Anda di halaman 1dari 8

MIMPI PEMBAWA PERUBAHAN

Angin Kencang Dikala Hujan

Suara gemericik air sangat mengganggu. Kilat dan suara guruh yang mendayu-
dayu, sesekali seperti tersentak dengan kerasnya. Semilir angin terasa dingin, ku
hampiri jendela klasik dari papan yang masih terbuka menganga.
“ais....jendelanya ditutup nak” Seru ibuku di dapur.
“iya mak” ku tutup jendela dengan perlahan.
Ku pandangai cuaca hari itu, begitu gelap dan menakutkan. Badan ku menggigil
kedinginan, seolah dinding rumah tak berdaya untuk menahan kencangnya angin. Wajar
saja, karena rumah ku terbuat dari papan-papan kayu dan begitu banyak celah udara.
Terkadang aku merasa seakan rumah ini akan terbang terbawa angin saat hujan.
Tepat pukul 18.00 WIB, hujan tak juga berhenti. Aku masih termangu dan
memperhatikan guyuran hujan melalui celah dinding rumah ku.
“ais.....! nak....!” panggil ibuku, tapi hujan seolah menutup telinga ku.
“hmmmm.. mamak panggil-panggil kok nggak jawab. Ayok ambil wudlu sholat”.
ajak ibuku, ia menggelengkan kepala dan menegurku dengan senyum. Aku pun
membalasnya hanya dengan senyuman dan segera menghampri ibuku. Seusai sholat ibu
menyiapkanku makan malam dengan nasi yang hangat serta tempe goreng andalan ibu.
Waktu berlalu, menjelang malam tertidurlah aku dengan nyenyaknya.
****
Aku dan Nasibku

Nama ku Siti Aisyah, orang-orang biasa memanggilku dengan nama Ais. Aku
tinggal di Pulung Kencana kabupaten Tulang Bawang Barat. Rumah ku berada di sudut
dekat dengan persawahan. Aku siswa kelas enam di Madrasah Ibtida’iyah Nurul Iman.
Ibuku bekerja dengan menjual sayuran di pasar yang ia ambil dari sedikit tanaman di
sekeliling rumah. Sesekali ia mendapat tawaran sebagai buruh gosok pakaian. Ibuku
sangat pekerja keras, meskipun sebenarnya hasil yang ia dapatkan tidak mencukupi
hidup yang layak.
Aku hidup berdua dengan ibu ku, karena ayah telah meninggal dunia tiga tahun
yang lalu. Aku sering merindukannya, apalagi disaat hujan ayah sering membelikanku
makanan yang hangat. Keadaan Ku dan ibu dulu tak seburuk ini. Dulu, aku pernah
merasakan empuknya daging. Sekarang hanya daging tempe goreng buatan ibu yang
sering ku rasakan dan setahun sekali daging kurbanlah yang memanjakan lidahku saat-
saat lebaran.
****

Pagi Semangatku

“kukuruyuuuuk......kukuruyuuuuk....” suara ayam yang semangat untuk menyambut


pagi. Ayam tetangga seperti menjadi alarm untuk ku dan ibu.
“Ais.... bangun sayang, sholat subuh”. Ucap ibuku dengan lembut sembari
mengelus rambut ku.
”hooammm..” dengan masih menguap aku terbangun. “ mamak udah wudlu?”
tanya ku. “belum.... mamak ngajak Ais wudlu bareng. Ayok bangun, sholat trus Ais
siapin buku pelajaran hari ini ya”. Jawab ibuku. “siap komandan hehe”. Canda ku
sambil beranjak dari tempat tidur untuk mengambil air wudlu.
Pukul 05.30, aku biasa membantu ibuku mengerjakan pekerjaan rumah. Ibu tak
pernah memintaku, tapi setiap kali ibu mengerjakan pekerjaan rumah sendiri aku merasa
kasihan dengan tangan lembutnnya yang telah bekerja keras. Sebelum berangkat
sekolah ibu selalu menyiapkan sarapan. Kata ibu, saat pagi hari perut harus terisi
kebutuhan yang cukup, maka otak kita akan bekerja dengan baik. Tapi tak jarang aku
malas untuk sarapan, karena ibu selalu menyiapkan menu yang sama.
“Ais.. sudah selesai belum nak...? sarapan dulu..” ibu memanggilku dan
menyiapkan sarapanku.
“Ais nggak sarapan ya mak..., bosen makan itu terus mak..” dengan raut lesu aku
menjawabnya.
“ehhh nggak boleh kayak gitu, sini deket mamak.” ibu menarikku dan membelaiku
dipangkuannya. Aku masih memandangnya dengan lesu dan berusaha memberi isyarat
dengan ekspresi ku yang tidak ingin menelan makanan di meja. “kita nggak boleh
menolak makanan sayang, kalau kita memilih-milih makanan itu hal yang di benci oleh
Allah. Apa lagi kalau kita menolak makanan sampai sakit. Tandanya kita tidak bersikap
adil dengan tubuh kita. Ais mau kalau Allah sampai marah?” usaha ibu untuk merayu
dan membuat ku mengerti, tetap dengan senyuman dan raut wajah yang mencoba
meyakinkan ucapannya.
“nggak..” jawabku dengan menggelengkan kepala.
“mamak suapin ya, kalau mamak yang suapin pasti rasanya enak..” ibu menyuapiku
dengan tangan lembutnya. Cuma tangan seorang ibu yang bisa merubah selera ku. Aku
pun memakannya dengan sangat lahab.
****

Ulangan Harian
Aku biasa berangkat sekolah berjalan kaki. Jarak rumah ku dengan sekolah tidak
jauh. Hari-hariku seperti sudah menjadi sebuah rutinitas, semua hal terasa sama. Aku
biasa sampai di sekolah pukul 07.15 WIB. Sampainya dikelas, aku melihat sebagian
dari teman-temanku sudah duduk dengan membuka lembaran buku di meja mereka.
Teman sebangku ku bernama Renata, dia siswa yang pintar. Selain itu, Renata dari
keluarga yang berkecukupun. Hidupnya seperti sempurna bak ratu. Renata sering
berbagi bekal atau lebih tepatnya memberikan sisa bekalnya. Entahlah, yang pasti aku
anggap semua sebagai niat baik.
Bel masuk berbunyi, guru kelas kami pun datang.
“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatu anak-anak”. Salam ibu guru.
“Wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatu”. Jawab kami.
Seperti biasa kami megawali kelas dengan berdo’a dan membaca surat-surat pendek
atau membaca Al-Qur’an.
“anak-anak hari ini kita ulangan harian ya, ibu beri waktu lima menit untuk
membaca materi. Untuk materinya pelajaran tematik, tema dua sub tema satu, paham?”.
Ibu guru memberikan arahan.
“ bu, kok mendadak sih?” keluh ku, karena merasa belum punya kesiapan.
“itu gunanya ibu selalu mengingatkan agar belajar dirumah, biar kalian siap dengan
situasi apapun.” Jawab ibu guru dengan senyum manisnya.
“yahhhhhhhh.... yahhhhhh”. Sorak ku dan teman-teman dengan lesu sembari
menyiapkan alat tulis.
Suasana kelas begitu hening, sampai waktu pelajaran sudah selesai. Ibu guru
membagikan hasil ulang yang telah kami kerjakan. Wajah lesu seketika menguasai ku.
Nilai ku sangat menghawatirkan. Aku pulang dengan langka tergontai dan berfikir apa
yang harus ku katakan kepada ibu.
“kamu kenapa?” tanya Renata kepada ku.
“hmmmz ..” aku menghela nafas dan menunjukan hasil nilai ku.
“kamu gak belajar apa? Nilai ku seratus” dengan bangganya Renata memamerkan
hasil ulangannya. Entah kenapa, ucapan Renata membuat ku semakin sedih dan kecewa
kepada diri sendiri.
****
Perasaan yang Buruk
Sepanjang jalan aku masih memikirkan kata-kata yang bisa ku sampaikan
kepada ibu mengenai hasil ulangan hari ini. Sampai-sampai aku tak mendengarkan
Renata yang sedang bercerita. Aku pulang bersama Renata untuk menuju rumahnya,
karena ibuku sedang bekerja dirumahnya. Sesekali memang keluarga Renata
mempercayakan ibuku untuk mencuci dan menggosok pakaian di rumah mereka.
Tibalah kami di rumah yang begitu megah, lantainya pun mengkilap. Rumah Renata
memang sangat nyaman, lain dengan rumah ku yang tidak bersahabat dengan segala
cuaca. Renata segera masuk ke rumahnya, aku pun mencari ibuku.
“mak......., mamak.....” ku telusuri ruangan dan mencari dimana ibuku. “dimana ya
mamak, huft....” . Aku berjalan di halaman belakang rumah dan berharap aku
menemukan ibu.
Saat aku berjalan menuju taman belakang, aku mendengar suara dua orang yang
sedang bercakap-cakap. Percakapan itu nampak begitu serius, ternyata benar itu ibuku.
Ia sedang menjemur pakaian dan berbincang dengan bu Risma yang tengah duduk
bersantai dengan ditemani segelas kopi di meja santainya. Bu Risma adalah pemilik
rumah ini, yang tidak lain adalah ibu dari Renata. Aku pun tanpa sengaja mendengarkan
percakapan mereka.
“jadi, kamu mau sekolahin dimana itu si Ais..?” tanya bu Risma kepada ibu ku
dengan raut wajah yang tidak menyenangkan.
“Insya’allah mau saya masukkan Gontor bu”. Jawab ibu dengan tersenyum dan
masih menjemur pakaian. Aku terkejut serta terharu saat mendengarnya hingga
menghentikan langkahku. Ibu begitu menginginkanku bersekolah ditempat yang
berkualitas, padahal akupun tau kami hidup masih banyak kekurangan.
“kamu yakin...?” bu Risma terkejut. “nggak usah nyusahin diri, sadar kemampuan
diri sendirilah, sekolah disitu mahal. Nanti ujung-ujungnya ngutang lagi kemana-mana”.
Bu Risma begitu sinis menanggapi niatan ibu ku. Memang sudah kebiasaan bu Risma
meremehkan kami. Ibuku hanya tersenyum menanggapi semua celetukkan bu Risma.
“anakmu memang mampu? udah tau anakmu itu nggak pinter, nilainya juga pas-pasan
kan...” timpal bu Risma lagi.
“Insya’allah bu niat dulu” ibuku masih dengan tenang menanggapi perkataan bu
Risma.
“jadi orang itu nggak usah neko-neko, pinter dulu kayak anak ku Renata. Baru pasti
bisa masuk ke Gontor. Otaknya pas-pasan kok kebanyakan mimpi”. Caci bu Risma
kepada ibuku. Entah kenapa ucapan bu Risma begitu terdengar menyakitkan ku.
Mungkin karena memang ucapannya yang kasar atau karena aku tahu memang itu benar
tentang ku.
“setidaknya Ais bisa mengaji dengan baik bu”. Tutup ibu ku yang mulai kesal
dengan ucapan bu Risma. Bu Risma hanya memasang ekspresi yang lebih kesal, karena
sadar Renata anak semata wayangnya belum bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar.
Aku merasa begitu kesal tanpa sadar meneteskan air mata. Aku pun pergi berlari
menuju ke rumah ku. Dada ku begitu sesak, nafas ku terengah-engah.
Sampainya dirumah, aku hanya merebahkan tubuh diatas kasur dan masih
menangis tersedu. Tak lama kemudian ibu ku sampai dirumah dan mendengarku
menangis. Ibu pun menghampiriku.
“Ais.., kenapa nak?” tanya ibu ku. Tak tahu kata apa yang harus ku lontarkan
kepada ibu. Akhirny aku hanya menunjukan hasil ulangan ku. “nggak apa-apa sayang,
besok berarti harus belajar lebih baik”. Ujar ibuku untuk menenangkanku dengan
membelai rambutku.
Keresahan Hati dan Kemajuan Ku

Malam telah tiba, hati ku begitu resah. Pikiran ku tak lepas dengan ingatan
tentang kata-kata bu Risma. Mata ku seolah tak mengerti rasa lelah, tengah malam pun
belum mau terpejam. Ibuku sudah begitu lelahnya dalam tidur. Ku belai rambut ibu ku
dan ku peluk dengan eratnya sampai aku tertidur lelap.
“Ais.. bangun putriku..” mataku terbuka mendengar panggilan itu. Aku melihat raut
wajah ayah ku dengan senyum ramahnya. Aku pun melayangkan senyumku, aku begitu
bahagia melihatnya.
“bapak.....” aku segera memeluk ayahku dan menangis rindu.
“jangan menangis Ais..., bapak selalu dihati Ais. Putri ayah yang paling cantik
nggak boleh mengeluarkan air mata.”. Ayahku menghapus air mataku dan
menenangkanku. “ Ais belajar yang rajin ya, bapak yakin Ais pasti bisa jadi anak yang
membanggakan, jaga ibu baik-baik ya nak”. Pesan ayahku dan mencium kening ku.
Aku tersadar dan membuka mata, itu semua ternyata hanya mimpi.
Bangunlah aku dari tidurku, waktu sudah menunjukan pukul 03.00 WIB. Aku
membangunkan ibu ku untuk sholat tahajud sebelum sholat subuh. Usai sholat subuh,
aku mengingat pesan dari ayahku yang memintaku untuk lebih serius belajar. Ibu ku
terheran ketika melihatku membuka buku pelajaran dan begitu antusias membacanya.
Ibu pun menyiapikan teh hangat seolah menyemangatiku dengan senyumnya sebagai
tanda. Seperti biasa sebelum berangkat aku membantu sedikit pekerjaan rumah ibuku.

Di sekolahan, aku dan teman-temanku beraktifitas seperti biasa. Tapi pelajaran kali
ini begitu terasa ringan seperti hanya mengulas kembali. Ibu guru pun mengakui
progress ku dan takjub dengan perubahanku. Hari-hari ku lalui dengan banyak
perkembangan. Nilai harianku dan proses keaktifan ku setiap hari semakin baik. Hingga
pada hari kelulusanku, ibu begitu terharu dan sangat bangga. Dia menangis bahagia, aku
mendapatkan peringkat satu dan lolos di podok Gontor. Semua ini terasa mimpi, ayah
begitu memberikan dorongan untuk hidup ku.

Berjalannya pendidikan ku di pondok Gontor, aku mendapatkan beasiswa. Aku


bersyukur dengan segala hal yang ku capai. Setidaknya bisa meringankan ibu ku dalam
mencari nafka. Ibu adalah superhero ku, ibu adalah tulang punggung sekaligus
madrasah pertama ku. Aku sangat bersyukur Allah menjadikan takdirku lahir di
rahimnya. Aku pun bahagia memiliki ayah yang selalu mempercayaiku. Semua hal ini
membuatku tau, bahwa setiap usaha pasti memiliki hasil dan Allah sangat menyukai
orang yang bersungguh-sungguh.

*TAMAT
BIODATA DIRI
Nama : ZAHRATUSSITA M. SAJI
Alamat : PULUNG KENCANA
Jenis Kelamin : Perempuan
Kelas : VI (6)
Di- : MIM NURUL IMAN PULUNG KENCANA
No HP/WA : 082289966485

Anda mungkin juga menyukai