Disusun Oleh :
KELOMPOK : 3
KHAIDAR 200374201470
FINA MARISA 200374201460
KAMARUZZAMAN 200374201469
IRNAWATI 200374201466
FAHKRATON HAYATI 200374201458
AL HADY FIQRAN 200374201506
Segala puji syukur kepada Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini,
serta salawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung
Muhammad SAW. Semoga di hari kiamat nanti kita mendapatkan syafaat darinya.
Amin ya Rabba Alaamin.
Dalam penyusunan makalah ini. Penulis juga menyadari dalam penyusunan
makalah ini terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik
maupun sarannya dari pembaca makalah ini. Sehingga di kemudian hari dapat
menyusun lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat digunakan dengan baik dan
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULAN
4
Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya
terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah yang
berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang
bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.
1.3 TUJUAN
5
BAB II
PEMBAHASAN
UUD 1945 meletakkan dasar politik agraria nasional yang dimuat dalam pasal
33 ayat 3, yaitu’’bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung untuk sebesarnya
kemakmuran rakyat’’.ketentuan ini bersifat imperatif, yaitu mengandung
pemerintakepada negara agar bumi,air,dan kekayaan alam alam yang terkandung
didalamnya, yang diletakkan dalam penguasaan negara itu dipergunakan untuk
mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat indonesia. Dengan demikian, tujuan
dari penguasaan oleh negara atas bumi,air, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya adalah untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
indonesia.
6
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah indonesia untuk menyesuaikan hukum
agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah indonesia merdeka, yaitu :
1. Mengunakan kebijaksanaan dan tafsir baru.
2. Penghapusan hak-hak kovensi.
3. Penghapusan tanah pertikelir.
4. Perubahan peraturan persewaan tanaah rakyat.
5. Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah.
6. Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan.
7. Kenaikan canon dan ciji.
8. Larangan dan penyelesayan soal pemakaian tanah tanpa izin.
9. Peraturan perjanjian bagi hasil (tanah pertanian).
10. Peralihan tugs dan wewenang.
1. Faktor formal
7
2. Faktor material
Menurut objeknya, di satu pihak ada hak-hak atas tanah yang diperuntukan bagi
orang-orang yang tunduk hukum barat, di pihak lain ada hak-hak ats tanah yang
diperuntukkan bagi orang – orang yang tunduk pada hukum adat. Adanya sifat
dualisme hukum ini membawa konsekuensi, baik dari sistem hukum maupun segi
hak dan kewajiban bagi subjek hukumnya. Sifat dualisme hukum ini menimbulkan
persoalan dan kesulitan yang tidak dapat dibiarkan terus-menerus.
3. Faktor ideal
Dari faktor ideal (tujuh negara),sudah tentu tujuan hukum agraria tidak cocok
dengan tujuan negara indonesia yang tercantum dalam alinea IV pembukaan UUD
dan tujuan penguasaan bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya ,
seperti yang tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
8
5. Faktor ideologi politik
9
3. Panitia soewahjo
Berdasarkan keputusan presiden No. 1 tahun 1956 tanggal 14 januari 1956
dibentukan panitia negara urusan agraria berkedudukan dijakarta yang diketahui
soewahji soemodilogo, seketaris jendral kementrian agraria.
4. Rancangan soenarjo
Setelah dilakukan beberapa perubahan megenai sistematika dab perumusan
beberapa pasalnya, maka rancangan panitia soewahjo oleh menteri agraria
soenarjo diajukan kepada dewan menteri pada tanggal 14 maret 1958.dewan
menteri dalam sidangnya tanggal 1 Aperil 1958 dapat menyetujui rancangan
soenarjo dan diajukan kepada dewan perwakilan rakyat (DPR) melalui amanat
presiden sokarno tanggal 24 april 1958.
5. Rancangan sadjarwo
Berdasarkan dekrik presiden tanggal 5 juli 1959 kita kembali kepada UUD 1945.
Berhubungan rancangan soenarjo yang telah diajukan kepada DPR beberapa
waktu yang lalu disusun berdasarkan UUDS 1950, maka dengan surat presiden
tanggal 23 maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali dan disesuaikan dengan
UUD 1945.
10
UUPA mempunyai dua subtansi dari segi berlakunya, yaitu pertama,tidak
memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonoial, dan kedua
membangun hukum agraria nasional. Menurut boedi harsono, dengan berlakunya
UUPA, maka terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum agraria
diindonesia, terutama hukum dibidang pertanahan. Perubahan yang fundamental ini
mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya.
UUPA merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria karena
didalamnya memuat program yang dikenal dengan panca program agraria reform
indonesia, yang meliputi :
1. Pembaruan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional
dan pemberian jaminan kepastian hukum.
2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial ats tanah.
3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
4. Perombakan pemilikkan dan penguasaan ats tanah serta hubungan-hubungan
hukum yang berhubungan dengan pengusahaan tanah mewujudkan pemerataan
kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal sebagai program
landreform.
5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi,air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya serta penggunaanya secara terncana, sesuai dengan
daya dukung dan kemampuannya.
11
a. Domein verklaring tersebut dalam pasal 1 Agrarische besluit stb.1870
No.118.
b. Algemene domein verklaring tersebut dalam stb.1875 No. 119a.
c. Domein verklaring untuk sumatera tersebut dalam pasal 1 dari stb.1874
No 94f.
d. Domein verklaring untuk karesidenan manado tersebut dalam pasal 1
dari stb.1877 No 55.
e. Domein verklaring untuk residentie zuder en Osterafdeling van borneo
tersebut dalam pasal 1 dari stb.1888. No.58.
3. Koninklijk besluit (keputusan raja) tanggal 16 april 1872 No 29 (stb 1872 No.
29 ( stb.1872 No,117) dan peraturan pelaksanaannya.
4. Buku II KUHperdata indonesia sepanjan yang mengenai bumi, air srta kekayaan
alam yang terkandung didalam nya,kecuali ketentuan-ketentuan tentang
Hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya UUPA.
12
3. Hunbungan antara bangsa indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnyabersifat abadi, sehingga tidak dapat
diputuskan oleh siapa pun (pasal 1 UUPA).
4. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat indonesia diberi
wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran, rakyat (pasal 2
UUPA).
5. Hak ulayat sebagi hak masyarakat huykum adat diakui keberadaanya.
Pengakutan tersebut disertai syarat bahwa hak ulayat tersebut masih ada, tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-uandangan
yang lebih tinggi (pasal 3 UUPA).
6. Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah warga negara
indonesia tanpa dibedakan asli dan tidak asli. Badan hukum pada perinsipnya
tidak mempunyai hubungan sepenuhnya alam yang terkandung didalamnya
(pasal 9, 21,dan 49 UUPA)
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan. Dalam rangka mengadakan kesatuan hukum tersebut sudah
semestinya sistem hukum yang akan diberikan harus sesuai dengan kesadaran
hukum masyarakat.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memeberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya. Upaya untuk mewujudkan tujuan ini adalah dengan
membuat peraturan perundang-undang yang diperintahkan oleh UUPA yang sesuai
dengan asas dan jiwa UUPA. Selain itu demngan melakukan pendaftaran tanah atas
bidang-bidang tanah yang ada diwilayah indonesia yang bersifat tanah yang
bertujuan memberiakn jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah.
13
G. ASAS – ASAS DALAM UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA
Dalam UUPA dimuat 8 asas dari hukum agraria nasional. Asas – asas ini
kerena sebagai dasar dengan sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA
dan segenap peraturan pelaksanaannya. Delapan asas tersebut, adalah sebagai
berikut
1. Asas kenasionalan
2. Asas pada tingkat tertinggi,bumi,air, dan kekayaan alam tyang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara
3. Asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa dari pada kepentingan perseorangan atau golongan.
4. Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
5. Asas hanya negara indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah.
6. Asas persamaan bagi setiap warga negara indonesia.
7. Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh
pemiliknya sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan.
8. Asas tata guna tanah/pengunaan tanah secara berencana.
14
pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian
kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah), Menurut Rusmadi
Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak
atas tanah, yaitu : Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu
pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas
tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan
harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.
15
Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan
Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana
kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian
kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur,
kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan
atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat
perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor
Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya
memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa.
Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional
tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri
No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka
diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status
quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB)
dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan
setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata
Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak
Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum
Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas
keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat
dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional
untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang
bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah.
Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di
16
dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati
pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara
musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis,
yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya
sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di
hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala
Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam
penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan
tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3
Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa
kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala
Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang
bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan
melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan
melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang
bersangkutan.
17
H. KEKUATAN PEMBUKTIAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
TANAH
. Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan
terjadinya sengketa tanah:
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada
tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam
distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan
pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun
sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap
tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak
terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.
Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik
masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
18
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal
(de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau
para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik
tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian
orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa
tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di
carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi
terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus
dipertaruhkan.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
20