LANDASAN TEORI
2. Etiologi
1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering adalah penurunan perfusi miokard
oleh karena penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus
yang ada pada plak aterosklerosis yang ruptur dan biasanya tidak
sampai menyumbat. Mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi
trombosit beserta komponennya dari plak yang ruptur, yang
mengakibatkan infark kecil di distal.
2. Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang
mungkin diakibatkan oleh spasme fokal yang yang terus – menerus
pada segmen arteri koroner epikardium (angina prinzmetal).
Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos
pembuluh darah dan / atau akibat adanya disfungsi endotel.
Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi
abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
3. Obstruksi mekanik yang progresif
Penyempitan yang terjadi bukan karena spasme atau
trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien aterosklerosis
progresif atau dengan stenosis ulang setelah Intervensi Koroner
Perkutan (PCI).
3. Faktor Risiko
Tidak dapat dimodifikasi :
- Usia :
Risiko Sindrom Koroner Akut meningkat dengan bertambahnya
usia. Menurut Framingham Heart Study, pada pria risiko meningkat pada
usia lebih dari 45 tahun, sedangkan pada wanita risiko meningkat pada
usia lebih dari 55 tahun.
- Jenis Kelamin :
Morbiditas akibat Sindrom Koroner Akut pada laki – laki dua kali
lebih besar dibandingkan pada wanita. Estrogen bersifat protektif pada
wanita, namun setelah menopause insidensi SKA meningkat dengan cepat
dan sebanding dengan laki – laki.
- Riwayat Keluarga :
Riwayat sakit jantung dini pada keluarga dimana Ayah atau
saudara laki – laki didiagnosis mengalami sakit jantung sebelum usia 55
tahun dan Ibu atau saudara perempuan didiagnosis mengalami sakit
jantung sebelum usia 65 tahun.
- Etnis :
Orang Amerika – Afrika lebih rentan terhadap SKA daripada orang
kulit putih.
Dapat dimodifikasi :
- Merokok :
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek
langsung pada dinding arteri, karbon monoksida menyebabkan hipoksia
arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang menimbulkan
reaksi trombosit, glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi
hipersensitivitas dinding arteri.
- Hiperkolesterolemia:
Kolesterol, lemak, dan substansi lainnya dapat menyebabkan
penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari pembuluh
darah tersebut menyempit dan proses ini disebut aterosklerosis.
- Hipertensi :
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk
jantung, sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri. Tekanan darah
yang tinggi menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh
darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis
koroner.
- Diabetes Mellitus :
Pada Diabetes Mellitus akan timbul proses penebalan membran
basalis dari kapiler dan pembuluh darah arteri koronaria, sehingga terjadi
penyempitan aliran darah ke jantung.
- Obesitas :
Obesitas merupakan keadaan dimana Indeks Massa Tubuh (IMT)
berkisar antara 25 – 29.9 kg / m2. Obesitas akan menambah beban kerja
jantung dan terutama adanya penumpukan lemak di bagian sentral tubuh
akan akan meningkatkan risiko SKA.
- Kurang aktivitas fisik :
Seseorang yang kurang aktivitas fisik menyebabkan aliran darah di
pembuluh darah kolateral dan arteri koronaria berkurang sehingga aliran
darah ke jantung berkurang. Aktivitas fisik akan memperbaiki sistem kerja
jantung dan pembuluh darah. Dianjurkan melakukan latihan fisik (olah
raga) minimal 30 menit setiap hari selama 3 – 4 hari dalam seminggu
sehingga tercapai hasil yang maksimal.
4. Epidemiologi
Data WHO menunjukkan akibat penyakit kardiovaskular, terjadi 4
juta kematian setiap tahunnya pada 49 negara di benua Eropa dan Asia
Utara. Data yang dikeluarkan oleh American Heart Association (AHA)
pada tahun 2016, menyebutkan 15,5 juta warga Amerika memiliki
penyakit kardiovaskular.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan
bahwa secara nasional terdapat 0,5 % prevalensi penyakit jantung
koroner yang didiagnosis dokter. Prevalensi tersebut paling tinggi di
Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, DKI Jakarta dan Aceh.
Di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2008 – 2009 berdasarkan
Jakarta Acute Coronary Syndrome Registry, terdapat 2013 pasien
Sindrom Koroner Akut dan 654 diantaranya adalah ST Elevation
Myocardial Infection (STEMI).
5. Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan biomarka jantung,
Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi :
1. Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST (STEMI).
2. Infark Miokard Akut Non – Elevasi segmen ST (NSTEMI).
3. Angina Pektoris Tidak Stabil.
Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran
darah dan reperfusi miokard secepatnya, secara medikamentosa menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis melalui intervensi koroner perkutan (PCI)
primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris
akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tata laksana revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil
peningkatan biomarka jantung.
6. Patofisiologi
Sindrom Koroner Akut (SKA) dimulai dengan adanya ruptur plak
arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan trombus,
serta aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada
plak koroner yang lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque).
Ini disebut fase disrupsi plak. Setelah plak mengalami ruptur maka faktor jaringan
(tissue factor) dikeluarkan dan bersama faktor VII A membentuk tissue
factor VII A Complex, mengaktifkan Faktor X menjadi faktor Xa sebagai
penyebab terjadinya produksi trombin yang banyak. Adanya adhesi
platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri
koroner. Ini disebut fase acute thrombosis. Proses inflamasi yang melibatkan
aktivasi makrofag dan sel T limfosit, proteinase, dan sitokin
menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut. Sel inflamasi
tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui perubahan dalam
antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial, yang
menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan rupture
plak. Oleh karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP
merupakan tanda inflamasi pada kejadian koroner akut dan mempunyai nilai
prognostik. Jika mengalami aterosklerosis, maka segera terjadi disfungsi
endotel, bahkan sebelum terjadinya plak. Disfungsi endotel ini dapat
disebabkan meningkatnya inaktivasi Nitrit Oksida (NO) oleh
beberapa oksigen reaktif, yakni Xanthine Osidase (XO), NADH / NADPH
(Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Oxidase), dan endothelial
cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi
pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi dan
gagal jantung. Angiotensin II juga merupakan aktivator NADPH oxidase yang
poten, yang dapat meningkatkan inflamasi dinding pembuluh darah melalui
pengerahan makrofag yang menghasilkan monocyte chemoattractant protein-1
dari dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis yang esensial. Fase
selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi
endotel ringan dekat lesi atau respon terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi
endotel, faktor konstriktor lebih dominan (endotelin-1, tromboksan A2,
dan prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (nitrit oxide dan prostasiklin).
Nitrit Oxide secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos
dan migrasi, adhesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai
proatherogenic. TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan
kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan vibrilasi ventrikel, dan
luasnya infark. Disrupsi plak dapat terjadi karena beberapa hal, yakni tipis –
tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul,
dan hemodinamik stress mekanik. Adapun mulai terjadinya Sindrom Koroner
Akut, khusunya Infark Miokard Akut, dipengaruhi oleh beberapa keadaan
seperti aktivitas / latihan fisik yang berlebihan, emosi, terkejut, dan udara
dingin, dimana keadaan – keadaan tersebut berhubungan dengan peningkatan
aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar
jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga
meningkat. Sehingga dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat
sebagai pencegahan dan terapi.
7. Diagnosis
- Anamnesis :
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada
yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal. Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan / berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri,
leher, rahang area interskapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini
dapat berlangsung intermiten (beberapa menit) atau persisten (lebih
dari 20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta
seperti diaphoresis (keringat dingin), mual, muntah, nyeri abdominal,
sesak nafas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daerah penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan, sesak nafas
yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit
diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia
muda (25 – 40 tahun) atau usia lanjut (lebih dari 75 tahun), wanita
penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Hilangnya
keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap
diagnosis SKA.
- Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan Fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara
jantung tiga (S3), ronkhi basah halus, dan hipotensi hendaknya selalu
diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya
tanda – tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaforesis,
ronkhi basah halus, atau edema paru meningkatkan kecurigaan
terhadap SKA.
8. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) :
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarak kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12
sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.
Penilaian elevasi ST dilakukan pada titik J dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk
diagnosis STEMI untuk laki – laki dan perempuan pada sebagian besar
sadapan adalah 0,1 mV.
Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah,
yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis
koroner meningkat seiring bertambahnya usia.
Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik. Faktor- faktor tersebut adalah
abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas,
faktor psikososial.
2.3 Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada
lokasi injuri vaskular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.
Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red
trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon
terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis
(kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivitas trombosit, yang
selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor
lokal yang poten).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri
dari agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga
disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner,
abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi
sistemik.
2.4 Diagnosis
Diagnosis STEMI dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, EKG, dan
pengukuran enzim-enzim jantung (cardiac marker).
2.4.1 Anamnese
Pasien dengan STEMI biasanya datang dengan keluhan nyeri dada >15
menit. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya
serta faktor resiko seperti hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok dan
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Gejala nyeri dada kardial ( gejala cardinal), dengan sifat nyeri nya yaitu :
Lokasi : substernal, retrosternal, atau prekordial
Sifat nyeri : sakit, seperti ditekan, ditindih benda berat, seperti
diperas/dipelintir, rasa terbakar, atau seperti ditusuk.
Penjalaran : ke lengan kiri, leher, rahang bawah,
punggung/interskapula, perut atau lengan kanan.
Nyeri membaik/hilang dengan istirahat atau nitrat
Gejala penyerta : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas, lemah
Faktor pencetus : aktivitas fisik, emosi
Faktor resiko : laki-laki usia >40 tahun, wanita menopause, DM,
hipertensi, dislipidemia, perokok, obesitas.
2.6.1.2 Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door
to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya
adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam
obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi
plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin.
Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala
kualitatif sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in myocardial
infarction (TIMI) grading system :
1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri
yang terkena infark.
2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati
titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal.
3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke
arah distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran
arteri normal.
4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami
infark dengan aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 karena perfusi penuh
pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri, dan menurunkan
laju mortalitas, selain itu, waktu merupakan faktor yang menentukan dalam
reperfusi, fungsi ventrikel kiri, dan prognosis penderita. Keuntungan ini lebih
nyata bila streptokinase diberikan dalam 6 jam pertama setelah timbulnya gejala,
dengan anjuran pemberian streptokinase sedini mungkin untuk mendapatkan hasil
yang semaksimal mungkin.
Indikasi terapi fibrinolitik :
Kelas I :
1) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada
pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan elevasi ST > 0,1 mV
pada minimal 2 sandapan prekordial atau 2 sandapan ekstremitas
2) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien
STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga
baru
Kelas II a:
1) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada
pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan
konsisten dengan infark miokard posterior.
2) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada
pasien STEMI dengan onset mulai dari < 12 jam sampai 24 jam yang
mengalami gejala iskemi yang terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV
pada sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan
atau minimal 2 sandapan ekstremitas. Fibrinolitik dianggap berhasil
jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi segmen ST >
50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak
menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska
CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah
PCI.
Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien
yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan
selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak
jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan
insidens perdarahan intrakranial yang rendah.
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of
Strategies to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial
menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada
pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA
harganya lebih mahal dibanding SK dan risiko perdarahan
intrakranial sedikit lebih tinggi.
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan
keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial
dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih
panjang.
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen
activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B
menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan
komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.
2.6.2 Terapi Lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien
dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin,
clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) /
Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor,
dan Angiotensin Receptor Blocker.
1) Anti trombotik
2.7 Komplikasi
- Gangguan Hemodinamik :
Gagal jantung :
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi
disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan
PCI atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi,
namun apabila terjadi jejas transmural dan / atau obstruksi
mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat terjadi
komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis
disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir
dengan gagal jantung kronik. Diagnosis gagal jantung secara klinis
pada fase akut dan subakut STEMI didasari oleh gejala – gejala khas
seperti dipsnea, tanda seperti sinus takikardi, suara jantung ketiga atau
ronkhi pulmonal, dan bukti – bukti objektif disfungsi kardiak seperti
dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi.
Hipotensi :
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di
bawah 90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung,
namun dapat juga disebabkan oleh hypovolemia, gangguan irama. Bila
berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan gangguan ginjal, nekrosis
tubular akut, dan berkurangnya output urin.
Kongesti Paru :
Kongesti Paru ditandai dyspnea dan ronkhi basah paru di segmen
basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada
Rontgen dada dan perbaikan klinis terhadap diuretic dan / atau terapi
vasodilator.
Syok Kardiogenik :
Syok kardiogenik terjadi dalam 6 – 10 % kasus STEMI dan
merupakan penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di
Rumah Sakit mendekati 50 %. Tanda dan gejala klinis syok
kardiogenik yang dapat ditemukan beragam. Pasien biasanya dating
dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia saat
istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas rendah) dan
kongesti paru. Diuresis biasanya kurang dari 20 ml / jam. Syok
kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas,
namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan.
Aritmia Supraventrikular :
Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6 – 28 % infark
miokard dan sering dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang
berat dan gagal jantung. Fibrilasi atrium dapat terjadi selama beberapa
menit hingga jam dan seringkali berulang.
Aritmia Ventrikular :
Ventricular Premature Beats hampir selalu terjadi dalam hari
pertama fase akut dan aritmia kompleks seperti kompleks multiform,
fenomena R on T umum ditemukan.
2.8 Prognosis
>8 (35,9)
A. AV Block
Definisi
Hambatan Atrioventrikuler (AV block) adalah kelainan pada
sistem konduksi jantung dimana depolarisasi atrium gagal untuk
mencapai ventrikel atau depolarisasi atrial yang lambat terkonduksikan.
Hambatan Atrioventrikuler (AV Block) kerap menjadi penyebab
bradikardi meskipun lebih jarang dibandingkan dengan kelainan fungsi
nodus SA yang juga menyebabkan gejala bradikardia.
Epidemiologi
AV blok derajat I dapat ditemukan pada orang dewasa yang
sehat, dan insiden meningkat dengan usia. Pada usia 20 tahun, interval PR
dapat melebihi 0,20 detik di 0,5-2% dari orang sehat. Pada usia 60 tahun,
lebih dari 5% dari individu yang sehat memiliki interval PR melebihi 0,20
detik.
AV blok derajat II (Mobitz II) jarang pada orang sehat,
sedangkan Mobitz I (Wenckebach) diamati dalam 1-2% dari orang-orang
muda yang sehat, terutama saat tidur. AV blok derajat III kongenital
jarang, pada 1 kasus per 20.000 kelahiran.
AV blok lebih sering terjadi pada orang yang lebih tua dari
70 tahun, terutama pada mereka yang memiliki penyakit jantung
struktural. Sekitar 5% dari pasien dengan penyakit jantung memiliki
tingkat pertama blok AV, dan sekitar 2% memiliki tingkat dua blok
AV.
Etiologi
Keterlambatan atau kurangnya konduksi melalui nodus AV
memiliki beberapa penyebab. AV block derajat I dan derajat II dapat
terjadi pada orang sehat, sebagai manifestasi fisiologis dari refleks
vagal yang tinggi.
AV block dapat disebabkan oleh iskemia miokard akut atau
infark. Infark miokard inferior dapat menyebabkan blok derajat III.
Perubahan degeneratif pada AVN atau bundle branch (misalnya
fibrosis, kalsifikasi, atau infiltrasi) adalah penyebab paling umum dari
blok AV nonischemic. Sindrom Lenegre-Lev adalah blok jantung
komplit yang diperoleh karena fibrosis idiopatik dan kalsifikasi dari
sistem konduksi listrik jantung. ddari sistem konduksi dan dapat
menyebabkan blok AV derajat III.
Penyakit infiltratif miokard dapat menghasilkan blok AV
termasuk sarcoidosis, myxedema, hemochromatosis, dan kalsifikasi
progressive terkait dengan mitral atau kalsifikasi katup aorta.
Endokarditis dan infeksi lain dari miokardium.
Penyebab AV Block antaralain : Terapi obat (digoxin, beta
blockers – adrenergic atau calcium channel blockers, atau obat
antiaritmia seperti amiodarone), Post-MI, penyakit degeneratif kronis
dari sistem konduksi atrium (dilihat dari penuaan), hiperkalemia,
peningkatan refleks vagal, CAD, Miokard Infark baru, demam rematik.
Patofisiologi
Nodus atrioventrikular (AVN) merupakan bagian dari
sistem konduksi jantung yang memungkinkan impuls listrik yang
akan dikirim dari node sinus melalui jaringan atrium (intra-atrium
fasikula) ke ventrikel. node ini terdiri dari 3 bagian : atrionodal
(zona transisi), nodal (compact portion), dan nodal – his
(penetrating his-bundle). Nodal portion menyebabkan konduksi
melambat. VN disuplai oleh arteri koroner kanan (90%) atau
dengan arteri sirkumfleksa (10%) dan dipersarafi oleh serabut
simpatis dan parasimpatis. Ini menerima impuls anterior melalui
serat intra – atrium di septum dan posterior melalui krista
terminalis. Impuls tiba di AVN ditransmisikan ke ventrikel dalam
rasio 1 : 1. Setibanya impuls lebih cepat, konduksi ke ventrikel
diperlambat; ini disebut decremental conduction.
Sistem His – Purkinje terdiri dari 2 bundel dari serat
Purkinje (bundel kiri dan kanan) yang mengalirkan impuls listrik
untuk memungkinkan aktivasi ventrikel yang cepat. Sistem His –
Purkinje bisa juga menjadi lokasi terjadinya AV. AV block derajat
I dan II tipe 1 biasanya melibatkan penundaan di tingkat AVN,
sedangkan derajat II tipe 2 umumnya melibatkan penyumbatan
pada berkas his atau daerah yang lebih rendah dari sistem konduksi.
AV block derajat III melibatkan gangguan konduksi di AV node
atau sistem His-Purkinje.
Dalam kebanyakan kasus blok AV komplit, irama yang
timbul berasal dari ventrikel, dengan kompleks QRS lebar dengan
kecepatan yang rendah antara 30-40 denyut / menit. Sebuah lokasi
anatomi yang lebih tinggi menghasilkan irama pacemaker lebih cepat
(40 – 60 kali / menit di daerah berkas His), dan durasi QRS sempit
Klasifikasi
Berdasarkan derajat hambatan, gangguan ini dibagi
menjadi blok AV derajat 1, blok AV derajat 2, dan blok AV
derajat 3 ( total ). Blok AV Derajat 1 terjadi bila semua impuls dari
atrium dapat dihantarkan ke ventrikel dengan waktu hantaran yang
lebih lama ( pada EKG interval PR > 0,20 detik ). Kelainannya
biasanya pada tingkat nodus AV dan jarang pada sistem His –
Purkinje. Karena semua impuls dari atrium dapat dihantarkan ke
ventrikel maka biasanya tidak menimbulkan gejala.
Blok AV Derajat 2 terjadi pada keadaan dimana tidak
semua impuls dari atrium dapat dihantarkan melalui nodus AV dan
sistem His – Purkinje ke ventrikel. Berdasarkan rekaman EKG
kelainan ini dapat dikelompokkan menjadi tipe Mobitz I ( tipe
Wenckebach) dan tipe Mobizt II. Lokasi kelainan ini biasanya di
tingkat nodus AV. Sedangkan pada tipe Mobizt II terdapat
hambatan impuls dari atrium yang intermiten dimana impuls dari
Atrium tidak dapat dihantarkan ke ventrikel. Pada tipe ini lokasi
hambatan adalah infranodal (pada sistem His – Purkinje) gejala
yang muncul sangat bergantung pada besarnya laju ventrikel. Jarak
blok AV derajat 2 seringkali menimbulkan gejala.
Blok AV derajat III ( complete heart block ), bila hantaran
impuls dari atrium sama sekali tidak dapat mencapai ventrikel
disebut blok AV derajat 3 (blok AV total) pada keadaan laju
ventrikel tergantung pada pacemeter cadangan (subsidiary pace –
meter) yang mengambil alih. Bila lokasi hambatan berada di AV
node maka laju ventrikel biasanya cukup untuk mempertahankan
curah jantung. Namun bila lokasi hambatan berada dibawah nodus
AV ( infranodal) kerap menimbulkan gangguan hermodinamik
karena lajunya sangat pelan ( < 40 kali per menit ).
Karena pada blok AV total Atrium dan ventrikel
dikendalikan oleh pacemeter yang berbeda dan tidak berkaitan
maka pada EKG permukaan akan terlihat gambaran disosiasi
atriovenkuler ( AV discociation ).
Diagnosis
- Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik biasanya ditemukan
tanda dan gejala tergantung pada jenis blok AV yang terjadi. AV
block derajat I jarang menimbulkan gejala. Gejala dari AV block
derajat II dan III meliputi:
• Pingsan/sinkop
• Pusing
• Kelelahan
• Sesak napas
• Nyeri dada
AV blok derajat I umumnya tidak terkait dengan gejala
apapun dan biasanya ditemukan pada elektrokardiografi (EKG).
AV blok derajat II biasanya asimtomatik, tetapi pada beberapa
pasien, merasakan kejanggalan dari detak jantung, presinkop,
atau sinkop dapat terjadi; dapat bermanifestasi pada pemeriksaan
fisik sebagai bradikardia (terutama Mobitz II) dan / atau
ketidakteraturan denyut jantung (terutama Mobitz I
[Wenckebach]).Blok AV derajat III sering dikaitkan dengan
gejala seperti kelelahan, pusing, pusing, presinkop, dan sinkop;
terkait dengan bradikardia mendalam kecuali daerah blok
terletak di bagian proksimal dari node atrioventrikular (AVN).
Sinkop adalah karakteristik gejala yang paling sering
dihasilkan oleh blok atrioventrikular lengkap, tapi keluhan yang
timbul dari kegagalan kongestif dan penurunan curah jantung juga
sering. Banyak pasien dengan blok jantung kongenital tidak
memiliki gejala. Pada pemeriksaan fisik, tidak sinergisnya
kontraksi atrium dan ventrikel pada blok AV komplit menghasilkan
sebuah gelombang besar pada denyut vena dan intensitas yang
beragam dari pulsasi arteri, bunyi jantung pertama dan murmur
sistolik.
Blok AV derajat II
Mekanisme dasar berupa satu atau beberapa impuls dari
atrial tidak dihantarkan ke ventrikel sehingga tidak membentuk
kompleks QRS pada EKG. Jika bloknya terjadi pada Nodus AV
maka bloknya adalah derajat II tipe 1 dan jika bloknya terjadi
dibawah atau setelah nodus AV (berkas HIS atau berkas cabang)
disebut blok AV derajat II tipe 2. Kunci penilaian adalah konstan
tidaknya interval PR serta ada QRS missing (gelombang P yang
tidak diikuti kompleks QRS).
Penatalaksanaan
- Farmakologis
Pertimbangan mengenai pemberian agen antikolinergik adalah
sebagai berikut :
Terapi medis jangka panjang tidak diindikasikan pada blok AV.
Administrasi Atropin atau infus isoproterenol dapat meningkatkan
konduksi AV dalam keadaan darurat di mana bradikardia disebabkan
oleh blok AV proksimal.
Administrasi Atropin atau infus isoproterenol dapat memperburuk
konduksi.
Pada keadaan serangan sinkope, pemberian atropin (I.V) dosis
0,5 mg adalah pilihan utama. Pilihan lain adalah infus isoprenalin 2
ug / menit kemudian dosis dinaikkan secara bertahap sampai laju
jantung mencapai 50 – 60 kali / menit.
Apabila blok disebabkan karena inflamasi junction AV akibat
miokarditis, maka pemeberian kortikosteroid dapat membantu.
Prognosis
Prognosis pasien dengan gangguan konduksi AV tergantung
pada lokasi blok, tetapi juga terutama pada penyakit jantung yang
terjadi bersamaan atau yang mendasarinya. Dengan tidak adanya pace
maker, pasien dengan blok AV lengkap komplit memiliki prognosis
yang sangat buruk dengan tingkat ketahanan hidup 1 tahun.