BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Namun di dalam era ini banyak manusia yang ingin menikah dan banyak pula yang
cerai semau mereka sendiri tanpa memandang akibat positif dan negative dari perkawinan itu
sendiri. Sehingga para orang tua maupun sanak saudara banyak yang berhati-hati terhadap
tingkah laku anak mereka terutama dalam hal perkawinan. Maka dari itu terkadang mereka
yang melihat anak mereka ingin menikah mereka masih menangguhkan keinginan mereka.
Dalam makalah ini kami akan membahas terkait larangan, pencegahan, pembatalan
pernikahan. Makalah ini dibuat dalam rangka tugas kuliah yang diberikan oleh dosen mata
kuliah Hukum Pencatatan Perkawinan ustadz Muhsan Syarafuddin, M.HI.-hafidzohullahu
ta'alaa-.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca
sekalian.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Larangan Perkawinan
Dalam pembahasan ini ada 2 macam larangan bagi seseorang pria yang ingin
menikahi seorang wanita yaitu larangan selama-lamanya dan larangan sementara, 2 larangan
ini dapat dilihat di Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB VI dari Pasal 39 hingga Pasal 44 dan
UUP NOMOR 1 Tahun 1974 (UUP) dari Pasal 8 hingga Pasal 10.
Adapun disini kami membaginya menjadi 2 larangan supaya lebih jelas, maka sebab-
sebab larangan menikahi wanita untuk selamanya adalah sebagai berikut :
Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu Wata'alaa di dalam QS An-nisa : 23.
Wanita-wanita ini seperti ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek-nenek dari ibu dan
nenek-nenek dari ayah, anak perempuan kandung dan seterusnya kebawah (cucu dan seterus),
saudara perempuan (sekandung,sebapak atau seibu), saudara perempuan dari bapak, saudara
perempuan dari ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya kebawah, anak
perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya kebawah.
Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu Wata'alaa di dalam QS An-nisa : 23.
Wanita-wanita ini seperti ibu dari isteri (mertua), anak tiri (anak dari isteri dengan suami
lain), ibu tiri (isteri dari ayah), baik sudah dicerai atau belum, menantu (isteri dari anak laki-
laki), baik sudah dicerai atau belum.
Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu Wata'alaa di dalam QS An-nisa : 23.
Untuk hal ini terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang jumlah susuan yang
menjadikan wanita haram dinikahi oleh pria, tapi pendapat yang lebih kuat adalah 5 kali
susuan sempurna yaitu dimana anak menyusu tetek dengan menyedot air susunya, dan tidak
berhenti dari menyusui kecuali dengan kemaunnya sendiri tanpa paksaan Wallahu A'lam.
Adapun sebab-sebab larangan untuk menikahi wanita untuk sementara waktu saja
adalah sebagai berikut :
1. ketika calon isteri masih terikat suatu perkawinan dengan pria lain.
2. ketika calon isteri masih dalam masa iddah dengan pria lain.
3. ketika calon isteri/suami tidak beragama islam.
4. ketika calon isteri yang kedua hingga keempat mempunyai hubungan pertalian nasab
atau susuan dengan isteri yang pertama.
5. ketika seorang suami masih mempunyai 4 isteri, keempat-empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih iddah talak raj'i.
B. Pencegahan Perkawinan
Setelah ada ataupun tidak adanya pengajuan pencegahan maka pegawai pencatat
perkawinan tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan apabila
dia mengetahui adanya pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan
Pasal 12 UUP. Dan juga pegawai pencatat perkawinan berhak dan berkewajiban untuk
Semua hal yang bersangkutan dengan pencegahan perkawinan telah dijelaskan pada
UUP NOMOR 1 Tahun 1974 BAB III dari Pasal 13 hingga Pasal 21 dan di dalam Kompilasi
Hukum Islam BAB X dari Pasal 60 hingga Pasal 69.
C. Pembatalan Perkawinan
Seperti halnya pencegahan, pembatalan perkawinan juga terjadi apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, adapun pengertian
Pembatalan Perkawinan itu sendiri adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan
perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus permohonan
pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama mempelai.
Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa membatalkan
perkawinan.
memperlihatkan akta perkawinan yang cacat hukum tersebut supaya perkawinan itu dapat
diperbaharui menjadi sah.
Namun apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari
keadaannya dan dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami
isteri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan maka
haknya gugur.
Setelah mengetahui siapa saja yang boleh mengajukan permohonan pembatalan, maka
langkah selanjutnya adalah mengetahui prosedurnya yaitu dengan mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan ke Pengadilan (Pengadilan Agama bagi Muslim dan Pengadilan
Negeri bagi Non-Muslim) di dalam daerah hukum di mana perkawinan telah dilangsungkan
atau di tempat tinggal pasangan (suami-isteri). Atau bisa juga di tempat tinggal salah satu dari
pasangan baru tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Alhamdulillah kita telah sampai pada bab penutup, disini kami dapat menyimpulkan beberapa
point penting :
Demikian yang dapat kami simpulkan, karena kemampuan dan keterbatasan intelek kami,
maka jika terdapat banyak kekeliruan baik dalam segi materi ataupun dalam segi tulisan kami
memohon maaf. Kami juga memohon saran dan kritikan yang membangun demi kebaikan
kami kedepan. Jazakumullahu khairan katsiran.
SUMBER REFERENSI
o.s. eoh, sh.,ms, perkawinan antar agama dalam teori dan praktek, raja grafindo
persada, jakarta, 2001
http://www.slideshare.net/salim88/presentasi-pencegahan-dan-pembatalan-
perkawinan
http://ilmuhukumsgd.blogspot.com/2009/07/pencegahan-dan-pembatalan-
perkawinan.html
http://kuliahade.wordpress.com/2010/03/31/hukum-perdata-pencegahan-dan-
pembatalan-perkawinan/
http://gontor2007.blogspot.com/2010/09/larangan-nikah.html
http://gudangmakalahku.blogspot.com/2013/04/larangan-perkawinan.html
http://www.legalakses.com/syarat-melakukan-perkawinan/