kejernihan, kesejukan dan kedamaian di dalam diri.
Karena jika kita melakukan pelanggaran dharma seperti itu, tidak saja kelak akan
membawa karma buruk ke dalam kehidupan kita, tapi juga sekaligus tanpa kita
sadari akan membawa dampak kekacauan ke dalam pikiran kita sendiri. Jika apa
yang kita ucapkan atau lakukan berakibat menyakiti perasaan orang lain, cepat
atau lambat pasti akan memantul balik ke dalam kondisi pikiran kita sebagai
kesan-kesan pikiran yang buruk, yang akan menciptakan kegelisahan yang sulit
dijelaskan di dalam pikiran kita. Ini tentu saja akan menyebabkan terganggunya
kejernihan, kesejukan dan kedamaian pikiran di dalam diri kita sendiri.
Agar dapat menumbuhkan hati belas kasih kepada orang atau mahluk lain,
yang dapat mencegah kita untuk menyakiti, kita perlu mendidik diri untuk melihat
kesamaan-kesamaan diantara kita semua. Lupakanlah perbedaan, karena jika
melihat perbedaan-perbedaan pasti akan menimbulkan tembok pemisah antara
diri kita dengan yang lainnya. Antara yang dianggap benar dan yang dianggap
salah, antara yang dianggap baik dan yang dianggap buruk, dsb-nya. Sebaliknya
dengan melihat kesamaan diantara kita semua akan menimbulkan keterhubungan
yang sakral. Sehingga belajarlah memandang kesamaan-kesamaan diantara kita
semua, yaitu :
- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga mencari kebahagiaan di dalam
hidupnya.
- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga tidak mau disakiti dan berusaha
menghindari kesusahan dan kesengsaraan di dalam hidupnya.
- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga pernah menjalani hari-hari buruk
yang berat.
- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga pernah mengalami kesusahan,
kesengsaraan, kesedihan, keputus-asaan dan kesepian di dalam hidupnya.
- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga berusaha memenuhi apa
kebutuhan atau keperluan hidupnya.
- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga sedang sama-sama dalam proses
belajar dan bertumbuh di dalam perjalanan kehidupan.
Lihatlah orang lain dan mahluk lain dengan senyuman belas kasih, karena
dalam samudera samsara ini mereka semua sama seperti diri kita. Terima mereka
seperti sebagaimana adanya, karena kita semua sama dan kita semua sedang
sama-sama dalam proses belajar dan bertumbuh di dalam perjalanan kehidupan
dengan jalan serta cara kita masing-masing.
Jangan pernah mengecilkan peran perkataan dan perbuatan yang tidak
menyakiti orang lain atau mahluk lain. Berbicaralah kalau kita yakin mengeluarkan
kata-kata yang baik. Berbuatlah kalau kita yakin melakukan suatu perbuatan
kebaikan. Dengan cara ini kita membuat hati kita menjadi jernih dan lapang, serta
sekaligus kita juga sedang membuat dunia lebih indah dari hari ke hari.
Tidak menyakiti sepertinya terkait erat dengan orang lain dan mahluk lain.
Tapi sesungguhnya diri kita sendirilah yang akan paling merasakan dampaknya.
Dengan tidak menyakiti, hari demi hari pikiran kita akan semakin dimurnikan,
sehingga memunculkan kejernihan, kesejukan dan kedamaian di dalam diri.
RUAS KE-4
Salah satu rahasia penting semua jalan spiritual adalah hati yang penuh
belas kasih dan kebaikan. Pertama, karena praktek spiritual atau praktek religius
manapun akan dangkal dan tidak pernah bisa dalam kalau tanpa dilandasi hati
yang penuh belas kasih dan kebaikan kepada semua mahluk. Kedua, karena belas
kasih dan kebaikan adalah awal dan akhir semua jalan spiritual. Di awal menjadi
pondasi sangat penting dan di akhir ketika mencapai kesadaran Atma yang
sempurna, sebagai hasilnya adalah keheningan pikiran, serta hati yang penuh
belas kasih dan kebaikan. Demikian menentukannya, sehingga kalau seluruh
ajaran dharma di-intisarikan menjadi satu ajaran saja, maka hal itu adalah belas
kasih dan kebaikan tanpa batas kepada semua mahluk.
Belas kasih dan kebaikan tidak hanya berguna bagi mahluk lain, tapi
terutama sekali sangat berguna untuk diri kita sendiri. Apapun yang kita ucapkan
dan lakukan sesungguhnya tidak saja menghasilkan karma, tapi sekaligus juga
secara pasti akan memantul balik ke dalam kondisi pikiran kita sendiri. Kalau apa
yang kita ucapkan dan lakukan berakibat membahagiakan orang lain atau mahluk
lain, maka hal itu [entah kita sadari atau tidak] pasti akan mendatangkan
kejernihan dan kebahagiaan di dalam pikiran kita sendiri.
Belas kasih dan kebaikan tidak saja membahagiakan hati mahluk lain, tapi
terlebih juga akan membahagiakan hati kita sendiri. Belas kasih dan kebaikan
tidak saja menyegarkan pikiran mahluk lain, tapi terlebih juga akan menyegarkan
pikiran kita sendiri. Belas kasih dan kebaikan tidak saja menjernihkan pikiran
mahluk lain, tapi terlebih juga akan menjernihkan pikiran kita sendiri.
Jika kita peka dan peduli dengan kebahagiaan mahluk lain, jika kita tekun
melakukan kebaikan-kebaikan, maka akan semakin berkembanglah kesegaran dan
kesejukan di dalam pikiran kita sendiri. Ini adalah hukum alam. Ketekunan
melaksanakan belas kasih dan kebaikan membuat seseorang terus-menerus
mengikis kegelapan pikirannya [sad ripu] dan ego-nya [ke-aku-an, ahamkara] dari
hari ke hari.
Secara pokok belas kasih dan kebaikan ada dua, yaitu kebaikan terdekat
[melaksanakan swadharma], serta kebaikan kepada semua.
Kita harus mengetahui dan memiliki kesadaran bahwa salah satu tugas
utama kita yang paling mendasar dalam kehidupan ini adalah bekerja mencari
nafkah. Karena ini adalah titik tolak yang memudahkan kaki kita melangkah secara
lebih luas kemana-mana. Secara umum, tanpa memiliki nafkah penghasilan gerak
kita untuk kegiatan lain akan sulit dan terbatas. Tapi juga bukan sekedar bekerja
mencari nafkah, fokuslah mengerjakan pekerjaan kita dengan giat, baik dan jujur,
sehingga secara mendalam bekerja mencari nafkah juga menjadi pelaksanaan
kebaikan dalam kehidupan.
Kerja apapun juga, asalkan tidak melanggar dharma, baik dan layak untuk
dilakukan. Kerjakan dengan sebaik-baiknya. Masalah hasil kita terima dengan
damai dan penuh kerelaan. Belajarlah dengan rajin di sekolah kalau kita masih
pelajar. Kalau kita sudah bekerja, kita bekerjalah dengan tekun dalam upaya
mencari nafkah. Sumber mata pencaharian harus benar dan tidak melanggar
dharma.
Jadikanlah perjalanan kehidupan ini sebagai lahan subur bagi kita untuk
melakukan kebaikan-kebaikan kepada semua mahluk. Kembangkan hati yang
penuh belas kasih dan kebaikan. Karena dengan ketekunan melakukan kebaikan-
kebaikan, secara pasti tidak saja karma-karma buruk kita akan banyak
diringankan, tapi sekaligus juga pikiran kita akan banyak mengalami pembersihan.
Pikiran kita dimurnikan menuju kejernihan-kedamaian, serta dibebaskan dari
kegelapan pikiran. Sekaligus di jalan spiritual apapun kita melangkah, disana kita
akan mudah terhubung dengan kemahasucian.
Akan tetapi perlu dicatat, bahwa tidak jarang juga terjadi, kebaikan yang
kita lakukan dibalas dengan kejahatan, atau kebaikan yang kita lakukan berujung
kepada nasib buruk atau luka-luka jiwa. Disinilah kita memerlukan pengetahuan
dharma mencakup dinamika kosmik alam semesta. Hukum karma yang mutlak
dan tidak bisa dibendung, sehingga muncul pandangan benar dan kebijaksanaan
di dalam diri. Bahwa ini bukanlah kesalahan orang lain, atau ini juga bukanlah
hukuman alam semesta kepada kita, melainkan hanya akumulasi karma-karma
buruk masa lalu kita sendiri yang datang untuk kita lunasi. Sehingga jangan kapok
atau berhenti, teruslah melakukan kebaikan dan kebaikan.
Tidak jarang terjadi, ketulusan hati dan kebaikan kita dianggap sebagai
kebodohan oleh orang yang masih tenggelam dalam avidya [ketidaktahuan]. Tapi
teruslah tulus dan melakukan kebaikan-kebaikan dalam kehidupan. Mungkin
setiap hari di sekeliling kita melihat tindakan-tindakan kejahatan dan
ketidakjujuran seperti sedang menghina kebaikan. Tapi teruskanlah kebaikan-
kebaikan kita. Karena pada akhirnya bukan tentang kita dengan orang-orang lain,
tapi tentang diri kita dengan hukum karma dan tentang diri kita menyangkut
kejernihan-kedamaian di dalam diri sendiri.
RUAS KE-5
Dasar kejernihan pikiran akan menjadi landasan yang stabil bagi praktek
meditasi agar kita dapat menyadari kembali kesadaran Atma yang luhur. Jika kita
tidak melaksanakan 4 [empat] ruas landasan kesadaran pada kehidupan sehari-
hari, kita akan mengalami kesulitan dalam meditasi. Semuanya ke-5 [lima] ruas ini
merupakan satu kesatuan sadhana [upaya spiritual] yang akan menghasilkan
pencapaian sempurna, untuk melenyapkan penghalang-penghalang dari
kesadaran Atma, kenyataan diri yang sejati.
Dalam buku suci Hindu tertua, yaitu Rig Veda, pada sloka 1.164.20 tertulis :
Terjemahan :
Makna sloka 1.164.20 Rig Veda yang ditulis dalam bentuk prosa yang puitis
ini adalah sebuah analogi. Maksud analogi “ada dua ekor burung yang tinggal di
pohon yang sama” adalah terdapat dua jenis kesadaran yang tinggal di tubuh
yang sama [di dalam diri kita manusia]. Satu kesadaran adalah ego [ahamkara]
yang larut ke dalam arus kehidupan duniawi. Satu kesadaran lainnya adalah
kesadaran Atma yang hanya menjadi saksi dari arus kehidupan.
Rig Veda mengajarkan untuk secara meditatif menjadi saksi terhadap setiap
bentuk-bentuk pikiran dan pengalaman kehidupan, melalui meditasi non-dualitas
[advaita-citta]. Karena dualitas pikiran hanyalah cara pikiran mengerti dan sama
sekali bukan kebenaran sejati itu sendiri. Rahasia kesempurnaan kesadaran Atma
bukanlah keadaan lenyapnya ketidaksempurnaan di dalam diri kita. Jalan
kesempurnaan kesadaran Atma adalah senyuman damai dan belas kasih yang
sama terhadap dualitas pikiran bahagia-sengsara, baik-buruk, benar-salah, suci-
gelap, dsb-nya, atau dengan kata lain melampaui semua dualitas.
Dalam buku suci Ashtavakara Gita, Maharsi Ashtavakara [seorang yogi yang
sudah sadar] menjelaskan kepada Raja Janaka [Raja Kerajaan Mithila], mengenai
kesadaran Atma dan kenyataan semesta :
Jika kau berkata : "aku adalah sang pelaku", maka berarti kau
telah membiarkan ular hitam ego atau ke-aku-an [ahamkara] mematuk dirimu.
Dan jika kau sadar hakikat bahwa : "aku bukanlah sang pelaku" dan menjadi
saksi, maka berarti kau telah meminum madu keheningan serta selalu hidup
dalam kesadaran.
“Alam semesta ini meluas ke segenap penjuru oleh dirimu. Alam semesta
ini terus meluas di dalam dirimu. Pada kenyataan yang sejati kau adalah
kesadaran-
murni. Maka janganlah kau berpandangan sempit. Kau tidaklah terikat, tak
berubah, tanpa bentuk, tak terpecah dalam pasangan yang saling bertentangan,
tak dapat diduga, bijaksana, dan tak pernah gelisah. Maka cukuplah kau hanya
sadar kepada kesadaran-murni yang ada di dalam dirimu”.
“Ketahuilah bahwa setiap yang berbentuk adalah ilusi dan ketahuilah pula
yang tanpa bentuk, yang tidak berubah dan abadi. Mengetahui kebenaran dari
ajaran ini akan mengakhiri siklus samsara. Laksana bayangan dari sebuah cermin,
Atma yang terbayang di dalam cermin dengan Brahman di luar cermin adalah
sama. Brahman yang sama ada di dalam dan di luar badan ini, Brahman meliputi
semua yang ada di langit dan juga meliputi benda-benda di bumi, Brahman yang
kekal abadi meliputi segala sesuatu”.
Leluhur kita di Bali yang wikan sejak jaman kuno dahulu sangat mengerti
tentang kesadaran Atma, sehingga menyebut manusia itu “dewa ya bhuta ya”.
Artinya di dalam diri manusia ada sisi terang dan luhur [dewa] dan juga ada sisi
gelap dan buruk [bhuta]. Yang berarti bahwa semasih kita mengenakan tubuh
manusia di dalam diri kita pasti terdapat “unsur dewa” dan “unsur bhuta”. Karena
melalui meditasi yang mendalam terungkap rahasianya, kita semua manusia
adalah ramuan antara “unsur dewa” dan “unsur bhuta” yang sangat unik. Dari sisi
biologi tubuh manusia kita ini terbuat dari unsur panca maha bhuta [bumi atau
unsur padat, air, api, udara dan ruang]. Setiap unsur ini memiliki padanan dalam
tubuh kita, seperti misalnya emosi. Artinya selama kita masih mengenakan tubuh
manusia, selama itu juga emosi pasti masih tetap ada. Sebagai contoh unsur api,
padanan dalam bentuk emosinya adalah kemarahan. Sehingga tidak pernah ada
manusia yang dapat sempurna bebas dari kemarahan. Baik “unsur dewa” dan
“unsur bhuta”, keduanya bagian utuh yang sama di dalam diri kita. Tidak bisa
sempurna kita lenyapkan salah satunya.
Laksana bulan yang memiliki sisi terang dan sisi gelap, disadari bahwa
sesungguhnya baik sisi terang maupun sisi gelap dari bulan adalah keutuhan
sempurna bulan yang sama.
Jika kita perhatikan diri kita atau pikiran kita [bhuwana alit] dan alam
semesta [bhuwana agung], semuanya memiliki pola dalam rwa bhinneda atau dua
kutub yang berseberangan. Artinya dimana ada siang disana pasti ada malam.
Dimana ada kebenaran disana pasti ada kesalahan. Dimana ada kesucian disana
pasti ada kekotoran. Dimana ada kebahagiaan disana pasti ada kesengsaraan.
Dimana ada keindahan disana pasti ada kejelekan. Dimana ada kehormatan
disana pasti ada kehinaan. Dalam ajaran dharma mengenai rwa bhinneda, semua
pola dualitas merupakan manifestasi dari satu kenyataan absolut yang tunggal,
yaitu Sanghyang Embang [yang mahasuci keheningan sempurna] atau Sanghyang
Acintya [yang mahasuci tidak terpikirkan].
Artinya semua pola dualitas pikiran hanyalah manifestasi belaka dan bukan
kenyataan absolut. Cahaya terlihat ada, karena adanya kegelapan. Orang baik
terlihat ada, karena adanya orang jahat. Kebahagiaan terlihat ada, karena adanya
kesengsaraan.
Ketika kita tersadar bahwa kenyataan absolut diri kita atau pikiran kita
[bhuwana alit] dan alam semesta [bhuwana agung] adalah melampaui dualitas
pikiran, disana tercapailah keheningan sempurna yang tidak terpikirkan,
manunggal dengan kenyataan absolut.
Di bagian puncak dari Penataran Agung Pura Besakih, disanalah juga oleh
leluhur orang Bali yang wikan disembunyikan ajaran rahasia tentang kesadaran
Atma. Tepat sebelum pelataran tertinggi, disana terdapat dua palinggih rwa
bhinneda, yaitu Palinggih Kiwa [kiri, gelap dan buruk] dan Palinggih Tengen
[kanan, terang dan luhur]. Keduanya diletakkan sama sejajar. Sebuah simbolik
ajaran bahwa keduanya merupakan bagian utuh yang sama, baik di dalam diri kita
sendiri, maupun di alam semesta ini. Di tengah-tengahnya, di pelataran puncak
yang tertinggi, terdapat Palinggih Sanghyang Embang [keheningan sempurna yang
mahasuci], yang juga disebut sebagai sesarining dharma atau intisari dharma.
Sebuah simbolik ajaran rahasia bahwa dengan melampaui dualitas konseptual
pikiran membuat kita mencapai keheningan sempurna.
Latihan meditasi non-dualitas dibagi menjadi dua tahap, yaitu latihan
meditasi dalam meditasi, serta praktek meditasi setiap saat dalam dinamika
kehidupan.
Apapun pikiran atau kejadian yang muncul disaat ini, jangan ditolak atau
dilawan dan juga jangan diikuti. Walaupun yang muncul pikiran paling buruk
sekalipun. Lepaskan semua konsep pikiran kita tentang bahagia-sengsara, baik-
buruk, benar-salah, suci-gelap, mulia-hina, dsb-nya [dualitas pikiran]. Saksikan
saja dengan senyum damai dan belas kasih munculnya pikiran tersebut. Jangan
divonis [dihakimi] sebagai salah-benar atau baik-buruk, dsb-nya. Saksikan saja
dengan senyuman damai dan penuh belas kasih, tanpa dinilai apapun. Kemudian
kembalilah konsentrasi kepada sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.
Sekali lagi bahwa manusia itu “dewa ya bhuta ya”. Artinya di dalam diri
manusia ada sisi terang dan luhur [dewa] dan juga ada sisi gelap dan buruk
[bhuta]. Keduanya bagian utuh yang sama di dalam diri kita. Tidak bisa kita
lenyapkan salah satunya. Tapi karena kita sudah terlalu lama direcoki oleh norma
sosial masyarakat dan aturan agama, sehingga membuat pikiran kita menjadi
dualistik. Kita menjadi cenderung menolak atau membenci pikiran-perasaan
negatif di dalam diri, serta sebaliknya menjadi terlalu melekat dengan pikiran-
perasaan positif. Dari dualitas pikiran ini menimbulkan gejolak konflik atau
benturan pikiran, seperti buruk melawan baik, kotor melawan suci, dsb-nya, yang
kemudian berakhir menjadi kegelisahan jiwa.
Janganlah berpegang kepada pemahaman konseptual dualistik umum yang
kesadarannya tidak terasah oleh meditasi, yang berpikir untuk mencapai
kesempurnaan dengan cara melawan, menolak atau berusaha membuang bagian-
bagian negatif atau buruk di dalam diri. Jika kita berpikir untuk mencapai
kesempurnaan dengan cara melawan, menolak atau berusaha membuang bagian
yang tidak terpisahkan dari diri kita, kita hanya akan menciptakan belenggu jiwa
melalui pikiran konseptual dualistik, untuk kemudian mengalami gejolak
kekacauan di dalam diri.
Sifat alamiah pikiran kita sebagai manusia adalah “dewa ya bhuta ya”. Hal
ini sama dengan sifat alamiah dari samudera yang bergelombang. Jika kita
melawan, menolak atau berusaha membuang pikiran-perasaan yang muncul, itu
sama dengan menolak gelombang samudera. Sama dengan melawan kekuatan
alam. Tidak bisa dan justru akan menimbulkan gejolak kekacauan di dalam diri.
Jika muncul pikiran jahat, jangan dilawan, jangan ditolak dan jangan merasa
bersalah [ekstrim kanan] karena itu bagian yang tidak terpisahkan dari diri kita,
serta jangan juga diikuti [ekstrim kiri]. Tapi bawalah bandulnya ke tengah, caranya
pikiran jahat yang muncul itu disaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh
belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya. Kemudian
kembalilah konsentrasi kepada sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.
Jika muncul perasaan sedih dan kecewa, jangan dilawan, jangan ditolak dan
jangan merasa bersalah [ekstrim kanan] karena itu bagian yang tidak terpisahkan
dari diri kita, serta jangan juga diikuti [ekstrim kiri]. Tapi bawalah bandulnya ke
tengah, caranya perasaan sedih dan kecewa yang muncul itu disaksikan saja
dengan senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk,
salah-benar, dsb-nya. Kemudian kembalilah konsentrasi kepada sentuhan keluar-
masuk nafas pada hidung.
Jika muncul perasaan damai dan bahagia, jangan melekat kepada perasaan
tersebut [ekstrim kanan], serta jangan dilawan atau ditolak [ekstrim kiri] karena
itu bagian yang tidak terpisahkan dari diri kita. Tapi bawalah bandulnya ke tengah,
caranya perasaan damai dan bahagia yang muncul itu disaksikan saja dengan
senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-
benar, dsb-nya. Kemudian kembalilah konsentrasi kepada sentuhan keluar-masuk
nafas pada hidung.
Berusaha menolak atau membuang bagian yang tidak terpisahkan dari diri
kita akan menimbulkan gejolak konflik pikiran luar biasa. Sebaliknya terseret ke
dalam arusnya juga pasti akan menimbulkan gejolak konflik pikiran. Sehingga
dalam meditasi non-dualitas, tersenyumlah dengan damai dan penuh belas kasih
kepada segala bentuk apapun pikiran-perasaan yang muncul, termasuk juga
kepada apa yang disebut oleh norma sosial masyarakat dan aturan agama sebagai
noda-noda pikiran. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya.
Laksana air yang keruh, jika semuanya diterima dengan damai, mengalir dan
tersenyum penuh belas kasih, airnya akan diam dengan sendirinya, kotorannya
akan mengendap dengan sendirinya sehingga airnya menjadi tenang dan jernih.
Konsentrasi dalam meditasi seperti energi yang terpusat. Kalau pikiran kita
sering terkonsentrasi menjadi saksi yang tersenyum penuh belas kasih kepada
setiap bentuk pikiran-perasaan yang muncul, maka di suatu titik ada kemungkinan
kita mengalami samadhi. Samadhi tidak saja menghancurkan dualitas pikiran
seperti baik-buruk, salah-benar, yang sempit dan picik, tapi sekaligus juga
membawa kesadaran kita mulai terserap ke dalam dimensi kesadaran Atma yang
tenang, jernih dan terang-benderang.
Ujian sesungguhnya bagi setiap sadhana bukanlah saat duduk meditasi, tapi
saat kita dihadang guncangan-guncangan dalam hidup keseharian. Saat duduk
meditasi kita berhadapan dengan pikiran-perasaan kita sendiri saja, tapi dalam
keseharian kita berhadapan dengan interaksi yang sangat rumit dan kompleks.
Yang perlu kita lakukan adalah membawa meditasi non-dualitas setiap saat
ke dalam dinamika kehidupan. Dengan cara demikian, kita terus melakukan
meditasi selama saat kita terjaga. Kita terus melakukan upaya terhubung dengan
kesadaran Atma di dalam diri. Kembalikan kesadaran kepada nafas.
Kapan saja kehidupan terlihat sangat rumit, sulit, atau penuh emosi [marah,
sedih, bosan, galau, bingung, dsb-nya], cobalah untuk tidak melarikan diri ke
curhat, mendengarkan lagu, menyanyi, merokok, minum minuman keras, dsb-
nya, tapi lakukan meditasi.
Sadari pikiran hanya sebagai pikiran, bukan sebagai kebenaran, juga bukan
sebagai kenyataan sejati diri kita. Sadari perasaan hanya sebagai perasaan, bukan
sebagai kebenaran, juga bukan sebagai kenyataan sejati diri kita. Jika kita tekun
berlatih meditasi seperti ini, suatu saat semua bentuk pikiran-perasaan yang
ekstrim hanya akan menimbulkan riak-riak sebentar saja, untuk kemudian
menghilang.
Kemarahan, kebencian, ketidakpuasan, kesedihan, dsb-nya, terjadi karena
kekuatan pikiran ekstrim kiri di dalam diri kita lebih mendominasi dibandingkan
dengan kekuatan kesadaran Atma. Demikian juga sebaliknya, kesenangan
berlebihan, kenikmatan, kebahagiaan, dsb-nya, terjadi karena kekuatan pikiran
ekstrim kanan di dalam diri kita lebih mendominasi dibandingkan dengan
kekuatan kesadaran Atma. Dengan melaksanakan praktek meditasi non-dualitas
setiap saat dalam dinamika kehidupan sehari-hari, kekuatan kesadaran Atma di
dalam diri kita akan terus-menerus diperkuat. Sehingga nantinya kekuatan
kesadaran Atma yang akan lebih mendominasi dibandingkan kekuatan pikiran.
Caranya adalah, apapun yang terjadi dalam perjalanan kehidupan kita gunakan
sebagai titik untuk kembali terhubung dengan kesadaran Atma di dalam diri.
Tidak lagi sibuk dengan cara terikat pada hal-hal positif dan menolak hal-hal
negatif. Tidak lagi sibuk terikat pada kedamaian dan menolak kekacauan. Tidak
lagi sibuk terikat pada kedamaian dan menolak kesengsaraan. Hanya dengan cara
penerimaan, keterbukaan dan mengalir pada setiap kondisi keadaan seperti apa
adanya, itulah yang dimaksud kita membawa kesadaran ke titik tengah.
Jika kita memeditasikan hal ini secara tekun dan mendalam, lama-lama
kesadaran akan seperti langit biru. Awan putih tidak membuat langit menjadi
putih, awan hitam tidak membuat langit menjadi hitam. Apa pun yang terjadi
langit tetap biru, luas tidak terbatas. Di tahap ini, semua dualitas pikiran,
kecenderungan pikiran dan konsep lenyap. Tidak ada lagi yang perlu digali, tidak
ada lagi yang perlu dicapai. Semuanya menjadi meditasi. Terutama dengan
mempertahankan keadaan pikiran yang kembali ke titik tengah. Pendek-pendek
waktunya tetapi sering dilakukan.
Menjadi sadar bahwa tidak ada perbedaan antara mendapat pujian dengan
mendapat penghinaan. Keduanya hanya didengar dengan penuh belas kasih.
Menjadi sadar bahwa tidak ada perbedaan antara mendapat kebahagiaan dengan
mendapat kesengsaraan. Keduanya hanya dijalani dengan penuh belas kasih.
Mereka yang tekun berlatih seperti ini akan membawa jiwa-nya mencapai pusat
kesadaran Atma. Disana kehidupan akan berubah menjadi senyuman kejernihan.
Kebahagiaan-kesengsaraan, kebaikan-keburukan, kebenaran-kesalahan,
kesucian-kegelapan, selalu datang silih berganti, tapi semuanya hanya dilihat
sebagai awan-awan hitam dan awan-awan putih yang datang dan pergi oleh sang
Atma. Sang Atma hanya menyaksikan saja, laksana langit biru yang kekal tidak
berubah. Tidak memvonisnya [menghakiminya] sebagai bahagia-sengsara, baik-
buruk, benar-salah, suci-gelap. Hanya disaksikan saja dengan penuh belas kasih.
Purnamadah Purnamidam
Purnat Purnamudachyate
Purnasya Purnamadaya Purnameva Vashishyate
Terjemahan :
Sejak awal yang tidak berawal sampai akhir yang tidak ada akhirnya,
semuanya sempurna sebagaimana adanya.
Akan tetapi hal ini bukanlah hal yang dapat dipahami dengan logika atau
pikiran. Kesempurnaan tidak akan pernah dapat dipahami melalui logika atau
pikiran. Kesempurnaan hanya bisa disadari melalui keheningan. Cara untuk dapat
menyadarinya adalah dengan tekun melaksanakan meditasi non-dualitas beserta
4 [empat] ruas landasan kesadaran. Sampai suatu hari kita akan mengalami
sendiri [bukan memahami melalui logika atau pikiran, karena tidak bisa]
keheningan sebagai pusat kesadaran Atma. Dalam keheningan itulah
disembunyikan rahasia kesempurnaan.
Salah satu kesalahan konseptual dalam dunia spiritual dharma yang banyak
terjadi adalah berpikir adanya suatu tujuan pencapaian yang menetap. Misalnya
tercapainya suatu kondisi kedamaian pikiran yang statis [tidak berubah] untuk
selama-lamanya. Itu adalah suatu hal yang tidak mungkin karena bertentangan
dengan hukum alam. Pikiran adalah energi dan energi tidak statis. Sifat energi
adalah dinamis, atau terus bergerak dalam aliran perubahan.
Meditasi selama ini identik dengan duduk bersila memejamkan mata. Tapi
dalam meditasi non-dualitas, yang dimaksud meditasi adalah cara hidup yang
meditatif, hidup itu sendiri sebuah meditasi. Keheningan meditasi kita lanjutkan
dalam kehidupan sehari-hari. Hidup selalu dalam kesadaran. Jika tidak, maka saat
duduk meditasi bersila saja kita heningnya, setelah keluar darisana kesadaran
kembali kacau. Meditasi non-dualitas adalah sepanjang waktu. Bukan berarti
duduk meditasi bersila sepanjang waktu, tetapi hadirnya kesadaran sepanjang
waktu ketika kita dimanapun dan melakukan kegiatan apapun.
Hidup meditatif berarti hidup yang senantiasa eling dengan angga sarira
dan suksma sarira sepanjang waktu, saat dimanapun dan sedang apapun,
misalnya di rumah, di jalan, di kantor, saat bekerja, saat istirahat, saat menari,
saat membaca, saat berdiskusi, dsb-nya. Meditasi non-dualitas adalah hidup yang
disiplin dalam kesadaran. Dimana dan sedang apa, disitu hadir kesadaran, dalam
arti menjadi saksi yang penuh belas kasih terhadap setiap bentuk pikiran yang
datang, setiap emosi yang datang, setiap kegiatan yang dilakukan, tanpa
menilainya sebagai baik-buruk atau salah-benar.
Itulah apa yang diajarkan oleh leluhur kita di Bali dengan tehnik yang
disebut sebagai "maulu ke tengah". Pada prinsipnya adalah eling [sadar] dengan
pikiran-perasaan kita sendiri setiap saat, setiap detik, setiap menit, setiap jam,
untuk menjadi saksi yang penuh belas kasih, tanpa menilainya sebagai baik-buruk
atau salah-benar.
Meditasi dimulai ketika kita sadar dengan apa yang kita pikirkan, sadar
dengan apa yang kita rasakan, untuk kemudian menjadi saksi yang penuh belas
kasih, tanpa menilainya sebagai baik-buruk atau salah-benar.
Mungkin saat ini pikiran kita sangat kotor, tapi ketika kita sadar dengan
pikiran kotor itu, menyaksikannya dengan penuh belas kasih tanpa menilainya
sebagai baik-buruk atau salah-benar, itu berarti meditasi dimulai. Pemurnian diri
dimulai.
Jadi pada intinya meditasi non-dualitas adalah menjadi saksi yang penuh
belas kasih terhadap pikiran-perasaan kita sendiri, tanpa menilainya sebagai baik-
buruk atau salah-benar. Meditasi non-dualitas adalah menyadari apa yang kita
pikirkan, atau rasakan, setiap saat. Menyadari dengan “maulu ke tengah”, tanpa
menyalahkan, juga tanpa membenarkan. Jika kita menyalahkan itu bukan
meditasi. Jika kita membenarkan itupun juga bukan meditasi. Meditasi adalah
menyaksikan sebagaimana adanya, tanpa menilai, tanpa menghakimi, tanpa
membandingkan. Pikiran beristirahat dalam kesadaran.
Ini adalah moralitas yang muncul secara alami dan bukan moralitas yang
diperjuangkan atau dipaksakan. Tidak seperti orang biasa yang tidak terlatih
meditasi, dia harus berjuang atau memaksakan diri agar dapat memiliki moralitas.
Cara kerja pikiran itu seperti per. Berusaha melawan atau mengendalikan
kemunculan pikiran yang negatif seperti “mengendalikan pikiran”,
“mengendalikan rasa marah”, atau “melawan hawa nafsu”, dsb-nya, itu sama
seperti menekan per. Semakin ditekan semakin besar energi yang disimpan, yang
akan terus mengembang dan siap kapan saja menghantam balik. Sudah menjadi
hukum alam bahwa pikiran tidak bisa ditekan, karena dia sudah pasti akan
mencari jalan keluar.
Jadi tidak heran orang yang berusaha melawan atau mengendalikan pikiran
negatifnya, maka akan semakin besarlah pikiran negatifnya. Orang yang berusaha
menekan rasa marahnya maka akan semakin besarlah rasa marahnya. Orang yang
berusaha menekan hawa nafsunya maka akan semakin besarlah hawa nafsunya.
Atau kemungkinan lain, upaya melawan atau mengendalikan pikiran-pikiran
negatif itu akan meledak dalam bentuk-bentuk yang lain. Artinya orang yang
sering berusaha menekan pikiran-pikiran negatifnya akan menjadi mudah marah,
minta dihormati, mudah tersinggung, suka menghakimi, sombong, dsb-nya,
sebagai kompensasi dari menekan pikiran-pikiran negatifnya. Sebagai akibat dari
menekan energi yang sudah pasti energi itu akan mencari jalan keluar.
Pikiran yang berkeliaran, dimana pikiran positif dan pikiran negatif datang
dan pergi, adalah hal yang alami sesuai hukum alam. Terlalu menekan [melawan
atau mengendalikan] pikiran negatif di dalam diri kita sendiri [yang sifatnya alami
sesuai hukum alam] akan memantul balik dalam bentuk kekacauan di dalam jiwa
kita. Setiap bentuk pikiran-pikiran yang ditekan dan dilarang secara berlebihan
kemudian akan terlempar ke “gudang” bernama alam bawah sadar. Begitu
“gudang” itu penuh, kelak dia akan muncul ke permukaan dalam bentuk galau,
kesedihan tanpa sebab, keinginan untuk dihormati, suka menghakimi,
keangkuhan, dsb-nya.
Karena semua rasa sakit di dalam diri, semua kekacauan mental dan
kekacauan spiritual, berakar dari kegagalan untuk mengalir menerima diri sendiri
dan kehidupan seperti apa adanya. Semua hal akan cenderung mudah terlihat
salah dan menyakitkan. Bahkan ajaran-ajaran agama akan sulit dilaksanakan,
karena dengan diri kita sendiri saja kita masih terus-menerus bertempur.
Sehingga ajaran agama tidak digunakan untuk menciptakan pondasi ketenangan
yang kita butuhkan, tapi malah untuk menciptakan pertempuran baru dengan diri
sendiri.
Walaupun hal ini sebenarnya juga dapat dimengerti. Sebab cara kerja
pikiran agar mengerti hanya bisa dengan menilai dan memilah ke dalam dualitas.
Pikiran hanya bisa mengerti tentang baik jika ada yang buruk. Pikiran hanya bisa
mengerti tentang kesucian jika ada yang kekotoran. Pikiran hanya bisa mengerti
tentang keindahan jika ada yang jelek. Pikiran hanya bisa mengerti tentang
bahagia jika ada sengsara. Pikiran hanya bisa mengerti tentang kehormatan jika
ada kehinaan. Tanpa dualitas, pikiran tidak akan dapat bekerja secara aktif.
Artinya, dualitas pikiran sesungguhnya hanya tembok pemisah imajiner
untuk membantu mempermudah pikiran mengerti. Tapi sayangnya dari sinilah
keutuhan sempurna diri kita kemudian terpecah-belah, karena seolah-olah benar
dipisahkan oleh tembok imajiner. Pikiran manusia kemudian mengganggap bahwa
tembok imajiner itu benar-benar ada. Membuat manusia menjadi bernafsu hanya
ada benar tanpa ada salah, hanya ada suci tanpa ada kotor, hanya ada bahagia
tanpa ada sengsara, hanya ada keindahan tanpa ada jelek, hanya ada kehormatan
tanpa ada kehinaan, dsb-nya. Ini tidak bisa, karena melawan hukum-hukum alam.
Manusia dengan kebocoran energi seperti itu energinya akan banyak habis.
Di alam [nature] ini terdapat suatu pola. Polanya adalah dia akan membutuhkan
kompensasi dari “kebocoran energi”-nya tersebut. Kehabisan energi ini akan
berusaha diisi ulang dengan cara memarahi orang, menyalahkan orang, atau sibuk
mengkritik dan menghakimi ini dan itu. Memuliakan dirinya dan merendahkan
yang lain. Saya benar, orang lain salah. Saya baik, orang lain buruk. Kelompok
spiritual saya bagus, kelompok yang berbeda menyimpang. Hal-hal seperti itu.
Semakin tinggi dan tebal tembok imajiner dualitas pikiran, maka semakin
keras konflik akan menjerat di dalam diri [pikiran] dan diluar [dengan orang lain].
Meditasi non-dualitas diajarkan oleh leluhur kita di Bali dengan tehnik yang
disebut sebagai "maulu ke tengah". Mereka yang ingin bertemu kejernihan
pikiran disarankan kembali ke tengah. Tidak mengikuti bentuk-bentuk pikiran-
perasaan, sekaligus tidak berusaha mengendalikan atau melawannya. Tapi
menjadi saksi yang penuh belas kasih terhadap setiap bentuk pikiran-perasaan
yang datang, tanpa menilainya sebagai baik-buruk atau salah-benar. Itulah maulu
ke tengah. Menjadi saksi yang tersenyum penuh belas kasih secara sama baik
kepada “unsur dewa” maupun “unsur bhuta” di dalam diri, dengan tanpa
penilaian, tanpa penghakiman.
Ada orang yang mengira meditasi bisa membuat orang bahagia dan damai
selama-lamanya. Jangankan manusia biasa bahkan para Satguru yang sudah
mencapai kesadaran sempurna juga mengalami sedih, marah dan galau. Bedanya
kalau orang biasa diseret oleh kesedihan, para Satguru melihat rasa sedih, rasa
marah atau rasa galau hanya seperti sampah yang mengalir di sungai. Ia datang
kemudian lewat. Pikiran juga tidak berbeda. Sejumlah orang mengira kalau
meditasi bisa membuat pikiran selalu positif dan bijaksana. Lagi-lagi pandangan
ini perlu dikoreksi. Mirip dengan awan di langit, pikiran positif dan negatif datang
dan pergi sesuai dengan hukumnya. Tugas meditasi hanya menyaksikan awan-
awan ini, sehingga suatu hari bisa menjadi langit biru yang tidak berhingga.
Meditasi tidak dapat membuat pikiran selalu positif dan bijaksana. Karena
sebagaimana leluhur kita di Bali mengajarkan bahwa manusia itu “dewa ya bhuta
ya”, semasih kita mengenakan tubuh manusia pikiran positif dan negatif datang
dan pergi secara alami. Tugas meditasi hanya menyaksikan awan-awan pikiran ini,
sehingga suatu hari bisa menjadi langit biru yang luas tidak terhingga. Meditasi
tidak dapat membuat perasaan kita selalu bahagia dan damai selama-lamanya.
Karena perasaan positif dan negatif datang dan pergi sesuai dengan hukum
karma. Tapi meditasi membuat kita dapat melihat kesedihan dan kegundahan
hanya seperti sampah yang mengalir di sungai. Ia datang kemudian lewat.
“Nak mula keto” memiliki makna bahwa segala sesuatu bukan salah, bukan
benar, bukan netral. Bukan sedih, bukan senang, bukan datar. Segala sesuatu
adalah fenomena alam sebagaimana adanya, “nak mula keto”, tidak ada yang
perlu dijelaskan. Semua bentuk fenomena adalah kesempurnaan tarian kosmik
Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama, tarian energi-energi semesta yang mengalir
dan menari sempurna sesuai dengan hukum-hukum kosmik, yaitu hukum Karma
dan hukum Rta.
Di dalam ajaran dharma kuno ada ungkapan seperti ini : "begitu baju luar
dilepaskan dengan penuh keikhlasan, maka tubuh cahaya di dalam langsung
kelihatan". Maknanya sederhana, berlatihlah untuk melepaskan, yaitu
melepaskan semua fenomena diluar dan di dalam diri.
Ini sering disebut sebagai jalan yang ke empat. Bukan salah, bukan benar,
bukan netral. Bukan sedih, bukan senang, bukan datar. Jalan ke-empat adalah
jalan menyaksikan. Menjadi saksi yang penuh belas kasih kepada semua
fenomena, dengan tanpa penilaian, tanpa penghakiman. Siapa saja yang sudah
lama mempraktekkannya akan mengerti, inilah jalan kembalinya kesadaran Atma.
Kembali ke sifat alami Atma. Keheningan sempurna yang berlimpah belas kasih
dan kebaikan kepada semua.
Mereka yang tekun berlatih seperti ini suatu hari akan mengerti di dalam
diri kita sendiri terdapat kekuatan suci yang maha-agung, yaitu kesadaran Atma
yang sudah ada di dalam diri sejak dari awal yang tidak berawal. Kesadaran ini
membuat kita memahami kenyataan diri tertinggi, pengetahuan rahasia tertinggi
dan sekaligus terbebas dari belenggu siklus samsara.
Segala bentuk pikiran, perasaan dan gagasan, hanya disaksikan saja dengan
senyuman penuh belas kasih. Istirahat dalam kesadaran. Menyatu dengan
keheningan.
Tapi sesulit apapun hal ini, kita tekunlah belajar untuk menjadi saksi yang
tersenyum tenang dan penuh belas kasih. Semua hal yang oleh pikiran dianggap
salah-benar, baik-buruk, bahagia-sengsara, dsb-nya, adalah tarian kosmik Shiwa
[Shiwa Nataraja] yang sama. Semua jenis perasaan seperti sedih-bahagia, marah-
damai, dsb-nya, adalah tarian kosmik Shiwa yang sama. Pikiran hanya pikiran
bukan diri kita. Perasaan hanya perasaan bukan diri kita. Gagasan hanya gagasan
bukan diri kita.
Begitu kita mulai belajar istirahat dalam kesadaran, disana kita mulai
termurnikan, tapi belum tersempurnakan. Kesempurnaan baru tercapai ketika
kita dapat menyatukan keheningan dengan belas kasih dan kebaikan yang
mendalam. Disana kegelapan di dalam diri akan menghilang dan kehidupan
berubah menjadi samudera senyuman penuh cahaya.
PENUTUP
Marga Sunia : Jalan Hening
1] Halangan tubuh fisik -- tubuh yang lelah, kaki terasa sakit karena lama
duduk bersila, dsb-nya.
2] Halangan mental -- malas, ragu-ragu, dsb-nya.
3] Halangan konsep dan gagasan -- bahwa meditasi harus mencapai begini
dan begitu, meditasi harus selalu mendamaikan [padahal meditasi juga
mengalami siklus naik-turun], dsb-nya.
Tidak akan cukup hanya dengan satu sadhana tunggal saja, tidak akan
cukup hanya dengan meditasi kesadaran saja. Misalnya [hanya sebuah
contoh], jika kita tekun melakukan praktek meditasi kesadaran, tapi dalam
keseharian kita tidak tekun melakukan praktek perkataan dan perbuatan
yang baik, misalnya kita sering menghina, sering berbohong, sering menyakiti,
tidak puas, serakah, egois, dst-nya, maka daya angkat meditasi terhadap
kesadaran sangat lemah. Sebaliknya jika kita tekun melakukan praktek
perkataan dan perbuatan yang baik, tapi dalam keseharian kita tidak praktek
meditasi kesadaran, maka kemajuan kesadaran kita akan berjalan lambat.
Hanya jika kita tekun melakukan praktek meditasi kesadaran dan praktek
perkataan dan perbuatan yang baik secara bersama-sama, barulah kesadaran
kita akan cepat majunya.
Secara alami di dalam tubuh fisik, pikiran dan perasaan kita terdapat
banyak kontradiksi [dualitas]. Misalnya baik melawan buruk, benar melawan
salah, suci melawan kotor, bahagia melawan sengsara, untung melawan rugi,
sukses melawan gagal, berani melawan takut, rasa lepas melawan rasa malu,
agama melawan ilmu pengetahuan, damai melawan kacau, ekspresi diri
melawan norma sosial, logika melawan rasa, menyenangkan melawan
menyakitkan, pendapat saya benar melawan pendapat orang lain salah, dsb-
nya. Serta masih banyak sekali ada berbagai kontradiksi-kontradiksi lainnya
di dalam diri kita.
Mencapai pikiran yang hening atau tidak, kita manusia masih akan tetap
dan selalu memiliki banyak kontradiksi [dualitas] di dalam diri. Semata-mata
karena sifat alami tubuh fisik, pikiran dan perasaan kita memang penuh
kontradiksi. Bedanya pikiran yang hening "istirahat" disaat ini seperti apa
adanya. Istirahat dari pembandingan, istirahat dari penghakiman, istirahat
dari persaingan, istirahat dari ketidakpuasan, dsb-nya. Istirahat dari segala
kontradiksi yang muncul di dalam diri. Apapun bentuk kontradiksi yang
muncul di dalam diri hanya disaksikan saja dengan senyuman penuh belas
kasih. ISTIRAHAT. Inilah yang disebut sebagai jalan hening atau marga sunia.
Kumpulan e-book lengkap dari Rumah Dharma - Hindu Indonesia bisa di-
download secara gratis tanpa dipungut biaya apapun di :
tattwahindudharma.blogspot.com
facebook.com/rumahdharma
DHARMA DANA
Rumah Dharma - Hindu Indonesia
Pada tahun 2009 mulai belajar dengan Guru dharma-nya yang kedua, mendalami
kekayaan spiritual Hindu Bali, mendalami ajaran Tantra, menjalin pertemanan
dengan banyak Guru dan praktisi spiritual, serta tetap meneruskan melakukan
tirthayatra dan penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno.
Pada tahun 2010 mulai melakukan pelayanan dharma untuk umum di halaman fb
rumah dharma, serta mulai memberikan tuntunan dan berbagi ajaran kepada
adik-adik dharmanya. Di tahun yang sama juga mulai menulis buku. Inspirasi
dharma yang didapatnya dari perjalanan ke berbagai pura pathirtan kuno,
dikombinasikan dengan ajaran dari para Guru-nya, dari praktek meditasi,
membaca puluhan buku-buku suci, serta diskusi-diskusi panjang dengan banyak
praktisi spiritual, kemudian ditulisnya menjadi berbagai buku.
Pada tahun 2015 mulai belajar dengan Guru dharma-nya yang ketiga, serta tetap
meneruskan melakukan pelayanan dharma untuk umum.