Anda di halaman 1dari 10

NILAI PERLAWANAN DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN

SELATAN

Delta Nishfu Aditama


200212606054

Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang
Abstrak

Topik yang dibahas dalam kritik sastra ini adalah kritik sosial antara lain: lunturnya nilai-nilai
gotong royong dan perjuangan perempuan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan..
Metode kritik sastra yang digunakan dalam kritik sastra ini adalah studi kepustakaan, sumber
data tulis sebagai data primer yaitu novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Pengambilan
novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan merupakan sebagai sasaran penelitian didasari
pengarang yang banyak mengangkat cerita-cerita proletar. Data sekunder yang digunakan
meliputi buku-buku, jurnal, artikel ilmiah dan data-data yang diperoleh dari internet yang
dapat memberikan informasi yang relevan dengan pokok bahasan dalam penelitian ini.
Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca dan teknik catat, analisis data
menggunakan pendekatan kritik sastra feminis dan sosiologi sastra. Manfaat kritik sastra ini
diharapkan dapat memperkaya wawasan kajian kritik sastra dalam sastra realism sosialis
menggunakan sosiologi sastra dan kritik sastra feminis khususnya kritik sastra feminis
marxis.

Kata kunci: perlawanan; realisme sosialis; pemberontakan; gotong royong, kesetaraan

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Dalam proses penciptaan karya sastra tentu tidak jauh dari realita sekitar
pengarangnya. Seobyektif apapun sifat karya tersebut tidak lepas akan dari sebuah
penafsiran. Artinya, karya sastra tersebut adalah hasil penafsiran penulis atas realita dan fakta
yang ada lingkungan sekitarnya. Karya sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang
berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk
gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa (Sumardjo dan Saini,
1997).

Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan (SPBS) yang ditulis oleh Pramoedya Ananta
Toer pada tahun 1957 ini adalah hasil reportase perjalanan singkatnya di wilayah Banten
Selatan. Dimana tahun 50 an adalah masa transisi kekuasaan dimana bangsa Indonesia baru
saja lepas dari cengkeraman penjajah. Di tahun tersebut pula dunia kesusastraan Indonesia
mulai mengenal kultur realisme-sosialis yang banyak dianut sastrawan-sastrawan Lekra yang
notabenenya adalah lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.
Maka dari itu pembaca novel SPBS akan dihadapkan dengan gambaran suasana dan realita
yang terjadi pada masa itu. Pembaca bisa membayangkan sendiri melepaskan
pengimajinasiannya terhadap apa yang dia baca.

Sejatinya realisme-sosialis banyak mengusung tema tentang perjuangan kelas dalam


melawan penindasan, perjuangan proletar, sosialisme dan konsep pembangunan sosialisme.
Karya sastra sudah dapat dipastikan tidak “terlepas” dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik
yang terjadi di masyarakat (Saksono Prijanto, dalam Damono, 2005:56). Perjalanan penulis
yang diabadikan dalam novel SPBS ini menceritakan tentang sebuah desa yang alamnya
makmur dan harusnya rakyat hidup sejahtera disana. Akan tetapi, kenyataan berbanding
terbalik dialami sang tokoh utama dan rakyat lainnya. Penindasan oleh penjajah tak berarti
berahkir setelah kemerdekaan diproklamasikan. Bayang-bayang pemberontakan DI/TII jawa
Barat masih menjadi teror bagi rakyat. Ketentraman dirampas begitu saja. Penindasan
tersebut tidak lepas dari campur tangan elit desa.

Dalam kritik sastra ini, penulis akan fokus membahas kritik sosial antara lain:
lunturnya nilai-nilai gotong royong dan perjuangan perempuan dalam novel SPBS. Kritik
sastra ini diharapkan dapat mengedukasi pembaca tentang bagaimana kritik sosial yang
terdapat dalam sebuah novel realisme-sosialis.

Tinjauan Pustaka
1. Realisme Sosialis
Realisme sosialis banyak menyajikan cerita-cerita tentang perjuangan kelas proletar.
Abrams mendefinisikan realisme sebagai sebuah gaya penulisan, yang bisa ditemukan dalam
apa saja, dimana representasi kehidupan dan pengalaman manusia menjadi tujuan penulisan
yang paling penting. Fiksi realis dan fiksi romantik tentunya berbeda, fiksi romantik akan
menggambarkan kehidupan seperti yang kita impikan sedangkan fiksi realis berusaha untuk
menggambarkan kehidupan atau realitas sosial seperti yang dikenal pembaca pada umumnya.
Realisme kemudian berkembang menjadi dua subgenre yang dikenal dengan realisme sosial
dan realismemagis.
1. Realisme sosial adalah terminologi yang dipakai para kritikus sastra Marxis. Realisme
sosial menggambarkan atau merefleksikan pandangan marxis bahwa pertentangan
antar kelas sosial merupakan dinamika esensial masyarakat.
2. Realismemagis adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan realitas tetapi juga
menggambarkan unsurunsur fantasi yang mengakibatkan terjadinya kekaburan antara
serius dan main-main.
Doktrin realisme Sosialis dalam penjelasan Terry Eagleton dalam bukunya Marxism
and Literary Criticism menjelaskan bahwa doktrin tersebut biasanya diklaim berasal dalam
tradisi Marx dan Engel.Eagleton kemudian menjelaskan bahwa ide tersebut pada dasarnya
lebih tepat dialamatkan kepada Belinsky, Chernyshevsky, dan Dobrolyubov yang merupakan
kritikus sastra Rusia abad ke sembilan belas (2002: 52). Doktrin realisme sosialis dicetuskan
oleh Stalin dan Gorky pada kongres penulis soviet pada tahun 1934. Pandangan ini kemudian
dibakukan dan dipraktekkan dalam lingkaran kekuasaan Stalinis dan Zhdanov.
2. Sosiologi Sastra
Sastra merupakan ungkapan perasaan seorang pengarang. Melalui sastra seseorang
dapat mengerti atau merasakan sebuah gambaran kehidupan masyarakat yang luas. Sastra
menyajikan kehidupan, sedang kehidupan itu sendiri banyak mempertentangkan pertikaian
atau konflik. Sebagaimana pendapat Ian Watt (dalam Damono, 1978) yang menyatakan
bahwa terdapat tiga pendekatan dalam sosiologi sastra.
a. Konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan
dalam masyarakat dan kaitannya dengan pembaca.
b. Sastra adalah cerminan rakyat. Yang terutama mendapatkan perhatian adalah:
1. Sejauh mana karya sastra dapat mencerminkan masyarakat pada saat karya
sastra itu ditulis;
2. Sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat
yang ingin disampaikan;
3. Sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap
mewakili masyarakat.
c. Fungsi sosial sastra. Dalam hal ini yang mendapatkan perhatian antara lain:
1. Sejauh mana sastra dapat menjadi perombak dalam masyarakat;
2. Sejauh mana sastra hanya dapat menjadi penghibur saja;
3. Sejauh mana terjadi sintesis antara poin (1) dan (2) diatas.
Berdasarkan pendapat Ian Watt diatas, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi
sastra yang didasarkan pada anggapan bahwa karya sastra adalah cerminan dari realita
masyarakat.

3. Kritik Sastra Feminis Marxis


Membicarakan realisme sosialis tentu tidak lepas dari pandangan feminisme. Dalam
sastra, feminis berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang
mengarahkan fokus analisis pada wanita (Sugihastuti, 2009:21). Meski fokus analisisnya
hanya berkutat pada perjuangan perempuan, bukan berarti kritik sastra feminis marxis
pengkritik perempuan atau mengkritik pengarang perempuan. Tetapi arti sederhananya
adalah bagaimana pengkritik memandang dengan kesadaran khusus bahwa ada jenis kelamin
yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita.
Feminisme sendiri bukan hanya tentang perjuangan perempuan dihadapan para laki-
laki. Tetapi juga memposisikan kesadaran laki-laki sebagai pendukung nilai-nilai feminisme
terutama kelas proletar. Dimana adanya kesadaran atas rasa sama penderitaan sangat
dibutuhkan dalam perjuangan kelas. Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan dapat diteliti
menggunakan kajian kritik sastra feminis marxis karena memuat cerita tentang perjuangan
perempuan dalam perjuangan kelas proletar.

METODE PENELITIAN
A. Subjek Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian pustaka. Subjek penelitian dalam
penelitian ini adalah novel yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya
Pramoedya Ananta Toer. Novel terbitan ke 9 oleh Lentera Dipantara pada Januari
2018.

B. Sumber Data
Metode kritik sastra yang digunakan dalam kritik sastra ini adalah studi
kepustakaan, sumber data tulis sebagai data primer yaitu novel Sekali Peristiwa di
Banten selatan. Sedangkan Data sekunder yang digunakan meliputi jurnal, artikel
ilmiah, skripsi, penelitian terdahulu dan data-data yang diperoleh dari internet yang
dapat memberikan informasi yang relevan dengan pokok bahasan dalam penelitian
ini.

C. Instrumen Pengumpulan Data


Instrumen pengumpulan data menggunakan berbagai sumber pengetahuan
mengenai kritik sastra feminis marxis dan sosiologi sastra yang didapatkan dari
berbagai referensi. Dengan alat bantu buku catatan, logika dan kemampuan yang
digunakan sebagai dasar memaknai bacaan. Buku catatan digunakan untuk mencatat
kutipan frasa, klausa, atau kalimat yang tergolong dalam topik permasalahan dalam
penelitian ini.

D. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik membaca dan mencatat,
yaitu dalam membaca disertai dengan pencatatan yang cermat dan diteliti, hal-hal
yang dicatat merupakan hal penting yang termasuk ke dalam topik permasalahan
peneitian ini. Langkah-langkah pengumpulan data penelitian meliputi; (1) membaca
secara berulang-ulang keseluruhan novel untuk mendapatkan pemahaman mengenai
isi novel; (2) mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang diperlukan; (3) mencatat
hasil identifikasi data yang berupa kutipan-kutipan berupa kalimat, deskripsi
pengarang, interaksi antar tokoh, sikap tokoh pada novel; (4) melakukan penafsiran
terhadap data yang telah terkumpul; (5) mencari penelitian terdahulu sebagai
bandingan yang relevan dengan penelitian ini.

E. Teknik Analisis Data


Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teori kritik
sosiologi sastra dan kritik sastra feminis marxis

PEMBAHASAN
A. Gotong Royong dan Perlawanan Rakyat sebagai Cerminan Realisme Sosialis

Dalam cerita ini, pembaca disajikan cukup banyak keindahan alam dan ironi yang ada
dibalik keindahan tersebut. Akan tetapi novel ini cukup sarat sebuah pesan ideologis yang
melibatkan perjuangan kelas proletar melawan penindasan. Di awal cerita digambarkan
secara nyata bagaimana bentuk penindasan yang sebenarnya sudah dialami tokoh utama dan
warga desa lainnya. Penindasan yang adanya sudah lama sejak pendudukan kolonial Belanda
dan Jepang. Setelah merdeka, pun rakyat kembali merasakan penderitaan dibawah elit yang
berkuasa.

Dalam cerita ini, penindasan terhadap rakyat dapat dilihat dari penggambaran cerita
dimana terlihat keterkaitan antara ketimpangan-ketimpangan sosial dengan akibat yang
dirasakan rakyat. Dimana rakyat selalu menderita akibat ulah kelompok DI. Banyak rumah-
rumah dirampok dan dibakari. Bahkan banyak dibunuh dengan cara keji ketika coba
melakukan perlawanan. Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk elit dan penguasa di desa
tersebut yang dibalik penderitaan rakyat itu ternyata malah bersekongkol dengan kelompok
DI tersebut.
Ilustrasi kekacauan yang dialami tokoh utama dimana suatu hari itu Ranta berada
dalam situasi terpojok. Ia gagal menjual kerbau milik temannya. Juga istrinya yang tidak
menghasilkan apa-apa sepulang dari pasar karena kekacauan ulah DI. Juragan Musa pun tiba-
tiba datang dan memanfaatkan ketidakberuntungan Ranta tersebut. Ia menyuruh Ranta agar ia
mencuri bibit karet untuknya. Namun, Ranta tak mendapatkan apa-apa melainkan malah
pukulan dan ancaman yang ia dapat. Kehadiran Ranta sebagai tokoh utama tersebut adalah
mewakili penderitaan rakyat bawah lainnya dari segala bentuk penindasan.

Ranta pun meluapkan isi hatinya mengapa orang-orang penting di desa tersebut tak
pernah mau peduli kepada rakyat proletar. Mereka hanya mau memikirkan nasibnya sendiri.
Memperkaya sendiri dengan memanfaatkan kaum lemah seperti dirinya. Ungkapan Ranta
tersebut terdapat dalam kutipan berikut ini.

“Dalam sinar lampu minyak tanah yang rembang-rembang itu nampak jelas Ranta
menarik otot-ototnya yang kukuh lagi kasar, dan dengan amarah yang tertindas
suaranya meledak terkendali, satu-satu: Mereka! Yang datang pada kita hanya untuk
menyuruh kita jadi maling. Mereka! Yang hidup memisah dari kita, seperti binatang
buas di rimba. Mereka, yang dalam kepalanya Cuma ada pikiran mau mangsa
sesamanya. Mereka! Mereka!” (SPBS : 20-21).

Suatu ketika Ranta sudah penuh dengan kemuakan atas perlakuan penindas pada
rakyat lemah. Namun seorang Ranta adalah orang yang berkeyakinan kuat. Berpegang teguh
pada diri sendiri sehingga menjadikannya orang yang bertekad kuat. Ia selalu yakin bahwa
kebenaran harusnya didapat dengan berusaha menjadikannya benar. Tidak bisa sesuatu
kebenaran itu ditunggu turun dari langit. Jiwa perlawanan nya bangkit ketika ia sudah benar-
benar muak dengan penderitaan tersebut.
Melalui sosok Ranta, Pram membangun karakter realisme sosialisnya. Ranta yang
Ranta dengan berkeyakinan bahwa kebenaran haruslah diperjuangkan itu berhasil
membebaskan ketakutannya dan warga lain terhadap sosok yang selama ini menjadi bayang-
bayang penindasan. Melalui Ranta tersebut perlawanan kelas bawah dimulai.
Perlawanan kelas bawah tersebut dimulai dengan memupuk semangat gotong royong
Ranta bersama beberapa warga yang berani menantang petinggi di desa tersebut dan berujung
ditangkapnya Juragan Musa dan Pak Lurah yang ternyata adalah pembesar DI. Juga ketika ia
dijadikan lurah sementara, ia selalu memupuk semangat para warga untuk menggalang
persatuan dan gotong royong rakyat. Dengan perkasanya Ranta ketika mengusir bersama
warga lain dan juga komandan dan prajuritnya berhasil melumpuhkan perlawanan tentara DI
yang mencoba membalaskan dendam karena pembesarnya itu ditangkap.
Melalui novel ini Pram bukan hanya berhasil menggambarkan ironi kejadian yang ia
lihat di Banten Selatan. Dimana rakyat saling bekerja keras merebut sesuatu yang harusnya
menjadi hak milik mereka. Tetapi juga Pram berhasil menanamkan nilai-nilai idealisnya yang
konstruktif itu tentang bagaimana rakyat yang harus bergotongroyong untuk mencapai sebuah
kesejahteraan. Pram menyadari akan sesuatu yang besar yang hanya akan terlahir jika
dipupuk dengan gotong royong. Dan itulah yang ingin Pram salurkan melalui cerita ini. Hal
tersebut tak mengherankan karena memang Pram adalah sosok sastrawan berlatar belakang
realisme sosialis.

B. Feminisme adalah Bagian Realisme Sosialis


Selain gotong royong yang menjadi ideal utama penulis dalam cerita sebagai bumbu
perlawanan rakyat kelas bawah, tersurat juga nilai-nilai feminisme. Meski tidak digambarkan
secara detail namun nilai tersebut cukup jelas, padat, dan ringkas. Di pertengahan cerita
terdapat ilustrasi kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh istri Juragan Musa.
Perlakuan kasar tersebut Nyonya peroleh setelah ia mengetahui bahwa suaminya
adalah seorang pembesar DI. Nyonya yang sedikit tak menerima kenyataan tersebut sempat
mendapat perlakuan kasar dari Juragan Musa. Kekerasan Juragan Musa terhadap isterinya
diperparah dengan ungkapan atas nama Tuhan. Ilustrasi tersebut dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
“Kau yang pura-pura alim! Kau yang pura-pura saleh! Kau murtad pada takdir Tuhan.
Tuhan sudah pilih aku jadi hambaNya untuk menegakkan hukumNya.”
“Penipu!”
“Jadi kau minta direjam seperti yang lain-lain?
“Tempat kita terpencil. Engkau pembesar DI. Engkau suamiku. Tak ada yang
menghalangi kau merejamku. Rejamlah.”
(SPBS:55)
Feminisme adalah sebuah kesadaran tentang ketidakadilan yang sistematis bagi
perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, serta tindakan-tindakan sadar perempuan
maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut (Kamla dan Khan, 1995:4). Agama serta
pemikiran kolot masih saja menjadi legitimasi kaum patriark atas dominasinya dalam
keluarga. Akan tetapi timbal balik perlawanan yang Nyonya berikan telah menjadi kesadaran
yang mendasar dalam perjuangan perempuan.
Diahkir cerita, Nyonya yang merupakan perempuan yang pandai lulusan ELS,
bersama Ireng berencana mengajar perempuan-perempuan untuk belajar membaca. Namun
hal tersebut sempat mendapat penolakan dari para lelaki-lelaki. Karena tak rela jika seorang
isteri akan lebih pandai dari suami. Tetapi kesalahan pandang terhadap perempuan tersebut
segera dibenarkan oleh Ranta. Ilustrasi tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Husy! kalau kalian tidak bisa baca-tulis, mengapa bini kalian mesti dilarang kalau
ingin belajar baca tulis? Kalau kalian tidak bisa, mengapa tidak belajar?”
Sejenak sunyi senyap. Tiba-tiba Komandan membuka suara.
“Dengar! Kepintaran harus dicari sendiri. Tak ada orang bisa jadi pandai dengan
mewakilkan kepada orang lain. Mengerti? Sekarang aku bertanya: siapa diantara
kalian yang ingin bisa baca tulis?”
(SPBS:120)
Dari ilustrasi diatas dapat dilihat bahwa orang-orang seperti Ranta dan Komandan
bukan hanya mementingkan kepentingan pribadi. Tetapi juga memikirkan kesejahteraan
perempuan. Dimana perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki. Jika para laki-laki
bekerja menggunakan otot kasarnya, maka perempuan juga harus bisa bekerja keras dengan
otaknya. Itu merupakan sisi kesetaraan yang coba Pram gambarkan dalam cerita perlawanan
rakyat kelas bawah ini.
Dalam ilustrasi lain juga terdapat Nyonya yang protes karena sebagai wanita kenapa
ia tak pernah dimintai pendapat untuk berbicara. Nyonya berpendapat bahwa lahan kosong
harus digarap bersama-sama. Para perempuan seperti Nyonya harus memikirkan
kesejahteraan untuk anak keturunan dan generasi selanjutnya. Bukan hanya kesejahteraan
yang dinikmati diri sendiri semata.

KESIMPULAN
Berbicara mengenai sebuah nilai-nilai yang terkandung dalam novel tentu tidak
seimbang jika tidak mengaitkan relevansi nilai tersebut dengan realita masa kini. Hampir
sama dengan novel-novel karya Pram lainnya. Novel yang bermuatan nilai realisme sosialis
selalu relevan dengan kehidupan sehari-hari karena realisme adalah salinan realita yang
diolah dengan penafsiran penulisnya.
Keberhasilan Ranta dan warga dalam menenggelamkan rasa takut yang mampu
membangkitkan perlawanan rakyat kelas bawah merupakan buah tekad yang lahir dari proses
kebersamaan. Gotong royong merupakan bentuk solidaritas sosial sebagai bumbu idealis
utama penulis dalam membentuk cerita. Gotong royong adalah sebuah jalan untuk mencapai
kesejahteraan bersama. Dalam masa kini nilai gotong royong haruslah tetap menjadi senjata
untuk bertahan hidup. Ketika rakyat sudah tak lagi berharap pada pemerintah maka hanya
rakyat bantu rakyat lah solusinya. Semua orang harus bekerja sama untuk sejahtera. Bukan
mengkotak-kotakkan diri sebagaimana kelas atas dan kelas bawah lalu saling tidak peduli.

Selain itu, perjuangan sosialisme rakyat kelas bawah terhadap penindasan juga tidak
jauh dari perjuangan perempuan dalam merebut posisi yang setara dengan laki-laki di
masyarakat. Tentu dalam masa kini hak-hak perempuan harus tetap diperjuangkan. Itu karena
perjuangan perempuan adalah juga bagian perjuangan rakyat.

DAFTAR RUJUKAN

Biopsi, Heksa. (2014). Muatan Ideologis dalam Novel ‘Sekali Peristiwa Di Banten Selatan’.
Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara
Damono, Sapardi Djoko. dkk. (2005). Revolusi, Nasionalisme, dan Banjir Roman (kumpulan
esai). Jakarta: Pusat Bahasa

Endraswara, Suwardi. (2003). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka


Widyatama

Muzakka, M. (2019). Pertarungan Ideologi Realisme Sosialis dan Feodalisme Religis dalam
Novel Midah Simanis Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer. Nusa: Jurnal
Ilmu Bahasa dan Sastra.

Sofia. A. (2009). Aplikasi Kritik Sastra Feminis: Perempuan Dalam Karya Kuntowijoyo.
Yogyakarta: Citra Pustaka.

Syaifuddin, M. (2009). KONFLIK SOSIAL DAN POLITIK DALAM NOVEL SEKALI


PERISTIWA DI BANTEN SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER.
Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Toer, Pramoedya Ananta. (2003). Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Jakarta: Lentera
Dipantara

Trisusanto, A. (2012). Realisme Sosialis dalam Tokoh dan Penokohan Novel Жизнь
Ненужного Человека (ZIZN’ NENUZNOGO CELOVEKA) ‘Kehidupan Seorang
Manusia yang Tidak Berguna Karya Maxim Gorky. Skripsi. Fakultas Ilmu Budaya.
Universitas Indonesia. Depok.

Anda mungkin juga menyukai