Hubungan antar kelompok adalah interaksi sosial antara dua kelompok atau lebih. Kelompok yang saling berhubungan ini diklasifikasikan berdasarkan kriteria fisiologis dan kebudayaan. Hubungan antar kelompok bukanlah hubungan yang tiba-tiba terbentuk. Hubungan ini merupakan akumulasi dari serangkaian hubungan-hubungan sosial yang ada. Hubungan ini mengandung sejumlah dimensi, antara lain dimensi sejarah, sikap, perilaku, gerakan sosial, dan institusi. Di samping itu terdapat pula sejumlah faktor yang mempengaruhi terbentuknya hubungan antar kelompok ini.[ CITATION ati21 \l 1033 ]
1) Faktor yang Mempengaruhi Hubungan Antar Kelompok
Menurut (Ardana Komang et al., 2009 : 123) dan [ CITATION Wea12 \l 1033 ] . Faktor yang mempengaruhi kinerja antar kelompok adalah adanya koordinasi yang baik. Faktor yang mempengaruhi upaya koordinasi adalah sebagai berikut: a) Adanya saling ketergantungan Ketergantungan yang ada akan terdiri dari ketergantungan tunggal (utuh), ketergantungan berantai dan ketergantungan timbal balik. Ketergantungan tunggal adalah semua kelompok yang terkait mempunyai ketergantungan yang sama (utuh) yang mutlak tidak dapat dipisahkan, ketergantungan berantai adalah ketergantungan kelompok yang sangat dipengaruhi oleh kinerja kelompok yang lain, sedangkan ketergantungan timbal balik adalah ketergantungan yang berada pada posisi berlawanan. b) Ketidakpastian tugas antar kelompok Semakin besar ketidakpastian suatu tugas (pekerjaan) maka akan semakin besar pula respon yang harus dibuat (dibentuk) dan semakin rendah derajad ketidakpastian suatu tugas (pekerjaan) maka tugas (pekerjaan) akan dapat distandarisasi. Kunci utama ketidakpastian tugas (pekerjaan) adalah bahwa suatu tugas (pekerjaan) untuk diterapkan memerlukan informasi lebih banyak. Oleh karena itu jika suatu tugas (pekerjaan) mempunyai ketidakpastian yang tinggi maka ketergantungan kepada informasi yang lengkap jelas dan valid sangat dibutuhkan dan masing-maisng kelompok akan sama saling membutuhkan satu sama lain atau menghadapi resiko kegagalan yang semakin besar. c) Waktu orientasi tujuan Dua kelompok atau lebih akan saling bergantung satu sama lain sangat ditentukan oleh waktu dan tujuan spesifik yang melekat pada dirinya. Jika tujuan spesifik saling terkait satu sama lain dan waktu yang disediakan saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain, maka derajad ketergantungan kelompok akan semakin besar.
2) Metode yang Menglola Hubungan Antar Kelompok
Menurut (Ardana Komang et al., 2009 : 123) dan [ CITATION Mag15 \l 1033 ]. Metode yang mengelola hubungan antar kelompok yaitu: a) Menetapkan aturan dan prosedur Metode yang paling murah dan paling sederhana di dalam mengelola hubungan antar kelompok adalah menetapkan aturan dan prosesdur interaksi antar kelompok. Di dalam organisasi yang besar, akan dibentuk suatu departemen yang khusus memantau dan mengevaluasi hubungan antar kelompk dan jika interaksi hubungan antar keompok tersebut ada gejala yang tidak sesuai dengan harapan maka kelompok yang terkait akan dipanggil untuk didengar serta diselesaikan melalui forum musyawarah. Peraturan dan prosedur baku akan memperkecil hubungan antar kelompok yang dipandang tidak perlu. b) Penggunaan hirarki organisasi Jika metode yang pertama dipandang kurang tepat maka hirarki kekuasaan yang ada di dalam organisasi menjadi alternatif kedua di dalam mengelola hubungan antar kelompok. Dengan demikian maka koordinasi akan diambil alih oleh pejabat yang lebih tinggi yang berada didalam organisasi itu. Pejabat yang lebih tinggi umumnya dapat dipandang sebagai pejabat yang efektif untuk membina hubungan antar kelompok sebab pejabat yang tinggi ini secara posisional mempunyai kekuasaan yang lebih besar dan diharapkan dapat mempengaruhi hubungan antar kelompok. c) Penggunaan perencanaan untuk mempermudah koordinasi Alternatif (pilihan) berikutnya di dalam mengelola hubungan antar kelompok adalah melalui perencanaan. Jika setiap kelompok mempunyai tujuan spesifik yang hendak dicapai maka setiap kelompok telah mengetahui hak dan kewajiban yang melekat pada kelompoknya dan setiap kelompok ini akan mengetahui pada saat yang bagaimana hubungan kelompok lain perlu dilakukan. Perencanaan yang memadai dan baik cenderung memperbaiki koordinasi dan di samping itu perencanaan cenderung dapat pula alat koordinasi yang efektif dan efisien. d) Peran penghubung/perantara Peran perantara sering mengarah kepada individu yang diberi tugas (pekerjaan) khusus untuk memudahkan komunikasi antar kelompok kerja yang saling terkait. Perantara yang diberi tugas (pekerjaan) khusus ini tentunya adalah orang yang dipandang cakap dan mempunyai pandangan yang luas tentang bidang organisasi dan manajemen. Di dalam organisasi yang besar sering kali memanfaatkan sarjana yang mempunyai kompetensi dibidangnya dengan beberapa pengalaman praktis dan taktis yang menunjang kompetensinya. Kelemahan utama peran perantara ini adalah adanya keterbatasan pribadi untuk menangani informasi yang mengalir diantara kelompok yang saling berinteraksi, khususnya jika kelompok berinteraksi itu besar dan interaksi sangat sering dilakukan. e) Satuan tugas/pelaksana tugas Para pelaksana tugas (pekerjaan) dapat dijadikan wakil dari sejumlah kelompok. Para pelaksana tugas (pekerjaan) sering melaksanakan tugas (pekerjaan) yang sesuai dengan bidangnya dan sering kali melakukan hubungan dengan yang lain. Para pelaksana tugas (pekerjaan) ini harus dibina sedemikian rupa guna memberi pengertian dan pemahaman mengenai hubungan antar kelompok tentang apa yang seharusnya dilakukan di dalam membina hubungan dengan kelompok lain. f) Penggunaan tim Jika tugas (pekerjaan) sudah semakin banyak dan rumit maka persoalan yang muncul dari pelaksanaan tugas (pekerjaan) akan semakin banyak dan rumit pula dan dalam keadaan demikian maka alat koordinasi yang ada sudah dianggap kurang memadai dan tidak tepat. Pilihan berikutnya adalah menyerahkan kerumitan hubungan antar kelompok ini kepada suatu tim. Tim inilah yang akan memantau dan mengevaluasi pola hubungan antar kelompok. Angota tim berasal dari masing-masing fungsi yang ada di dalam organisasi dan ketika tugasnya telah selesai maka anggota tim ini akan kembali lagi kepada induknya. Tim pemantau ini dikarenakan mempunyai keanggotaan yang berkomposisi masing-masing fungsi maka dipandang mewakili masing-masing fungsinya sehingga hasil pantauan dan evaluasinya dipandang cukup representatif. g) Pembentukan departemen pemandu Jika hubungan antar kelompok telah menjadi terlalu sulit dan rumit untuk dikoordinasikan melalui rencana, tugas (pekerjaan), tim dan sebagainya maka organisasi sebaiknya membentuk departemen/badan terpadu. Departemen/badan ini bersifat permanen dengan anggota yang secara formal diberi tugas (pekerjaan) untuk memadukan dua kelompok atau lebih. Departemen yang dibentuk ini akan digunakan jika organisasi sudah sangat besar dan mempunyai tujuan-tujuan yang sering berlainan arah, mempunyai berbagai persoalan yang tak rutin yang sangat rumit dan mempunyai keputusan antar kelompok yang mempunyai dampak terhadap seluruh operasi organisasi. Departemen/badan ini dapat dijadikan alat yang dapat diandalkan untuk menangani konflik antar kelompok.
3) Mengelola Hubungan Antar Kelompok yang Berbeda Budaya
Menurut [ CITATION Wea12 \l 1033 ] setiap orang tidak akan lepas dari pengaruh budaya. Pengaruh budaya juga akan hinggap di dalam organisasi, sehingga organisasi akan menampung budaya yang ada di sekitar organisasi atau yang dibawa serta oleh orang-orang yang menjadi anggota organisasi. Mengelola orang atau kelompok yang mempunyai budaya yang berbeda menghadapi tnatangan khusus dan hal ini sangat tergantung kepada muatan perbedaan budaya yang dianut oleh orang yang ada dalam organisasi maka semakin berat tantangan yang dihadapi oleh manajemen di dalam mengelola orang-orang yang ada di dalam organisasi tersebut. Perlu diperhatikan bahwa budaya dapat membentuk persepsi, sistem nilai, sitem kepercayaan, cara kerja, kognisi, perilaku dan emosi yang ke semuanya itu sangat potensial untuk terbentuknya suatu konflik. Banyak ragam jawaban namun yang paling utama dan terpenting adalah jangan sampai pengelolaan suatu manajemen memusuhi atau mendeskreditkan suatu budaya tertentu agar konflik yang ada dalam organisasi tidak semakin parah. Konflik yang diciptakan oleh aktor budaya akan lebih sulit untuk diselesaikan dan seandainya dapat diselesaikan memerlukan biaya dan pengorbanan yang tidak sedikit. Sentuhan budaya akan efektif jika diterapkan secara bijak dan arif dan harus dilakukan secara hati-hati dan penuh waspada sebab tidak menutup kemungkinan apa yang nampak dari luar hanya sekedar tipuan belaka yang sesungguhnya akan memancing kepada keadaan yang lebih rumit, keruh dan berbahaya.
4) Batasan Perilaku Antar Kelompok
Menurut Vaughan & Hogg (2002), “Intergroup behavior is any behavior that involves interaction between one or more representative of two or more separate groups” (perilaku antarkelompok adalah setiap perilaku yang melibatkan interaksi antara satu atau lebih perwakilan dari dua atau lebih kelompok terpisah). Definisi tersebut menekankan adanya interkasi yang face to face, padahal dengan kemajuan teknologi memungkinkan orang melakukan perundingan secara “remote” antarkelompok yang berbeda pendapat. Kemudian Vaughan & Hogg (2005) merevisi definisinya “Intergroup behavior is any perception, cognition or behavior that is influenced by people’s recognition that they and others are members of distinct social groups” (perilaku antar kelompok adalah setiap persepsi, kognisi atau perilaku yang dipengaruhi oleh pengakuan orang bahwa mereka dan orang lain adalah anggota dari kelompok sosial yang berbeda). Jadi dalam mencermati perilaku antar kelompok, “interaction” tampaknya tidak harus selalu face to face. Perilaku antarkelompok (sebagaimana dipaparkan di atas) hanya mungkin terjadi dalam situasi di mana terdapat sejumlah kelompok yang saling berhubungan. Sherif (1962) memberi definisi “hubungan antarkelompok” yaitu “relations between two or more groups and their respective members. Whenever individuals belong to one group interact, collectively or individually, with another groups or its members in terms of their group identifications we have an instance of intergroup behavior” (hubungan antara dua atau lebih kelompok dan masing-masing anggotanya. Bilamana ada individu- individu satu kelompok berinteraksi, secara kolektif atau individual, dengan kelompok lain atau anggota-anggotanya dalam hal identifikasi kelompok mereka, kita memiliki contoh perilaku antar kelompok). Artinya, interaksi itu terjadi berdasarkan seberapa kuat individu mengidentifikasikan diri pada kelompoknya. Perlu diingat bahwa interaksi itu bisa positif atau negatif, seperti; prasangka, diskriminasi, konflik, kompetisi, kerja sama, saling mendukung, tolong-menolong antar kelompok, dan sebagainya. [ CITATION Wor17 \l 1033 ]
5) Strategi Meningkatkan Hubungan Antar Kelompok
Menurut [ CITATION Wor17 \l 1033 ], kelompok yang berkonflik dapat memperbaiki hubungan dengan kelompok lain, dengan membina komunikasi, melalui 3 cara: a) Negosiasi (Bargaining) Negosiasi antar kelompok biasanya dilakukan antara pihak yang terlibat langsung dalam konflik yang terjadi. Misalnya, antara kelompok buruh dengan pimpinan perusahaan, dll. Negosiasi (bargaining) adalah proses resolusi di mana perwakilan antara kedua kelompok berusaha mencapai kesepakatan melalui negosiasi langsung. Pengalaman menunjukkan, apabila kedua kelompok bernegosiasi langsung atas nama kelompoknya, biasanya akan sulit mencapai kompromi daripada apabila mereka bernegosiasi semata-mata untuk dirinya sendiri. Studi juga menemukan bahwa proses negosiasi dapat menjadi lebih sulit apabila negosiator yang terlibat menyadari bahwa mereka diawasi oleh anggota kelompoknya. b) Mediasi (Mediation) Untuk mengatasi “deadlock” biasanya diminta bantuan pihak ketiga untuk menjadi mediator antara kelompok yang bertikai. Agar efektif, mediator seharusnya merupakan pihak yang memiliki “power”, dianggap tidak berpihak, dan kelompok yang berkonflik sudah berada pada tahap yang “agak dekat” satu sama lain. Apabila mediator dinilai tidak objektif, berpihak, dan “lemah” biasanya ia akan menjadi negosiator yang tidak efektif. Namun, meskipun dianggap lemah, adanya mediator tersebut tetap dapat menumbuhkan beberapa efek positif, seperti: a. Mengurangi tekanan emosi bahwa perundingan yang dilakukan mengalami “deadlock”. b. Dapat mengurangi kesalahan persepsi, menambah saling pengertian antar kelompok, dan menumbuhkan “trust”. c. Membantu kedua kelompok untuk mengalah tanpa kehilangan muka. d. Mengurangi konflik intrakelompok & membantu kelompok menemukan posisi mereka dalam konflik yang terjadi. c) Arbitrase (Arbitrate) Arbitrase merupakan proses untuk mengatasi konflik di mana sebuah kelompok yang dianggap netral diminta untuk menengahi dan mengembangkan ikatan antara kelompok yang bertikai. Cara ini dianggap merupakan “upaya terakhir” yang bisa dilakukan untuk mengatasi konflik antar kelompok, setelah negosiasi dan mediasi tidak berhasil mencapai resolusi konflik.