Anda di halaman 1dari 13

Tugas Laporan

PEMBELAJARAN ETNOPEDAGOGIK

OLEH :

YUSUF

A1N119063

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021
BAB III

BUDAYA SEBAGAI IDENTITAS ETNIS

A. Mencari Identitas Etnis

Teori klasik mengatakan bahwa dari wujudnya setiap kebudayaan dapat


dibagi menjadi tiga bentuk wujud, yaitu wujud gagasan atau ide ( cultural
knowledge), wujud kelakukan (cultural behavior), dan wujud hasil kelakuan
(cultural artifacts) (Koentjaraningrat, 2002; Spradley, 1972, Saerin, 2008).
Ketiga wujud itu saling berkaitan. Pola cultural behavior dan cultural artifacts
ditentukan oleh cultural knowledge, dan dalam kondisi tertentu akan terjadi
sebaliknya. Secara sederhana cultural knowledge dapat dipahami sebagai
seperangkat sistem pengetahuan milik bersama yang diperoleh masyarakat
melalui proses belajar, yang berfungsi sebagai pedoman bagi anggota
kesatuan sosial itu dalam bersikap dan berperilaku
Secara teoritis, cultural knowledge adalah penentu dan pengatur pola
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu tidak heran jika Geertz (1973)
menyebut cultural knowledge itu sebagai model of dari realitas kehidupan.
Model of adalah sebuah blue print yang mempunyai kekuatan besar yang
tidak tampak (invisible power), tetapi mampu memaksakan para pendukung
kebudayaan itu untuk mengarahkan cultural behavior dan cultural artifacts
sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung pada model of itu.
Menurut Panjaiatan, dkk (2014) ketiga wujud kebudayaan tersebut
merupakan satu kesatuan peruwujudan yang tak terpisahkan. Seluruh wujud
merupakan mengejewantahan dari prilaku manusia yang berpola dan dapat
dirinci menurut fungsi-fungsi khasnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya. Perwujudan kebudayaan dapat berkembang dan melahirkan
katarestik tersendiri baik dari segi gagasan, norma, nilai, maupun prilaku
pada suatu masyarakat, selanjutnya diakumulasi dalam konsep wujud yaitu
cultural knowledge, cultural behavior, dan cultural artifacts.

B. Identitas Budaya

Ada berbagai metode yang dapat digunakan dalam mencermati identitas


budaya suatu masyarakat. Selain mencermati melalui pola-pola ideal ( cultural
knowledge) yang terdapat dalam mitos-mitos, legenda, folklore, dan melalui
dokumen, artefak dan peninggalan sejarah lainnya ( cultural artifacts), pilihan
lain adalah melalui pencermatan terhadap cultural behavior atau dinamika
kehidupan sosial yang tercermin dari pola interaksi sosial mereka di ruang
publik dalam masyarakatnya, misalnya dapat dilihat dari pola perilaku
masyarakat dalam berlalu lintas. Contoh lain dapat dilihat dari cara bertutur
kata dalam berkomunikasi antar individu. Kedua contoh tersebut diperoleh
melalui pengalaman belajar dari orang yang ada disekitarnya baik disengaja
maupun tidak.
Sejalan dengan pernyataan Bung Hatta tersebut, maka
Koentjaraningrat (1969) menyatakan bahwa praktik itu berkaitan erat dengan
mentalitas nrabas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karena tidak sabar
menunggu untuk mendapatkan sesuatu yang diimpikan melalui proses yang
seharusnya dilalui, orang lalu melakukan berbagai cara untuk segera
mendapatkannya, termasuk dengan menempuh jalan pintas yang disebut
nrabas itu. Tidak berhenti di situ, kemudian muncul pula sejumlah ciri-ciri
budaya bangsa Indonesia yang lain seperti budaya instant, budaya (tidak
tahu) malu dan budaya konsumtif, yang semuanya berakar dari praktik
kehidupan sehari-hari.
Kebijakan pembangunan yang relatif terbuka sejak pemerintahan orde
baru telah membuka peluang yang luas bagi masuknya berbagai produk
industri dari negara-negara maju ke tengah aliran darah kehidupan
masyarakat ((((Ali, 2009). Kemajuan teknologi informasi yang menyertai
penetrasi produk industri asing telah menjadi sarana penting bagi pengayaan
gagasan-gagasan baru masyarakat. Tanpa disadari, masyarakat Indonesia
telah menjadi obyek pasar bagi produk negara-negara asing. Proses
penjajahan baru dari negara-negara maju terhadap negara-negara
berkembang tengah berlangsung dengan deras, melalui pengembangan pasar
bebas (Sairin, 2008).

C. Mengembangkan Kesadaran Etnis

Ada dua macam kesadaran etnis: (1) kesadaran etnis dari dalam ( internal
ethnis consciousness), dan (2) kesadaran etnis dari luar ( external ethnis
consciousness). Kesadaran etnis dari dalam yang biasa juga disebut
revivalisme adalah suatu kesadaran yang berkaitan langsung dengan unsur
budaya kelompok etnis dalam bentuk identitas budaya etnis (Alqadrie, 2006).
Kelompok etnis bersangkutan merasa bahwa mereka sudah ada karena
adanya identitas budaya dan identifikasi etnis yang jelas berbeda dengan
kelompok lain. Karena itu, keberadaan mereka seharusnya dihargai oleh
kelompok etnis lain dan sebaliknya mereka juga harus menghargai
keberadaan kelompok lain.
Kesadaran etnis dari luar yang biasa dinamai revitalisme adalah suatu
kesadaran yang berkaitan secara tidak langsung dengan budaya, atau paling
tidak bersentuhan dengan budaya materi. Kesadaran etnis kedua ini timbul di
lingkungan satu kelompok etnis tertentu setelah melalui proses persentuhan
dengan kelompok etnis lain. Dalam persentuhan itu, kelompok etnis pertama
melihat dan merasakan bahwa kelompok etnis kedua memiliki kelebihan
dalam segala bidang kehidupan, baik dalam wujud materi atau fisik maupun
dalam bentuk bukan materi tetapi berkaitan dengan unsur budaya. Kelebihan
tersebut antara lain dalam pendidikan dan keterampilan, akses ke berbagai
bidang usaha. Timbulnya kesadaran etnis menyusul timbulnya hasrat
kelompok etnis “tertinggal” tersebut untuk memiliki kelebihan-kelebihan itu,
minimal keinginan untuk sama dengan kelompok lain.
esadaran etnis ini dapat menghasilkan segi positif dan negatif. Segi positif
muncul ketika keinginan suatu kelompok untuk memperoleh apa yang telah
dicapai oleh kelompok lain melalui cara-cara yang sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dan melalui persaingan yang jujur. Kekalahan atau kemenangan
merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam setiap persaingan, sehingga
kesadaran etnis seperti ini tidak akan menjurus pada pertikaian, tetapi justru
menciptakan persaingan yang konstruktif. Kehadiran para transmigran ke
Kalbar pada periode baik sebelum tahun 1900-an yang dilandasi oleh motif
sosial budaya, maupun setelah periode tahun 1900-an walau didorong oleh
motif ekonomi dan politik, tetapi lebih menitikberatkan pada persaingan jujur,
menghargai atau mengidentifikasikan diri mereka pada identitas setempat
dan penyesuaian dengan nilai budaya yang berlaku, tidak menimbulkan
hubungan negatif dengan penduduk setempat.

D. Strategi Mempertahankan Jati Diri

Memasuki milenium ketiga, dunia berada dalam ketidakpastian, sehingga


semua mencari dan ingin menemukan suatu sistem baru guna dijadikan
acuan sebagai negara modern. Sistem yang ada sekarang tetap
dipertahankan, tetapi ingin menemukan hal baru dari yang mereka miliki.
Ketika otonomi daerah mulai dibuka di Indonesia, hal-hal yang menjadi
bagian dari lokalitas kita tiba-tiba saja penting. Dalam hal ini etnisitas dan
kebudayaan lokal yang menjadi sorotan paling signifikan. Lokalogi pada
prinsipnya didasarkan pada hal-hal khas yang dimiliki oleh daerah atau
komunitas setempat, misalnya: (1) pengalaman, (2) tradisi, (3) pemandangan
yang indah, (4) makanan yang enak, (5) sejarah rakyat, dan (6) kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, lokalogi adalah suatu upaya mencari,
mempelajari dan memahami hal-hal yang bersifat lokal atau khas daerah oleh
masyarakat setempat bersama-sama dengan orang luar yang tertarik pada
daerah atau komunitas atau komunitas tersebut (Lathief, 2008).
Relativitas kebudayaan, terjadi apabila seseorang bertemu dengan orang lain,
biasanya mengukur orang tersebut dengan ukuran dirinya sendiri ((((Van
Peursen, van Peursen, & Hartoko, 2000). Hal ini kurang tepat, karena
bagaimanapun, saya bukan anda dan anda bukan saya. Namun demikian,
setiap orang mempunyai kesempatan untuk berusaha menjadi orang lain,
meskipun hal itu tidak sepenuhnya atau tidak sampai menjadi orang lain. Kita
memang tidak bisa menjadi orang lain, tetapi hal ini dilakukan dalam rangka
mengetahui orang lain itu sebanyak mungkin. Ketika kita suka dengan
sesuatu atau cinta kepada orang lain, kita dikuasai oleh perasaan senang dan
perasaan demikian ini disebut perasaan imaginatif.

E. Kekhawatiran Tergusurnya Sistem Etnopedagogi

Kesenjangan antara expected model dan cultural behavior dalam kehidupan


masyarakat Indonesia terlihat semakin melebar. Ini sebagai akibat dari
terjadinya perubahan besar dalam proses inkulturasi nilai-nilai budaya dalam
kehidupan bangsa. Sistem etnopedagogi (transmisi) nilai budaya melalui
tradisi lisan (oral tradition) yang dilakukan melalui intitusi keluarga inti
(nuclear family) dan keluarga luas (extended family) tidak lagi memadai. Pada
masyarakat terbuka yang telah bersentuhan dengan teknologi komunikasi dan
informasi seperti yang sedang dialami bangsa ini, proses inkulturasi nilai
budaya tidak lagi semata-mata melalui proses pembelajaran melalui
lingkungan sosial terbatas, tetapi telah jauh menjangkau dunia luar. Tanpa
disadari, proses transformasi nilai dari luar melakukan penetrasi ke tengah
detak jantung kehidupan ternyata sering lebih kuat pengaruhnya dalam
membentuk cultural behavior masyarakat.
rut Panjaiatan, dkk (2014) karena orientasi pendidikan selain
pengetahuan adalah perilaku (behavior) maka pembentukan perilaku
sejatinya berakar pada nilai-nilai budaya. Pengembangan pembelajaran baik
dari segi konten maupun metode sebaiknya berbasis dan mengacu pada nilai
maupun artevak budaya siswa. Dengan demikian melalui strategi tersebut
maka bentuk-bentuk sikap dan karakter yang terbentuk pada diri siswa
mencerminkan budaya khas dan identitas budayanya.

BAB IV

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

A. Pengertian Kebudayaan

Berbagai definisi kebudayaan yang telah dikemukakan para ahli berdasarkan


sudut pandang latar belakang ilmunya masing-masing. Menurut Mead
budaya adalah perilaku yang dipelajari dari sebuah masyarakat atau sub
kelompok. Budaya merupakan istilah yang banyak dijumpai hampir dalam
setiap aktivitas sehari-hari, karena i t u budaya meruakan bagian tak
terpisahkan dari kehidupan manusia sebagai subjeknya. Bahkan budaya
dipandang juga sebagai warisan dan tradisi dari suatu kelompok social
(Koentjaraningrat, 2000).
Definisi tersebut menunjukkan visi tentang kebudayaan itu, proses
bagaimana kebudayaan itu diciptakan dan diinformasikan, dan agen pelaku
kebudayaan yaitu siapa yang bertanggung jawab dalam penciptaan dan
perubahan kebudayaan. Dalam definisi itu tampak dengan jelas betapa
keterkaitan yang erat antara pendidikan dan kebudayaan. Pertama,
kebudayaan itu sifatnya dinamis. Kedua, kebudayaan itu bersifat mulitifaset.
Ketiga, kebudayaan itu bersifat konstektual, terutama berkaitan dengan
lingkungan. Keempat, kebudayaan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial,
ekonomi, dan politik. Kelima, kebudayaan merupakan konstruksi sosial.
Keenam, kebudayaan dipelajari bukan sesuatu different. Dan, ketujuh,
kebudayaan bersifat dialektis (Tilaar, 2008).
Dalam etnopedagogi (pedagogik tradisional) terdapat banyak konsep
mengenai pendidikan dari konsep yang sempit sampai konsep yang sangat
luas. Pada zaman Plato pendidikan diartikan sebagai pendidikan untuk negara
sebagaimana yang dinyatakan di dalam bukunya The State. Pendidikan warga
negara sebagai alat untuk mempertahankan negara yang kuat. Dengan
sendirinya kebudayaan yang tercipta dalam pendidikan warga negara tersebut
adalah kebudayaan yang dikendalikan oleh negara di mana Negara itu sendiri
dikepalai seorang filosof.

B. Pengertian Pendidikan

Pendidikan diarahkan kepada nilai-nilai budaya yang ada, baik penekanan


pada suatu nilai tertentu ataupun secara keseluruhan, ataupun menjadikan
pendidikan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan dalam masyarakat. Di
Eropa, pada abad pertengahan pendidikan merupakan bagian dari gereja,
artinya mempersiapkan manusia untuk hidupnya di akhirat. Dalam berbagai
visi mengenai pendidikan tersebut di atas tampak dengan jelas hilangnya
faktor manusia sebagai pencipta dan diciptakan oleh kebudayaan.

Eksistensi pendidikan bagi manusia secara filosofis suatu proses pembentukan


kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir
(intelegencia) maupun daya perasa (emotional) menuju kearah tabiah
manusia. Pendidikan merupakan proses yang berlangsung sepanjang zaman
dalam segala situasi kehidupan, pendidikan berlangsung di segala jenis,
bentuk dan tingakatan lingkungan hidup, yang kemudian mendorong
pertumbuhan segal potensi yang ada dalam diri individu sehingga mampu
mengubah dan mengambangkan dirinya menjadi dewasa, cerdas dan
matang. Jadi singkatnya, pendidikan merupakan sistem perubahan menuju
pendewasaan dan pematangan diri (Suhatono, 2009).

Sedangkan secara antropologis, peranan pendidikan di dalam kebudayaan dapat


dilihat dalam perkembangan kepribadian manusia. Tanpa kepribadian manusia tidak
ada kebudayaan, meskipun kebudayaan bukanlah sekadar jumlah dari kepribadian-
kepribadian. Baik secara filosofis, mapun secara antropologis bahkan sosiologis
keberadaan pendidikan semakin menempati posisi urgen bagi kehidupan dan
peradaban dunia. Gerakan perubahan dan transformasi nilai memberikan
bukti bahwa ranah penguasaan pengetahuan dan teknologi menjadi prasyarat
utama bagi seseorang memenangkan kontestasi hidup dewasa ini. kondisi ini
terjadi hampir seluruh belahan dunia. Karena itu pendidikan nasional tidak
boleh kehilangan karakter ditengah arus globalisasi.

Kebudayaan diciptakan oleh manusia untuk kebahagiannya. Menurut


Michael Fairbanks, kebudayaan dalam arti yang luas menyimpan tujuh modal
utama, yaitu: (1) Modal alam atau lingkungan yang akan diolah oleh manusia
sebagai pemiliknya, (2) Modal keuangan suatu Negara, (3) Modal fisik yang
dimiliki oleh manusia seperti gedung-gedung jembatan, jalan, telekomunikasi,
(4) Modal kelembagaan seperti departemen pemerintah yang efisien,
perusahaan-perusahaan, dan lembaga-lembaga sosial lainnya, (5) Modal
pengetahuan seperti lembaga-lembaga pendidikan tinggi, lembaga-lembaga
riset, (6) Modal manusia, yaitu manusia yang memiliki keterampilan, wawasan
dan kemampuan untuk membangun, dan (7) Modal dalam bidang bahasa,
musik, tradisi ritualistik dan juga nilai-nilai yang berkaitan dengan
kemampuan inovasi suatu masyarakat (Tilaar, 2008).

BAB V

ETNOPEDAGOGI DALAM MASYARAKAT INDONESIA

A. Tradisi Lisan sebagai Media dan Materi Etnopedagogi


Hakikat kelisanan (orality) mencakup segala hal yang berhubungan dengan
sastera, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis
kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Tradisi lisan tidak hanya
mencakup ceritera rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi,
dan legenda sebagaimana umumnya diduga orang, tetapi juga berkaitan
dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti: sejarah, hukum, dan pengobatan
(Pudentia, 1999). Menurut Sibarani (2000) tradisi lisan adalah semua
kesenian, pertunjukan atau permainan yang mengguanakan tutur lisan. Unsur
kelisanan merupakan bagian utama dari tradisi lisan. Menurut Dorson (1963)
tanpa kelisanan suatu budaya tidak bisa disebut tradisi lisan. Oleh karena itu
secara utuh tradisi lisan mempunya dimensi: (1) kelisanan, (2) kebahasaan,
(3) kesetaraan, dan (4) nilai budaya.
Perkembangan tradisi lisan terjadi dari mulut ke mulut, sehingga
menimbulkan banyak versi cerita. Menurut Hutomo (1991), tradisi lisan
mencakup beberapa hal, yakni: (1) kesusastraan lisan, (2) teknologi
tradisional, (3) pengetahuan folklore di luar pusat-pusat istana dan kota
metropolitan, (4) unsur-unsur religi dan kepercayaan folklore di luar batas
formal agama-agama besar, (5) kesenian folklore di luar pusat-pusat istana
dan kota metropolitan, dan (6) hukum adat.
Dalam kondisi tersebut, maka peran guru sangat penting untuk mendisain
pembelajaran dalam aspek: materi, metode, dan media pembelajaran. Guru
tidak cukup hanya menjadi pengajar, tetapi juga harus menjadi peneliti untuk
menggali kearifan lokal yang masih berserakan dalam bentuk tradisi lisan
untuk selanjutnya diintegrasikan dalam pembelajaran.

B. Pemanfaatan Bahasa Etnik/Bahasa Daerah sebagai Wujud


Etnopedagogi

Kedudukan bahasa etnik dalam kehidupan nasional kita sudah sering


dibicarakan. Kedudukan bahasa etnik itu sudah pasti sebagai dasar
kebudayaan etnik yang pada gilirannya merupakan unsur penyumbang dan
pemerkaya kebudayaan nasional kita. Pembinaan dan pengembangan
bahasa-bahasa etnik/daerah sangat penting di samping pemerkaya
kebudayaan nasional, nilai-nilai kebudayaan tradisional terkandung di dalam
bahasa etnik. Konsep nilai kebudayaan tradisional hanya dapat dimengerti
melalui ungkapan bahasa etnik masyarakatnya. Dengan demikian, bahasa-
bahasa etnik harus tetap dipelihara agar tetap mampu menjadi ungkapan
budaya masyarakat yang mendukung kebhinekaan budaya bangsa. Bahkan
bahasa etnik itu merupakan salah satu bagian dari kebudayaan nasional
(Sibarani, 2008).
Meskipun identitas etnik memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia tidak akan luntur, jika diakui dan diterima identitas etnik sebagai
kekayaan bangsa. Sikap dan penghargaan terhadap bahasa etnik itu perlu
dikembangkan (Sibarani, 2008). Dewasa ini ada kecenderungan generasi
muda melupakan bahasa etniknya, seperti pernyataan seorang Kepala SMP
sekaligus sebagai tokoh masyarakat bernama Mardin, S. Pd, M. Si.
(Wawancara, 11 April 2017) siswa kita di SMP Negeri 2 Konawe kalau diberi
Bahasa Tolaki (Bahasa Daerah) banyak yang sudah tidak paham, sehingga
perlu pembelajaran Bahasa Tolaki melalui penanaman nilai-nilai budaya
leluhur.
Lebih jauh tentang perlunya pelestarian dan pengembangan Kalosara
sebagai fokus Budaya Tolaki dikemukakan oleh Cecep Supria Yudowono, S.
Pd. M. Pd. (Wawancara, 11 April 2017) antara lain menyatakan selain
integrasi dalam pembelajaran nilai-nilai karakter dalam budaya Tolaki, juga
pelu didokumentasikan dalam bentuk buku dan ditulis bersama antara praktisi
pendidikan, budayawan dan akademisi, agar mudah didistribusi dan mudah
diadopsi oleh peserta didik, sebab kalau tidak ada upaya penulisan, maka
lama-kelamaan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang ada pada masyarakat
Tolaki akan hilang (Anwar, dkk, 2017).
Oleh karena pentingnya bahasa-bahasa etnik itu dalam kehidupan
nasional kita, maka perlu pelestarian bahasa-bahasa etnik di Nusantara ini.
Strategi pelestarian bahasa-bahasa etnik itu bisa saja berbeda-beda antara
lain:

a. Pendidikan Formal
Pembelajaran bahasa etnik melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah di
daerah perlu terus dilaksanakan. Pembelajaran tidak cukup hanya di SD,
tetapi perlu ditingkatkan sampai di SMP. Di samping itu, jurusan sastra
daerah di beberapa perguruan tinggi perlu didukung pemerintah dan semua
lapisan masyarakat.
Strategi pada pendidikan formal pemberian pembelajaran bahasa etnik tidak
hanya pada muatan lokal saja, tetapi dapat dilakukan dalam (1)
mengintegrasikan bahasa dan budaya etnik pada mata pelajaran tertentu
pada konten (isi) materi. (2) mengadopsi istilah, bahasa, dan budaya etnik
sebagai model dan media pembelajaran. Outputnya tidak saja membuat
pembelajaran lebih menarik juga lebih mendekatkan siswa dengan identitas
bahasa dan budayanya.

b. Pendidikan Rumah
Para orang tua di perantauan perlu mengajarkan anak-anak mereka
berbahasa etnik di rumah sejak si anak mulai belajar berbicara. Si anak tidak
perlu diajar bahasa Indonesia karena dia akan mendapatkannya di luar
rumah. Anak-anak itulah penerus masa depan bahasa etnik. Karena itu orang
tua memiliki tanggung jawab besar bagi pelestarian bahasa dan budaya etnik
c. Penyebarluasan Bahasa Etnik melalui Lembaga/Upacara Adat
Lembaga adat juga sangat penting untuk pelestarian bahasa etnik. Semua
kegiatan lembaga dan upacara adat menggunakan bahasa etnik yang baik
dan benar sebagai bahasa pengantarnya. Sehingga dengan demikian,
lembaga ini cukup penting peranannya dalam pengembangan bahasa etnik
yang baku.

C. Etnopedagogi dalam Etnis Bugis

1. Etnopedagogi dalam Naskah Lontarak


Pembelajaran nilai-nilai dalam masyarakat merupakan suatu konsep abstrak
mengenai apa yang buruk dan apa yang baik. Menurut Djajasudarma
(Maknun, 2008) menjelaskan bahwa batasan nilai mengacu pada minat,
kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban, agama, kebutuhan, keamanan, hasrat,
keengganan, atraksi, perasaan, dan orientasi seleksinya. Oleh karena itu,
segala sesuatu yang baik dan buruk dapat disebut sebagai nilai. Nilai budaya
ini diajarkan secara turun-temurun dari generasi yang satu ke generasi yang
lain.
Peribahasa merupakan bagian dari komunikasi sistem budaya. Bahasa dalam
naskah lontarak menampakkan sistem klasifikasi yang dapat digunakan untuk
menelusuri praktik-praktik budaya dalam suatu masyarakat. Model-model
budaya yang dimaksud di sini mencakup mentalitas kerja, sikap, perilaku,
etika, dan moral. Berikut ini diberikan beberapa contoh pepatah atau kelong
yang mengandung nilai karakter (Maknun, 2008).

a. Motifasi berusaha dan bekerja


b. Rasa solidaritas
c. Etika, Moral, dan Sopan Santun

2. Budaya Mendidik pada Etnis Bugis


Secara filosofi landasan pendidikan Etnis Bugis berakar dari Ungkapan:
Mattola Palallo=anak melebihi orang tuanya ((((((Rasak, Nasrum, & Syukur,
2019). Orang tua harus mendidik anaknya dengan sungguh-sunggu, karena
harapan orang tua anaknya harus sukses melebihi posisi/prestasi dan
keberhasilan dari kedua irang tuanya. Orang tua harus memiliki anak yang
sukses, sehingga tarjadi proses mobilitas vertical. Contoh: jika ayahnya hanya
sekolah sampai tamat SMA, maka anaknya harus sarjana. Prestasi dan
keberhasilan anak mencapai sutau posisi strategis di masyarakat, menujukkan
suatu keberhasilan orang tua, bukan keberhasilan anak semata.
Budaya siri’ sebagai falsafah hidup Etnis Bugis, dapat berarti falsafah
yang berkaitan dengan etika. Falsafah etika yang bersumber dari Epicuros
bertujuan memperkuat jiwa untuk menghadapi segala keadaan. Usaha Etnis
Bugis untuk membentuk kepribadian generasinya, pada umumnya
menggunakan konsep siri’ dalam pembiasaan berperilaku yang santun,
memelihara kekerabatan, dan melakukan kebaikan.
Kedudukan siri’ dalam keluarga akan mendorong timbulnya hasrat
untuk mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dipahami, bahwa
apabila siri’ telah menyatu dengan psikis peserta didik, akan nampak perilaku
peserta didik yang senantiasa tunduk, patuh, dan setia terhadap norma,
hukum dan ketentuan dalam kehidupan sosial yang senantiasa dikendalikan
oleh nilai siri’ (Harun, 2011)

3. Bentuk Pendidikan Anak dalam Budaya Etnis Bugis


Secara kasat mata pendidikan merupakan salah satu wadah tempat di mana
anak-anak menimba ilmu, baik pendidikan informal, non formal maupun
formal. Lewat pendidikan orang tua mampu mengajarkan anak-anak
bertingkah laku baik yang dapat memungkinkan dirinya diterima oleh
masyarakat. Penerapan pendidikan anak dalam budaya Etnis Bugis
merupakan sebuah proses pembentukan kepribadian dan jati diri seorang
anak dengan berlandaskan pada standarisasi serta arah perilaku kepada
masyarakat.
Seperti yang dikatakan oleh seorang informan bahwa: Pendidikan yang saya
terapkan dalam keluarga tetap selalu berpegang teguh oleh kebudayaan-
kebudayaan kami (Bugis) yang tidak bertentangan oleh agama. Semua anak-
anak saya harus ikut aturan yang kami (orang tua) tetapkan di rumah, dan
aturan yang kami (orang tua) buat harus dipatuhi didalam keluarga kami. Jika
aturan yang kami (orang tua) buat itu ada yang melanggar maka akan
dikenakan hukuman/sanksi. Pertama anak laki-laki maupun perempuan harus
melaksanakan sholat 5 waktu, yang kedua anak laki-laki dan anak perempuan
harus bangun mulai jam 3 untuk belajar selesai melaksanakan sholat
tahajjud.
a. Pendidikan dalam keagamaan
Perilaku keagamaan Etnis Bugis dikenal sebagai orang yang pintar mengaji
dan mereka memiliki suara yang merdu pada saat mengumandangkan adzan
maupun menjadi imam.
b. Pendidikan dalam bertatakrama
Kebudayaan Bugis menyebut adanya adanya istilah siri’ dan pammali. siri’
inilah yang membuat seseorang mampu membakar semangatnya dalam
menuntut ilmu maupun bekerja. Misalnya seseorang tidak akan pulang
kampung sebelum sukses, merasa malu jika tidak berhasil di kampungnya
orang, malu jika dihina dan sebagainya. Pesan leluhur menyatakan: seddi
ulleta ri kampotta, tapaggennei dua-tellu narekko laoki ri wanuwanna taue=
satu kekuatan ketika berada di negeri sendiri, maka harus ditambah dua atau
tiga, ketika berada dinegeri orang.
c. Pendidikan dalam bertutur kata
Bertutur kata merupakan modal utama bagi seseorang karena ia
mencerminkan tingkah laku yang dapat menimbulkan kepercayaan kepada
orang lain. Sejak dahulu Etnis Bugis, terkenal dengan gaya bahasanya, ketika
berbicara kepada sesamanya. Contoh pemakaian bahasa Bugis yang
dianggap sopan yaitu “Makan ma’ki (silakan Anda makan)”.“Aga tapigau?”
(apa yang sedang anda lakukan?). Adapun partikel-partikel yang biasa
digunakan dalam bahasa Bugis-Makassar seperti ji, mi, pi, mo, ma, di,
tonji, tawwa, pale. Iye’ Contoh penggunaannya misalnya: iye’ tidak apa-
apa ji (iya tidak apa-apa), tidurmi (tudur saja), sebentapi (nanti
sebentar).
d. Pendidikan Kemandirian dan Kewirausahaan
Etnis Bugis termasuk perantau dan pedagang ulung. Hampir tak ada negeri
yang tidak didatangi Etnis Bugis, asalkan ada peluang bisnis dan iklim yang
menjamin kebebasan berusaha. Perumpamaan itu tak lain untuk
menunjukkan betapa sifat kewirausahaan ( enterpreneurship) telah
membudaya/melekat pada setiap pribadi Etnis Bugis. Jiwa enterpreneurship
Etnis Bugis sudah dikaji oleh berbagai ahli seperti (((((Sunarti, 2019;
(((Tamar, Wirawan, & Bellani, 2019; (((Acciaioli, 2014; (((dan Syukur, 2014).
Sifat ini dituntun pesan leluhur mereka bahwa: “ aja mumaelo natunai sekke,
naburuki labo” (jangan terhina oleh sifat kikir dan hancur oleh sifat boros).

4. Pengaruh Pendidikan Anak terhadap Lingkungan Sekitar


Membiasakan diri dan mengembangkan pola pikir anak mutlak diperlukan.
Untuk memajukan pendidikan, orang tua sangat berperan dalam menentukan
berhasil tidaknya seorang anak. Karena keberhasilan anak diukur bagaimana
cara orang tua mendidiknya. Sejak dahulu Etnis Bugis telah memiliki pola
tersendiri untuk mendidik anak, ini yang kemudian membentuk karakter khas
masyarakat Bugis, termasuk pola pikir orang tua terhadap masa depan
anaknya. Lingkungan sosial merupakan lingkungan di mana manusia
melakukan interaksi antara satu dengan yang lainnya.
Kelakuan manusia pada hakikatnya hampir seluruhnya bersifat sosial,
hampir segala sesuatu yang kita pelajari merupakan hasil hubungan kita
dengan orang lain, dengan keluarga di rumah di sekolah maupun di
masyarakat. Proses penyebaran nilai-nilai sosial budaya yang telah
tersosialisasi dapat menyebabkan anak secara bertahap mengenal
persyaratan dan tuntutan hidup budaya masyarakatnya melalui nilai-nilai
pengetahuan, sikap, keterampilan, dan bentuk kelakuan lainnya yang
diharapkan dapat dimiliki oleh setiap anak.
5. Nilai Karakter yang Terkandung dalam Etnopedagogi Etnis Bugis
Terasa penting dalam dunia pendidikan, diperlukan sebanyak mungkin
pengetahuan tentang analisis yang melekat pada kesadaran budaya. Analisis
itu terkandung dalam wujud kebudayaan pada masa silam yang berupa nilai
karakter yang terdapat dalam aspek ideal dari kebudayaan. Kebudayaan Etnis
Bugis mengandung banyak nilai karakkter, misalnya: Lempuu (nilai jujuran),
amaccageng (nilai kreatif), getteng kepatutan (nilai nilai tanggung jawab),
dan resopa natemmangingngii (nilai kerja keras).

Anda mungkin juga menyukai