Anda di halaman 1dari 19

PENDAHULUAN

Dalam satu dekade terakhir ini kita sering mendengar terjadinya kasus-kasus yang

terjadi seperti bencana alam, kekerasan-baik itu berupa kekerasan rumah tangga

maupun bentuk kekerasan lainnya serta berbagai bentuk peristiwa traumatik lainnya.

Berbagai kondisi ini merupakan stressor psikososial yang mungkin akan berdampak

terhadap individu berupa terjadinya gangguan stress pasks trauma. Dari penelitian

terkini didapatkan bahwa dalam kehidupannya seorang individu minimal akan

mengalami satu peristiwa traumatik dan 25% dari mereka yang tetap bertahan hidup

dikatakan akan mengalami gangguan stress paska trauma. (1)

Disamping gangguan stress paska trauma, mereka yang mengalami peristiwa

yang traumatik juga berisiko untuk mengalami berbagai jenis gangguan psikiatrik

lainnya, seperti gangguan depresi major, gangguan panic, gangguan cemas

menyeluruh, dan penyalahgunaan zat. (1)

Anak-anak dan orang dewasa yang mengalami peristiwa traumatik yang kronis

dan berulang juga berisiko untuk mengalami berbagai jenis gangguan fisik seperti

hipertensi, asma bronkial serta berbagai jenis keluhan somatik tanpa dasar kelainan

organik yang bermakna. (1)

Produktivitas individu yang mengalami gangguan stress paska trauma akan

menurun. Mereka seringkali absen hingga acapkali kehilangan pekerjaan, kapasitas

mereka sebagai pencari nafkahpun akan menurun. Mereka lebih banyak mengunjungi

fasilitas-fasilitas kesehatan dalam upaya untuk mengatasi keluhan dan penderitaan

1
yang dialami. Dengan demikian dampak dari gangguan stress paska trauma tidak

hanya pada individu yang mengalami, melainkan juga meningkatkan beban bagi

keluarga, masyarakat. (1)

1. Definisi

Gangguan stress paska trauma didefinisikan sebagai gangguan stress yang

terjadi setelah seseorang mengalami suatu stress emosional yang besar yang

akan traumatik bagi hampir setiap orang. Gangguang stress paska trauma juga

didefinisikan sebagai gangguan kecemasan dimana seseorang yang memiliki

pengalaman traumatik atau mengalami kejadian yang membahayakan hidupnya

menunjukkan gejala-gejala, seperti kekakuan pada tubuh, merasakan kembali

emosi pada saat peristiwa tersebut terjadi, dan peningkatan stimulasi fisiologis.

Trauma tersebut termasuk peperangan, bencana alam, penyerangan,

pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius (misalnya kecelakaan mobil dan

kebakaran gedung). Gangguan stress paska trauma terdiri dari (1) Pengaaman

kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan (waking

thought), (2) penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan

penumpukan responsivitas pada penderita tersebut, dan (3) Kesadaran

berlebihan (hyperarousal) yang persisten. Lama gejala minimal untuk gangguan

stress paska trauma adalah satu bulan. (2) (3)

Gangguan stress paska trauma biasanya timbul dalam waktu enam bulan

setelah terjadinya peristiwa traumatik dan merupakan kelanjutan dari gangguan

2
stress akut yang pada definisinya berlangsung maksimal satu bulan. Alas an

berubahnya diagnosis dari gangguan stress akut menjadi gangguan stress paska

trauma setelah satu bulan adalah karena kasus yang berlangsung lebih dari satu

bulan biasanya menjadi kronis dan memerlukan pendekatan dan pengobatan

yang berbeda daripada gangguan stress akut. (2)

2. Epidemiologi

Gangguan psikologis setelah mengalami peristiwa traumatik atau stress

berat, seperti peristiwa perang telah dikenal sejak puuhan tahun yang lalu. Pada

tahun 1980, American Psychiatric Association mulai memperkenalkan

gangguan jiwa yang disebut sebagai gangguan stress paska trauma (post

traumatic stress disorder)dengan kriteria diagnosis yang tercantum dalam DSM

III dan juga oleh WHO yang memasukkan diagnosis ini ke dalam ICD X.

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa kasus gangguan

stress paska trauma merupakan salah satu kasus psikiatri yang cukup sering

dijumpai. Kasus ini dijumpai pada sekitar 10,3% untuk pria dan 18,3% pada

wanita. (1)

Prevalensi seumur hidup gangguan stress paska trauma diperkirakan dari 1-

3% populasi umum, walaupun suatu tambahan 5-15% mungkin mengalami

bentuk gangguan yang subklinis. Walaupun gangguan stress paska traumatik

dapat tampak pada setiap usia, gangguan ini paling menonjol pada dewasa

muda, karena sifat situasi yang mencetuskannya. Tetapi, anak-anak dapat

3
mengalami gangguan stress paska trauma. Trauma untuk laki-laki biasanya

mengalami pengalaman peperangan, dan trauma untuk wanita paling sering

adalah penyerangan atau pemerkosaan. Gangguan kemungkinan terjadi pada

mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami gangguan ekonomis, atau

menarik diri secara sosial. (2)

3. Etiologi

Terjadinya gangguan stress paska trauma didahului oleh adalah adanya

suatu stressor berat yang melampaui kapasitas hidup seseorang, serta

menimbulkan penderitaan bagi setiap orang. Kondisi psikologis seseorang

sebelum mengalami peristiwa traumatic tersebut akan berdampak terhadap

respons yang ditimbulkan sebagai akibat peristiwa tersebut. Beberapa faktor

predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stress paska

trauma adalah:

a. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu

yang bersangkutan maupun keluarganya.

b. Adanya trauma masa kanak-kanak, seperti kekerasan fisik maupun

seksual.

c. Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir.

d. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial.

e. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi social.

Adanya problem menyesuaikan diri.

4
f. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara

bermakna.

g. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa

sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara

subjektif oleh individu yang bersangkutan sebagai suatu kondisi

atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya. (1)

Tipe kejadian yang cenderung akan meningkatkan angka kejadi gangguan

stress paska trauma dapat dikategorikan menjadi(1):

a. Mereka yang mengalami tindak kekerasan interpersonal

b. Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang

mengancam nyawa, baik berupa kejadian yang alamiah atau

kejadian yang dibuat oleh manusia

c. Trauma berulang dan bersifat kronik

Berdasarkan DSM IV, ada beberapa jenis kejadian yang potensial

mungkin akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress paska trauma,

yaitu: (1)

a. Kekerasan personal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan

perampokan)

b. Penculikan

c. Penyanderaan

d. Serangan militer

e. Serangan teroris

5
f. Penyiksaan

g. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang

h. Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat oleh

manusia

i. Kecelakaan mobil yang berat

j. Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam

kehidupan

Pada umumnya individu yang mempunyai karakter yang extrovert atau lebih

berpikir positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini.

Karakteristik dari peristiwa traumatik yang dialami juga akan mempengaruhi

jenis reaksi psikologis yang akan terjadi, seperti: (1)

a. Durasi dan intensitas stressor yang dialami

b. Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan

seseorang

c. Berat ringannya kehilangan yang dialami

d. Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa

tersebut, misalnya apakah ia akan menyelamatkan orang lain pada

saat kejadian atau dia hanya menyelamatkan diri sendiri.

Setelah mengalami peristiwa traumatik, maka sistem keyakinan dan latar

belakang budaya yang dianut individu yang bersangkutan serta dukungan social

dari lingkungan sekelilingnya akan memegang peranan penting bagi individu

untuk menyesuaikan dirinya kembali. (1)

6
4. Manifestasi klinis dan diagnosis

Gangguan ini selalu merupakan konsekuensi langsung dari suatu stress akut

yang berat atau trauma berkelanjutan. Stres yang terjadi atau keadaan yang tidak

nyaman tersebut merupakan faktor pemicu utama, dan tanpa hal tersebut

gangguan ini tidak akan terjadi. Gambaran klinis utama dari gangguan stress

paska trauma adalah pengalaman ulang peristiwa yang menyakitkan, suatu pola

menghindar dan kekakuan emosional, dan kesadaran yang berlebihan yang

hampir tetap. (1)

Gambaran klinis dari gangguan stress paska trauma ini seringkali adanya

ingatan-ingatan kembali akan peristiwa-peristiwa traumatik yang pernah

dialami serta mendesak untuk timbul ke alam sadar dan disertai dengan adanya

mimpi-mimpi buruk. Individu juga dengan sengaja tampak menghindari

berbagai situasi atau kondisi yang akan mengingatkannya akan peristiwa

traumatik tersebut. (2)

Gangguan stress paska trauma seperti gangguan stress akut memiliki 3

simptom utama, yaitu pikiran intruisive terhadap trauma, hypervigilance, dan

menghindari tempat, orang atau hal-hal yang dapat mengingatkan terhdap

trauma yang terjadi.(4)

Umumnya individu dengan gangguan stress paska trauma datang ke dokter

tidak dengan gejala-gejala tersebut diatas. Mereka umumnya datang dengan

keluhan berupa gejala-gejala depresi, ide-ide bunuh diri, penarikan diri dari

7
lingkungan sosialnya, kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat-zat adiktif

lainnya, serta berbagai keluhan fisik lainnya (misalnya nyeri kronik, IBS, dll).

Gangguan stress paska trauma seringkali berhubungan dengan keluhan-keluhan

fisik, dan penurunan taraf kesehatan secara umum, sehingga kondisi-kondisi ini

seringkali dijumpai pada pusat-pusat pelayanan kesehatan primer. (1)

Penelitian mendapatkan bahwa individu dengan gangguan stress paska

trauma 3 kali lebih banyak datang ke dokter atau pusat pelayanan kesehatan

primer jika dibandingkan dengan kunjungan ke professional kesehatan mental

lainnya. Seperempat dari jumlah individu yang berobat ke pusat pelayanan

kesehatan primer melaporkan adanya latar belakang problem emosi atau

psikologis sebagai latar belakang keluhan-keluhan yang mereka alami. Oleh

karena itu, peningkatan kesadaran dan pemahaman dari gangguan stress paska

trauma ini sangat diperlukan bagi dokter umum atau dokter-dokter yang bekerja

pada pusat pelayanan kesehatan primer. (1)

Diagnosis gangguan stress paska trauma tidak akan pernah dibuat jika

dokter tidak pernah menanyakan apakah individu pernah atau tidak pernah

mengalami peristiwa traumatik tertentu, seperti apakah pernah mengalami

kekerasan baik fisik, emosional atau seksual, atau apakah pernah mengalami

kecelakaan hebat atau mengalami bencana alam atau kekerasan militer atau

peperangan. Perlu juga diketahui bahwa seringkali peristiwa traumatik yang

dialami sudah terjadi bertahun-tahun sebelum gejala psikiatri dijumpai, oleh

karena itu kadang-kadang tidak mudah untuk mengaitkan apakah ada kaitan

8
langsung antara peristiwa traumatik di masa lampau dengan keluhan psikiatrik

yang dialami sekarang. Kadang-kadang bagii pasien sendiri juga sulit untuk

mengemukakan peristiwa-peristiwa traumatik yang dialami oleh karena rasa

malu atau karena perasaan bersalah karena merasa telah membuka aib keluarga.

Dengan demikian seorang dokter perlu berempati dan memberi dukungan

kepada individu yang mengalami gangguan stress paska trauma sehingga

mereka lebih mudah untuk berbagi perasaan dan pengalaman akan peristiwa

traumatik yang pernah dialaminya. (1)

Kriteria diagnosis dari gangguan stress paska trauma berdasarkan DSM IV

adalah sebagai berikut. (1)

a. Individu pernah terpapar dengan peristiwa traumatik berupa

1) Individu mengalami, menjadi saksi mata atau berhadapan langsung

dengan satu kejadian atau beberapa kejadian yang mengerikan atau

mengancam kehidupan atau kecelakaan yang serius, atau ancaman

terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain

2) Respon dari individu yang terlibat dalam peristiwa yang sangat

mengerikan, keputusasaan atau ketakutan yang luar biasa. Catatan:

pada anak, kondisi ini mungkin ditunjukkan oleh adanya perilaku yang

disorganisasi atau agitasi.

b. Pengalaman traumatik selalu timbul berulang dalam salah satu bentuk

dibawah ini.

9
1) Adanya bayangan, pikiran, atau persepsi yang berkaitan dengan

peristiwa traumatik yang timbul secara berulang dan menyebabkan

penderitaan bagi individu yang bersangkutan. Bagi anak, seringkali

kondisi ini diekspresikan melalui pola mainan yang bertemakan

peristiwa traumatik yang dialaminya.

2) Adanya mimpi-mimpi buruk berulang yang menimbulkan penderitaan

bagi individu. Pada anak kondisi ini seringkali berupa timbulnya

mimpi buruk tanpa dapat dikenali isi dari mimpi-mimpinya itu.

3) Berperilaku atau berperasaan seolah-olah peristiwa traumatik yang

dialami itu terjadi kembali (termasuk ilusi, halusinasi, dan episode

disosiatif yang bersifat flashback).

4) Adanya distress psikologis jika berhadapan dengan hal-hal atau

simbol-simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik

sebagian atau seluruhnya secara internal maupun eksternal.

5) Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-

simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian

atau seluruhnya secara internal maupun eksternal.

c. Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus-stimulus

yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialami dan disertai

dengan respon emosi yang membeku secara keseluruhan (tidak dijumpai

sebelum trauma terjadi), yang ditunjukkan oleh 3 atau lebih gejala

dibawah ini.

10
1) Adanya usaha untuk menghindari pikiran-pikiran , perasaan, atau

pembicaraan yang berkaitan dengan peristiwa yang dialaminya.

2) Adanya usaha untuk menghindari aktivitas, tempat-tempat atau orang-

orang yang membangkitkan ingatan-ingatan tentang peristiwa

traumatik yang dialaminya.

3) Kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting yang

berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialaminya.

4) Penurunan yang jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam

aktivitas-aktivitas.

5) Merasa asing atau merasa terpisah dari orang-orang yang ada di

sekitarnya.

6) Adanya ekspresi afektif yang terbatas, misalnya tidak mampu lagi

merasakan perasaan dicintai

7) Kehilangan motivasi untuk membina masa depannya, misalnya tidak

mempunyai keinginan lagi untuk mengembangkan karir, hidup

perkawinan, mengasuh anak atau dalam aktivitas sehari-harinya.

d. Adanya gejala yang menetap dari peningkatan kewaspadaan (tidak

dijumpai sebelum mengalami peristiwa traumatik), yang ditandai oleh 2

atau lebih gejala dibawah ini.

1) Kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidur

2) Iritabilitas atau mudah mengalami ledakan kemarahan

3) Kesulitan berkonsentrasi

11
4) Hypervigilance

5) Respon yang kacau dan tidak terkendali

e. Durasi dari gejala-gejala dalam kriteria 2,3,4 berlangsung lebih dari 1

(satu) bulan.

f. Gejala-gejala diatas jelas menimbulkan disfungsi dalam fungsi social,

pekerjaan atau fungsi penting lainnya.

Spesifikasi:

1) Akut: jika durasi gejala-gejala kurang dari 3 bulan

2) Kronik: jika durasi gejala-gejala berlangsung 3 bulan atau lebih

3) Dengan awitan lambat: jika awitan dari gejala-gejala terjadi paling

lambat 6 bulan setelah mengalami peristiwa traumatik

Kriteria diagnosis dari gangguan stress paska trauma berdasarkan PPDGJ III

(F43.1) adalah sebagai berikut(1)

a. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun

waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar

antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui

6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila

tertundanya waktu mulai saat kejadian dan awitan gangguan melebihi

waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak

didapat alternatif gangguan lainnya

12
b. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan baying-bayang

atau mimpi-mimpi dari kejadian tersebut secara berulang-ulang kembali

(flashback)

c. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya

dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas

d. Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar

biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma diklasifikasikan

dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama

setelah mengalami katastrofa)

5. Diagnosis Banding

Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress paska trauma

adalah kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama

trauma. Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau

mengeksaserbasi gejala adalah epilepsy, gangguan penggunaan alkohol, dan

gangguan berhubungan zat lainnya. Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat

mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dari

gangguan stress paska trauma sampai efek zat menghilang. (2)

Gangguan stress paska trauma umumnya keliru didiagnosis sebagai

gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan tidak tepat. Klinisi harus

mempertimbangkan gangguan stress paska trauma pada pasien yang enderita

gangguan nyeri (pain disorder), penyalahgunaan zat, gangguan kecemasan lain,

13
dan gangguan mood. Pada umumnya, gangguan stress paska trauma dapat

dibedakan dari gangguan mental lain dengan mewawancarai pasien tentang

peristiwa traumatik sebelumnya dan melaluis sifat gejala sekarang ini.

Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan, dan

berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang

mungkin sulit dibedakan dengan gangguan stress paska trauma. Dua gangguan

tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab

akibat. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat

perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperarousal) otonomik, atau riwayat

trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress paska trauma. (2)

6. Terapi

Tatalaksana gangguan stress paska trauma diharapkan dalam bentuk yang

komprehensif, meliputi pemberian medikamentosa dan psikoterapi serta

edukasi, dukungan psikososial, teknik untuk meredakan kecemasan dan juga

modifikasi gaya hidup. Edukasi sangat penting karena merupakan suatu bentuk

pendekatan untuk membantu pasien mengerti akan perubahan-perubahan yang

terjadi dalam fungsi diri pasien baik secara fisik maupun psikis sebagai dampak

dari peristiwa traumatik yang dialami, baik adaptif maupun maladaptive.

Dukungan psikososial dibutuhkan untuk mengurangi berbagai stigma negative

yang mungkin muncul akibat dari diagnosis gangguan stress paska trauma.

14
Dukungan psikososial tidak hanya diberikan oleh dokter tetapi juga oleh seluruh

anggota keluarga bahkan seluruh anggota masyarakat di sekitar pasien.

Berbagai teknik untuk mengatasi kecemasan seperti relaksasi, teknik-teknik

mengatur pernapasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan terbukti

bermanfaat untuk individu dengan gangguan stress paska trauma. Modifikasi

pola hidup seperti diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok,

dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur, dll. Medikasi yang

terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian antidepressant

golongan SSRI seperti fluoxetine 10-60 mg/hari, sertraline 50-200 mg/hari, atau

fluvosamine 50-300 mg/hari. Antidepressan lain yang dapat digunakan adalah

amitriptillin 50-300 mg/hari dan juga imipramine 50-300 mg/hari.

Psikoterapi yang umum diberikan pada pasien gangguan stress paska trauma

adalah psikoterapi kognitif perilaku, psikoterapi kelompok dan hypnotherapy.

Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels For PTSD,

tatalaksana gangguan stress paska trauma sebaiknya mempertimbangkan

beberapa aspek dibawah ini.

a. Gangguan stress paska trauma merupakan suatu gangguan yang kronik

dan berulang serta sering berkomorbiditas dengan gangguan-gangguan

jiwa lainnya

b. Antidepressan golongan penghambat SSRI merupakan obat pilihan

utama untuk kasus ini

c. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan

15
d. Exposure Therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial

terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan

7. Komplikasi

Komplikasi utama gangguan stress paska trauma adalah depresi mayor,

dimana persentasenya mencapai 37-48%. Komplikasi lainnya juga berkaitan

dengan gangguan penyalahgunaan obat dan gangguan mood onset awal yang

mnyertai kronisitas gangguan stress paska trauma. Hal ini juga mempengaruhi

prognosis lanjutan yang menjadi lebih buruk nantinya. (5)

8. Prognosis

Gangguan stress paska trauma biasanya berkembang pada suatu waktu

setelah trauma. Keterlambatan dapat sependek satu minggu atau selama 30

tahun. Gejala dapat berfluktuasi dengan berjalannya waktu, dan paling kuat

selama periode stress. Kira-kira 30 persen pasien pulih secara lengkap, 40

persen terus menderita gejala ringan, 20 persen menderita gejala sedang, dan

10persen tidak berubah atau malah memburuk. Prognosis yang baik diramalkan

oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari 6 bulan),

fungsi premorbid yang baik, dukungan social yang kuat, atau tidak adanya

gangguan psikiatrik, medis atau berhubungan dengan zat lainnya.

Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih

banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam

16
usia paruh baya. Sebagai contoh, kira-kira 80 persen anak kecil yang menderita

luka bakar menunjukkan gejala gangguan stress paska trauma satu atau dua

tahun setelah cedera awal. Hanya 30 persen orang dewasa yang menderita

cedera tersebut mengalami gangguan stress paska trauma setelah satu tahun.

Kemungkinan, anak anak kecil masih belum memiliki mekanisme mengatasi

kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian juga, orang lanjut usia,

jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan

memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan

pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Selain itu, efek trauma

mungkin dieksaserbasi oleh kecacatan fisik karakteristik untuk lanjut usia,

khususnya ketidakmampuan sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskular

seperti penurunan aliran darah, penurunan penglihatan, palpitasi, dan aritmia.

Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan kepribadian

ataukah suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek stressor

tertentu. Tersedianya dukungan social juga mempengaruhi perkembangan,

keparahan dan durasi gangguan stress paska trauma. Pada umumnya, pasien

yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak

menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk parahnya.

17
18
DAFTAR PUSTAKA

1. Buaku ajar

2. Kaplan HI, Sadock, BJ, Grebb, JA. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu

Pengetahuan Perilaku Psikiatri klinis Jilid Dua. Binarupa Aksara, 2010.

3. Wade, C, Tavris, C. Psikologi Edisi 9 Jilid 1. Erlangga, 2007.

4. Goulston, M. Review: Post Traumatic Stress Disorder. John wiley & sons,

2011.

5. Martin A, Volkmar, FR. Lewis’ Child and Adolescent Psychiatry A

Comprehensive Textbook Fourth Edition. Lippincott Williams & Wilkins,

2007.

19

Anda mungkin juga menyukai