Anda di halaman 1dari 17

402

MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 3, Oktober 2019, Halaman 402-418

TANTANGAN METODE PENELITIAN INTERDISIPLINER DALAM


PENDIDIKAN HUKUM INDONESIA
Herlambang P. Wiratraman* dan Widodo D. Putro**

Fakultas Hukum, Universitas Airlangga


Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan, Airlangga, Kec. Gubeng, Kota Surabaya, Jawa Timur 60286
Fakultas Hukum, Universitas Mataram
Jalan Majapahit No.62, Gomong, Kec. Selaparang, Kota Mataram,
Nusa Tenggara Barat 83126

Abstract
Based on field research at numerous campuses, this article unravels teaching practices and legal research
at Indonesia’s law schools. This article is not aimed to explain the debates on normative and empirical
in legal research, but it explains why such debates had been vehemently becoming unresolved and as
challenge in improving interdisciplinary approach. This article shows finding that vehement debates
happen since both tradition legal research apply them seem like religious doctrine.
Keywords: legal research, normative, method, interdisciplinary, artificial intelligence.

Intisari
Berbasis riset lapangan di sejumlah kampus, melihat praktik pengajaran dan penelitian hukum di pendidikan
tinggi hukum Indonesia. Artikel ditujukan bukan untuk menjelaskan pertentangan antara normatif dan
empiris dalam penelitian hukum, melainkan menjelaskan mengapa pertentangan tersebut mengeras dan
menjadi tantangan dalam mengembangkan pendekatan interdisipliner. Artikel menunjukkan temuan bahwa
pertentangan mengeras karena keduanya menjadikan seperti doktrin layaknya beragama.
Kata Kunci: penelitian hukum, normatif, metode, interdisipliner, kecerdasan buatan.

Pokok Muatan
A. Pendahuluan . .................................................................................................................................... 403
B. Pembahasan........................................................................................................................................ 404
1. Dominasi Normatif........................................................................................................................ 404
2. Pengembangan Metode Interdisipliner.......................................................................................... 407
3. Disiplin (Ilmu) Hukum, Disiplin Profesional Yuris?..................................................................... 409
4. Ragam Interdisipliner, Hermeneutika dan Tantangannya.............................................................. 412
C. Penutup: Melampaui “Keilmuan Papan Catur”.................................................................................. 415

*
Alamat korespondensi: herlambang@fh.unair.ac.id.
**
Alamat korespondensi: widodo.fhunram@gmail.com.
Wiratraman dan Putro, Tantangan Metode Penelitian Interdisipliner dalam Pendidikan Hukum 403

A. Pendahuluan bagaimana mendeskripsikan latar belakang


Pertanyaan mendasar di awal adalah stagnasi (konteks, sejarah, perkembangan, dan situasi-
metode penelitian hukum sebenarnya memper­ situasi yang mempengaruhi), tinjauan pustaka
tanyakan dimana bermula. Meneliti (research), (kajian yang menjelaskan koordinat saintifikasi
merupakan proses sekaligus alat untuk pencarian atas respon masalah, sehingga memahami dimana
jawab atas problem yang hendak dipecahkan. kedudukan riset yang sedang dikerjakan di antara
Ketika berhadapan dengan masalah yang harus kajian-kajian ilmiah lainnya yang telah dilakukan),
dipecahkan dari sudut pandang hukum, maka perlu dan kerangka teoritik (memahami sejumlah teori-
dilihat secara lebih lengkap, berbasis kerangka teori yang relevan untuk menjawab masalah, atau
normatifnya, realitas bekerjanya hukum, maupun menguraikan teori-teori apa yang selama ini telah
analisis-analisis yang melatari persoalan tersebut, digunakan oleh para ilmuwan hukum). Hal yang
dalam rangka mendapatkan jawaban yang lebih terjadi dalam pendidikan hukum di Indonesia tatkala
presisi. Itu sebabnya, dalam penelitian hukum menyimak kajian-kajian ilmiah dalam bentuk baik
tentu tidak mengenali hanya satu metode untuk skripsi, tesis, maupun disertasi, adalah memandang
mendekati masalahnya. Riset dengan segala ketiganya secara sederhana, atau bahkan terkesan
metode saintifikasinya, sesungguhnya memerlukan asal ditulis.1 Meskipun ini tidak bisa digeneralisasi,
pengujian-pengujian yang kebenarannya bisa namun setidaknya masalah dominan tersebut bisa
saling, bisa jadi melengkapi. Hal ini disebabkan, diukur dari penanda berikut:
memecahkan suatu masalah dapat dilihat dari 1. Koordinat saintifikasi tak pernah
beragam sudut pandang. dijelaskan secara presisi, melainkan
Menganalisis masalah atau isu hukum dari hanya menyebutkan ada kajian
sudut pandang aturan, konsep atau doktrinnya, yang pernah dilakukan, tetapi tidak
hanyalah salah satu metode saja pencarian dijelaskan dimana posisinya secara
kebenarannya. Sedangkan melihat bekerjanya akademik. Klaim “tidak pernah
hukum, sedari law making (pembentukan hukum) dituliskan” dalam kajian sebelumnya,
hingga implementation of law (kenyataan berlakunya seringkali keliru karena terbatasnya
hukum), adalah satu cara pandang lainnya yang tidak bahan bacaan, termasuk mengalienasi
kalah pentingnya, memahami dan memecahkan kajian-kajian yang sifatnya
realitas yang memang perlu diselidiki jawabannya. interdisipliner. Keterbatasan (bila tak
Oleh sebab itu, sebuah penelitian hukum yang disebut kegagalan) menempatkan
baik perlu pula disertai dengan pemahaman atas koordinat saintifikasinya melahirkan
masalah atau isu hukum yang hendak dipecahkan pertanyaan dimana kebaruan (novelty)
hingga mencari metode yang paling mendekati sekaligus originalitas penelitian yang
permasalahan yang dihadapkannya. Artinya, hendak atau sedang dilakukan.
memperlakukan metode semacam ‘alat-alat’ (tools), 2. Tidak terhubungnya antara latar
yang tentu penggunaannya disesuaikan dengan belakang, tinjauan pustaka dan
kebutuhan praktis yang lebih tepat, dalam hal ini kerangka teoritiknya. Seringkali, tidak
diargumentasikan nalar-nalar hukumnya. hanya format tulisannya yang hanya
Jika memang mengharuskan pemenuhan menjiplak, dengan referensi terbatas,
prasyarat ‘pemahaman atas masalah atau isu melainkan pula mendiskusikan teori
hukum’ secara baik, hal ini bisa tersimak dari secara umum, tidak mengupayakan

1
Widodo D. Putro, et al., “Penelitian Hukum, Antara yang Normatif dan Empiris”, Digest Epistema, Vol. 5, 2015, hlm. 3-16.
404 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 3, Oktober 2019, Halaman 402-418

secara jelas bagaimana teori-teori itu Tulisan ringkas berbasis penelitian berikut
digunakan dalam menjawab rumusan mengajak para pembaca untuk merefleksikan
masalah. Misalnya, yang paling sering upaya pengembangan metode penelitian hukum
dijadikan rujukan dalam kajian- melalui imajinasi-imajinasi pendekatan yang
kajian ilmiah hukum tata negara sifatnya lebih interdisipliner. Artikel ditujukan
adalah teori Negara Hukum dan teori bukan untuk menjelaskan pertentangan antara
HAM. Memang kedua teori tersebut normatif dan empiris dalam penelitian hukum,
relevan dan penting, tetapi sangat sulit melainkan menjelaskan mengapa pertentangan
digunakan dalam menjawab rumusan tersebut mengeras dan menjadi tantangan dalam
masalah yang ditetapkan bisa rujukan mengembangkan pendekatan interdisipliner.
tulisannya berangkat dari paparan
masa klasik pemikiran-pemikiran B. Pembahasan
Yunani, atau kajian HAM umum, atau 1. Dominasi Normatif
bahkan sekadar mengutip pandangan Supaya memahami mengerasnya perdebat­
umum atau prinsip-prinsip yang tidak an antara normatif dan empiris dalam suatu debat
pernah dijelaskan secara lebih konkrit metode penelitian hukum, penulis perlu menjelas­
hubungan dan relevansinya. kan mengapa pendekatan normatif demikian men­
3. Hal yang paling sering ditemui dominasi.
dalam ‘karya ilmiah’ hukum, tak bisa Ada hal sederhana yang ditemukan dalam
membedakan antara tinjauan pustaka penelitian lapangan untuk menjawab pertanyaan
dengan tinjauan peraturan perundang- tersebut, Pertama, orang mengira (lebih) mudah dan
undangan. kedua, mapan. Pertama, mengandalkan pencarian
Hal ini kian diperburuk dengan perangkap ketentuan normatif, merefleksikan doktrin yang
metode penelitian hukum yang statis. Pada tersedia, dan mengembalikan kajiannya pada teks,
akhirnya, membaca penelitian-penelitian hukum baik yang merujuk dan menamainya dengan ‘dasar
yang ada, kerapkali tak terlalu penting menyimak filosofis’ yang sesungguhnya berakar dari filosofis
bagian pendahuluan, karena seakan seragam positivisme. Kedua, rasionalisasinya membatasi
pendekatannya, selain jumlah halamannya juga pada teks atau dokumen semata, baik itu yang
kerap fantastik ketebalannya sekalipun substansinya disebut sebagai ratio legis maupun ratio juris.
tak relevan. Di titik ini, orisinalitas penelitian- Kemudahan inilah yang diandalkan para peneliti
penelitian hukum patut dipertanyakan, atau hukum pada umumnya. Sehingga, mempercayai
kebaruan dalam suatu penelitian hukum harus diuji. ‘kemudahan’ ini sebagai metode penelitian
Masalah mendasar dalam penelitian hukum, hukum yang berangkat dari kekhususan atau
rupanya tak semata masalah metode, melainkan pula karakter keilmuan hukum yang khas, berbeda dan
pendekatan atas masalah yang terdeskripsi dalam membedakan dengan keilmuan-keilmuan lain di
latar belakang, tinjauan pustaka dan pilihan teori luar hukum, atau pula disebutnya sui generis.
sebelum akhirnya pula menentukan metodenya. Sementara itu, kemapanan ‘normativisme’
Bukan soal mana yang harus dipecahkan diantara dalam ilmu hukum karena memang bersentuhan
bagian-bagian itu terlebih dahulu, karena pada dengan aturan-aturan hukum, terutama aturan
dasarnya semua bagian dari pendahuluan tersebut yang direproduksi oleh negara atau otoritas kuasa
saling berkaitan dan koheren. Menjadi masalah pembentuk hukum formal. Ini (state based norms)
mendasar jika penelitian tidak beranjak dari suatu pun, kerap dengan sederhana mengeksklusi aturan
kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan informal, tradisi, kebiasaan, atau hukum adat (social
maupun kebutuhan praktis preskipsi atas masalah. based norms). Itu sebabnya, ada pula yang menyebut
Wiratraman dan Putro, Tantangan Metode Penelitian Interdisipliner dalam Pendidikan Hukum 405

‘formalisme’, atau pula ‘positivisme’. Hukum, universal, umum, dan teoristis serta landasan
kerapkali disebut memiliki karakter keilmuan pemikiran yang mendasarinya.
sendiri, atau disebutnya sebagai sui generis (satu Dengan begitu, karakter ilmu hukum yang sui
untuk jenisnya sendiri). Ilmu hukum, dalam hal ini generis bersifat preskriptif dan terapan. Sekalipun
disebut pula jurisprudence dan/atau science of law/ bentuknya preskriptif dan terapan, pertanyaan dalam
legal science (Bahasa Inggris), rechtwetenschap penelitian soal efektifitas ditolak sebagai penelitian
(Bahasa Belanda), theorie generale du droit hukum.2 Kerapkali ditegaskan bahwa kebutuhan
(Bahasa Perancis), atau pula jurisprudenz dan/atau sarjana hukum adalah ilmu praktis. Pemahaman
rechtswisseschaft (Bahasa Jerman). dasar tentang ilmu hukum yang bisa menjawab
Pemahaman soal ilmu yang satu untuk pertanyaan dan isu-isu hukum. Pemaknaan ilmu
jenisnya sendiri tak bisa dilepaskan dalam konteks hukum yang sui generis menolak empirical studies
sejarah kelahiran pemikirannya, terutama merunut of law, social scientific of law dan atau disiplin ilmu
sejarah perkembangan ilmu hukum. Salah satu yang non-hukum untuk masuk sebagai “keilmuan” dalam
dominan dipahami, secara garis besar, pertama, ilmu hukum. Sui generis keilmuan hukum yang
ilmu hukum lahir dimaknakan sebagai suatu ilmu demikian disebut pula sebagai disiplin keilmuan
terapan (applied science). Kedua, ilmu hukum pada tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan disiplin
perkembangannya lebih mempelajari aturan-aturan keilmuan lain, atau monodisipliner.
yang ditetapkan oleh pengusa, putusan-putusan ‘Ilmu praktis’, atau sebagai suatu ilmu
yang diambil dari sengketa yang timbul, dan terapan (applied science), hukum menjadi terbatas
doktrin-doktrin yang dikembangkan oleh keilmuan maknanya. Bukan lagi sebagai ilmu hukum,
hukum. Dan ketiga, pengembangan metode yang melainkan bisa dinyatakan bahwa turun derajatnya
digunakan di dalam ilmu hukum dalam bentuknya menjadi ‘ilmu perundang-undangan’ atau ‘ilmu
yang sifatnya analisis, sintesis, dialektika, yang (membaca) putusan’. Tidak lebih! Tentu, ini bukan
kemudian melahirkan prinsip-prinsip hukum besifat soal ‘salah’, melainkan soal ‘satu sudut pandang’
umum. dari beragam banyak sudut pandang yang tersedia
Oleh sebabnya, ilmu hukum yang sui generis dalam keilmuan hukum, yang punya nilai lebih
tidaklah tepat dimasukkan dalam klasifikasi studi dan kekurangan masing-masing. Pembatasan
yang bersifat empiris, ilmu-ilmu sosial atau ilmu bahan hukum primer sebatas perundang-undangan
humaniora lainnya. Kajian ilmu hukum yang dan putusan peradilan demikian sebenarnya tak
sui generis demikian, kajiannya diawali dengan berkemampuan dalam menjawab pertanyaan-
memahami kondisi intrinsik aturan-aturan hukum, pertanyaan semacam, ‘mengapa aturan hak
bukan melihatnya dari luar. Hal inilah yang konstitusional tidak dipatuhi oleh penguasa dan
menegaskan perbedaannya antara ilmu hukum bahkan warga negaranya? bagaimana perlindungan
dengan disiplin-disiplin ilmu lain yang objek hak kaum minoritas bisa lebih terlindungi dalam
kajiannya juga hukum, seperti sosiologi hukum, sistem hukum Indonesia? atau mengapa hukum
antropologi hukum, politik hokum, dan ekonomi Pemilu di Indonesia justru melahirkan kuasa
hukum. Disiplin-disiplin lain tersebut memandang oligarki politik yang justru melemahkan prinsip-
hukum dari luar (perspektif keilmuan non-hukum). prinsip Negara Hukum dan demokrasi? Niscaya,
Kajian atas kondisi intrinsik aturan hukum, pertanyaan ini tak akan bisa ‘dijawab sendiri’
dimaksudkan bahwa ilmu hukum akan mempelajari oleh metode penelitian hukum yang mekanis. Ia
gagasan-gagasan hukum yang bersifat mendasar, memerlukan pertolongan pendekatan atau metode

2
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana, Jakarta, hlm. 35.
406 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 3, Oktober 2019, Halaman 402-418

hukum lain yang lebih bisa mendekati jawabannya. (law as what ought to be) seperti nilai-nilai dan
Apa yang bisa direfleksikan dari pengamatan asas-asas yang terkandung dalam norma hukum.
di dunia pendidikan tinggi hukum soal ini? Dalam meneliti peraturan perundang-
Ajaibnya, sekalipun memiliki keterbatasan undangan, peneliti tidak hanya menginventarisasi
dalam logika kemampuan menjawab pertanyaan- peraturan perundang-undangan sebagai suatu
pertanyaan tersebut di atas, penelitian-penelitian yang ‘given’ dan dimasukkan begitu saja untuk
hukum di bagian akhir selalu menyediakan dua memenuhi ketebalan karya ilmiah. Peneliti perlu
hal untuk memungkasi kajiannya, yakni bagian secara kritis meneliti makna substansi peraturan,
‘Kesimpulan’ dan ‘Saran’. Dinyatakan ajaib karena serta implikasinya bagi subjek hukum.
bagaimana mungkin saran (dalam saintifikasi adalah Norma hukum tidak bebas nilai. Peneliti
preskriptif), yang pula memerlukan metode khusus perlu mendalami nilai di balik norma hukum.
pasca deskriptif dan analitik, bisa membuat saran- Peneliti mempertanyakan isu-isu moral keadilan di
saran yang kerapkali tak hanya ‘melompat’ bahkan ranah metayuridis. Untuk menjawab pertanyaan,
‘menakjubkan’ hasilnya. Ini karena tidak jelas “Apa hukumnya untuk mengaidahi suatu perbuatan
logika dalam menuliskan saran, karena di bagian hukum tertentu?” Dalam pendekatan normatif,
pendahuluan tidak dijumpai pertanyaan atau bahkan peneliti tidak cukup merujuk pada hukum positif,
metode untuk preskriptif. Artinya, temuan dalam melainkan juga perlu menelisik, dan menemukan
penelitian-penelitian hukum yang memberikan dasar-dasar metayuridis seperti nilai-nilai keadilan
saran demikian, tak ubahnya ‘ilmu penerawangan’ dan asas-asas hukum sebagai hukum yang ideal.
(magic analysis), penuh asumsi, terjebak mitos- Misalnya, penelitian tentang sengketa perjanjian
mitos dan penuh fallacy. Padahal, peserta didik, yang di dalamnya terdapat tipu muslihat, apakah
atau mahasiswa hukum, bukan dididik layaknya mengikat para pihak? Peneliti harus mencari dan
menjadi seorang dukun, melainkan pembelajaran menemukan nilai-nilai atau asas-asas hukumnya
atas metode yang memiliki proses saintifikasi yang diandaikan berlaku universal.5
tertentu. Peneliti tidak cukup membaca Pasal 1338
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat KUH Perdata, melainkan perlu meneliti nilai-nilai
direfleksikan, ada kekeliruan mendasar yang yang bermukim di ranah metayuridis, misalnya,
menyederhanakan penelitian normatif secara menemukan perselisihan filosofis antara asas pacta
eksesif dengan mereduksinya sebatas meneliti sunt servanda dan itikad baik (asas ‘ex bona fides’).
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim, Menurut asas ‘pacta sunt servanda’ perjanjian
yang kemudian disebut sebagai (bahan) hukum mengikat para pihak sehingga melarang para pihak
primer. Hal ini bisa merujuk salah satunya dalam mengingkarinya. Perjanjian harus ditepati dan
buku Penelitian Hukum karya Peter Mahmud mengikat karena didasari dengan kesepakatan dan
Marzuki yang memiliki angka sitasi tertinggi di kebebasan berkontrak. Tetapi, asas ex bona fides
Indonesia.3 Sitasi tersebut mencapai total 6.210 dari mempertanyakan bagaimana dengan perjanjian yang
berbagai edisi.4 Padahal apa yang disebut normatif kemudian hari ternyata terbukti terdapat penipuan.
tidak hanya yang tertulis dalam kitab peraturan Apakah perjanjian yang melanggar kepatutan itu
perundang-undangan (law as it is written in the tetap mengikat? Hal demikian tidak cukup sekadar
books), melainkan juga hukum yang seharusnya dilihat dengan menggunakan pasal 1321 KUH

3
Ibid., hlm. 181.
4
Google Scholar, “Peter Mahmud Marzuki”, https://scholar.google.co.id/citations?user=NZea4P4AAAAJ&hl=en, diakses 18 Oktober 2019.
5
R. W., M. Diaz, “Legal Politics: Norms behind the Grundnorm”, The Cambridge Law Journal, Vol. 26, No. 2, November 1968, hlm. 233-259.
Wiratraman dan Putro, Tantangan Metode Penelitian Interdisipliner dalam Pendidikan Hukum 407

Perdata, ‘penipuan dapat menjadi alasan pembatalan monodisipliner, melainkan interdisipliner.6


perjanjian’, melainkan menemukan sejauh mana Dunia ilmu pengetahuan, termasuk ilmu
asas-asas hukum itikad baik dipergunakan dalam hukum, sungguh luas dan membentang kajiannya
suatu perjanjian. dalam segala hal dimensinya, termasuk metodenya
Untuk melihat perkembangan paradigma pun mengalami pergeseran, atau pengembangan.
hukum, peneliti juga dapat menelusuri putusan- Metode penelitian hukum bukan semata soal yang
putusan hakim, terutama meneliti putusan-putusan kerap kali menjadi ‘situasi pertikaian’ antara yang
yang dilematis. Misalnya, apakah hakim dalam normatif (yuridis normatif) versus empiris (yuridis
putusannya mempertimbangkan nilai kepatutan, empiris). Kajian yang hanya mempertentangkan dua
memutus si X yang menjadi korban penipuan tidak imperium ini memperlihatkan metode penelitian
terikat oleh isi perjanjian? Apakah setiap perjanjian hukum diperlakukan layaknya ‘agama’, dalam arti
tidak hanya didasarkan pada konsensus dan menyakralkan pemisahannya dalam simplifikasi-
kebebasan berkontrak, melainkan wajib didasari simplifikasi yang seringkali dipenuhi mitos.
itikad baik (asas ‘ex bona fides’)? Pengembangan keilmuan hukum, sebagai
Sejumlah pertanyaan normatif demikian suatu disiplin ilmu, tentu menjadi menarik
penting dan mendasar untuk dijawab dalam mengelaborasi disiplin ilmu hukum itu sendiri dan
sebuah penelitian hukum. Ini artinya, apa apalagi memperjumpakan dengan disiplin ilmu
yang disebut dengan penelitian normatif tidak lain untuk menjadikannya konsep payung. Upaya
sekadar mengetengahkan pasal-pasal terkait, pengembangan ini yang bersifat interdisiplin. Dalam
melainkan pula membangun konstruksi argumen konteks pengembangan keilmuan inilah maka
yang menghubungkan pasal-pasal dengan asas- perjumpaan-perjumpaan ini disebutlah sebagai
asas terkait, termasuk menjelaskan dengan sosio-legal, studi yang menempatkan posisinya
analisis metayuridisnya atau konteks yang lebih interdisipliner. Bagian ini akan menguraikan studi
mempengaruhinya. sosio-legal sebagai studi interdisipliner, baik dalam
mengurai kedudukannya di tengah lintas disiplin
2. Pengembangan Metode Interdisipliner keilmuan hukum, kemanfaatannya dalam konteks
Pendekatan monodisipliner, dalam perkem­ pengembangan ilmu maupun untuk perubahan
bangan keilmuan hukum, jelaslah memiliki keter­ sosial, maupun ragam inderdisipliner yang bisa
batasan, terutama untuk menjawab kompleksitas dikembangkan keilmuannya dalam penelitian-
problematika di masyarakat. Tatkala secara meto­ penelitian.
dologi (penelitian) dipaksakan sebagai preskripsi, Seringkali, sosio-legal dianggap (semata)
maka sangat mungkin melahirkan ke­tidak­pekaan penelitian sosial tentang hukum. Penelitian
atau ketidakefektifan dalam realitas masyarakatnya. sosio-legal dianggap sebagai penelitian yang
Preskripsi ini membatasi sendiri, sesungguhnya menempatkan hukum sebagai gejala sosial,
menihilkan kemasyarakatan yang menjadi sehingga hukum dipandang dari segi luarnya
konteks lahir dan bekerjanya hukum. Sehingga saja.7 Pandangan yang demikian tidaklah tepat,
kajian monodisipliner, sekalipun diperlukan karena studi yang menempatkan hukum sebagai
untuk memenuhi kajian intrinsik aturan-aturan gejala sosial adalah lebih dekat dengan apa yang
hukum, memerlukan pengembangan kajian dalam dimaknakan dalam studi sosiologi hukum, bukan
lingkup keilmuan hukum, yang sifatnya tidak lagi sosio-legal. Kekeliruan cara pandang ini, kemudian

6
Douglas W. Vick, “Interdisciplinarity and the Discipline of Law”, Journal of Law and Society, Vol. 31, 2004, hlm. 163-193.
7
Peter Mahmud Marzuki, Op. cit., hlm. 128.
408 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 3, Oktober 2019, Halaman 402-418

diperburuk dengan menyatakan ‘tempat studi’- hukum terbaik dunia di United Kingdom (UK),
nya sosio-legal bukan berumah di fakultas hukum, yakni Oxford University Law School. Kampus
melainkan di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, ini, memiliki program melalui pusat studi di
atau sekolah pascasarjana. Setidaknya, ini yang bawah fakultas, bernama Centre for Socio-Legal
terjadi saat ini di Universitas Airlangga. Studies (CSLS). Dalam ringkas penjelasannya,
Mengapa hal demikian tidaklah tepat? menyebutkan:
Sederhana saja menjawabnya. Pertama, sebutkan “Selama lebih dari empat puluh tahun, Pusat
sepuluh fakultas hukum terbaik di dunia versi Studi Sosio-Legal Oxford (CSLS) telah
QS World, atau lembaga perangkingan tertentu. berada di garis depan dalam penelitian tentang
sifat dan peran hukum dalam masyarakat.
Kemudian, sebutkan diantara sepuluh tersebut,
Para peneliti menggabungkan keahlian multi-
fakultas hukum mana yang tidak mengajarkan atau disiplin untuk mempelajari hukum sebagai
menempatkan kajian sosio-legal? Jawabannya, mode organisasi sosial historis dan spesifik
tidak ada satupun. budaya yang mengambil bentuk berbeda di
Misalnya, Harvard University Law School dalam dan di berbagai tipe masyarakat yang
berbeda.”9
(USA), memiliki Program Studi Hukum dan
Perubahan Sosial di bawah Fakultas Hukum. Dalam Bahkan, secara khusus fakultas hukum
penjelasan laman program studinya, disebutkan: menawarkan dua program studi khusus, baik master
“…. Karena hukum sangat dipengaruhi maupun doktoral. MPhil in Socio-Legal maupun
dalam dunia ekonomi, politik, dan sosial kita, MPhil in Law, yang ditawarkan satu tahun melalui
pencarian perubahan sosial selalu melibatkan riset khusus, dan DPhil in Socio-Legal Studies, dan
keterlibatan dengan hukum. Mahasiswa yang program-program tersebut difasilitasi oleh CSLS.10
berusaha memahami bagaimana hukum
Kekeliruan dari amatan menempatkan sosio-legal
dapat dimanfaatkan untuk perubahan sosial,
atau yang ingin mengejar karir sebagai agen sebagai studi non-hukum, sebagaimana disampaikan
perubahan sosial, didorong untuk mengikuti dalam buku Peter Mahmud, adalah pemahamannya
Program Studi Hukum dan Perubahan yang terbatas soal ‘legal’ dalam sosio-legal.
Sosial…… Di jantung Program Studi
‘Legal’ dalam sosio-legal, sesungguhnya terkait
adalah upaya untuk membangun komunitas
mahasiswa dan fakultas berkomitmen untuk dengan studi ilmu hukum yang selama ini banyak
memahami dan menggunakan hukum sebagai atau dominan dikembangkan dalam kurikulum
sarana untuk mencapai perubahan sosial. pendidikan-pendidikan hukum, terutama mengkaji
Program ini mengadakan acara reguler dosen norma, asas, prinsip, doktrin, interpretasi, dan nalar
dengan mahasiswa yang dapat menjawab
pertanyaan tentang pemilihan program, hukum (legal reasoning). Itu sebab, studi sosio-
rencana musim panas, dan pilihan karier. legal pula menghendaki pengkaji atau penelitinya
Program ini juga mensponsori program melakukan kajian atas norma-norma yang ada,
tentang topik perubahan sosial substantif dan baik dalam perundang-undangan maupun putusan
acara sosial untuk memberikan mahasiswa
peradilan, termasuk kajian-kajian atas asas, prinsip,
dan profesor yang berafiliasi dengan Program
berkesempatan untuk saling mengenal satu doktrin, dan interpretasi yang terkait kasus-kasus
sama lain dalam bentuk yang lebih informal.”8 atau aturan-aturan.
Misalnya, dalam meneliti soal kehutanan,
Contoh lainnya, adalah salah satu kampus

8
Harvard University Law School, “Law and Social Change”, https://hls.harvard.edu/dept/academics/programs-of-study/law-and-social-
change/, diakses 25 Januari 2019.
9
Oxford University, Faculty of Law, “Centre for Socio-Legal Studies”, https://www.law.ox.ac.uk/centres-institutes/centre-socio-legal-studies,
diakses 25 Januari 2019.
10
Oxford University, Faculty of Law, “DPhil in Socio-Legal Studies”, https://www.law.ox.ac.uk/admissions/postgraduate/doctor-philosophy-
socio-legal-studiesmaster-studies-socio-legal-research, diakses 25 Januari 2019.
Wiratraman dan Putro, Tantangan Metode Penelitian Interdisipliner dalam Pendidikan Hukum 409

maka disertasi Myrna Safitri11 harus membongkar studi sosio-legal sebagai studi interdisipliner.
keseluruhan produk hukum terkait kehutanan, Penelitian sosio-legal menjadi menarik ketika
begitu juga disertasi Tristam Moeliono12 yang harus melihat hukum dan institusi hukum yang bekerja,
memblejeti (bongkar) seluruh aturan dan putusan bukan semata dengan melihat kewenangan yang
terkait tata ruang, yang dilahirkan di tingkat diatur, implikasi kelembagaan atas kewenangan itu,
nasional hingga lokal di Bandung. Itu pula yang tak atau batasan aturan soal kewenangan, melainkan
terhindarkan tatkala meneliti soal kebebasan pers pula mengkaji dengan melihat soal bekerjanya
yang dilakukan dalam disertasi “Kebebasan Pers, kewenangan dalam suatu kurun waktu dan ruang
Hukum dan Politik”13, mengharuskan pelacakan yang melahirkan dinamika sekaligus keragaman
keseluruhan aturan hukum berikut putusan-putusan pandangan. Dengan kajian sosio-legal, pendekatan
peradilan sekaligus kebijakan soal pers, dari masa interdisipliner justru akan membantu membuka
kolonial hingga perkembangannya di masa pasca ruang keragaman teoritik dan inovasi hukum.14
reformasi. Selain itu memeriksa ratusan putusan
pengadilan di lapangan bidang pidana, perdata, dan 3. Disiplin (Ilmu) Hukum, Disiplin
tata usaha negara yang semuanya berkaitan dengan Profesional Yuris?
pers. Balkin menyatakan, “... If disciplinarity
Sedangkan ‘sosio’ dalam studi sosio-legal is authoritarian, then perhaps interdisciplinarity
merupakan pendekatan ilmu non-hukum, baik is rebellious, even romantic.” (bila disipliner
yang terkait dengan sosiologi hukum, antropologi adalah otoritarian, maka mungkin interdisipliner
hukum, budaya hukum, politik hukum, atau sebagai pemberontakan, bahkan romantis).15
sejumlah pendekatan yang menjadikan hukum Menarik mengutip pandangan yang ditulis panjang
sebagai objek kajiannya. Sekalipun demikian, tidak lebar dalam artikelnya, bahwa mengetengahkan
menutup kemungkinan, ‘sosio’ dalam studi sosio- diskursus interdisipliner di fakultas-fakultas hukum
legal menjangkau sejumlah keilmuan non-hukum memperlihatkan resistensi, yang menjelaskan
yang relevan dengan kajian atau penelitian yang ketegangan atau debat yang mengeras antara apa
sedang digali jawaban-jawabannya. yang dikonsepkan dalam penelitian, antara normatif
Dengan penjelasan demikian, maka tak hanya dan empiris.
keliru, tetapi justru tak berguna menyatakan studi Untuk memahaminya dalam konteks
sosio-legal bukan studi hukum, karena realitasnya bagaimana hal demikian bisa terjadi dalam konteks
terbantahkan dengan sendirinya, baik pemahaman Indonesia, dimulai dengan pembahasan ide
secara konsep dasar maupun kenyataan studi sosio- disipliner. Istilah ini berasal dari discipulus (istilah
legal yang berumah di kampus-kampus hukum Latin) yang secara secara harfiah sebagai gagasan
terbaik di dunia. Studi sosio-legal, sekali lagi, jelaslah yang dibedakan dari satu sama lainnya, berkaitan
bukan semata penelitian sosial tentang hukum, dengan masalah, metode, bahasa yang digunakan.
melainkan kombinasi keduanya, studi hukum (legal Ini berkaitan dengan ide kontroversialnya Thomas
research) dan studi tentang hukum (social studies of Kuhn16 tentang ‘normal science’ dan ‘scientific
law). Kombinasi yang demikianlah berkarakterkan revolution’. ‘Normal science’ (ilmu pengetahuan

11
Myrna Safitri, 2010, “Forest tenure in Indonesia: the socio-legal challenges of securingcommunities’ rights”, Disertasi, Leiden University.
12
Tristam Moeliono, 2011, “Spatial management in Indonesia: from planning to implementation: Cases from West Java and Bandung: a socio-
legal study”, Disertasi, Leiden University.
13
Herlambang P. Wiratraman, 2014, “Press Freedom, Law and Politics in Indonesia. A Socio-Legal Study”, Disertasi, Leiden University.
14
Reza Banakar, et al., “Introduction”, dalam Reza Banakar dan Max Travers (Eds,), 2005, Theory and Method in Socio-Legal Research, Hart
Publishing, Oxford and Portland Oregon, hlm. x.
15
J. B. Balkin, “Interdisciplinarity as Colonization”, Washington and Lee Law Review, Vol. 53, Issue 3, Summer 6-1-1996, hlm. 957.
16
Thomas S. Kuhn, 1962, The Structure of Scientific Revolution, University of Chicago Press, Chicago.
410 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 3, Oktober 2019, Halaman 402-418

normal) terjadi apabila ada paradigma ilmu yang perundang-undangan dan sebagainya dianggap
demikian mapan. Sebuah paradigma yang mapan sebagai data yang akan dipelajari. Hukum dipandang
itu memberitahukan apa pemaknaan yang “penting” sebagai disiplin untuk menjelaskan (explanatory
suatu penelitian dalam disiplin tertentu: metode apa discipline), lebih memperdebatkan dalam ranah
yang lebih tepat digunakan; pertanyaan apa yang pendekatan taksonomi konsep (conceptual
absah diajukan; apa asumsi yang dapat dibuat; approach). Pandangan ini melihat hukum sebagai
hipotesis apa yang dapat diterima; serta bagaimana disiplin yang berlogika sendiri dalam mempelajari
menyajikan kesimpulan atau temuan. Dalam konteks bagaimana aturan dan konsep bersatu sistematis.
pendidikan tinggi, kerap dan umum diajarkan ketika Boleh dikata, pandangan ini lebih mendekatkan
mereka menulis proposal penelitian. pada perspektif Comte atau model positivis.
Penelitian dalam ilmu pengetahuan normal Kelompok kedua melihat hukum sebagai
tidaklah keliru dalam suatu produksi pengetahuan, hermeneutika atau disiplin argumentatif. Tugas
namun menjadi membosankan dan absurd dalam utama dari penelitian hukum adalah penafsiran
konteks dinamika masalah dan perubahan sosial teks sebagai dasar untuk pendapat dan pemecahan
yang begitu cepat. Ilmu pengetahuan normal masalahnya. Penelitian hukum ditujukan untuk
mencoba untuk membuktikan teori; bekerja di luar memahami sekaligus menjelaskan argumentasi
implikasi dari teori yang ada, dan ini benar (atau yang dapat diterima dalam hukum, oleh sebabnya,
setidaknya dapat dibenarkan) sebagai sebagian penelitian hukum adalah soal produksi argumentasi.
dari karya ilmiah. Ini adalah apa yang dimaknakan Pandangan kedua ini, secara sosiologik dicabarkan
sebagai disipliner, mengajarkan metodologi oleh Wignyosoebroto sebagai perkembangan yang
untuk bisa diterima dalam lapangan atau bidang telah ada, dari pendekatan ‘doktrinal-jurisprudencial
ilmu tertentu. Berfokus pada legitimasi disiplin, kaum positivis’ ke pendekatan ‘non doktrinal-
dan memecahkan masalah dengan disiplin yang interdisipliner kaum behavioralis’ yang berjalan di
membatasi diri, sesungguhnya mendisiplinkan atas tradisi metodologisnya mazhab Wina, dimana
diri sendiri (bila tak disebut memerangkapkan diri aplikasi paradigma konstruktivisme sosial di bidang
sendiri) dalam konteks geliat dan perkembangan kajian hukum nyata-nyata terkesan banyak bertolak
pesat ilmu itu sendiri. Bukankah tidak saja konteks dari posisi hermeneutika.19
yang berkembang, ilmu pun hakikatnya berkembang Kelompok ketiga merupakan penolakan
menyesuaikan konteksnya. terhadap positivisme melekat dalam kelompok
Lantas, apa itu yang disebut jenis disiplin pertama, khususnya dengan melihat hukum sebagai
dalam ilmu hukum? Tidak ada konsensus pada disiplin normatif. Dalam pandangan kelompok
pertanyaan ini. Atau tidak ada pandangan ini, penekanan penelitian hukum adalah pada
universalisme berseia sekata atas apa disiplin membangun kerangka normatif hukum agar
hukum, sebagaimana dikemukakan Hoecke17 dan memiliki sejumlah pilihan normatif yang dapat
Wignyosoebroto18 Sekalipun demikian, ia dapat dibuat.20 Pandangan kelompok ketiga ini dekat
dikelompokkan menjadi tiga pendekatan umum. dengan alur berfikir aliran hukum kodrat (atau
Kelompok pertama melihat hukum sebagai yang dimaknakan pula kaum naturalis). Dari ketiga
disiplin empiris, di mana kasus hukum, peraturan pendekatan kelompok-kelompok ini, menghadirkan

17
Mark Van Hoecke, “Legal Doctrine: Which Method(s) for What Kind of Discipline?”, dalam Mark Van Hoecke (Ed.), 2011, Methodologies
of Legal Research: Which Kind of Method for What Kind of Discipline?, Hart Publishing, Oxford, UK, hlm. 1-18.
18
Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Masalah, HuMa-ELSAM, Jakarta.
19
Ibid.
20
Ronald Dworkin, 1986, Law’s Empire, Harvard University Press, Cambridge. Lebih lanjut juga baca John Finnis, 1980, Natural Law and
Natural Rights, Edisi Pertama, Oxford University Press, New York.
Wiratraman dan Putro, Tantangan Metode Penelitian Interdisipliner dalam Pendidikan Hukum 411

hukum dalam konteksnya lebih dekat dengan membedah kasus hukum, dengan kesigapan
kelompok yang kedua. Metodologi yang secara pencarian teknis hukum atau aturan terkait dengan
paradigmatik, melihat bahwa penelitian hukum kasus, menjadi penting dan dominan dilakukan.
sebagai rangkaian proses untuk temuan, interpretasi, Terkait dengan disiplin profesionalisme dalam
aplikasi dan kritik hukum atas aturan-aturan hukum hukum,22 berpandangan bahwa “….. (Hukum)
serta bekerjanya aturan itu. adalah profesi keterampilan berorientasi, dan
Penelitian hukum akan selalu memper­ pendidikan hukum merupakan bentuk pendidikan
timbangkan sejarah, filsafat, perspektif komparatif profesional, karena hukum adalah sebuah disiplin
dan keadaan sosial politik dari setiap masalah profesional, yang justru tidak memiliki metodologi
khusus. Sehingga tak membatasi model falsifikasi akademis yang kuat …..”. Ironisnya, imajinasi
atas hukum atau berlakunya hukum. Sebaliknya, ‘berpikir seperti pengacara’’ memperkuat tesis
bagi kelompok pertama (atau juga kelompok ketiga), falsifikasi. Dalam konteks itu, pekerjaan seorang
ketiadaan untuk menegaskan metode falsifikasi, pengacara kasus pidana, misalnya, bukan untuk
tidak mencerminkan posisi profesional yuris, membuktikan kliennya tidak bersalah, tetapi lebih
yang menghendaki suatu preskripsi tertentu atas untuk memfalsifikasi argumentasi teknis dakwaan.
masalah yang sedang dihadapi. Dalam pendidikan Sesungguhnya, disiplin hukum (dalam makna
tinggi hukum, klaim profesionalisme yuris menjadi perspektif internal, yang membatasi pada kelompok
lazim, karena diharapkan para sarjana siap untuk pertama dan ketiga), disebut sebagai disiplin
terjun dalam praktik-praktik dunia hukum, baik itu profesionalisme (yuris), terkesan sangat menarik,
dalam lingkup pengambil kebijakan (law makers), terutama menghubungkannya dengan fungsi
kekuasaan kehakiman, kepengacaraan, dan fungsi- pengembanan hukum praktikal, yang tentunya
fungsi lain dalam penegakan hukum. melegitimasi dirinya dengan disiplin tersendiri.
Bagi kelompok kedua, tentu tidak Baik dalam epistemologi, asumsi, pengetahuan,
berpandangan demikian. Menurutnya, disiplin keterampilan, metode yang kesemuanya dalam
hukum untuk menghasilkan apa yang dimaknakan lingkup sebuah disiplin. Di sisi lain, secara bertahap,
sebagai ‘profesionalisme yuris’ (kerap dimaknakan kajian-kajian normatif tanpa inovasi pengembangan
disiplin profesional), justru sama sekali bukanlah metode dalam penelitiannya justru akan tergilas
disiplin yang akademis,21 karena makna dengan perkembangan teknologi di era digitalisasi.
sesungguhnya apa yang disebut profesionalisme, Konteks sosial-ekonomi di era dengan teknologi
sekalipun fungsi pengembanan hukum yang digital, kecepatan pencarian jawab dengan metode
praktikal, bukan teoritikal (seperti kerja yuris ‘googling’ jelas lebih cepat nan presisi daripada
dalam penemuan hukum, pembentukan hukum dan seorang akademisi yang mengandalkan buku-buku
bantuan hukum), tetap memerlukan pemahaman teks maupun tumpukan peraturan perundang-
yang lebih baik dalam segala rupa dinamika hukum undangan atau putusan peradilan.
yang melingkupinya. Teknologi yang dikembangkan Rocket
Atas nama ‘profesionalisme yuris’, maka Lawyer di Amerika telah menjadi sistem baru
mahasiswa hukum dididik dan dilatih di sekolah- otomatisasi dalam bidang hukum, baik di bidang
sekolah hukum untuk berfikir (dalam imajinasinya) perjanjian dagang, hukum properti, perceraian, akad
seperti ‘pengacara’, ‘hakim’, ‘polisi’ dan ‘jaksa’, jual beli rumah, dan bidang hukum bisnis lainnya.23
atau juga ‘legal drafter’. Kecepatan dan kelugasan Bahkan, dalam situs yang bermotto ‘Easy Legal

21
J. B. Balkin, Op. cit., hlm. 952.
22
Ibid, 964.
23
Rocket Lawyer, “Legal Made Simple”, https://www.rocketlawyer.com, diakses 4 Februari 2019.
412 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 3, Oktober 2019, Halaman 402-418

Documents: Make legal documents for hundreds of terkait hukum, maka pendidikan hukum tersebut
purposes’ dan ’Rocket Lawyer offers legal services akan berjarak dengan realitas sosialnya. Pada
you can trust at prices you can afford’, menawarkan akhirnya, selain absen dari pengembangan kapasitas
mesin otomatisasi pembuatan dokumen-dokumen dunia praktik hukum kaum profesional yuris pula
hukum, dalam tempo cepat dan kualitas akurasi tidak banyak memberi manfaat dalam realitas
tinggi. perubahan sosial yang begitu cepat.
Bahkan baru-baru ini dunia kepengacaraan
dunia dikejutkan oleh pertarungan antara sejumlah 4. Ragam Interdisipliner, Hermeneutika dan
lawyer terbaik di Inggeris versus robot, yang Tantangannya
menggunakan artificial intelligence (AI), atau Berbeda dengan disiplin ilmu hukum yang
pula disebut kecerdasan buatan dan otomatisasi, dianggapkan ‘sui generis’, keilmuan tersediri
hingga berita perkembangan ini menjadi bahasan di berbeda dengan lainnya, lintas disiplin memiliki
World Economic Forum.24 Pertarungan dua subjek varian-varian. Varian-varian itu disebutlah inter­
itu justru diakhiri dengan kemenangan robot atau disipliner, multidisipliner, transdisipliner, atau juga
teknologi AI. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? ada yang menyebut cross-disciplinary. Tantangan
Transportasi, layanan makanan, penerjemah, ini akan terlihat pula dalam studi perbandingan
dan bahkan asisten toko atau ruang publik, kini telah hukum, yang mana pendekatan monodisipliner
secara bertahap menggeser layanan konvensional menjadi tak relevan dan tak banyak menimba
ke teknologi digital dan atau robotik. Tak terkecuali, manfaat.26
ke depannya peran pengacara (lawyer). Sayangnya, Secara istilah, uraian singkat berikut perlu
terbukti, lawyer yang andalkan argumen aturan atau dikemukakan. Penelitian multidisiplin berarti
pasal-pasal, bisa dikalahkan robot, sebagaimana bahwa para ilmuwan dari sejumlah disiplin yang
kontes di London, yang menghadapkan 100 berbeda melihat fenomena atau objek masalah
lawyer dari firma terkemuka versus Case Cruncher yang sama. Setiap ilmuwan bekerja dalam dan dari
Alpha, sebuah program kecerdasan buatan. Topik disiplinnya sendiri, pengetahuan dan pemahaman,
yang dipertandingkan soal fakta-fakta dasar dari dan menggunakan perspektif yang beragam dan atau
ratusan kasus penjualan bermasalah (fraud) terkait berbeda atas realitas masalah yang sama, sehingga
pembayaran perlindungan asuransi dan diminta nantinya ada pandangan beragam secara bersama-
untuk memprediksi apakah Financial Ombudsman sama dalam merespon masalahnya. Misalnya,
akan memungkinkan dapat klaim. Hasilnya, secara fenomena merebaknya pedagang kaki lima di kota
keseluruhan, mereka mengajukan 775 prediksi dan besar yang menggunakan trotoar. Tentunya, respon
robot menang. Tidak hanya dari sisi kecepatan hukum akan berbeda dengan respon sosial, budaya
menuntaskan analisa kasus, Case Cruncher dan kajian antropologik atas fenomena itu.
mendapatkan tingkat akurasi 86,6%, lebih presisi Sedangkan penelitian interdisipliner
dibandingkan dengan 66,3% untuk pengacara.25 merupakan kombinasi disiplin, tidak biasa
Bila pendidikan hukum tak menyadari konteks dilakukan oleh seorang ‘peneliti tunggal’ yang
perkembangan teknologi, dengan pengembangan menggunakan sejumlah disiplin secara metodologi
disiplin-disiplin ilmu lain yang menopang gagasan untuk mengatasi atau merespon masalah. Titik

24
World Economic Forum, “AI versus lawyers, vaccines for everything and other top stories of the week”, 23 November 2018, https://www.
weforum.org/agenda/2018/11/ai-lawyers-vaccines-for-everything-and-other-top-stories-of-the-week/, diakses 25 Januari 2019.
25
BBC News, “The robot lawyers are here - and they’re winning”, 1 November 2017, https://www.bbc.com/news/technology-41829534, diakses
25 Januari 2019.
26
Herlambang P. Wiratraman, “The Challenges of Teaching Comparative Law and Socio-Legal Studies at Indonesia’s Law Schools”, Asian
Journal of Comparative Law, Vol. 14, Supplement S1, Oktober 2019 , hlm. S229-S244.
Wiratraman dan Putro, Tantangan Metode Penelitian Interdisipliner dalam Pendidikan Hukum 413

berangkatnya karena persoalan yang tengah dihadapi berkembang, bukan semata soal sosio-legal dalam
begitu kompleks, sehingga perlu mengembangkan bidang hukum, melainkan pula dalam ilmu eksak,
keilmuan dan produksi pengetahuan baru untuk lebih seperti biochemistry, ecophilosophy, astrophysics;
mendekatkan jawaban yang tepat bagi masalah yang dan seterusnya. Penelitian transdisipliner meru­
sedang dihadapi. Dalam konteks hukum, benarkah, pakan penelitian dengan membentuk disiplin
keberlakuan hukum soal pencurian yang terjadi, ilmu baru atas masalah, yang baru dan terpisah.
sama proses penegakan hukumnya antara si pencuri Oleh karena itu penelitian transdisipliner adalah
sandal jepit dengan si pencuri uang negara dalam rute penggabungan dua disiplin, yang kemudian
jumlah fantastis, benarkah mereka diperlakukan mengarah ke satu set disiplin baru atas aturan dan
sama? Atau, benarkah penegakan hukum pidana perjanjian.
atas pencuri di kota-kota besar diberlakukan sama Dalam buku Brown and Harris (2010)
dengan kota kecil, atau realitas penegakan hukum Tackling Wicked Problems: Through the Trans­
pencurian di Jakarta sama ataukah berbeda dengan disciplinary Imagination, disebutkan sejumlah
penegakan hukum pencurian di Papua? pandangan karakter menarik soal transdisipliner
Ada persoalan kelas sosial, struktur sosial, yang dituliskan Lawrence, yakni, transdisipliner
politik, geografi, jarak, dan seterusnya, dimana para menangani kompleksitas dalam ilmu pengetahuan
penelitinya harus menggunakan pengetahun dan dan tantangan fragmentasi.27 Cara produksi penge­
keterampilannya menampilkan alternatif jawaban tahuan juga dicirikannya kerap bermodelkan hibrida,
dengan penggunaaan sejumlah disiplin atas masalah non-linear dan refleksivitas, serta melampaui setiap
yang sedang dihadapi. Sangat menarik untuk dicatat struktur disiplin akademik.28
bahwa banyak ilmuwan paling cemerlang dan Penelitian transdisipliner berarti tindakan
inovatif dilatih justru karena berupaya lebih dari inter-komunikatif. Pengetahuan transdisipliner
satu disiplin. Misalnya, astronom William Herschel adalah hasil dari inter-subjektivitas.29 Karenanya,
memulai kehidupan sebagai musisi profesional penelitian dan praktik transdisipliner memerlukan
dan komposer, dan belajar sendiri matematika dan kerjasama yang erat dan berkesinambungan dalam
kerajinan memoles cermin besar. Menariknya, ini semua fase dari proyek penelitian, disebutnya
memungkinkannya untuk membangun teleskop dengan ‘mediasi ruang dan waktu’30 atau ‘kerja
sangat kuat nan tajam. Sehingga keterampilan dan perbatasan’.31 Menariknya, penelitian transdisipliner
keahlian tersebut digunakan untuk menemukan sering berorientasi tindakan.32 Hal ini menuntut
planet Uranus. Bahkan, sejarawan berspekulasi untuk membangun hubungan tidak hanya melintasi
bahwa itu adalah karena kemampuannya dan batas-batas disiplin, tetapi juga antara pembangunan
keterampilannya dalam membaca musik yang teoritis dan praktik profesional.33
memungkinkan dia untuk mencari bintang-bintang Kontribusi transdisipliner sering berurusan
yang lebih sistematis dari sezamannya. dengan topik dunia nyata dan menghasilkan
Ilmu-ilmu dalam kajian interdisipliner ini terus pengetahuan yang tidak hanya menangani masalah-

27
Margaret A. Somerville, et al. (Eds.), 2000, Transdiciplinarity: ReCreating Integrated Knowledge. McGill-Queen’s University Press, United
Kingdom.
28
Philip W. Balsiger, “Supradisciplinary Research: History, Objectives and Rationale”, Futures, Vol. 36, Issue 4, Mei 2004, hlm. 407-421.
29
Carole D., et al., “Collaborative planning for Retrofitting Suburbs: Transdisciplinarity and Intersubjectivity in Action”, Futures, Vol. 36, Issue
4, Mei 2004, hlm. 471-486; J. Thompson Klein, “Prospects for transdisciplinarity”, Futures, Vol. 36, Issue 4, Mei 2004, hlm. 515-526.
30
Carole D., et al., Ibid.
31
Tom Horlick-Jones, et al., “Living on the Border: Knowledge, Risk and Transdisciplinarity”, Futures, Vol. 36, Issue 4, Mei 2004, hlm. 441-
456.
32
Carole D., et al., Loc.cit.
33
Roderick J. Lawrence, “Housing and Health: from Interdisciplinary Principles to Transdisciplinary”. Futures, Vol. 36 , Issue 4, Mei 2004, hlm.
487-502.
414 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 3, Oktober 2019, Halaman 402-418

masalah sosial, tetapi juga memberikan kontribusi sesamanya), dari sudut pelaku aksi-interaksi (yang
solusi mereka.34 Bila dikemukakan dalam bentuk disebut “aktor”) itu sendiri. Maksudnya ialah tatkala
skema, yang disebut sederhana sebagai MIT- mereka itu tengah terlibat atau melibatkan diri di/ke
disipliner, sebagai berikut, dalam suatu proses sosial, termasuk proses-proses
sosial yang juga relevan dengan permasalahan
hukum. Pendekatan hermeneutik berasumsi secara
paradigmatis bahwasannya setiap bentuk dan
produk perilaku antar-manusia itu – dan karena
itu juga produksi hukum, baik yang in abstracto
maupun yang in concreto – akan selalu ditentukan
oleh interpretasi yang dibuat dan disepakati para
pelaku yang tengah terlibat dalam proses itu, yang
tengah terlibat dalam proses itu, yang tentu saja
Gambar 1. Multidisipliner, Interdisipliner, dan
akan memberikan keragaman maknawi pada fakta
Transdisipliner (MIT-disipliner)35
yang sedang dikaji sebagai objek.
Sumber : Willie Caldwell, 2015.
Pendekatan hermeneutik dalam kajian hukum
membuka kesempatan kepada para pengkaji hukum
Dengan MIT-Disipliner yang demikian, untuk tak hanya berkutat – demi kepentingan profesi
maka yang paling mendasar adalah soal bagaimana yang eksklusif semata – menggunakan paradigma
argumentasi dalam suatu penelitian dibangun positivisme dan metode logikal formal melulu.
dalam paradigma hermeneutika, termasuk perannya Dalam konteks mungkin tidaknya interdisipliner,
dalam penelitian-penelitian hukum. Soal penting dan sejumlah variannya, sangat bergantung dari
dan mendasarnya paradigma hermeneutika, perspektif penelitian itu sendiri, penjelajahan apa
Wignyosoebroto mengingatkan dalam tulisannya, yang sedang dikehendakinya, menemukan jawaban-
bahwa kajian hukum perlu mengembangkannya jawaban yang lebih pantas dan tepat diartikulasikan
melampaui kajian-kajian yang sifatnya positivistik dalam imajinasi penelitiannya.37
dan normativistik (dua hal yang berbeda).36 Perspektif disipliner yang beragam di
Menurutnya, kajian-kajian pasca-positivistis atas, MIT, sebenarnya unik kategorisasinya.
menggunakan paradigma social constructionism. Namun menarik bila dikaji dari kontinum dalam
Kajian sosial dan kajian hukum dengan pendekatan penelitian interdisipliner, mulai dari rendah ke
hermeneutik ini pun secara jelas dan tegas menolak derajat yang lebih besar dari sintesis,38 layaknya
paham universalisme dalam ilmu, khususnya ilmu sebuah taksonomi interdisipliner. Taksonomi, yang
yang berseluk-beluk dengan objek manusia berikut dimaksudkan, adalah terkait dengan perbedaan,
masyarakatnya. Akan gantinya, relativisme itulah misalnya, bisa disebut pendekatan yang menjaga
yang harus diakui dan diterima. disiplin terpisah ‘multidisiplin’, sementara bagi yang
Pendekatan hermeneutik adalah pendekatan mengintegrasikannya disebutlah ‘interdisipliner’.
untuk memahami objek (produk perilaku manusia Masalahnya, bagaimanapun, bahwa tidak ada
yang berinteraksi atau berkomunikasi dengan pandangan seragam tentang bagaimana sebenarnya
34
Christoph Kueffer, et al., “Towards a Publication Culture in Transdisciplinary Research”, GAIA, 16/1, 2007, hlm. 22-26.
35
Willie Caldwell, “Multi/Inter/Trans – disciplinary, What’s the Difference?” (23 November 2015), http://www.hidro­politikakademi.org/en/
multiintertrans-disciplinary-whats-the-difference.html.
36
Soetandyo Wignyosoebroto, Op. cit., hlm. 67.
37
Irma J. Kroeze, “Legal Research Methodology and the Dream of Interdisciplinarity”, Potchefstroom Electronic Law Journal, Vol. 16, No. 3,
Agustus 2013, hlm. 36-64.
38
Moti Nissani, “Fruits, Salads, and Smoothies: A Working Definition of Interdisciplinarity”, Journal of Educational Thought, Vol. 29, No. 2,
1995, hlm. 121-128; Bart van Klink, et al., “A Dynamic Model of Interdisciplinarity: Limits and Possibilities of Interdisciplinary Research
into Law”, Tilburg University Legal Studies Working Paper No. 010/2008.
Wiratraman dan Putro, Tantangan Metode Penelitian Interdisipliner dalam Pendidikan Hukum 415

‘multi’, ‘inter’, ‘trans’ dan ‘cross-disciplinarity’ ‘hukum murni’, yang tak boleh sedikit tercampur
yang didefinisikan, dan itu sebabnya, tulisan ini disiplin ilmu non-hukum), jelas tidak bisa diterima
mengikuti pandangan Siems,39 cukup dengan sepenuhnya oleh penelitian sosio-legal, karena
menyebutnya interdisipliner. dalam memahami suatu hukum, bekerjanya
harus dilihat dari konteks sosialnya. Ketegangan
C. Penutup: Melampaui “Keilmuan Papan atau debat itu bisa dilihat dari bagaimana ajaran
Catur” penelitian hukum yang membatasi, atau bahkan
Carel Stolker, seorang Dekan Fakultas mengagamakan doktrinal, yuridis-normatif,
Hukum Universitas Leiden yang menuliskan sebagai klaim kebenaran, bahwa penelitian hukum
sebuah buku berjudul Rethinking the Law School: haruslah penelitian ‘hukum murni’.42 Mengerasnya
Education, Research, Outreach and Governance perdebatan itu pula memperlihatkan dikotomi
(2015), menyebutkan ada tiga perspektif dalam antara apa yang disebut sebagai penelitian yuridis
penelitian hukum, yakni penelitian yang sifatnya normatif dan yuridis empiris.43
analitis, empiris dan normatif. Ketiganya sangat Kajian soal dikotomi yang yuridis dan
terkait karena menjelaskan karakter keilmuan normatif, memperlihatkan bahwa pemaknaan
hukum itu sendiri yang tidak memisahkan antara metode penelitian hukum dalam pendidikan tinggi
kepastian hukum, efektifitas dan moralitas.40 Pada hukum sungguh masih sangat beragam, simplistik,
perkembangannya, hukum perlu melihat konteks bahkan cenderung memitoskan, baik dari perspektif
(sosialnya), atau perspektif eksternalnya. Penelitian memandang ilmu hukum itu sendiri, penjelasan fungsi
yang demikian membantu untuk melihat hukum metode penelitian hukum, hingga menghubungkan
terkait fungsinya, dari sudut pandang sosiologi, kebutuhan lulusan dengan metodenya. Celakanya,
antropologi, psikologi, politik dan ekonomi. kerap mendapati stigma ke identitas pendidikan
Objek dari penelitian hukum yang empirik tinggi tertentu. Sekalipun demikian, kabar baiknya
demikian, kerap disebut sebagai ‘law in action’ adalah mulai berkembang dan banyak akademisi
(memahami bekerjanya hukum) atau ‘law in the hukum, baik secara terbuka maupun ‘diam-diam’,
real world’ (memahami hukum dalam realitas mulai meyakini bahwa dikotomi itu bukanlah hal
keseharian). Tentu saja, menurut Stolker, jenis yang tepat untuk diperselisihkan.44
penelitian yang melihat konteks tersebut (atau Sosio-legal sebagai pendekatan interdisipliner
disebut sosio-legal) mengganggu penikmat jelas tidak berkehendak untuk membatasi metode
penelitian doktrinal. Namun, sesungguhnya dalam secara khusus, terutama dalam kaitannya perspektif
hal tertentu, penelitian yang sifatnya empiris eksternal apa yang hendak digunakan. Dalam studi
menjadi relevan bagi pengambil kebijakan di sosio-legal, perlu dan penting pula mempelajari
legislatif maupun pengambilan keputusan di meja doktrin hukum, asas, prinsip, penafsiran, serta
peradilan.41 logika dalam aturan (hirarki), sebagai hal yang tak
Pertanyaan-pertanyaan soal efektifitas, terpisahkan dalam kajiannya. Karena pemahaman
yang ditolak oleh kaum doktrinal (atau kaum perspektif internal hukum itu menjadi lebih lengkap

39
Mathias Siems, “The Taxonomy of Interdisciplinary Legal Research: Finding the Way Out the Desert”, Journal of Commonwealth Law and
Legal Education. Vol. 7, 2009, hlm. 5-17.
40
Carel Stolker, 2014, Rethinking Law Schools. Education, Research, Outreach and Governance. Cambridge University Press, Cambridge, hlm.
212.
41
Ibid.
42
Adriaan Bedner, “Indonesian Legal Scholarship and Jurisprudence as an Obstacle for Transplanting Legal Institutions”, Hague Journal on the
Rule of Law, Vol. 5, Issue 2, Juni 2013, hlm. 264.
43
Widodo D. Putro, et al., Op. cit., hlm. 3-16.
44
Widodo D. Putro, et al., Ibid.; Adriaan Bedner, Op. cit., hlm. 265.
416 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 3, Oktober 2019, Halaman 402-418

mengurai masalah dan isu hukum yang sedang bukan sebatas “ilmu papan catur”, yang memiliki
dikritisi. logika internal, layaknya “kuda, pion atau raja”
Studi sosio-legal sesungguhnya meneguhkan dalam permainan catur, tetapi mengembangkannya
posisi keilmuan yang tak lagi terbilang stagnan dalam bentuk yang lebih menjawab kebutuhan
dalam pengetahuan dan pengalaman hukum. masyarakatnya.
Hukum, sesungguhnya bergerak, seiring dengan Apa arti dan kegunaan ilmu, bila semakin
dinamika manusia dan masyarakatnya. Mengisolasi membuat berjarak dengan realitas sosialnya. Ketiga,
hukum dengan menyebutnya ‘hukum murni’, bahwa interdisiplinnya sosio-legal akan membawa
barangkali cocok untuk pemahaman persepektif perubahan-perubahan dalam mendorong kebijakan
internal hukum itu sendiri, sekalipun tak bisa dan pembaruan hukum berikut institusinya secara
dipandang berlaku universal berlaku dan diikuti lebih bermakna secara sosial. Atau mendapati social
oleh semua, melainkan mengembangkan ilmu significance (signifikansi sosial). Begitu pula, apa
hukum melalui penelitian-penelitian yang melihat maknanya pembahasan konteks perkembangan
perspektif eksternalnya, ruang dan waktu sebagai teknologi yang berpengaruh dalam bidang hukum,
konteks politik, sosial dan budayanya. sebagaimana kontes lawyer versus robot tersebut
Dengan begitu, interdisiplinnya sosio-legal bagi pembahasan metode penelitian hukum ini?
sesungguhnya berangkat dari upaya, pertama, Ilustrasi kontestasi tersebut menjadi refleksi penting
mendekatkan pada pemecahan masalah yang lebih sebagai penutup artikel ini, bahwa cara pandang
dekat, kritis, sekaligus menegaskan keberpihakan metode penelitian yang tak berkembang atau tidak
atas masalah yang sedang dihadapinya, dengan diupayakan pengembangannya, selain tak banyak
melihat secara menyeluruh, baik mendadar mendapati pengetahuan atau penemuan baru dalam
hukum dalam perspektif internal dan kombinasi keilmuan, sangat mungkin tidak banyak memberi
perspektif eksternal. Kedua, sudah semestinya, manfaat dalam realitas perubahan sosial yang begitu
memperlakukan ilmu (termasuk ilmu hukum) cepat.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Paradigma, Metode dan Masalah, HuMa-


Dworkin, Ronald, 1986, Law’s Empire, Harvard ELSAM, Jakarta.
University Press, Cambridge.
Finnis, John, 1980, Natural Law and Natural Rights, B. Artikel Jurnal
Edisi Pertama, Oxford University Press, New Balkin, J. B., “Interdisciplinarity as Colonization”,
York. Washington and Lee Law Review, Vol. 53,
Kuhn, Thomas S., 1962, The Structure of Scientific Issue 3, Summer 6-1-1996.
Revolution, University of Chicago Press, Bedner, Adriaan, “Indonesian Legal Scholarship
Chicago. and Jurisprudence as an Obstacle for
Marzuki, Peter Mahmud, 2014, Penelitian Hukum, Transplanting Legal Institutions”, Hague
Edisi Revisi, Kencana, Jakarta. Journal on the Rule of Law, Vol. 5, Issue 2,
Stolker, Carel, 2014, Rethinking Law Schools. Juni 2013.
Education, Research, Outreach and D., Carole, et al., “Collaborative planning for
Governance. Cambridge University Press, Retrofitting Suburbs: Transdisciplinarity and
Cambridge. Intersubjectivity in Action”, Futures, Vol. 36,
Wignyosoebroto, Soetandyo, 2002, Hukum: Issue 4, Mei 2004.
Wiratraman dan Putro, Tantangan Metode Penelitian Interdisipliner dalam Pendidikan Hukum 417

Diaz, R. W., M., “Legal Politics: Norms behind the Legal Studies at Indonesia’s Law Schools”,
Grundnorm”, The Cambridge Law Journal, Asian Journal of Comparative Law, Vol. 14,
Vol. 26, No. 2, November 1968. Supplement S1, Oktober 2019.
Horlick-Jones, Tom, et al., “Living on the Border:
Knowledge, Risk and Transdisciplinarity”, C. Disertasi
Futures, Vol. 36 , Issue 4, Mei 2004. Moeliono, Tristam, 2011, “Spatial management in
Klein, J. Thompson, “Prospects for Indonesia: from planning to implementation:
transdisciplinarity”, Futures, Vol. 36 , Issue Cases from West Java and Bandung: a socio-
4, Mei 2004. legal study”, Disertasi, Leiden University.
Kroeze, Irma J., “Legal Research Methodology Safitri, Myrna, 2010, “Forest tenure in Indonesia:
and the Dream of Interdisciplinarity”, the socio-legal challenges of securing
Potchefstroom Electronic Law Journal, Vol. communities’ rights”, Disertasi, Leiden
16, No. 3, Agustus 2013. University.
Kueffer, Christoph, et al., “Towards a Publication Wiratraman, Herlambang P., 2014, “Press Freedom,
Culture in Transdisciplinary Research”, Law and Politics in Indonesia. A Socio-Legal
GAIA, 16/1, 2007. Study”, Disertasi, Leiden University.
Lawrence, Roderick J., “Housing and Health:
from Interdisciplinary Principles to D. Artikel dalam Antologi dengan Editor
Transdisciplinary”. Futures, Vol. 36 , Issue 4, Hoecke, Mark Van, “Legal Doctrine: Which
Mei 2004. Method(s) for What Kind of Discipline?”,
Nissani, Moti, “Fruits, Salads, and Smoothies: A dalam Mark Van Hoecke (Ed.), 2011,
Working Definition of Interdisciplinarity”, Methodologies of Legal Research: Which
Journal of Educational Thought, Vol. 29, No. Kind of Method for What Kind of Discipline?,
2, 1995. Hart Publishing, Oxford, UK.
Philip W. Balsiger, “Supradisciplinary Research: Reza Banakar, et al., “Introduction”, dalam Reza
History, Objectives and Rationale”, Futures, Banakar dan Max Travers (Eds,), 2005,
Vol. 36, Issue 4, Mei 2004. Theory and Method in Socio-Legal Research,
Putro, Widodo D., et al., “Penelitian Hukum, Hart Publishing, Oxford and Portland
Antara yang Normatif dan Empiris”, Digest Oregon.
Epistema, Vol. 5, 2015. Somerville, Margaret A., et al. (Eds.), 2000,
Siems, Mathias, “The Taxonomy of Interdisciplinary Transdiciplinarity: ReCreating Integrated
Legal Research: Finding the Way Out the Knowledge. McGill-Queen’s University
Desert”, Journal of Commonwealth Law and Press, United Kingdom.
Legal Education. Vol. 7, 2009.
van Klink, Bart, et al., “A Dynamic Model of E. Internet
Interdisciplinarity: Limits and Possibilities of BBC News, “The robot lawyers are here - and
Interdisciplinary Research into Law”, Tilburg they’re winning”, 1 November 2017, https://
University Legal Studies Working Paper No. www.bbc.com/news/technology-41829534,
010/2008. diakses 25 Januari 2019.
Vick, Douglas W., “Interdisciplinarity and the Caldwell, Willie, “Multi/Inter/Trans – disciplinary,
Discipline of Law”, Journal of Law and What’s the Difference?” (23 November
Society, Vol. 31, 2004. 2015), http://www.hidropolitikakademi.org/
Wiratraman, Herlambang P. “The Challenges of en/multiintertrans-disciplinary-whats-the-
Teaching Comparative Law and Socio- difference.html.
418 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 3, Oktober 2019, Halaman 402-418

Google Scholar, “Peter Mahmud Marzuki”, https:// admissions/postgraduate/doctor-philosophy-


scholar.google.co.id/citations?user=NZea4P socio-legal-studiesmaster-studies-socio-
4AAAAJ&hl=en, diakses 18 Oktober 2019. legal-research, diakses 25 Januari 2019.
Harvard University Law School, “Law and Social Rocket Lawyer, “Legal Made Simple”, https://
Change”, https://hls.harvard.edu/dept/ www.rocketlawyer.com, diakses 4 Februari
academics/programs-of-study/law-and- 2019.
social-change/, diakses 25 Januari 2019. World Economic Forum, “AI versus lawyers,
Oxford University, Faculty of Law, “Centre for vaccines for everything and other top stories
Socio-Legal Studies”, https://www.law. of the week”, 23 November 2018, https://
ox.ac.uk/centres-institutes/centre-socio- www.weforum.org/agenda/2018/11/ai-
legal-studies, diakses 25 Januari 2019. lawyers-vaccines-for-everything-and-other-
Oxford University, Faculty of Law, “DPhil in Socio- top-stories-of-the-week/, diakses 25 Januari
Legal Studies”, https://www.law.ox.ac.uk/ 2019.

Anda mungkin juga menyukai