Anda di halaman 1dari 8

Akad 

mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal (malik/shahib
al-mal) yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola (‘amil/mudharib) dan
keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang disepakati dalam akad.
Nisbah bagi hasil adalah nisbah atau perbandingan yang dinyatakan dengan angka seperti
persentase untuk membagi hasil usaha. Dalam pengertian singkatnya
akad mudharabah  yaitu suatu akad kerja sama dimana tidak ada modal dari pengelola,
karena modal uang 100% berasal dari pemilik modal (shahibul maal).

Secara sederhana, pengertian mudharabah adalah kerjasama usaha antara dua pihak


dengan ketentuan bagi hasil atas keuntungan usaha dan bagi rugi jika ada kerugian usaha.
Skema mudharabah merupakan pengganti akad pinjaman pada produk lembaga keuangan
syariah. Contoh mudharabah dalam kehidupan sehari-hari adalah pola kerja sama usaha
menggunakan sistem bagi hasil secara syariah.

Lalu seperti apa mekanisme kerja sama yang berlangsung antara pengelola dengan
pemilik modal? Pada akad mudharabah, terjadi pemisahan tugas dan tanggung jawab.
Yaitu, satu pihak bertanggung jawab menjalankan usaha agar mampu meraih keuntungan
(mudharib). Kemudian satu pihak lagi bertugas menyediakan keseluruhan modal untuk
menjalankan usaha (shahibul maal).

Bentuk mudharabah

Mudharabah  boleh dilakukan dalam bentuk-bentuk berikut:

1. Mudharabah-muqayyadah: adalah akad mudharabah  yang dibatasi jenis usaha,


jangka waktu (waktu), dan/atau tempat usaha
2. Mudharabah-muthlaqah: adalah akad mudharabah yang tidak dibatasi jenis usaha,
jangka waktu (waktu), dan/atau tempat usaha
3. Mudharabah-tsuna’iyyah: adalah akad mudharabah  yang dilakukan secara langsung
antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola (‘amil/mudharib)
4. Mudharabah-musytarakah: adalah akad mudharabah  yang pengelolanya
(‘amil/mudharib) turut menyertakan modalnya dalam kerja sama usaha

Ketentuan ucapan/lafal (shighat)


1. Akad mudharabah  harus dinyatakan secara tegas, jelas, mudah dipahami dan
dimengerti serta diterima para pihak
2. Akad mudharabah  boleh dilakukan secara lisan, tertulis, isyarat, dan
perbuatan/tindakan, serta dapat dilakukan secara elektronik sesuai syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
3. Pengelola (‘amil/mudharib) dalam akad mudharabah tsuna’iyyah tidak boleh
melakukan mudharabah  ulang (mudharib yudharib) kecuali mendapatkan izin dari
pemilik modal (shahibul maal)
4. Pengelola (‘amil/mudharib) wajib memiliki keahlian/keterampilan melakukan usaha
dalam rangka mendapatkan keuntungan

Lalu usaha seperti apa yang dapat melaksanakan kerja sama melalui akad mudharabah?

Berdasarkan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI tentang akad mudharabah, kegiatan


usaha yang yang dapat melaksanakan kerja sama mudharabah adalah sebagai berikut:

1. Usaha yang dilakukan pengelola (‘amil/mudharib) harus usaha yang halal dan sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah dan/atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku
2. Pengelola (‘amil/mudharib) dalam melakukan usaha mudharabah harus atas nama
entitas mudharabah, tidak boleh atas nama dirinya sendiri
3. Biaya-biaya yang timbul karena kegiatan usaha atas nama entitas mudharabah,
boleh dibebankan ke dalam entitas mudharabah
4. Pengelola (‘amil/mudharib) tidak boleh meminjam, meminjamkan,
menyumbangkan, atau menghadiahkan modal usaha (ra’s al-mal) dan keuntungan
kepada pihak lain, kecuali atas dasar izin dari pemilik modal (shahibul maal)
5. Pengelola (‘amil/mudharib) tidak boleh melakukan perbuatan yang termasuk
melakukan suatu perbuatna yang seharusnya tidak dilalakukan (at-ta’addi), tidak
melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan (at-taqshir), dan/atau menyalahi
isi dan/atau substansi atau syarat-syarat yang disepakati dalam akad (mukhalafat
asy-syuruth)

Contoh mudharabah antar dua pihak saja yaitu shahibul maal yang bermitra


dengan mudharib untuk usaha percetakan selama 9 bulan. Shahibul Maal memberikan
uang untuk mo dal usaha sebesar Rp. 20 juta. Kedua belah pihak sepakat dengan nisbah
bagi hasil 40:70 (40% keuntungan untuk shahibul maal).
Setelah mudharib menjalankan usaha selama 9 bulan, modal usaha telah berkembang
menjadi Rp. 35 juta, sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp. 15 Juta (Rp. 35 juta – Rp.
20 Juta). Maka, shahibul maal berhak mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 3 Juta (40% x
Rp. 6 juta) dan sisanya sebesar Rp. 9 juta menjadi hak mudharib.
Semakin berkembangan perekonomian syariah di zaman sekarang ini, berkembang pula
nama untuk akad-akad yang digunakan dalam perekonomian tersebut. Jika dahulu di
zaman Nabi hanya terkenal dengan sistem mudharabah saja yang mana sistem ini
diterapkan sebelum Nabi diangkat menjadi Rasul. Bahwa dahulu Nabi pernah berkongsi
untuk menjualkan barang dagangan khotidjah pada waktu itu, dengan sistem pembayaran
bagi hasil. Setelah semakin lama berkembang dan dirasa bahwa perekonomian syariah
adalah solusi bagi krisis perekonomian pada waktu itu, mulailah timbul akad-akad baru
yang diantaranya adalah mudharabah musytarakah.

Mudharabah musytarakah adalah gabungan dari dua kata yaitu mudharabah dan
musytarakah. Yang dimaksud dengan mudharabah adalah transaksi penanaman dana oleh
pemilik modal (shohibul mal) kepada pengelola (mudharib) untuk melakukan usaha
tertentu dengan pembagian hasil berdasarkan nisbah yang disepakati oleh kedua belah
pihak, sedangkan kerugian modal hanya ditanggung oleh pemilik modal.

Sedangkan musytarakah adalah serikat, gabungan, atau  perkumpulan. Maka mudharabah


musytarakah hakikatnya adalah mudharabah biasa yang dimodifikasi untuk dijadikan
produk perbankan syariah sebagai ganti dari tabungan/deposito berbunga pada bank
konvensional.

Sebagaimana didefinisikan oleh Majma’ Al-Fiqh Al Islami (Divisi Fiqh OKI) dalam
keputusan muktamar No. 123 (5/13) 2001, yang berbunyi, ”Mudharabah Musytarakah
yaitu: mudharabah, dimana para pemilik dana terdiri dari jumlah orang banyak yang
memberikan dananya untuk dikembangkan oleh pihak kedua (bank) pada sektor yang
dianggap mendatangkan laba, terkadang sektornya tertentu. Para pemilik dana
memberikan ijin kepada pengelola untuk menggabungkan dana mereka menjadi satu,
termasuk dana pengelola. Dan pengelola memberikan izin kepada para pemilik dana
menarik seluruh dana mereka atau sebagiannya berdasarkan persyaratan tertentu.”

Di dalam keputusan muktamar juga dijelaskan hubungan pihak yang terkait  dalam
mudharabah musytarakah, yang berbunyi,”Gabungan para investor adalah (shohibul mal),
hubungan mereka satu dengan yang lainnya termasuk pengelola-jika menggabungkan
dananya juga-adalah musyarakah. Pihak yang bertanggung jawab mengembangkan dana
yaitu mudharaib (pengelola) perorangan atau perseroan, seperti bank dan lembaga
keuangan syariah, hubungan antara mudharib dan shohibul mal adalah
mudharabah/qiradh. Pihak pengelola dipercayakan untuk mengambil kebijakan serta
mengatur investasi. Apabila mudharib mempercayakan kepada pihak ketiga untuk
mengembangkan dana maka kebijakan tersebut merupakan mudharabah kedua antara
mudharib pertama (bank) dengan pihak ketiga, dan status bank bukan sebagai perantara
antara pihak ketiga dan pemilik dana ”pemilik rekening investasi mudharabah.”

Yang menjadi permasalahan adalah adanya wacana dari para peneliti bahwa akad
mudharabah musytarakah mempunyai hubungan dengan riba dayn setelah diakui sebagai
produk bank syariah. Para peneliti tersebut berdalih bahwa dengan mengqiyaskan
mudharabah musytarakah dengan ajir musytarak (orang upahan yang bekerja memberikan
jasa untuk orang banyak, seperti penjahit yang menerima jahitan dari banyak orang).

Ajir musytarak ini berbeda dengan ajir khas (orang upahan yang bekerja memberikan
jasanya untuk orang tertentu, seperti sopir pribadi). Ajir khas tidak diwajibkan untuk
mengganti kerugian pada barang yang digunakannya jika terjadi kerusakan/lenyap tanpa
ada unsur kelalainnya, seperti kerusakan mobil jika terjadi kecelakaan lalu lintas yang
terjadi diluar kehendak sopir tadi, maka ia tidak wajib menggantinya. Akan tetapi
kebalikannya dengan ajir musytarak, harus menjamin barang para pengguna jasanya
dalam kondisi bagaimanapun juga,kecuali terjadi musibah umum seperti kebakaran yang
menimpa toko penjahit tadi akibat dari api toko lain, ini pendapat Hanbali. Dengan tujuan
agar yang bersangkutan tidak semena-mena terhadap para pengguna jasanya. Dengan
demikian dapat diqiyaskan mudharabah musytarakah dengan ajir musytarak, karena
mudharib (bank) menerima dana dari orang banyak. Agar bank tidak semena-mena
terhadap dana mayarakat maka bank diwajibkan untuk menjamin pokok dana yang
diterima dari masyarakat. Akan tetapi hal tersebut diatas masih diperdebatkan apakah
memang ada hubungannya atau tidak. Wallahu ’alam.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mudharabah Musytarakah",


Klik untuk baca:

https://www.kompasiana.com/saiful18/55915f1b7a9373eb0b8b4569/mudharabah-
musytarakah

Kreator: Muhammad Saiful Hidayat

Kompasiana adalah platform blog, setiap konten menjadi tanggungjawab kreator.


Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com

Anda mungkin juga menyukai