Anda di halaman 1dari 3

PERJANJIAN ROEM-ROYEN

A. Pendahuluan
Perjanjian Roem-Royen menjadi salah satu dari rangkaian perundingan dengan Belanda
dalam sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan. Perundingan Roem-Roijen dimulai pada 14 April
1949 dan ditandangani pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Nama Perjanjian Roem-
Royen diambil dari tokoh pemimpin delegasi di kedua belah pihak. Dari Indonesia ada Mohamad
Roem, sementara delegasi Belanda dipimpin oleh Herman van Roijen.

Sempat berjalan alot, Indonesia akhirnya dapat menjalankan kembali roda pemerintahannya
yang sebelumnya terhenti akibat Agresi Militer Belanda II. Para pemimpin pemerintahan yang
ditawan Belanda pun dibebaskan dan dipulangkan ke Yogyakarta yang kala itu menjadi ibu kota
sementara Republik Indonesia. Perjanjian Roem-Royen juga membuka peluang digelarnya
Konferensi Meja Bundar (KMB) dalam upaya pengakuan kedaulatan dari Belanda.

B. Latar Belakang Sejarah

Indonesia belum aman mesk telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Pasukan Sekutu yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) pimpinan
Sir Phliip Christisson datang ke Indonesia tak seberapa lama setelah kemerdekaan.

Salah satu tujuannya yaitu melucuti senjata tentara Jepang serta menegakkan dan
mempertahankan keadaan damai yang kemudian akan diserahkan pada pemerintahan sipil.
Namun pasukan Sekutu ternyata diboncengi oleh Belanda yang menggunakan nama NICA
(Netherlands Indies Civil Administration).

Belanda sebenarnya ingin kembali menguasai Indonesia yang dulu lama mereka duduki
sebelum Perang Dunia Kedua melawan Jepang. Terjadilah berbagai momen heroik bangsa
Indonesia yang bertekad mempertahankan kemerdekaan, termasuk rangkaian perjanjian atau
perundingan yang beberapa kali dilanggar oleh Belanda. Perjanjian Linggarjati, dikutip dari A
History of Modern Indonesia Since c. 1300 (2008) karya M.C. Ricklefs, dihelat pada 15
November 1946 dan ditandatangani secara sah tanggal 25 Maret 1947. Namun, Belanda
kemudian melanggar perjanjian itun dengan melancarkan Agresi Militer Belanda I pada 20 Juli
1947.

C. Pembuktian Eksistensi RI

Agresi Militer Belanda I berhenti dengan dilakukannya Perundingan Renville pada 8


Desember 1947. Namun, Belanda tidak menaati kesepakatan. Agresi Militer Belanda II
dilakukan mulai 19 Desember 1948 dengan sasaran utama Yogyakarta yang kala itu menjadi ibu
kota sementara RI. Para petinggi pemerintahan RI, termasuk Presiden Sukarno, Wakil Presiden
Mohammad Hatta, dan sejumlah menteri ditawan oleh Belanda, bahkan diasingkan ke luar Jawa.
Indonesia ternyata belum habis. Kendali pemerintahan untuk sementara dialihkan kepada
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera
Barat. Sementara itu, tanggal 1 Maret 1949 terjadilah serangan umum atau serangan besar-
besaran. Kota Yogyakarta yang semula diduduki Belanda mampu direbut oleh angkatan perang
RI dan dipertahankan selama 6 jam sebagai bukti eksistensi Indonesia.

Agresi militer kedua yang dibalas dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 merugikan posisi
Belanda di peta politik internasional. Banyak negara, juga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
yang mengecam aksi polisionil tersebut.

D. Tokoh Isi Perjanjian Roem-Royen


Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda agar dilakukan perundingan kembali.
Maka,digelarlah Perundingan Roem-Royen pada 14 April 1949 hingga 7 Mei 1949.

Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mohamad Roem, sementara delegasi Belanda dipimpin
oleh Dr. J.H. van Roijen (Royen). Perundingan dilakukan di Hotel Des Indes, Jakarta, atas
prakarsa UNCI (United Nations Commission for Indonesia).

Selain Mohamad Roem, para tokoh delegasi Indonesia antara lain: Supomo, Ali
Sastroamidjojo, Johannes Leimena, A.K. Pringgodigdo, dan Johannes Latuharhary. Hadir pula
Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Sedangkan delegasi Belanda terdiri dari J.H. van Roijen, Blom, Jacob, dr. Van, dr. Gede, Dr.
P. J. Koets, van Hoogstratendan, dan Dr. Gieben. Sementara UNCI dipimpin oleh Merle Cochran
dari Amerika Serikat, dibantu Critchley dari Australia dan Harremans dari Belgia.

Dikutip dari penelitian Agus Budiman bertajuk "Sejarah Diplomasi Roem-Roijen dalam
Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1949" (2017), UNCI
menganjurkan agar dilakukan pertukaran pernyataan yang disebut “van Roijen-Roem
Statements” atau “Persetujuan Roem Roijen”.

“Persetujuan Roem Roijen”.membahas tentang penyerahan ibu kota Yogyakarta yang


sempat dikuasai Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Adapun isi Perundingan Roem-Royen, seperti dikutip laman Kemendikbud, adalah


sebagai berikut:

1. Pemerintahan RI, termasuk para pemimpin yang ditawan, akan dikembalikan ke


Yogyakarta.
2. Kedua pihak, Belanda dan Indonesia, sepakat untuk melaksanakan Konferensi Meja
Bundar (KMB) yang akan digelar di Den Haag, Belanda.
Delegasi Republik Indonesia juga mengajukan syarat dalam perundingan tersebut.
Pemerintah RI menuntut ditariknya tentara Belanda dari Yogyakarta. Belanda menyetujuinya
dan pengosongan wilayah Yogyakarta dilakukan mulai 2 Juni 1949 di bawah pengawasan
UNCI.

Anda mungkin juga menyukai