Anda di halaman 1dari 8

Pembantaian

Westerling

Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di
Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Korps Speciale Troepen pimpinan
Raymond Pierre Paul Westerling. Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1946-Februari
1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).

Operasi militer

Tahap pertama

Aksi pertama operasi Pasukan Khusus KST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12
Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur
Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama
berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu Borong dan
pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di Batua dan
Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu
oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.

Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu
pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke
desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati.
Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa
yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara
tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang
kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.

Fase kedua dimulai, yaitu mencari "kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh".
Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang
diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama "pemberontak" yang telah
disusun oleh Vermeulen. Kepala adat dan kepala desa harus membantunya
mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung
dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama "Standrecht" –
pengadilan (dan eksekusi) di tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa
yang telah dihukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.

Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan pada masa depan, penggantian
Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir
"pemberontak, teroris dan perampok". Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-
masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan
tewasnya 44 rakyat desa.

Demikianlah "sweeping ala Westerling". Dengan pola yang sama, operasi pembantaian
rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa
Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak
mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga
korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.

Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran Kalukuang yang
terletak di pinggiran kota Makassar, 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan
intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda
berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16
menjelang tanggal 17 Desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar
menjadi sasaran. Di sini 33 orang dieksekusi.

Tahap kedua

Setelah daerah sekitar Makassar dibersihkan, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19
Desember 1946. Sasarannya adalah Polobangkeng yang terletak di selatan Makassar di
mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta
sekitar 100 orang anggota laskar bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST
menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini
dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen
menyerbu desa Renaja dan Ko'mara. Pasukan lain mengurung Polobangkeng. Selanjutnya
pola yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam
operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.

Tahap ketiga

Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Gowa dan dilakukan
dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 Desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga
dilakukan kerja sama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di
kalangan penduduk berjumlah 257 orang.

Pemberlakuan keadaan darurat

Westerling

Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1947 Jenderal Simon
Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan.
Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktikkan oleh pasukan khusus
berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan
ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh.

Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Parepare dan dilanjutkan di Madello,
Abbokongeng, Padakkalawa, satu desa tak dikenal, Enrekang, Talabangi, Soppeng, Barru,
Malimpung, dan Suppa.

Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus
DST tersebut, yaitu pada tanggal 7 dan 14 Februari di pesisir Tanete, sementara di kampung
Pasa Baru Tanete terdapat 48 korban yang ditembak mati, pada tanggal 16 dan 17 Februari
di desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang
penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para "ekstremis" bereskalasi di Kulo, Amparita dan
Maroangin di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan
mereka atau alasan pembunuhan.

Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya "teroris, perampok dan pembunuh" yang
dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara
sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai
sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.

H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di
Tanete, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana
Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya
diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.

Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik,


intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan. Pada aksi di
Gowa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang tetap setia kepada
Belanda.

Peristiwa Galung Lombok

Peristiwa maut di Galung Lombok terjadi pada tanggal 2 Februari 1947. Ini adalah peristiwa
pembantaian Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban
yang jatuh di daerah lain sebelumnya. Pada peristiwa itu, M. Joesoef Pabitjara Baroe
(anggota Dewan Penasihat PRI) bersama dengan H. Ma'roef Imam Baroega, Soelaiman
Kapala Baroega, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda,
H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan
menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak
terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut.

Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil
Daenan Salahuddin (kadi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara
Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua
Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan
masih banyak lagi. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke
Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.

Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut Peristiwa Galung Lombok itu,
menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua
Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua
Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro-RI), Anas (ayah
kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri),
Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti
Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammadiyah Cabang Mandar), yang pada masa
PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.

Dua di antara mereka yang disiksa adalah Andi Tonran dan Abdul Wahab Anas. Sedangkan
Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima
orang NICA, sampai menghebuskan napas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan
Abdul Wahab Anas.rg

Pasca operasi militer

Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi,
maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de
uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan
bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali
ke Jawa.

Dengan keberhasilan menumpas para ekstrimis, di kalangan Belanda baik militer mau pun
sipil reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Westerling melambung tinggi. Media
massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke
Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung
dengan berita: "Pasukan si Turki kembali." Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai
pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.

Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah
terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Pada bulan Oktober 1947
dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian
terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13
bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Pada tanggal 5 Januari 1948, nama DST
diubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga
memiliki unit parasutis. Westerling memegang komando pasukan yang lebih besar dan
lebih hebat dan pangkatnya menjadi Kapten.

Korban

Jumlah rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga
kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan
Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten
Raymond Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000
jiwa.

Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi
tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri
mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya "hanya" 600
orang.

Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran
HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan contra-
guerilla, memperoleh izin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr.
Hubertus Johannes van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian
rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.

Pembantaian oleh tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam
kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga sekarangpun
dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocide)
dan crimes against humanity, tidak ada kedaluwarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa
pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.

Permintaan maaf

Pada 12 September 2013, Pemerintah Belanda melalui Duta Besarnya di Jakarta, Tjeerd de
Zwaan, menyampaikan permintaan maafnya kepada seluruh korban pembantaian.[1] "Atas
nama Pemerintah Belanda saya meminta maaf atas kejadian-kejadian ini. Hari ini saya juga
meminta maaf kepada para janda dari Bulukumba, Pinrang, Polewali Mandar dan
Parepare," kata Zwaan.[1]

Selain itu, Pemerintah Belanda juga memberikan kompensasi kepada 10 janda yang
suaminya menjadi korban pembantaian tersebut masing-masing sebesar 20 ribu Euro atau
Rp 301 juta.[2]

Referensi

1. Belanda Minta Maaf ke Keluarga Korban Westerling (http://dunia.news.viva.co.id/news/read/44


3496-belanda-minta-maaf-ke-keluarga-korban-westerling) Vivanews, 12 September 2013
diakses 16 September 2013

2. Belanda Ganti Rugi 20 ribu Euro Kepada 10 Janda Korban Westerling (http://news.liputan6.co
m/read/690852/belanda-ganti-rugi-20-ribu-euro-kepada-10-janda-korban-westerling)
Liputan6.com, diakses 16 September 2013

Pranala luar

(Indonesia) Pembantaian Westerling I (http://kabar-selebriti.blogspot.com/2012/05/pemb


antaian-masal-westerling-sulawesi.html)

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Pembantaian_Westerling&oldid=18051108"


Terakhir disunting 6 bulan yang lalu oleh Tri Ardiansyah

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0


kecuali dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai