PEMBAHASAN
Menurut Keban (2001) pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan
jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik
diberikan secara langsung maupun kemitraan dengan swasta dan masyarakat,berdasarkan jenis
dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Pelayanan publik dapat
bersih, telekomunikasi, transportasi, bank,dan sebagainya. Tujuan utama dari pelayanan publik
adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Kepuasan masyarakat
Sedangkan konsep dari etika bisa diartikan dalam beberapa arti. Salah satu diantarannya
adalah kebiasaan, adat,akhlak,dan watak. Menurut Bertens (2000) dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-
asas akhlak (moral). Istilah etika sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah etika
disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral, (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak dan (3) nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat. Pemikiran tentang etika
yang dikaitkan dengan pelayanan publik mengalami perkembangan sejak tahun 1940-an melalui
karya Leys (dalam Keban,1994). Leys mengatakan bahwa seorang administrator dianggap etis
ada.
Menurut Kumorotomo (1997) etika pelayanan publik adalah suatau cara dalam melayani
publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai hidup dan hukum atau
norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Sedangkan suatu etika
birokrasi (administrasi negara) menurut Darwin (1999) sebagai seperangkat nilai yang menjadi
acuan atau penuntun bagi tindakan manusia organisasi. Selanjutnya dikatakan bahwa etika
mempunyai dua fungsi, yaitu yang pertama sebagai pedoman,acuan, referensi bagi administrasi
negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi dinilai
baik, terpuji, dan tidak tercela. Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat,
perilaku, dan tinakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Seperangkat nilai
dalam etika yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain: efesiensi, membedakan milik pribadi
dengan milik kantor ,impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness.
Seperti yang telah dikatakan Darwin (1999) bahwa dalam dalam etika pelayanan publik
adaa seperangkat nilai yang digunakan sebagai acuan, referensi dan penntun bagi birokrasi
a. Efisiensi, nilai efisiensi berarti tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik
dikatakan baik jika mereka efisien. Menurut Darwin (1999) mereka akan menggunakan
dana publik secara hati-hati agar memberikan manfaat/hasil yang sebesar-besarnya bagi
publik. Efisiensi dapat dicapai manakala setiap anggota organisasi dapat memberikan
kontribusi kepada organisasi. Oleh karena itu perlu ditegakkan sebuah prinsip “janganlah
bertanya apa yang saudara dapatkan dari organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat
b. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, nilai ini dimaksudkan supaya birokras
yang baik dapat membedakan mana barang yang milik kantor dan mana yang milik
pribadi. Artinya milik kantor tidak bisa digunakan untuk kepentingan pribadi
bagian satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama antara orang yang satu dengan
lainnya dalam kerjasama kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal.
unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang
ada dalam organisasi. Intinya siapa yang salah harus diberi tindakan, dan yang berprestasi
d. Merytal System, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi pegawai. Artinya
sistem ini akan menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan
dengan standar professional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi
publik) dalam menjalankan tugasnya.Dalam hal ini birokrasi publik perlu bersikap
diharapkan birokrasi yang responsible akan mampu memberikan layanan publik yang
f. Akuntabel (Accountable), nilai tersebut merupakan suatu istilah yang diterapkan untuk
mengukur apakah dana , publik telah digunakan secara tepat dan tidak digunakan secara
menentukan kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi publik. Karenanya akuntabilitas ini
sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu
mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang profesional dan
g. Responsiveness, nilai yang berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi publik dalam
menanggapi apa yang menjadi keluhan,masalah, dan aspirasi masyarakat. Mereka cepat
memahami apa yang menjadi tuntutan publik dan berusaha untuk memenuhinya, Mereka
prosedur tetapi mengabaikan sustansi. Dengan demikian birokrasi publik dapat dikatakan
baik apabila mereka dinilai memiliki responsif (daya tanggap) yang tinggi terhadap
pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi
a. Efektif, yaitu lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan
sasaran
layanan.
prosedur tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan, unit kerja dan atau pejabat yang
Dilema dalam beretika menyangkut pandangan absolutis versus relativis dan adanya
hierarki etika. Dilema pertama adalah Absolutis vs Relativis. Dalam sistem administrasi publik
atau pelayanan publik telah dikenal norma-norma yang bersifat absolut dan relatif diterima
orang. Norma yang bersifat absolut cenderung diterima dimana-mana atau dapat dianggap
sebagai universal rules. Norma norma ini biasanya bersumber dari ajaran agama dan filsafat
hidup, dan perlu dipertahankan karena memiliki pertimbangan atau alasan logis untuk dijadikan
dasar pembuatan keputusan. Misalnya dalam pelayanan publik diperlukan norma tentang
Melalui proses konsensus tertentu, norma norma tersebut biasanya dimuat dalam konstitusi
kenegaraan yang daya berlakunya relatif lama. Mereka yang percaya akan hal tersebut disebut
dengan kaum absolutis. Ada juga yang kurang yakin yang disebut dengan kaum relativis.
Kaum relativis mengemukakan bahwa tidak ada “universal moral”. Suatu norma dapat
dikatakan baik kalau memiliki konsekuensi atau outcome yang baik, yang berarti bahwa harus
didasarkan pada kenyataan. Dalam hal ini kaum relativis berpendapat bahwa nilai nilai yang
bersifat universal baru dapat diterima sebagai sesuatu yang etis bila diuji dnegan kondisi atau
situasi tertentu. Misalnya, berbohong adalah norma universal yang dinilai tidak baik, tetapi bila
berbohong ternyata membawa hasil yang baik, maka berbohong itu sendiri tidak dapat dinilai
sebagai melanggar norma etika. Sebaliknya menceriterakan kebenaran itu baik, akan tetapi bila
kebenaran itu sendiri tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang etis. Karena itu, kaum teleologis ini
berpendapat bahwa tidak ada suatu prinsip moralitas yang bisa dianggap universal, kalau belum
Implikasi dari adanya dilema diatas maka sulit memberi penilaian apakah aktor-aktor
pelayanan publik telah melanggar nilai moral yang ada atau tidak, tergantung kepada
keyakinannya apakah tergolong absolutis atau relativis. Dilema kedua adalah adalnya hierarki
etika. Di dalam pelayanan publik terdapat empat tingkatan etika. Pertama, etika atau moral
pribadi yaitu yang memberikan teguran tentang baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada
beberapa faktor antara lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan
pengalaman masa lalu. Kedua adalah etika profesi, yaitu serangkaian norma atau aturan yang
menuntun perilaku kalangan profesi tertentu. Ketiga adalah etika organisasi yaitu serangkaian
aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan
anggota organisasi yang bersangkutan. Dan keempat, etika sosial, yaitu norma norma yang
menuntun perilaku dan tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota
masyarakat selalu terjaga atau terpelihara (Shafritz & Russell, 1997: 607-608).
Adanya hirarki etika ini cenderung membingungkan keputusan para aktor pelayanan
publik karena semua nilai etika dari keempat tingkatan ini saling bersaing. Misalnya,
menempatkan orang dalam posisi atau jabatan tertentu sangat tergantung kepada etika yang
dianut pejabat yang berkuasa. Bila ia sangat dipengaruhi oleh etika sosial, ia akan mendahului
orang yang berasal dari daerahnya sehingga sering menimbulkan kesan adanya KKN. Bila ia
didominasi oleh etika organisasi, yang berlaku dalam organisasi seperti menggunakan sistim
“senioritas” yang mengutamakan mereka yang paling senior terlebih dahulu, atau mungkin
didominasi oleh sistim merit yang berarti ia akan mendahulukan orang yang paling berprestasi.
Terlepas dari dilema yang kemungkinan terjadi, fakta-fakta dilapangan tentang pelayanan
publik yang buruk bukanlah hal yang jarang kita lihat. Banyak media yang telah
mempublikasikan citra pelayanan publik yang terjadi, berikut beberapa fakta yang ada;
Dan masih banyak fakta lain yang menjadi citra buruk pelayanan publik di negara ini.
Dengan demikian, persoalan moral atau etika didalam konteks ini akhirnya tergantung
kepada tingkatan etika yang paling mendominasi keputusan seorang aktor kunci pelayanan
publik. Konflik antara nilai-nilai dari tingkatan etika yang berbeda ini sering membingungkan
para pembuat keputusan sehingga kadang-kadang mereka menyerahkan keputusan akhirnya
kepada pihak lain yang mereka percaya atau segani seperti pejabat yang lebih tinggi, tokoh tokoh
difokuskan pada dua kewajiban moral yakni kewajiban atasan untuk mematuhi atasan dalam
organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi, dan kewajiban atasan untuk memberikan
gaji yang adil dan kondisi kerja yang baik. Berikut beberapa kewajiban yang dapat menjadi
a. Kewajiban Ketaatan . Dalam kewajiban ketaatan karyawan harus taat kepada atasannya
di perusahaan, tetapi karyawan tidak harus mematuhi semua perintah yang diberikan oleh
atasannya dalam hal menhgindari konflik kepentingan. Dapat pula dalam bentuk
kewajiban ketaaatan adalah membuat deskripsi pekerjaan yang jelas dan cukup lengkap
pada saat karyawan mulai bekerja di perusahaan. Namun deskripsi pekerjaan ini harus
dibuat cukup luwes sehingga kepentingan perusahaan selalu bisa di beri prioritas.
informasi yang bersifat konfidensial atau rahasia yang telah diperoleh dengan
menjalankan suatu profesi. Kewajiban ini tidak hanya berlaku selama karyawan bekerja
memproduksi produk yang sama dengan produk perusahaan dan menjualnya dengan
harga murah. Konflik kepentingan tidak selalu berkaitan dengan masalah uang
d. Kewajiban Melaporkan kesalahan. Ada dua macam pelaporan kesalahan perusahaan atau
whistle blowing, secara internal dan eksternal. Dalam pelaporan internal, pelaporan
direksi, dengan melewati kepala bagian dan manajer umum. Pada pelaporan eksternal,
public jika terjadi kesalahan pelayanan yang ada di organisasinya. Namun Whistle blowing
adalah masalah etis yang tidak enak untuk semua pihak yang bersangkutan. Untuk perusahaan
ataupun pelaku bisnis, whistle blowing akan membawakan banyak kerugian secara materil
maupun moril. Mulai dari turunnya pamor perusahaan terhadap produknya, hingga menurunnya
keuntungan yang didapatkan akibat pelaporan ini. Untuk pelapor, whistle blowing adalah
langkah yang diambil dengan berat hati karena resiko yang akan didapatkannya cukup besar. Di
beberapa negara ada kode etik profesi, misalnya kode etik insinyur yang secara tidak langsung
menganjurkan whistle blowing. Dalam kode etik ini memuat ketentuan bahwa keamanan dan
keselamatan masyarakat harus di tempatkan di atas segalanya. Ada juga negara yang melindungi
para whistle-blowers melalui jalur hukum, seperti Inggris dengan undang-undang yang disebut