Anda di halaman 1dari 8

EBOLA

A. Definisi

Penyakit virus ebola yang dikenal juga dengan Ebola Haemorrhagic Fever (EHF)
disebabkan oleh Virus Ebola (VE). Virus ini merupakan penyebab penyakit menyerang yang
menyebabkan gejala demam berdarah yang sangat mematikan bagi manusia dan yang bukan
(monyet/primata). (B. Mulyadi, 2006)

B. Epidemiologi

Tahun 2014 merupakan tahun epidemi terbesar virus Ebola sepanjang sejarah. Pada
Februari 2014, ditemukan lebih dari 150 orang terserang virus Ebola di Guinea dan Liberia,
Afrika Barat. Kemudian kasus Ebola ditemukan meluas di negara Afrika lain.Angka kematian
karena Ebola telah mencapai 90% penderita.Virus Ebola pertama kali ditemukan pada tahun
1976 di Sudan. Virus ini termasuk dalam famili Filoviridae, genus Ebolavirus. Terdapat 5
spesies Ebolavirus, 4 diantaranya menyebabkan penyakit pada manusia yaitu: Zaire ebolavirus,
Sudan ebolavirus, Taï Forest ebolavirus, Côte d’Ivoire ebolavirus dan Bundibugyo ebolavirus.
Virus jenis kelima adalah virus Ebola yang menyerang primata yaitu: Reston
ebolavirus.Penyebaran dan penularan virus Ebola pada manusia masih belum diketahui tapi
dicurigai merupakan penyakit yang ditularkan oleh hewan yaitu kelelawar. Penularan virus Ebola
dari manusia ke manusia mudah terjadi. Menurut para ahli, virus Ebola dapat ditularkan melalui
kontak dengan cairan tubuh penderita seperti darah, urin, cairan semen, air liur dan muntahan.
Virus dapat masuk ke tubuh manusia melalui kulit atau mukosa yang tidak intak.

Penyakit yang ditimbulkan virus Ebola disebut dengan Ebola hemorrhagic fever.Masa
inkubasinya sekitar 6-8 hari. Manifestasi klinis yang terjadi adalah demam tinggi mencapai
40oC, nyeri kepala hebat, nyeri otot, muntah, diare, nyeri perut dan diikuti perdarahan spontan
yang masif. Diagnosis Ebola pada awal penyakit sulit ditegakkan jika hanya berdasarkan gejala
klinis. Jika ada kecurigaan kontak dengan penderita Ebola, perlu dilakukan pemeriksaan seperti
ELISA, PCR, isolasi virus atau imunohistokimia.Obat antivirus maupun vaksin untuk penyakit
Ebola belum ditemukan hingga saat ini. Terapi yang dapat diberikan kepada penderitanya hanya
sebatas terapi suportif seperti pemberian oksigen, cairan intravena dan obat-obat simtomatik.
Karena penularan dan penyebarannya sangat cepat dan prognosisnya buruk, penyakit Ebola
harus segera dicegah.Dahsyatnya wabah Ebola di benua Afrika saat ini menjadi perhatian dunia
termasuk Indonesia. Bahkan, pemerintah Arab Saudi telah membatalkan kuota umroh dan haji
tahun 2014 bagi negara-negara Afrika yang terserang wabah virus Ebola demi mencegah
penyebarannya. Diharapkan negara-negara di luar benua Afrika termasuk Indonesia dapat
melakukan upaya-upaya untuk mencegah penyebaran virus Ebola masuk ke negaranya.
(Hendrawati, 2014)

C. Etiologi

Penyakit virus Ebola (EVD;dulu dikenal sebagai demam berdarah Ebola) disebabkan
oleh infeksi virus Ebola yang tergolong dalam famili Filoviridae. Pada manusia, tingkat kematian
kasus EVD rata-rata 50% (bervariasi dari 25% hingga 90% dalam kasus wabah sebelumnya).
(Kementrian Kesehatan RI, 2019)

D. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi virus Ebola mulai dari hari ke-2 sampai hari ke- 21, umumnya antara 5
sampai 10 hari. Gejala-gejalanya antara lain demam, perdarahan, nyeri kepala, nyeri otot dan
sendi, radang tenggorokan, lesu, disertai muntah, diare, dan nyeri perut. Perdarahan mulai
muncul hampir bersamaan dengan munculnya ruam makulopapular, yaitu pada hari ke- 5 – 7,
terjadi di berbagai tempat seperti mulut, mata, telinga, hidung, dan kulit. Perdarahan hanya
terjadi pada kurang dari 50% penderita dan bahkan tidak ditemui pada beberapa kasus fatal.
Dapat juga ditemukan edema pada wajah, leher, dan daerah genital (skrotum/ labia) dan
hepatomegali. Bila sistem imun penderita kuat, maka dalam 10 – 12 hari setelah onset demam
dapat berangsur – angsur menghilang. Pasien meninggal biasanya karena tidak meresponsnya
sistem imun terhadap virus. Tingkat kematian dapat mencapai 50% sampai 90%. Manifestasi
Laboratorium( Leukopenia) adalah tanda awal yang sering ditemukan, diikuti neutrofilia pada
tahap lanjut. Nilai trombosit cenderung turun sampai 50.000/ µL. Kadar alanine
aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST) meningkat progresif dan jaundice
ditemukan pada sebagian kasus. Serum amilase dapat meningkat dan dapat diasosiasikan dengan
nyeri perut. Proteinuria sering ditemukan, menandakan adanya gangguan fungsi ginjal.
(Jayanegara, 2016)

E. Faktor Resiko

Beberapa faktor risiko yang memengaruhi penularan penyakit virus ebola:


1. Riwayat perjalanan dari daerah/negara terjangkit
2. Kegiatan selama berada di daerah/negara terjangkit
3. Ada tidaknya tanda dan gejala PVE
4. Tidak diberikan vaksin saat berpergian ke daerah endemis
5. Tidak menerapkan pencegahan dan pengendalian infeksi saat penanganan kasus penyakit
virus ebola bagi tenaga kesehatan.(Kementrian Kesehatan RI, 2019)

F. Diagnosis Laboratorium
Diagnosis Ebola dan virus Filo, harus sensitif, spesifik dan akurat karena jika terdapat
kesalahan diagnosis infeksi Ebola dapat membawa dampak yang besar, yang berakibat
meresahkan dan kepanikan masyarakat serta dapat menyebarkan penyakit ini. Oleh karena itu,
pasien yang positif terinfeksi virus Ebola harus ditangani dengan benar dan diisolasi agar
penyebaran penyakit dapat dikendalikan. Diagnosis yang tidak akurat, seperti pasien yang
menunjukkan hasil positif palsu, tidak harus diisolasi, karena sebenarnya hanya menempatkan
individu yang tidak beresiko terinfeksi dalam ruang isolasi sehingga dikhawatirkan akan
meresahkan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, pasien yang negatif palsu, cenderung memiliki
potensi untuk menularkan ke masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, diagnosis virus Filo dan
Ebola sebaiknya dilakukan dengan mempergunakan beberapa metode diagnostik, sehingga
resiko kesalahan diagnosis dapat diminimalkan. Diagnosis Ebola dan virus Filo dilakukan
dengan melihat gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi isolasi virus, deteksi
virus seperti reverse transcriptase-PCR (RT-PCR), real-time RT-PCR, antigen-capture enzime-
linked immunosorbent assay (Ag-C-ELISA) dan immunohistokimia (Lucht et al. 2004;
Formenty et al. 2006). Pemeriksaan serologic meliputi uji IgM-ELISA menggunakan antigen
virus sintentik (Towner et al. 2004; Weidmann et al. 2004; Saijo et al. 2006; MacNeil et al.
2010).
Uji serologi yang paling banyak digunakan adalah ELISA menggunakan glikoprotein
(GP) yang spesifik terhadap grup Ebola, sehingga hasil dari ELISA menunjukkan antibodi
terhadap kelompok spesies Ebola, tetapi dapat membedakan dengan kelompok Marburg
(Nakayama et al. 2010). Antibodi virus Ebola pada manusia masih dapat bertahan hingga
sepuluh tahun (Nakayama et al. 2010). Akhir-akhir ini, panel antibodi monoklonal yang spesifik
terhadap NP (RNPs) ZEBOV, REBOV dan SEBOV telah dikembangkan (Saijo et al.
2006).Temuan ini memungkinkan, untuk mengidentifikasi secara serologis spesies isolat EBOV.
Lebih lanjut, Nakayama et al. (2010) menggunakan imunoblot untuk mengkonfirmasi antibodi
terhadap spesies Ebola,sedangkan untuk deteksi antigen, dapat digunakan uji RT-PCR dan qRT-
PCR, yang dilanjutkan dengan sekuensing (Sanchez et al. 2006).(Damayanti & Sendow, 2015)

G. Pengobatan Penyakit Virus Ebola

Dhama et al.(2018) menjelaskan bahwa berbagai obat telah digunakan kembali untuk
mengobati penyakit yang berpotensi mematikan seperti EVD. Ada daftar panjang senyawa yang
digunakan kembali yang telah dievaluasi sebagai inhibitor EBOV, termasuk inhibitor
mikrotubulus, reseptor estrogen dan modelling ulang, inhibitor kinase, antagonis histamin, dan
blocker saluran ion. Studi mendalam masih diperlukan untuk memahami patogenesis dan peran
berbagai peptida EBOV, protein, dan antigen serta interaksi host-virus dalam EVD. Ada juga
kebutuhan untuk mengembangkan antivirus dan vaksin yang ekonomis dan efektif terhadap
EBOV yang memiliki pendekatan / utilitas untuk setiap bagian dunia termasuk negara-negara
miskin sumber daya. Meskipun pengembangan vaksin terhadap EBOV dimulai pada tahun 1980,
masih belum ada vaksin yang efektif untuk mencegah penyakit mematikan ini. Karenanya,
perburuan vaksin yang efektif masih terus dilakukan. Ebola VLP memainkan peran penting
dalam penyaringan throughput tinggi senyawa anti-EBOV. Karena lima spesies EBOV telah
dilaporkan, vaksin polivalen yang memiliki penentu imunogenik seperti GP dari masing-masing
spesies akan memberikan kekebalan yang lebih luas.

Kandidat vaksin generasi pertama terbaik untuk EBOV adalah rVSV dan ChAd3,
sebagaimana tercermin dalam aplikasi mereka dalam memberikan perlindungan jangka panjang
selama wabah sporadis. Berbagai kombinasi antigen dari berbagai spesies EBOV dapat
dieksplorasi untuk mencapai respon imun protektif yang lebih tinggi. Vaksin berbasis rVSV
sedang digunakan di Republik Demokratik Kongo. Karena tidak adanya kekebalan yang sudah
ada sebelumnya terhadap VSV, itu menghilangkan beberapa kelemahan dan masalah keamanan
terkait vaksin berbasis Ad5. Selain itu, telah menunjukkan perlindungan jangka panjang pada
beberapa model NHP, ini adalah platform vaksin yang ideal untuk digunakan pada saat wabah.
Bersama-sama, vaksin GamEvacCombi juga tampaknya sama-sama menjanjikan karena
menghasilkan respons kekebalan pada 100% sukarelawan.(Jayanegara, 2016)

H. Potensi Penyakit Virus Ebola di Indonesia

Dalam jurnal Nidom et al. (2012), dilaporkan penelitian dengan menggunakan sampel
serum yang dikumpulkan dari 353 orangutan Borneo sehat (Pongo pygmaeus) di Pulau
Kalimantan, Indonesia, selama periode Desember 2005 hingga Desember 2006 disaring untuk
antibodi IgG spesifik filovirus menggunakan uji imunosorben terkait-enzim yang sangat sensitif
(ELISA). ) dengan antigen glikoprotein permukaan virus (GP) rekombinan yang berasal dari
beberapa spesies filovirus (5EBOV dan 1 spesies MARV). Penelitian menunjukkan bahwa
18,4% (65/353) dan 1,7% (6/353) dari sampel seropositif untuk EBOV dan MARV, masing-
masing, dengan sedikit reaktivitas silang antara antigen EBOV dan MARV. Dalam sampel
positif ini, antibodi IgG terhadap protein internal virus juga terdeteksi oleh imunobloting.
Spesifisitas virus Reston yang telah diakui sebagai filovirus Asia, adalah yang tertinggi hanya
1,4% (5/353) dari sampel serum, sebagian besar serum EBOV-positif menunjukkan spesifisitas
untuk Zaire, Sudan, Cote d'Ivoire, atau virus Bundibugyo, yang semuanya telah ditemukan
sejauh ini hanya di Afrika. Hasil ini menunjukkan adanya beberapa spesies filovirus atau virus
yang tidak diketahui terkait filovirus di Indonesia, beberapa di antaranya secara serologis mirip
dengan EBOV Afrika, dan transmisi virus dari inang reservoir yang belum teridentifikasi ke
populasi orangutan. Penanganan Ebola di Indonesia.

Dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orangutan Borneo (Pongo pygmaeus) di
Kalimantan teridentifikasi positif Zaire ebolavirus, Sudan ebolavirus, dan Bundibugyo
ebolavirus yang seharusnya hanya terdapat di Afrika. Hal ini menunjukkan bahwa untuk
terjadinya wabah EDV di Indonesia bukanlah sesuatu yang mustahil. Dengan demikian,
pemerintah perlu melakukan penilaian risiko dan pengawasan terus menerus terhadap infeksi
filovirus primata dan hewan liar di Indonesia. Selain itu, perlunya sosialisasi terhadap
masyarakat terutama yang menetap di daerah hutanuntuk lebih waspada terhadap hewan lair dan
selalu menjaga kebersihan. Masyarakat yang diserang atau mendapatkan luka akibat hewan liar
sebaiknya segera membersihkan diri dengan sabun. Setelah itu penduduk dianjurkan untuk
sesegera mungkin melakukan pemeriksaan ke rumah sakit terdekat. Kemudian, masyarakat
Indonesia yang masih memiliki tradisi untuk memakan daging hewan liar dianjurkan untuk tidak
mengonsumsi daging tersebut. Hal itu didasari karena adanya kemungkinan bahwa daging hewan
liar tersebut sudah terkontaminasi Zaire ebolavirus ataupun virus penyakit lain.

Berdasarkan jurnal Rajiah et al. (2015), WHO merekomendasikan pemerintah Indonesia


untuk menerapkan pencegahan kasus Ebola dengan pengawasan di bandara dan mengeluarkan
travel advisories. Kementerian Kesehatan telah memperkuat inspeksi ketat para pendatang dari
Afrika dan negara-negara Timur Tengah. Detektor panas juga telah disiapkan pada titik
kedatangan seperti bandara. Seperti negara lain, pemerintah Indonesia juga terus meningkatkan
kesadaran Ebola kepada pekerja publik dan kesehatan. Kantor imigrasi akan ketat dan ekstra
hati-hati dalam mengeluarkan visa sementara serta pemohon diminta untuk menjalani
pemeriksaan medis. Tindakan pencegahan universal dan tindakan pencegahan kontak akan
ditambahkan ke prosedur standar dalam memberikan perawatan kepada pasien yang berasal dari
negara-negara dengan wabah Ebola . Selain itu, rumah sakit, laboratorium, dan penyedia
kesehatan masyarakat seperti klinik dan farmasi harus menyiapkan deteksi dini dan mekanisme
respon cepat dalam mengantisipasi penyebaran Ebola di negara ini ).(Houten, 2019)

I. Pencegahan
Pencegahan terhadap infeksi virus Ebola mencakup beberapa hal:
1. Isolasi pasien infeksi Ebola dari pasien lainnya
2. Mengurangi penyebaran penyakit dari kera dan babi yang terinfeksi ke manusia. Hal ini
dapat dilakukan dengan memeriksa hewan tersebut terhadap kemungkinan infeksi, serta
membunuh dan membakar hewan dengan benar jika ditemukan menderita penyakit tersebut.
Memasak daging dengan benar dan mengenakan pakaian pelindung ketika mengolah daging
juga mungkin berguna, begitu juga dengan mengenakan pakaian pelindung dan mencuci
tangan ketika berada di sekitar orang yang menderita penyakit tersebut. Sampel cairan dan
jaringan tubuh dari penderita penyakit harus ditangani dengan sangat hati-hati.

3. Menggunakan sarung tangan dan perlengkapan pelindung diri yang lengkap, dalam hal ini
standard precautions(termasuk mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa pasien)
4. Persiapan pembakaran dengan benar jenazah individu yang meninggal karena virus Ebola
untuk mencegah penularan.(Rampengan, 2014)

J. Penanganan Ebola di Indonesia


Pemerintah Indonesia telah memiliki mekanisme untuk menangani kasus penyakit import
secara umum termasukit virus Ebola dan mekanisme pencegahan penyebarannya. Upaya ini
melibatkan jajaran Kementrian Kesehatan. TNI/Polri, dan Kementrian/Lembaga terkait lainnya.
Beberapa upaya yang dilakukan antara lain pelaporan jika diketahui terdapat penumpang sakit di
pesawat sebelum kedatangan, investigasi wisatawan sakit, dan jika perlu isolasi. (Ebola et al.,
1976)

A. Kesimpulan
Penyakit virus ebola yang dikenal sebagai Ebola Hemorrhagic Fever (EHF) adalah gejala
virus akut yang disertai demam dan perdarahan dengan angka kematian tinggi di manusia dan
bukan manusia (primata). Penyakit virus Ebola (EVD) adalah penyakit akibat infeksi virus
mematikan Zaire ebolavirus yang termasuk dalam filovirus. Dalam perkembangan metode
diagnose Ebola, Martínez et al.(2015) menjelaskan bahwa terdapat dua yang palng terkenal dan
efektif yakni: ELISA dam RT-PCR. Dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orangutan
Borneo (Pongo pygmaeus) di Kalimantan teridentifikasi positif Zaire ebolavirus, Sudan
ebolavirus, dan Bundibugyo ebolavirus yang seharusnya hanya terdapat di Afrika.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan baik dalam teknik
penulisan maupun materi. Untuk itu diharapkan kritik dan saranya yang bersifat membangun
bagi kami membuat makalah dalam bentuk yang baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

B. Mulyadi, P. (2006). Clinical Pathology and Majalah Patologi Klinik Indonesia dan
Laboratorium Medik. Jurnal Indonesia, 21(3), 261–265.
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-IJCPML-12-3-08.pdf
Damayanti, N., & Sendow, I. (2015). Ebola: Penyakit eksotik zoonosis yang perlu diwaspadai.
Dalam Wartazoa, 25(1), 29–38.
Ebola, E. V. D., Disease, V., Disease, E. V., Ebolavirus, S., Kongo, R. D., Ebola, S., Forest, V.
T., Forest, T., Gading, P., Evd, G., & Karena, C. P. (1976). EVD Ebola Virus Disease
(EVD) Ebola Virus Disease (EVD) adalah salah satu dari banyak penyakit demam
berdarah virus. lni adalah penyakit yang sering beraklbat fatal pada manusla dan primata
(seperti monyet, gorlla, dan simpanse).
Hendrawati, A. (2014). Kenali Ebola. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Indonesia, 6(1), i–ii.
https://doi.org/10.20885/jkki.vol6.iss1.art1
Houten, F. (2019). Potensi Wabah Penyakit Virus Evola (EVD) di Indonesia & Upaya
Penanganannya. INA-Rxiv, 1–7. https://doi.org/10.31227/osf.io/96s48
Jayanegara, A. P. (2016). Ebola Virus Disease – Masalah Diagnosis dan Tatalaksana. Cdk-243,
43(8), 572–575.
Kementrian Kesehatan RI. (2019). Penyakit Virus Ebola (PVE/EVD). Kementrian Kesehatan RI.
https://covid19.kemkes.go.id/penyakit-virus/penyakit-virus-ebola-pve-evd/#Faktor_risiko
Rampengan, N. H. (2014). Infeksi Virus Ebola. Jurnal Biomedik (Jbm), 6(3), 1–4.
https://doi.org/10.35790/jbm.6.3.2014.6318

Anda mungkin juga menyukai