Oleh :
KELOMPOK 2
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
ASPEK PERPAJAKAN UNTUK CABANG
Definisi Wajib Pajak Berstatus Cabang
Dasar Hukum
Ketentuan yang mengatur hal ini adalah pasal 2 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP). Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri
pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP). Tempat kedudukan ditafsirkan sebagai semua tempat usaha wajib pajak yang
dapat berbentuk kantor cabang, kantor perwakilan, kantor menejeman, pabrik, gerai, kios
dan lain sebagainya. Dari paparan ayat ini dapat disimpulkan bahwa “cabang” yang
didirikan di wilayah kerja kantor Ditjen pajak atau Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang
berbeda dengan “pusat” maka wajib bagi “cabang” untuk mendaftarkan sebagai wajib
pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan wilayah tempat “cabang”
didirikan.
Apabila cabang tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP Cabang
Dalam Pasal 2 ayat (4) UU KUP ditegaskan bahwa terhadap wajib pajak atau pengusaha
kena pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau
melaporkan usahanya dapat diterbitkan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan.
Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Ditjen
Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat
subjektif dan objektif untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
NPWP Pusat dan NPWP Cabang
Ketika orang pribadi atau badan baru mulai menjalankan usaha, mereka mendaftarkan
diri untuk memperoleh NPWP ke KPP dimana tempat tinggal/kedudukan wajib
pajak/tempat usaha tersebut berada. NPWP ini sering disebut sebagai NPWP pusat. Ciri
utama NPWP pusat adalah 3 digit terakhirnya 000. Bila kemudian hari usaha tersebut
berekspansi dengan membuka cabang baru, maka cabang tersebut harus ber-NPWP juga.
NPWP inilah yang disebut NPWP Cabang. NPWP Cabang terdiri dari 9 digit awal
NPWP sama dengan NPWP Pusat, 3 digit kode KPP tempat cabang tersebut berada, dan
3 digit terakhir merupakan kode cabang.
Bagi perusahaan yang sudah memiliki cabang atau anak perusahaan, kegiatan yang
dilakukan oleh cabang umumnya akan berdiri sendiri meskipun masih terkait dengan
operasional kantor pusat. Semisal, cabang akan mempunyai customer sendiri sehingga
bisa menjalankan transaksi jual beli, cabang akan mempunyai karyawan sendiri, ataupun
transaksi-transaksi cabang lainnya yang didalamnya terdapat aspek perpajakan. Berikut
ringkasan terkait kewajiban perpajakan bagi perusahaan/ WP Badan berstatus cabang :
a. PPh pasal 21. Dalam hal ini, Cabang wajib memotong, membayarkan, dan
melaporkan PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan yang telah melebihi batas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
b. PPh pasal 22. Dalam hal Cabang ditunjuk sebagai Pemungut PPh Pasal 22, maka
wajib memungut, membayarkan, dan melaporkan PPh Pasal 22.
c. PPh pasal 23. Dalam hal ini Cabang wajib memotong, membayarkan, dan melaporkan
PPh Pasal 23 apabila terdapat transaksi yang terutang PPh Pasal 23 di lokasi usaha
perusahaan cabang.
d. Dalam kasus perusahaan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) serta
tidak melakukan sentralisasi PPN, maka Cabang wajib memungut, membayarkan, dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atas transaksi penyerahan barang yang terjadi di
wilayah kerja perusahaan cabang.
e. PPh pasal 4 (2). Dalam hal terdapat transaksi di cabang yang terkait dengan pajak
PPh pasal 4 ayat 2, maka cabang wajib memotong, membayarkan, dan melaporkan
PPh Pasal 4 ayat (2).
Pada dasarnya, terkait kewajiban SPT Tahunan PPh Badan, WP Badan berstatus cabang
hanya berkewajiban memberikan data laporan keuangan kepada WP Badan berstatus
pusat untuk dapat dilakukan konsolidasi laporan keuangan perusahaan serta diperoleh
peredaran usaha secara keseluruhan. Kemudian kewajiban untuk menghitung,
membayarkan, dan melaporkan SPT Tahunan PPh Badan dilakukan oleh WP Badan
pusat dengan NPWP pusat.
ASPEK PERPAJAKAN UNTUK ANAK PERUSAHAAN
Pajak Anak Perusahaan Selama Spin-off
Selama spin-off perusahaan, anak perusahaan juga dapat menghindari pajak anak
perusahaan selama bertransaksi. Karena pemegang saham anak perusahaan menerima saham
secara rata dari perusahaan induk sebagai pengganti uang tunai untuk penjualan perusahaan,
maka pajak penghasilan biasa dan pajak capital gain tidak berlaku. Sebagai gantinya, pemilik
perusahaan induk menjadi pemilik anak perusahaan melalui pengalihan saham sebagai alternatif
yang lebih hemat biaya dibandingkan menerima kompensasi untuk perusahaan baru melalui
dividen saham. IRC Section 355 mensyaratkan bahwa perusahaan induk dan anak perusahaan
harus memenuhi persyaratan untuk mempertahankan manfaat bebas pajak dari spin-off. Sebuah
spin-off merupakan peristiwa yang tidak kena pajak ketika perusahaan induk mempertahankan
kendali sekurang-kurangnya 80% saham pemungutan suara entitas yang baru dibentuk dan kelas
saham tanpa saham. Sebuah spin-off perusahaan tidak boleh digunakan semata-mata sebagai
mekanisme untuk mendistribusikan laba atau laba induk perusahaan/anak perusahaan, dan
perusahaan induk mungkin tidak mengendalikan anak perusahaan dengan cara yang sama dalam
5 tahun operasi terakhir. Jika perusahaan induk atau anak perusahaan tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam IRC Section 355, tindakan spin-off dianggap dikenakan pajak
yaitu pajak perusahaan induk dan pajak anak perusahaan dengan tarif pajak perusahaan yang
berlaku.
Struktur anak perusahaan meski mengharuskan melakukan tax reporting sebanyak anak
perusahaan sehingga cenderung memerlukan biaya tax compliance yang cukup tinggi (costly)
tetapi memiliki beberapa keutamaan, seperti :
a. Melokalisir problematika perpajakan hanya pada satu perusahaan anak saja sehingga
dampaknya tidak meluas kepada induk;
b. Memungkinkan penerapan insentif pengurangan (discount) tarif PPh Badan sesuai
ketentuan Pasal 31E UU PPh sepanjang memenuhi persyaratan;
c. Memungkinkan diberlakukannya insentif pajak berbentuk inter-corporate dividend tax
free sepanjang memenuhi persyaratan untuk induk dari anak perusahaanya yang didirikan
di Indonesia.
ALTERNATIF STRUKTUR MODAL
Dalam memenuhi kebutuhan dana, setiap perusahaan bisa menggunakan sumber modal
sendiri yang berasal dari modal saham, laba ditahan, dan cadangan. Jika dalam pendanaan
perusahaan yang berasal dari modal sendiri masih mengalami kekurangan atau mengalami
defisit, maka perlu dipertimbangkan pendanaan perusahaan yang berasal dari luar seperti utang
atau debt-financing. Namun dalam pemenuhan kebutuhan dana, perusahaan harus mencari
alternatif pendanaan yang efisien. Pasalnya, pendanaan yang efisien akan terjadi bila perusahaan
mempunyai struktur modal yang optimal. Dalam sebuah teori, struktur modal diasumsikan
bahwa perubahaan struktur modal berasal dari penerbitan obligasi dan pembelian kembali saham
biasa atau penerbitan saham baru. Menurut Martono dan D. Agus Harjito struktur modal dibagi
menjadi beberapa pendekatan sepertu pendekatan laba operasi bersih, pendekatan tradisional,
pendekatan Modigliani dan Miller.
Ketentuan Pajak Internasional suatu negara menurut Gunadi (2007) meliputi 2 dimensi:
1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar negeri
(outward, outbound transactions).
2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negeri (WPLN) atas penghasilan dari dalam
negeri/domestik. (inward, inbound transactions)
Kedua dimensi di atas selanjutnya dijelaskan Gunadi, bahwa Dimensi pertama merujuk
pada pemajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi (ke) luar batas negara (outward,
outbound transaction) karena umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara
sedangkan dimensi kedua merujuk pada pemajakan atas penghasilan domestik atau transaksi (ke)
dalam batas negara (inward, inbound transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal
dari manca negara. Dalam aplikasinya, pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara
domisili (residence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara
sumber (source country).
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai, begitu juga dengan
kebijakan perpajakan internasional sudah tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan
yang dimaksud yaitu memajukan perdagangan antar negara, dan mendorong laju investasi di
masing-masing negara. Sementara pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh
negara domisili dan sumber seperti yang diungkapkan Gunadi di atas menimbulkan pajak ganda
internasional (international double taxation). Kondisi ini dipandang oleh para investor dan
pengusaha pajak kurang memperlancar/menghambat mobilitas arus investasi, perdagangan, dan
bisnis. Untuk mengatasi dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapai oleh para investor
dan pengusaha maka pemerintah melakukan upaya dan berusaha untuk meminimalkan atau
meringankan pajak berganda yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Upaya
dimaksud berhasil dituangkan dalam bentuk aturan yaitu selain diatur dalam ketentuan pajak
domestik, keringanan pajak ganda juga pada umumnya diatur dalam P3B.
Sementara itu, Gunadi menjelaskan bahwa ketentuan pajak internasional suatu negara
pada umumnya disusun untuk mencapai sekurang-kurangnya 4 (empat) tujuan:
1. memperoleh bagian penerimaan dari transaksi lintas perbatasan secara adil,
2. meningkatkan keadilan (fairness) dalam perpajakan,
3. memperkuat daya saing ekonomi domestik, dan
4. netralitas ekspor modal (capital-export neutrality) dan netralitas impor modal (capital-import
neutrality).