Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH HUKUM PERDATA

HARTA PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN

DI SUSUN OLEH :

1. Radha Amirah (2020103104)

2. Sindi Antika Ratnasari (2020103093)

3. Julyadi (2020103097)

Dosen Pengampu : Ramiah Lubis, S.H.,M.H

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
SEMESTER GENAP 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan Rahmat


serta Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyususan makalah
ini yang berjudul “Harta Perkawinan dan Putusnya Perkawinan”.

Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan, maka kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyusun makalh ini sampai selesai.

Kritik dan saran dari para pembaca bersifat membangun sangat kami
harapkan untuk penyusunan maklah yang selanjutnya agar jauh lebih baik dari
sebelumnya.

Akhir kata ucapkan terima kasih dan semoga makalh ini bermanfaat bagi
kami khususnya bagi para pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB 1...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................... 1

1.3 Tujuan........................................................................................................2

BAB 2...................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN...................................................................................................... 3

2.1 Harta Benda dalam Perkawinan................................................................ 3

2.2 Persatuan Harta Kekayaan.........................................................................5

2.3 Pemisahan Harta Kekayaan.......................................................................7

2.4 Putusnya Perkawinan................................................................................ 8

BAB 3.................................................................................................................... 14

PENUTUP..............................................................................................................14

3.1 KESIMPULAN....................................................................................14

3.2 SARAN................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………15

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam merupakan agama yang mampu mengatur kehidupan umat manusia


secara sempurna dalam semua segi kehidupan. Walaupun agama ini sudah melalui
sejarah panjang, sejak mulai diturunkannya oleh Allah swt. kepada nabi
Muhammad saw. Lebih kurang dari 14 abad yang lalu, hal ini tidaklah
menjadikan Islam kaku dalam menghadapi sejarah yang dilaluinya, melainkan
sebaliknya, mengakibatkan Islam Pada Hukum Indonesia tidaklah luput dari yang
namanya hukum kekeluargaan. Mengingat semakin maraknya kasus yang ada di
Negara Indonesia ini tentang problematika rumah tangga, baik itu tentang
kekerasan suami terhadap istri atau kekejaman orang tua terhadap anak
kandungnya sendiri. Karena pada dasarnya mereka kurang begitu memahami
asas-asas dari hukumkeluarga itu sendiri. Maka dari itu di dalam makalah ini kami
akan membahas tentang pengertian, sumber-sumber, asas-asas, dan ruang lingkup
serta hak dan kewajiban didalam suatu hukum keluarga. Istilah hukum keluarga
berasal dari kata Familierecht yang diterjemahkan dari bahasa belanda, atau dari
bahasa inggris law of familie. Ali Afandi mengatakan bahwa hukum keluarga
diartikan sebagai “keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang
bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan”
(Afandi, 1986: 93).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Saja yang Termasuk Harta dalam Perkawinan?


2. Bagaimana Penyelesaian Harta dalam Perkawinan?

1
3. Apa Sajakah Dasar Putusnya Perkawinan?
4. Apa Sajakah yang Menyebabkan Putusnya Perkawinan?
5. Bagaimana Proses Terjadi Putusnya Perkawinan?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui yang termasuk harta dalam perkawinan


2. Untuk mengetahui penyelesaian harta dalam perkawinan
3. Untuk mengetahui dasar putusnya perkawinan
4. Untuk mengetahui yang menyebabkan putusnya perkawinan
5. Untuk mengetahui proses terjadi putusnya perkawinan

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Harta Benda dalam Perkawinan

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.


Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-
masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 UUP).

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa harta benda perkawinan


dalam Undang-Undang Perkawinan adalah harta terpisah. Artinya, segala harta
yang dibawa ke dalam perkawinan (yang disebut dengan harta bawaan), tetap
dikuasai dan dimiliki oleh pihak yang membawa. Harta yang diperoleh selama
perkawinan, menjadi harta bersama, kecuali diperoleh karena warisan dan hibah.
Apabila mau menyimpang dari prinsip harta benda perkawinan ini, maka dibuat
perjanjian kawin sebelum perkawinan (lihat Pasal 29 UUP). Yang berwenang
bertindak atas harta benda perkawinan menurut Pasal 36 UUP adalah:

a. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas


persetujuan kedua belah pihak.

b. Mengenal harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak


sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Selain itu disebutkan dalam Pasal 37 UUP, bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh,
baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar
atas nama siapa pun (Pasal 1fKHI)
a. Harta Bersama dan Harta Bawaan

3
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan
adanya harta milik masing-masing suami atau istri (Pasal 85 KHI). Pada dasarnya,
tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Harta
istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta
suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya (Pasal 86 KHI].
Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam
perjanjian perkawinan. Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah,
sedekah, atau lainnya (Pasal 87 KHI).
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun
hartanya sendiri (Pasal 89 KHI). Istri turut bertanggung jawab menjaga harta
bersama maupun harta suaminya yang ada padanya (Pasal 90 KHI).
Harta bersama ini dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Harta
bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan
surat-surat berharga. Harta benda yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun
kewajiban. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu
pinak atas persetujuan pihak lainnya (Pasal 91 KHI).
Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain, tidak diperbolehkan menjual
atau memindahkan harta bersama (Pasal 92 KHI), Harta bersama dari perkawinan
seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah
dan berdiri sendiri. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyal istri lebih dari seorang, dihitung pada saat berlangsungnya akad
perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat (Pasal 94 KHI).

b. Penyelesaian Harta Bersama


Apabila terjadi perselisihan antara suami-istri tentang harta bersama, maka
penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama (Pasal 88 KHI).
Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau istri, dibebankan pada hartanya
masing-masing. Pertanggung jawaban terhadap utang yang dilakukan untuk

4
kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. Bila harta bersama tidak
mencukupi, dibebankan kepada harta suami. Bila harta suami tidak ada atau tidak
mencukupi, dibebankan kepada harta istri (Pasal 93 KHI).
Suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita
jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah
satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama,
seperti judi, mabuk, dan boros. Selama masa sita, dapat dilakukan penjualan atas
harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama (Pasal
95 KHI).
Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup lebin lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami
atau istri yang istri atau suaminya hilang, harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan
Pengadilan Agama (Pasal 96 KHI). Janda atau duda cerai hidup, masing-masing
berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan (Pasal 97 KHI).

2.2 Persatuan Harta Kekayaan

1) Pengurusan Harta Kekayaan Persatuan


Percampuran kekayaan adalah mengenal seluruh aktiva dan pasiva, baik yang dibawa
oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan maupun yang akan diperoleh di kemudian
hari selama perkawinan. Menurut Pasal 119 KUH Per, prinsip harta benda perkawinan yaitu
harta persatuan bulat antara suami dan istri. Adapun yang berwenang bertindak atas harta
benda perkawinan adalah suami, baik untuk harta pribadi istri (Pasal 105 KUH Per yaitu
suami sebagai kepala perkawinan) atau harta persatuan (Pasal 124 ayat 1 KUH Per yaitu
suami sebagai kepala harta persatuan).
Selanjutnya menurut Pasal 124 ayat (2) KUH Per, suami diperbolehkan menjual,
memindahtangankan dan membebani harta kekayaan persatuan, tanpa campur tangan si istri,
kecuali dalam hal-hal berikut ini:

5
a) Tidak diperbolehkan menghibahkan barang-barang tak bergerak dan semua barang
bergerak dari persatuan, kecuali untuk memberi kedudukan kepada anak-anaknya (Pasal 124
ayat 3 KUH Per).
(b) Tidak diperbolehkan juga menghibahkan suatu barang bergerak tertentu, meskipun
diperjanjikan bahwa ia tetap menikmati pakai hasil atas barang itu (Pasal 124 ayat 4 KUH
Per).
(c) Meskipun ada persatuan, di dalam suatu perjanjian kawin dapat ditentukan, bahwa barang
tak bergerak dan piutang atas nama istri yang jatuh dalam persatuan tanpa persetujuan si istri,
tidak dapat dipindah-tangankan atau dibebani (Pasal 140 ayat 3 KUH Per).

Di samping itu, jika si suami tidak hadir atau tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya,
dan tindakan dengan segera sangat dibutuhkannya, maka si istri dapat meminta izin
pengadilan untuk memindahtangankan atau membebani harta persatuan itu (Pasal 125 KUH
Per).

2) Bubarnya Harta Persatuan


Menurut Pasal 126 KUH Per, harta kekayaan persatuan demi hukum menjadi bubar
karena:
(a) Kematian salah satu pihak.
(b) Berlangsungnya perkawinan baru si istri atas izin hakim, setelah adanya keadaan tak hadir
si suami.
(c) Perceraian.
(d) Perpisahan meja dan tempat tidur.
(e) Perpisahan harta kekayaan.

Setelah bubarnya harta persatuan, maka harta persatuan dibagi dua antara suami dan
istri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, tanpa mempersoalkan dari pihak
yang manakah barang-barang itu diperolehnya (Pasal 128 ayat 1 KUH Per).

6
2.3 Pemisahan Harta Kekayaan

1) Alasan-alasan Pemisahan Harta Kekayaan


Menurut Pasal 186 ayat (1) KUH Per, sepanjang perkawinan, setiap istri berhak
memajukan tuntutan kepada hakim akan perisahan harta kekayaan, yaitu hanya dalam hal-hal
sebagai berikut.
a) jika si suami karena kelakuannya yang nyata-nyata tak baik, telah memboroskan harta
kekayaan persatuan, dan membahayakan keselamatan keluarga.
b) jika si suami karena tak adanya ketertiban dan cara yang baik dalam mengurus harta
kekayaannya sendiri, sehingga jaminan akan terpeliharanya harta si istri menjadi kurang.
c) lika si suami tidak baik caranya dalam mengurus harta kekayaan si istri, sehingga kekayaan
ini terancam bahaya.
Selanjutnya menurut Pasal 186 ayat (2) KUH Per, pemisahan harta kekayaan atas
permufakatan sendiri adalah terlarang. Menurut Pasal 187 KUH Per, tuntutan akan pemisahan
harta kekayaan harus diumumkan dengan terang-terangan.

2) Akibat-akibat Pemisahan Harta Kekayaan


Menurut Pasal 189 KUH Per, kekuatan putusan pengadilan perihal pemisahan harta
kekayaan berlaku surut sampai hari tuntutan diajukan. Sebagai akibat dari perisahan harta
kekayaan itu, timbul hal-hal sebagai berikut:
(a) Istri wajib memberikan sumbangan guna membiayal rumah tangga dan pendidikan
anak-anaknya (Pasal 193 KUH Per).
(b) Istri memperoleh kebebasan untuk mengurusi sendiri harta kekayaannya dan
bolehlah ia mempergunakan barang bergeraknya sesukanya atas izin umum dari Pengadilan
Negeri (Pasal 194 KUHPer).
3) Penyatuan Kembali Harta Kekayaan yang Sudah Dipisah
Persatuan setelah dibubarkan karena pemisahan harta kekayaan boleh
dipulinkan kembali dengan persetujuan suami-istri. Persetujuan yang demikian itu
diadakan dengan cara memuatkannya dalam sebuah akta autentik (Pasal 196 KUH
Per). Suami-istri wajib mengumumkan pemulihan kembali akan persatuan harta
kekayaan dengan terang-terangan (Pasal 198 KUH Per).

7
2.4 Putusnya Perkawinan

a. Alasan-alasan Putusnya Perkawinan

Menurut Pasal 199 KUH Per, perkawinan putus atau bubar karena:

1) Kematian.

2) Kepergian suami atau istri selama 10 tahun dan diikuti dengan


perkawinan baru dengan orang lain.

3) Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja makan dan tempat tidur
selama 5 tahun.

4) Perceraian.

Dasar Putusnya Perkawinan

Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan
(Pasal 113 KHI). Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian (Pasal 114 KHI).
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak (Pasal 115 KHI). Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan di depan sidang Pengadilan (Pasal 123 KHI).

Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan


surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama, baik yang berbentuk putusan
perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik-talak (Pasal 8 KHI). Apabila
bukti tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, maka dapat dimintakan
salinannya kepada Pengadilan Agama. Dalam hal surat bukti tidak dapat diperoleh,
maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama (Pasal 9 KHI).

Istri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa


berkabung selama masa idah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus

8
menjaga timbulnya fitnah. Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melakukan
masa berkabung menurut kepatutan (Pasal 170 KHI).

b. Perpisahan Meja dan Tempat Tidur

1) Pengertian Perpisahan Meja dan Tempat Tidur

Perpisahan meja dan tempat tidur adalah perpisahan antara suami dan istri
yang tidak mengakhiri pernikahan. Akibat yang terpenting adalah meniadakan
kewajiban bagi suami-istri untuk tinggal bersama, walaupun akibatnya di bidang
hukum harta benda adalah sama dengan perceraian.

Dengan demikian, perkawinan belum menjadi bubar dengan adanya


perpisahan meja dan tempat tidur.

2) Cara-cara Pengajuan Perpisahan Meja dan Tempat Tidur

Alasan-alasan suami-istri mengajukan permohonan perpisahan meja dan tempat


tidur adalah:

a) Semua alasan untuk perceraian, seperti: zina, ditinggalkan dengan sengaja,


penghukuman, penganiayaan berat, cacat badan/penyakit pada salah satu pihak,
suami-istri terus-menerus terjadi perselisihan (Pasal 233 ayat 1 KUH Per).

b) Berdasarkan perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, penganiayaan dan


penghinaan kasar, yang dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain
(Pasal 233 ayat 2 KUH Per).

Cara pengajuan permohonan, pemeriksaan dan pemutusan hakim terhadap


perpisahan meja dan tempat tidur adalah dengan cara yang sama dengan seperti
dalam hal perceraian (Pasal 234 KUH Per). Di samping itu, perpisahan meja dan
tempat tidur ini dapat diajukan tanpa alasan, dengan syarat:

a) Perkawinan harus telah berjalan 2 tahun atau lebin (Pasal 236 ayat 2 KUH Per).

b) Suami dan istri harus membuat perjanjian dengan akta autentik mengenai
perpisahan diri mereka, mengenal penunaian kekuasaan orangtua, dan mengenai

9
usaha pemeliharaan serta pendidikan anak-anak mereka (Pasal 237 ayat 1 KUH
Per).

3) Pengumuman Keputusan Perpisahan Meja dan Tempat Tidur

Keputusan mengenai perpisahan meja dan tempat tidur harus diumumkan


dalam berita negara. Selama pengumuman itu belum berlangsung, keputusan tidak
berlaku bagi pihak ketiga (Pasal 245 KUH Per). Setelah mendengar dari keluarga
suami-istri dan keputusan perpisahan meja dan tempat tidur diucapkan oleh hakim,
maka ditetapkanlah siapa dari kedua orangtua itu yang akan menjalankan
kekuasaan orangtua. Penetapan ini berlaku setelah keputusan perpisahan meja dan
tempat tidur mempunyai kekuatan hukum (Pasal 246 KUH Per).

4) Akibat dari Perpisahan Meja dan Tempat Tidur

Akibat dari perpisahan meja dan tempat tidur ini antara lain:

(a) Suami-istri dapat meminta pengakhiran pernikahan di muka pengadilan,


apabila perpisahan meja dan tempat tidur di antara mereka telah berjalan 5 tahun
dengan tanpa adanya perdamaian (Pasal 200 KUH Per).

(b) Pembebasan dari kewajiban bertempat tinggal bersama (Pasal 242 KUH Per).

(c) Berakhirnya persatuan harta kekayaan (Pasal 243 KUH Per).

(d) Berakhirnya kewenangan suami untuk mengurus harta kekayaan istri (Pasal
244 KUH Per).

5) Batalnya Perpisahan Meja dan Tempat Tidur

Perpisahan meja dan tempat tidur demi hukum menjadi batal apabila
suami-istri rujuk kembali dan semua akibat dari perkawinan antara suami-istri
hidup kembali, namun semua perbuatan perdata dengan pihak ketiga selama
perpisahan tetap berlaku (Pasal 248 KUH Per).

C. Perceraian

10
1) Pengertian Perceraian

Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab


dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah
pihak dalam perkawinan. Menurut Pasal 208 KUHPer, perceraian atas persetujuan
suami-istri tidak diperkenankan.

2) Alasan-alasan Perceraian

Menurut Pasal 209 KUH Per, alasan-alasan yang dapat mengakibatkan perceraian
adalah:

(a) Zina.

(b) Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat selama 5 tahun.

c) Mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebin karena dipersalahkan melakukan


suatu kejahatan.

(d) Penganiayaan berat, yang dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya,
sehingga membahayakan jiwa pinak yang dilukai atau dianiaya.

3) Tata Cara Perceraian

a) Gugatan perceraian. Tuntutan untuk perceraian perkawinan harus diajukan ke


Pengadilan Negeri tempat tinggal suami sebenarnya. Apabila si suami tidak
mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman sebenarnya di Indonesia, maka
tuntutan itu harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman si istri
sebenarnya. Jika suami pada saat tersebut tidak mempunyai tempat tinggal atau
tempat kediaman sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan itu harus diajukan ke
Pengadilan Negeri tempat kediaman istri sebenarnya (Pasal 207 KUH Per).

b) Gugatan perceraian gugur. Menurut KUH Per, hak untuk menuntut perceraian
gugur apabila:

1) Antara suami dan istri telah terjadi suatu perdamaian (Pasal 216 KUH Per).

11
2) Suami atau istri meninggal dunia sebelum ada keputusan (Pasal 220 KUH Per).

c) Pemeriksaan di pengadilan. Si istri, baik dalam perkara perceraian ia menjadi


penggugat maupun menjadi tergugat, selama perkara berjalan, boleh
meninggalkan rumah si suami dengan izin (Pasal 212 ayat 1 KUH Per). Selama
perkara berjalan, hak-hak si suami mengenai pengurusan harta kekayaan istrinya
tidak terhenti, hal mana tak mengurangi keleluasaan si istri untuk mengamankan
haknya (Pasal 215 ayat 1 KUH Per). Selama perkara berjalan, Pengadilan Negeri
adalah lelusa menghentikan pemangkuan kekuasaan orangtua seluruhnya atau
sebagian, dan memberikan kepada orangtua yang lain, atau kepada seorang ketiga
yang ditunjuk oleh pengadilan, ataupun kepada Dewan Perwalian. Terhadap
tindakan-tindakan tersebut tak boleh dimohonkan banding (Pasal 214 KUH Per).

d) Putusan Pengadilan. Perkawinan bubar karena keputusan perceraian dan


pembukuan perceraian itu dalam register pegawai catatan sipil (Pasal 221 ayat 1
KUH Per).

4) Akibat Perceraian

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut KUH Per Adalah:

a) Kewajiban suami atau istri memberikan tunjangan nafkah kepada suami atau
istri yang menang dalam tuntutan perceraian (Pasal 222 KUH Per). Kewajiban
memberikan tunjangan nafkah ini berakhir dengan meninggalnya si suami atau si
istri (Pasal 227 KUH Per).

b) Pengadilan menetapkan siapa dari kedua orangtua itu yang akan melakukan
perwalian terhadap anak-anak mereka (Pasal 229 KUH Per).

c) Apabila suami dan istri yang telah bercerai hendak melakukan kawin ulang,
maka demi hukum segala akibat perkawinan pertama hidup kembali, seolah-olah
tak pernah ada perceraian (Pasal 232 KUH Per).

5) Masa Tunggu Bagi Wanita yang Putus Perkawinannya

12
Menurut Pasal 11 ayat (1) UUP, bagi seorang wanita yang putus perkawinannya
berlaku jangka waktu tunggu. Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 menyebutkan,
bahwa masa tunggu bagi seorang janda adalah:
1) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
datang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan
bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari.
3) Apabila perkawinan putus, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Selanjutnya menurut Pasal 39 PP No. 9/1975 ini, tidak ada waktu tunggu
bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut
dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. Bagi perkawinan
yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya
putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu sejak kematian
suami.

13
BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Harta Bersama menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974


bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Sedangkan harta bawaan dari suami istri masing-masing baik sebagai hadiah atau
warisan berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain (Pasal 35). Sedangkan menurut pasal 86 KHI menyebutkan
bahwa pada prinsipnya tidak ada percampuran harta suami dan istri karena
perkawinan. suatu harta dikatakan harta bersama apabila harta tersebut diperoleh
dalam perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama suami atau istri.

sedangkan putusnya perkawinan dalam pasal 199 KUH per di sebabkan karena:

Kematian, kepergian suami atau istri selama 10 tahun dan di ikuti dengan
perkawinan baru dengan orang lain, putusan hakim settlah adanya perpisahan
meja makan dan tempat tidur selama 5 tahun, dan perceraian

sedangkan dalam pasal 38 sampai 41. menurut pasal 38 UUP perkawinan di


karenakan:

Kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan

dan dalam hukum islam perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan
atas putusan pengadilan (pasal 113 KHI). putusnya perkawinan yang disebabkan
karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian
(pasal 114 KHI)

3.2 SARAN

Akan lebih baik jika percerain tidak menjadi satu-satunya cara untuk
menyelesaikan sebuah masalah. Sehingga tidak perlu adanya pembagian harta

14
bersama. Jika memang perceraian adalah cara yang terbaik, maka dalam
pembagian harta bersama dalam perkawinan harus adil, agar nantinya tidak ada
pihak yang dirugikan dalam pembagian harta bersama tersebut.

Demikianlah makalah tentang putus perkawinan dan akibat hukumnya


serta tatacara perceraian yang telah penulis paparkan. Kami menyadari makalah
jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat
kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga
makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Simanjuntak, P.N.H. 2015. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Prenadamedia


Group.

Subekti, Op. cit., hlm. 32.

C.S.T. Kansil, Op. Cit., hlm. 109.

15

Anda mungkin juga menyukai