Anda di halaman 1dari 36

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 SINDROM KORONER AKUT


1. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu sindrom klinis
yang disebabkan sumbatan akut arteri koroner jantung, akibat
rupturnya plak aterosklerosis. Sindrom Koroner Akut (SKA) tersebut
merupakan suatu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit coroner,
yaitu angina tidak stabil (unstable angina), Infark Miokard Non-
Elevasi ST, Infark Miokard dengan Elevasi ST, maupun angina
pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi coroner perkutan
(PCI) ditandai dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau
gejala lain sebagai akibat dari iskemia miokardium.

2. Etiologi
1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering adalah penurunan perfusi miokard
oleh karena penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus
yang ada pada plak aterosklerosis yang ruptur dan biasanya tidak
sampai menyumbat. Mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi
trombosit beserta komponennya dari plak yang ruptur, yang
mengakibatkan infark kecil di distal.
2. Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang
mungkin diakibatkan oleh spasme fokal yang yang terus – menerus
pada segmen arteri koroner epikardium (angina prinzmetal).
Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos
pembuluh darah dan / atau akibat adanya disfungsi endotel.
Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi
abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
3. Obstruksi mekanik yang progresif
Penyempitan yang terjadi bukan karena spasme atau
trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien aterosklerosis
progresif atau dengan stenosis ulang setelah Intervensi Koroner
Perkutan (PCI).

4. Inflamasi dan / atau infeksi


Berhubungan dengan infeksi, yang menyebabkan
penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur dan trombogenesis.
Makrofag dan limfosit-T di dinding plak meningkatkan ekspresi
enzim metalloproteinase.

3. Faktor Risiko
 Tidak dapat dimodifikasi :
- Usia :
Risiko Sindrom Koroner Akut meningkat dengan bertambahnya
usia. Menurut Framingham Heart Study, pada pria risiko meningkat pada
usia lebih dari 45 tahun, sedangkan pada wanita risiko meningkat pada
usia lebih dari 55 tahun.
- Jenis Kelamin :
Morbiditas akibat Sindrom Koroner Akut pada laki – laki dua kali
lebih besar dibandingkan pada wanita. Estrogen bersifat protektif pada
wanita, namun setelah menopause insidensi SKA meningkat dengan cepat
dan sebanding dengan laki – laki.
- Riwayat Keluarga :
Riwayat sakit jantung dini pada keluarga dimana Ayah atau
saudara laki – laki didiagnosis mengalami sakit jantung sebelum usia 55
tahun dan Ibu atau saudara perempuan didiagnosis mengalami sakit
jantung sebelum usia 65 tahun.
- Etnis :
Orang Amerika – Afrika lebih rentan terhadap SKA daripada orang
kulit putih.
 Dapat dimodifikasi :
- Merokok :
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek
langsung pada dinding arteri, karbon monoksida menyebabkan hipoksia
arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang menimbulkan
reaksi trombosit, glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi
hipersensitivitas dinding arteri.
- Hiperkolesterolemia:
Kolesterol, lemak, dan substansi lainnya dapat menyebabkan
penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari pembuluh
darah tersebut menyempit dan proses ini disebut aterosklerosis.

- Hipertensi :
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk
jantung, sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri. Tekanan darah
yang tinggi menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh
darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis
koroner.
- Diabetes Mellitus :
Pada Diabetes Mellitus akan timbul proses penebalan membran
basalis dari kapiler dan pembuluh darah arteri koronaria, sehingga terjadi
penyempitan aliran darah ke jantung.
- Obesitas :
Obesitas merupakan keadaan dimana Indeks Massa Tubuh (IMT)
berkisar antara 25 – 29.9 kg / m2. Obesitas akan menambah beban kerja
jantung dan terutama adanya penumpukan lemak di bagian sentral tubuh
akan akan meningkatkan risiko SKA.
- Kurang aktivitas fisik :
Seseorang yang kurang aktivitas fisik menyebabkan aliran darah di
pembuluh darah kolateral dan arteri koronaria berkurang sehingga aliran
darah ke jantung berkurang. Aktivitas fisik akan memperbaiki sistem kerja
jantung dan pembuluh darah. Dianjurkan melakukan latihan fisik (olah
raga) minimal 30 menit setiap hari selama 3 – 4 hari dalam seminggu
sehingga tercapai hasil yang maksimal.

4. Epidemiologi
Data WHO menunjukkan akibat penyakit kardiovaskular, terjadi 4
juta kematian setiap tahunnya pada 49 negara di benua Eropa dan Asia
Utara. Data yang dikeluarkan oleh American Heart Association (AHA)
pada tahun 2016, menyebutkan 15,5 juta warga Amerika memiliki
penyakit kardiovaskular.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan
bahwa secara nasional terdapat 0,5 % prevalensi penyakit jantung
koroner yang didiagnosis dokter. Prevalensi tersebut paling tinggi di
Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, DKI Jakarta dan Aceh.
Di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2008 – 2009 berdasarkan
Jakarta Acute Coronary Syndrome Registry, terdapat 2013 pasien
Sindrom Koroner Akut dan 654 diantaranya adalah ST Elevation
Myocardial Infection (STEMI).

5. Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan biomarka jantung,
Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi :
1. Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST (STEMI).
2. Infark Miokard Akut Non – Elevasi segmen ST (NSTEMI).
3. Angina Pektoris Tidak Stabil.
Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran
darah dan reperfusi miokard secepatnya, secara medikamentosa menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis melalui intervensi koroner perkutan (PCI)
primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris
akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tata laksana revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil
peningkatan biomarka jantung.

6. Patofisiologi
Sindrom Koroner Akut (SKA) dimulai dengan adanya ruptur plak
arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan trombus,
serta aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada
plak koroner yang lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque).
Ini disebut fase disrupsi plak. Setelah plak mengalami ruptur maka faktor jaringan
(tissue factor) dikeluarkan dan bersama faktor VII A membentuk tissue
factor VII A Complex, mengaktifkan Faktor X menjadi faktor Xa sebagai
penyebab terjadinya produksi trombin yang banyak. Adanya adhesi
platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri
koroner. Ini disebut fase acute thrombosis. Proses inflamasi yang melibatkan
aktivasi makrofag dan sel T limfosit, proteinase, dan sitokin
menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut. Sel inflamasi
tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui perubahan dalam
antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial, yang
menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan rupture
plak. Oleh karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP
merupakan tanda inflamasi pada kejadian koroner akut dan mempunyai nilai
prognostik. Jika mengalami aterosklerosis, maka segera terjadi disfungsi
endotel, bahkan sebelum terjadinya plak. Disfungsi endotel ini dapat
disebabkan meningkatnya inaktivasi Nitrit Oksida (NO) oleh
beberapa oksigen reaktif, yakni Xanthine Osidase (XO), NADH / NADPH
(Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Oxidase), dan endothelial
cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi
pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi dan
gagal jantung. Angiotensin II juga merupakan aktivator NADPH oxidase yang
poten, yang dapat meningkatkan inflamasi dinding pembuluh darah melalui
pengerahan makrofag yang menghasilkan monocyte chemoattractant protein-1
dari dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis yang esensial. Fase
selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi
endotel ringan dekat lesi atau respon terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi
endotel, faktor konstriktor lebih dominan (endotelin-1, tromboksan A2,
dan prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (nitrit oxide dan prostasiklin).
Nitrit Oxide secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos
dan migrasi, adhesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai
proatherogenic. TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan
kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan vibrilasi ventrikel, dan
luasnya infark. Disrupsi plak dapat terjadi karena beberapa hal, yakni tipis –
tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul,
dan hemodinamik stress mekanik. Adapun mulai terjadinya Sindrom Koroner
Akut, khusunya Infark Miokard Akut, dipengaruhi oleh beberapa keadaan
seperti aktivitas / latihan fisik yang berlebihan, emosi, terkejut, dan udara
dingin, dimana keadaan – keadaan tersebut berhubungan dengan peningkatan
aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar
jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga
meningkat. Sehingga dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat
sebagai pencegahan dan terapi.

7. Diagnosis
- Anamnesis :
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada
yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal. Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan / berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri,
leher, rahang area interskapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini
dapat berlangsung intermiten (beberapa menit) atau persisten (lebih
dari 20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta
seperti diaphoresis (keringat dingin), mual, muntah, nyeri abdominal,
sesak nafas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daerah penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan, sesak nafas
yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit
diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia
muda (25 – 40 tahun) atau usia lanjut (lebih dari 75 tahun), wanita
penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Hilangnya
keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap
diagnosis SKA.

- Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan Fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara
jantung tiga (S3), ronkhi basah halus, dan hipotensi hendaknya selalu
diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya
tanda – tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaforesis,
ronkhi basah halus, atau edema paru meningkatkan kecurigaan
terhadap SKA.

8. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) :
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarak kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12
sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.
Penilaian elevasi ST dilakukan pada titik J dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk
diagnosis STEMI untuk laki – laki dan perempuan pada sebagian besar
sadapan adalah 0,1 mV.

- Pemeriksaan Biomarka Jantung


Kreatinin – Kinase MB (CKMB) atau troponin I / T merupakan
biomarka nekrosis misoit jantung dan menjadi biomarka untuk
diagnosis infark miokard. Tropoin I / T sebagai biomarka nekrosis
jantung mempunyasi sensitivitas dan spesivisitas lebih tinggi dari
CKMB. Peningkatan biomarka jantung hanya menunjukkan adanya
nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukkan
penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner atau non
koroner). Troponin I / T juga dapat meningkat akibat kelainan kardiak
non – koroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis / perikarditis.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CKMB atau
Troponin I / T menunjukkan kadar yang normal dalam 4 – 6 jam
setelah awitan SKA, sehingga pemeriksaan hendaknya diulang 8 – 12
jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan
dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6 – 12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CKMB yang meningkat dapat dijumpai
pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan
spesivitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam).
Mengingat waktu paruh yang singkat, CKMB lebih terpilih untuk
mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang). Tes yang negatif pada
1 kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis IMA. Kadar Troponin pada pasien IMA meningkat di dalam
darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2
minggu. Peningkatan ringan kadar Troponin biasanya menghilang
dalam 2 – 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini
dapat meningkat hingga 2 minggu. Apabila pemeriksaan Troponin
tidak tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan CKMB. CKMB akan
meningkat dalam waktu 4 – 6 jam, mencapai puncaknya pada 12 jam,
dan menetap sampai 2 hari.
- Pemeriksaan Laboratorium :
Data laboratorium, disamping biomarka jantung, yang harus
dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah
sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel
lipid.

- Pemeriksaan Foto Thorax :


Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding,
identifikasi komplikasi, dan penyakit penyerta.
2.1 Defenisi
STEMI ( ST Elevasi Miokard infark) adalah suatu keadaan gawat darurat
jantung yang terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI
terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury
vascular. STEMI adalah cermin dari pembuluh darah koroner tertentu yang
tersumbat total sehingga aliran darahnya benar-benar terhenti, otot jantung yang
dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati.

2.2 Etiologi dan Faktor resiko


STEMI ditandai oleh adanya ketidakseimbangan antara pasokan dengan
kebutuhan oksigen miokard yang disebabkan oleh dibawah ini :
1. Penyempitan arteri koroner karena robek/pecahnya thrombus yang ada
pada plak aterosklerosis. Mikroemboli dari agregasi trombosit beserta
komponennya dari plak yang rupture mengakibatkan infark kecil di distal.
2. Obstruksi dinamik karena spasme fokal yang terus-menerus pada segmen
arteri koroner epikardium.
3. Penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme/thrombusterjadi
pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis
ulang setelah intervensi koroner perkutan.
4. Faktor resiko

Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah,
yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis
koroner meningkat seiring bertambahnya usia.
Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik. Faktor- faktor tersebut adalah
abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas,
faktor psikososial.
2.3 Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada
lokasi injuri vaskular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.

Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red
trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon
terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis
(kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivitas trombosit, yang
selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor
lokal yang poten).

Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor


glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai
afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut
(integrin) seperti faktor von willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya
adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara
simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri
dari agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga
disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner,
abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi
sistemik.

2.4 Diagnosis
Diagnosis STEMI dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, EKG, dan
pengukuran enzim-enzim jantung (cardiac marker).
2.4.1 Anamnese
Pasien dengan STEMI biasanya datang dengan keluhan nyeri dada >15
menit. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya
serta faktor resiko seperti hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok dan
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Gejala nyeri dada kardial ( gejala cardinal), dengan sifat nyeri nya yaitu :
 Lokasi : substernal, retrosternal, atau prekordial
 Sifat nyeri : sakit, seperti ditekan, ditindih benda berat, seperti
diperas/dipelintir, rasa terbakar, atau seperti ditusuk.
 Penjalaran : ke lengan kiri, leher, rahang bawah,
punggung/interskapula, perut atau lengan kanan.
 Nyeri membaik/hilang dengan istirahat atau nitrat
 Gejala penyerta : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas, lemah
 Faktor pencetus : aktivitas fisik, emosi
 Faktor resiko : laki-laki usia >40 tahun, wanita menopause, DM,
hipertensi, dislipidemia, perokok, obesitas.

2.4.2 Elektro kardiografi


Lokalisasi infark berdasarkan lokasi letak perubahan EKG :
No Lokasi Gambaran EKG
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-
1 Anterior
V4/V5
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-
2 Anteroseptal
V3
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-
3 Anterolateral
V6 dan I dan aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-
4 Lateral V6 dan inversi gelombang T/elevasi
ST/gelombang Q di I dan aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II,
5 Inferolateral
III, aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II,
6 Inferior
III, dan aVF
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II,
7 Inferoseptal
III, aVF, V1-V3
Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST
8 True posterior
depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2
Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark
9 RV Infraction inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam
pertama infark.

2.4.3 Cardiac marker


Kerusakan miokardium dikenali keberadaannya antara lain dengan
menggunakan test enzim jantung, seperti : keratin-kinase (CK), keratin kinase
MB(CK-MB), cardiac specific troponin (cTn) I/T, Laktat dehidrogenase (LDH),
dan Myoglobin. Peningkatan nilai enzim CKMB atau cTn T/I >2x nilai batas atas
normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard). Pemeriksaan
enzim jantung sebaiknya dilakukan secara serial.

2.5 Tatalaksana Awal


2.5.1 Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama onset
gejala dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen utama
tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2) Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas
ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4) Melakukan terapi reperfusi
5)
2.5.2 Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,
triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.

2.5.3 Tatalaksana Umum


1) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen
2) Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 5 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5
menit.
- Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan
merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin
dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan
interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
- Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang
dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner
akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin
bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi.
Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.
- Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri
dada, pemberian penyekat beta intravena dapat efektif.
Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >
60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval
PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12
jam.
-
2.5.4 Tatalaksana di Rumah Sakit
 ICCU
1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut
dalam 4-12 jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah
infark miokard.
3) Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam
5mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-
4 kali/hari
4) Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek
menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering
mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi
komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan
pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat
(200 mg/hari)

2.6 Terapi Pada Pasien STEMI


2.6.1 Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit. Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik
merupakan prediktor penting terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas
obat fibrinolitik dalam menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi
fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama)
dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka kematian. Pemilihan
terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi
reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko
perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk
memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus
mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi
merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan.

2.6.1.1 Percutaneous Coronary Interventions (PCI)


Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut.
PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang
tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang
yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama
pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada
sekurangkurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah
hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan
fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di
beberapa rumah sakit.

2.6.1.2 Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door
to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya
adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam
obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi
plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin.
Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala
kualitatif sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in myocardial
infarction (TIMI) grading system :
1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri
yang terkena infark.
2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati
titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal.
3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke
arah distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran
arteri normal.
4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami
infark dengan aliran normal.

Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 karena perfusi penuh
pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri, dan menurunkan
laju mortalitas, selain itu, waktu merupakan faktor yang menentukan dalam
reperfusi, fungsi ventrikel kiri, dan prognosis penderita. Keuntungan ini lebih
nyata bila streptokinase diberikan dalam 6 jam pertama setelah timbulnya gejala,
dengan anjuran pemberian streptokinase sedini mungkin untuk mendapatkan hasil
yang semaksimal mungkin.
Indikasi terapi fibrinolitik :
Kelas I :
1) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada
pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan elevasi ST > 0,1 mV
pada minimal 2 sandapan prekordial atau 2 sandapan ekstremitas
2) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien
STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga
baru

Kelas II a:
1) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada
pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan
konsisten dengan infark miokard posterior.
2) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada
pasien STEMI dengan onset mulai dari < 12 jam sampai 24 jam yang
mengalami gejala iskemi yang terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV
pada sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan
atau minimal 2 sandapan ekstremitas. Fibrinolitik dianggap berhasil
jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi segmen ST >
50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak
menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska
CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah
PCI.

Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien
yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan
selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak
jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan
insidens perdarahan intrakranial yang rendah.
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of
Strategies to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial
menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada
pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA
harganya lebih mahal dibanding SK dan risiko perdarahan
intrakranial sedikit lebih tinggi.
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan
keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial
dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih
panjang.
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen
activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B
menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan
komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.
2.6.2 Terapi Lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien
dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin,
clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) /
Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor,
dan Angiotensin Receptor Blocker.
1) Anti trombotik

Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase


awal STEMI berperan dalam memantapkan dan mempertahankan
patensi arteri koroner yang terkait infark. Aspirin merupakan
antiplatelet standar pada STEMI. Menurut penelitian ISIS-2
pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23%
dan infark non fatal sebesar 49%. Inhibitor glikoprotein
menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi trombosis pada
pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan
stenting, dengan hasil penurunan kematian, reinfark, atau
revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok
abciximab dan stenting. 22 Obat antitrombin standar yang
digunakan dalam praktek klinis adalah unfractionated heparin
(UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi
regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif,
membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan
patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan
adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial
12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai
1,5-2 kali. Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri
berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada
ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko
tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus mendapatkan terapi
antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama
dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan.
2) Thienopiridin

Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti


aspirin untuk pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan
dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang menjalani reperfusi
primer atau fibrinolitik. Penelitian Acute Coronary Syndrome
(ACOS) registry investigators mempelajari pengaruh clopidogrel di
samping aspirin pada pasien STEMI yang mendapat perawatan
dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan
kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian,
reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan
kematian terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi
awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%).
3) Penyekat Beta

Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan


manfaat yaitu manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan
secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat
diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta
intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen
miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan
menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi
penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar
pasien termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali
pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung
atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung,
hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).
4) Inhibitor ACE

Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan


memberikan manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan
penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE,
dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada pasien
dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat
infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global).
Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang
mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark. Inhibitor ACE
harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien
dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan
imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara
global, atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau
pasien hipertensif.

2.7 Komplikasi
- Gangguan Hemodinamik :
 Gagal jantung :
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi
disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan
PCI atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi,
namun apabila terjadi jejas transmural dan / atau obstruksi
mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat terjadi
komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis
disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir
dengan gagal jantung kronik. Diagnosis gagal jantung secara klinis
pada fase akut dan subakut STEMI didasari oleh gejala – gejala khas
seperti dipsnea, tanda seperti sinus takikardi, suara jantung ketiga atau
ronkhi pulmonal, dan bukti – bukti objektif disfungsi kardiak seperti
dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi.

 Hipotensi :
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di
bawah 90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung,
namun dapat juga disebabkan oleh hypovolemia, gangguan irama. Bila
berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan gangguan ginjal, nekrosis
tubular akut, dan berkurangnya output urin.

 Kongesti Paru :
Kongesti Paru ditandai dyspnea dan ronkhi basah paru di segmen
basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada
Rontgen dada dan perbaikan klinis terhadap diuretic dan / atau terapi
vasodilator.

 Keadaan curah jantung rendah :


Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang
buruk dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi
urin. EKG dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk atau
infark ventrikel kanan.

 Syok Kardiogenik :
Syok kardiogenik terjadi dalam 6 – 10 % kasus STEMI dan
merupakan penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di
Rumah Sakit mendekati 50 %. Tanda dan gejala klinis syok
kardiogenik yang dapat ditemukan beragam. Pasien biasanya dating
dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia saat
istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas rendah) dan
kongesti paru. Diuresis biasanya kurang dari 20 ml / jam. Syok
kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas,
namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan.

 Aritmia dan Gangguan Konduksi dalam Fase Akut :


Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa
jam pertama setelah infark miokard. Pada pasien dengan infark
miokard akut, VF / VT yang terjadi awal merupakan indikator
peningkatan risiko mortalitas. Aritmia yang terjadi setelah reperfusi
awal dapat berupa manifestasi dari kondisi berat yang mendasarinya,
seperti iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan tonus otonom,
hipoksia, dan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) dan gangguan
asam basa. Blok AV derajat tinggi dulunya merupakan prediktor yang
lebih kuat untuk kematian akibat jantung dibandingkan dengan
takiaritmia pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri kurang dari
40 % setelah infark miokard.

 Aritmia Supraventrikular :
Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6 – 28 % infark
miokard dan sering dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang
berat dan gagal jantung. Fibrilasi atrium dapat terjadi selama beberapa
menit hingga jam dan seringkali berulang.

 Aritmia Ventrikular :
Ventricular Premature Beats hampir selalu terjadi dalam hari
pertama fase akut dan aritmia kompleks seperti kompleks multiform,
fenomena R on T umum ditemukan.

 Sinus Bradikardi dan Blok Jantung :


Sinus bradikardi sering terjadi dalam beberapa jam awal STEMI,
terutama pada infark inferior. Sinus bradikardi seringkali tidak
memerlukan pengobatan. Bila disertai dengan hipotensi berat, sinus
bradikardi perlu diterapi dengan atropin. Bila gagal dengan atropin,
dapat dipertimbangkan penggunaan pacing sementara. Blok jantung
derajat satu tidak memerluka pengobatan. Derajat dua tipe 1 (Mobitz 1
atau Weckenbach), blockade yang terjadi biasanya dikaitkan dengan
infark inferior dan jarang menyebabkan efek hemodinamik yang
buruk. Apabila terjadi perubahan hemodinamik, berikan atropin
dahulu, baru pertimbangkan pacing. Hindari penggunaan agen – agen
yang memperlambat konduksi AV seperti penyekat beta, digitalis,
verapamil, atau amiodaron. Blok AV derajat dua tipe II dan blok total
dapat merupakan indikasi pemasangan elektroda pacing, apalagi bila
bradikardi disertai hipotensi atau gagal jantung. Bila gangguan
hemodinamik yang terjadi berat, hati – hati dalam pemberian pacing
AV sekuensial.
Blok AV terkait infark dinding inferior biasanya terjadi di atas
bundle of HIS dan menghasilkan bradikardia transien dengan escape
rhythm QRS sempit dengan laju lebih dari 40 detak per menit, serta
laju mortalitas yang tinggi (sampai 80 %) akibat nekrosis miokard.

 Regurgitasi katup mitral :


Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat
dilatasi ventrikel kiri, gangguan m. papillaris, atau pecahnya ujung m.
papillaris atau chordae tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai dengan
perburukan hemodinamis dengan dipsnea akut, kongesti paru dan
murmur sistolik baru.

 Aneurisma Ventrikel Kiri :


Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dinding
anterolateral, dapat mengalami perluasan infark yang diikuti dengan
pembentukan aneurisma ventrikel kiri. Proses remodelling ini terjadi
akibat kombinasi gangguan sistolik dan diastolik, serta regurgitasi
mitral.

2.8 Prognosis

Klasifikasi killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana S3


gallop, kongesti paru, dan syok kardiogenik :
Klas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6
II +S3 dan/ atau ronki basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80

Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung


dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP).
Indeks Kardiak
Kelas PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
(L/min/m2)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51

Klasifikasi TIMI score adalah system prognostic paling akhir yang


menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisiS yang dinilai pada
pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.

Faktor Resiko (Bobot) Skor Risiko/Mortalitas 30 hari (%)


Usia 65-74 tahun (2 poin) 0 (0,8)
Usia > 75 tahun (3 poin) 1 (1,6)
Diabetes Melitus / Hipertensi atau angina (1 1 (2,2)
poin)
2 (4,4)
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin)
Frek jantung > 100 (2 poin) 3 (7,3)
Klasifikasi killip 2 – 4 (2 poin)
4 (12,4)
Berat < 67 kg (1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) 5 (16,1)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)
6 (23,40
Skor risiko = total poin (0 – 14)
7 (26,8)

>8 (35,9)
A. AV Block
Definisi
Hambatan Atrioventrikuler (AV block) adalah kelainan pada
sistem konduksi jantung dimana depolarisasi atrium gagal untuk
mencapai ventrikel atau depolarisasi atrial yang lambat terkonduksikan.
Hambatan Atrioventrikuler (AV Block) kerap menjadi penyebab
bradikardi meskipun lebih jarang dibandingkan dengan kelainan fungsi
nodus SA yang juga menyebabkan gejala bradikardia.

Epidemiologi
AV blok derajat I dapat ditemukan pada orang dewasa yang
sehat, dan insiden meningkat dengan usia. Pada usia 20 tahun, interval PR
dapat melebihi 0,20 detik di 0,5-2% dari orang sehat. Pada usia 60 tahun,
lebih dari 5% dari individu yang sehat memiliki interval PR melebihi 0,20
detik.
AV blok derajat II (Mobitz II) jarang pada orang sehat,
sedangkan Mobitz I (Wenckebach) diamati dalam 1-2% dari orang-orang
muda yang sehat, terutama saat tidur. AV blok derajat III kongenital
jarang, pada 1 kasus per 20.000 kelahiran.
AV blok lebih sering terjadi pada orang yang lebih tua dari
70 tahun, terutama pada mereka yang memiliki penyakit jantung
struktural. Sekitar 5% dari pasien dengan penyakit jantung memiliki
tingkat pertama blok AV, dan sekitar 2% memiliki tingkat dua blok
AV.
Etiologi
Keterlambatan atau kurangnya konduksi melalui nodus AV
memiliki beberapa penyebab. AV block derajat I dan derajat II dapat
terjadi pada orang sehat, sebagai manifestasi fisiologis dari refleks
vagal yang tinggi.
AV block dapat disebabkan oleh iskemia miokard akut atau
infark. Infark miokard inferior dapat menyebabkan blok derajat III.
Perubahan degeneratif pada AVN atau bundle branch (misalnya
fibrosis, kalsifikasi, atau infiltrasi) adalah penyebab paling umum dari
blok AV nonischemic. Sindrom Lenegre-Lev adalah blok jantung
komplit yang diperoleh karena fibrosis idiopatik dan kalsifikasi dari
sistem konduksi listrik jantung. ddari sistem konduksi dan dapat
menyebabkan blok AV derajat III.
Penyakit infiltratif miokard dapat menghasilkan blok AV
termasuk sarcoidosis, myxedema, hemochromatosis, dan kalsifikasi
progressive terkait dengan mitral atau kalsifikasi katup aorta.
Endokarditis dan infeksi lain dari miokardium.
Penyebab AV Block antaralain : Terapi obat (digoxin, beta
blockers – adrenergic atau calcium channel blockers, atau obat
antiaritmia seperti amiodarone), Post-MI, penyakit degeneratif kronis
dari sistem konduksi atrium (dilihat dari penuaan), hiperkalemia,
peningkatan refleks vagal, CAD, Miokard Infark baru, demam rematik.

Patofisiologi
Nodus atrioventrikular (AVN) merupakan bagian dari
sistem konduksi jantung yang memungkinkan impuls listrik yang
akan dikirim dari node sinus melalui jaringan atrium (intra-atrium
fasikula) ke ventrikel. node ini terdiri dari 3 bagian : atrionodal
(zona transisi), nodal (compact portion), dan nodal – his
(penetrating his-bundle). Nodal portion menyebabkan konduksi
melambat. VN disuplai oleh arteri koroner kanan (90%) atau
dengan arteri sirkumfleksa (10%) dan dipersarafi oleh serabut
simpatis dan parasimpatis. Ini menerima impuls anterior melalui
serat intra – atrium di septum dan posterior melalui krista
terminalis. Impuls tiba di AVN ditransmisikan ke ventrikel dalam
rasio 1 : 1. Setibanya impuls lebih cepat, konduksi ke ventrikel
diperlambat; ini disebut decremental conduction.
Sistem His – Purkinje terdiri dari 2 bundel dari serat
Purkinje (bundel kiri dan kanan) yang mengalirkan impuls listrik
untuk memungkinkan aktivasi ventrikel yang cepat. Sistem His –
Purkinje bisa juga menjadi lokasi terjadinya AV. AV block derajat
I dan II tipe 1 biasanya melibatkan penundaan di tingkat AVN,
sedangkan derajat II tipe 2 umumnya melibatkan penyumbatan
pada berkas his atau daerah yang lebih rendah dari sistem konduksi.
AV block derajat III melibatkan gangguan konduksi di AV node
atau sistem His-Purkinje.
Dalam kebanyakan kasus blok AV komplit, irama yang
timbul berasal dari ventrikel, dengan kompleks QRS lebar dengan
kecepatan yang rendah antara 30-40 denyut / menit. Sebuah lokasi
anatomi yang lebih tinggi menghasilkan irama pacemaker lebih cepat
(40 – 60 kali / menit di daerah berkas His), dan durasi QRS sempit

Klasifikasi
Berdasarkan derajat hambatan, gangguan ini dibagi
menjadi blok AV derajat 1, blok AV derajat 2, dan blok AV
derajat 3 ( total ). Blok AV Derajat 1 terjadi bila semua impuls dari
atrium dapat dihantarkan ke ventrikel dengan waktu hantaran yang
lebih lama ( pada EKG interval PR > 0,20 detik ). Kelainannya
biasanya pada tingkat nodus AV dan jarang pada sistem His –
Purkinje. Karena semua impuls dari atrium dapat dihantarkan ke
ventrikel maka biasanya tidak menimbulkan gejala.
Blok AV Derajat 2 terjadi pada keadaan dimana tidak
semua impuls dari atrium dapat dihantarkan melalui nodus AV dan
sistem His – Purkinje ke ventrikel. Berdasarkan rekaman EKG
kelainan ini dapat dikelompokkan menjadi tipe Mobitz I ( tipe
Wenckebach) dan tipe Mobizt II. Lokasi kelainan ini biasanya di
tingkat nodus AV. Sedangkan pada tipe Mobizt II terdapat
hambatan impuls dari atrium yang intermiten dimana impuls dari
Atrium tidak dapat dihantarkan ke ventrikel. Pada tipe ini lokasi
hambatan adalah infranodal (pada sistem His – Purkinje) gejala
yang muncul sangat bergantung pada besarnya laju ventrikel. Jarak
blok AV derajat 2 seringkali menimbulkan gejala.
Blok AV derajat III ( complete heart block ), bila hantaran
impuls dari atrium sama sekali tidak dapat mencapai ventrikel
disebut blok AV derajat 3 (blok AV total) pada keadaan laju
ventrikel tergantung pada pacemeter cadangan (subsidiary pace –
meter) yang mengambil alih. Bila lokasi hambatan berada di AV
node maka laju ventrikel biasanya cukup untuk mempertahankan
curah jantung. Namun bila lokasi hambatan berada dibawah nodus
AV ( infranodal) kerap menimbulkan gangguan hermodinamik
karena lajunya sangat pelan ( < 40 kali per menit ).
Karena pada blok AV total Atrium dan ventrikel
dikendalikan oleh pacemeter yang berbeda dan tidak berkaitan
maka pada EKG permukaan akan terlihat gambaran disosiasi
atriovenkuler ( AV discociation ).

Diagnosis
- Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik biasanya ditemukan
tanda dan gejala tergantung pada jenis blok AV yang terjadi. AV
block derajat I jarang menimbulkan gejala. Gejala dari AV block
derajat II dan III meliputi:
• Pingsan/sinkop
• Pusing
• Kelelahan
• Sesak napas
• Nyeri dada
AV blok derajat I umumnya tidak terkait dengan gejala
apapun dan biasanya ditemukan pada elektrokardiografi (EKG).
AV blok derajat II biasanya asimtomatik, tetapi pada beberapa
pasien, merasakan kejanggalan dari detak jantung, presinkop,
atau sinkop dapat terjadi; dapat bermanifestasi pada pemeriksaan
fisik sebagai bradikardia (terutama Mobitz II) dan / atau
ketidakteraturan denyut jantung (terutama Mobitz I
[Wenckebach]).Blok AV derajat III sering dikaitkan dengan
gejala seperti kelelahan, pusing, pusing, presinkop, dan sinkop;
terkait dengan bradikardia mendalam kecuali daerah blok
terletak di bagian proksimal dari node atrioventrikular (AVN).
Sinkop adalah karakteristik gejala yang paling sering
dihasilkan oleh blok atrioventrikular lengkap, tapi keluhan yang
timbul dari kegagalan kongestif dan penurunan curah jantung juga
sering. Banyak pasien dengan blok jantung kongenital tidak
memiliki gejala. Pada pemeriksaan fisik, tidak sinergisnya
kontraksi atrium dan ventrikel pada blok AV komplit menghasilkan
sebuah gelombang besar pada denyut vena dan intensitas yang
beragam dari pulsasi arteri, bunyi jantung pertama dan murmur
sistolik.

Gambaran pada EKG


Jaringan konduksi khusus yang menghubungkan konduksi
listrik antara atrium dan ventrikel disebut AV junction. Setiap
gangguan konduksi impuls pada nodus AV dan sistem his purkinje
disebut AV block. Interval PR merupakan kunci untuk
membedakan tipe blok AV serta analisis lebar kompleks QRS
merupakan kunci penentu lokasi blok.
Blok AV derajat I
Terjadi keterlambatan transmisi impuls dari nodus SA ke
ventrikel akibat perlambatan di nodus AV tetapi bukan di blok.
Karakteristik :
Laju : sesuai irama sinus atau kecepatan atrial
Irama : biasanya teratur
Gelombang P : normal
Durasi QRS : biasanya normal
Interval PR : konstan dan lebih dari 0,20 detik

Blok AV derajat II
Mekanisme dasar berupa satu atau beberapa impuls dari
atrial tidak dihantarkan ke ventrikel sehingga tidak membentuk
kompleks QRS pada EKG. Jika bloknya terjadi pada Nodus AV
maka bloknya adalah derajat II tipe 1 dan jika bloknya terjadi
dibawah atau setelah nodus AV (berkas HIS atau berkas cabang)
disebut blok AV derajat II tipe 2. Kunci penilaian adalah konstan
tidaknya interval PR serta ada QRS missing (gelombang P yang
tidak diikuti kompleks QRS).

Blok AV derajat II Tipe 1


Karakteristik :
Laju : laju atrial lebih besar dari laju ventrikel
Irama : Irama ventrikel ireguler
Gelombang P : Bentuk normal, beberapa gelombang P
tidak diikuti kompleks QRS
Durasi QRS : biasanya Normal
Interval PR : Tidak konstan, semakin lama semakin
memanjang
Blok AV derajat II Tipe 2
Karakteristik :
Laju : Laju ventrikel lebih lambat
Irama : Irama ventrikel ireguler
Gelombang P : Bentuk normal dan beberapa
gelombang P tidak diikuti kompleks
QRS (QRS missing)
Durasi QRS : Biasanya melebar karena blok pada
cabang berkas
Interval PR : Konstan

Blok AV derajat III (blok AV total / komplit)


Impuls dari atrium tidak dihantarkan ke ventrikel sehingga
atrium dan ventrikel mengalami depolarisasi secara terpisah satu
dengan yang lain.
Karakteristik
Laju : Laju atrial lebih besar dari laju ventrikel
Irama : Teratur, tidak ada hubungan antara
irama atrial dan ventrikel
Gelombang P : Normal
Durasi QRS : Bergantung lokasi escape pacemaker,
durasi QRS normal bila irama dari
junctional dan melebar bila terdapat ventricular escape
rhythm
Interval PR : Tidak ada

Penatalaksanaan
- Farmakologis
Pertimbangan mengenai pemberian agen antikolinergik adalah
sebagai berikut :
 Terapi medis jangka panjang tidak diindikasikan pada blok AV.
 Administrasi Atropin atau infus isoproterenol dapat meningkatkan
konduksi AV dalam keadaan darurat di mana bradikardia disebabkan
oleh blok AV proksimal.
 Administrasi Atropin atau infus isoproterenol dapat memperburuk
konduksi.
Pada keadaan serangan sinkope, pemberian atropin (I.V) dosis
0,5 mg adalah pilihan utama. Pilihan lain adalah infus isoprenalin 2
ug / menit kemudian dosis dinaikkan secara bertahap sampai laju
jantung mencapai 50 – 60 kali / menit.
Apabila blok disebabkan karena inflamasi junction AV akibat
miokarditis, maka pemeberian kortikosteroid dapat membantu.

- Implantasi Alat Pacu Jantung :


Implantasi alat pacu jantung permanen adalah terapi canggih
pilihan pada penderita blok AV. Rekomendasi untuk implantasi alat
pacu jantung dan perangkat aritmia, seperti yang dibuat oleh American
College of Cardiology (ACC), American Heart Association (AHA),
dan Heart Rhythm Society (HRS), adalah sebagai berikut :
• AV Blok derajat 1 dan AV Blok derajat 2 tipe 1 : Umumnya tidak
memerlukan perawatan kecuali mereka menyebabkan gejala.
• AV Blok derajat 2 tipe 2 dan AV Blok Derajat 3 : Biasanya
membutuhkan pacu jantung sementara.

Prognosis
Prognosis pasien dengan gangguan konduksi AV tergantung
pada lokasi blok, tetapi juga terutama pada penyakit jantung yang
terjadi bersamaan atau yang mendasarinya. Dengan tidak adanya pace
maker, pasien dengan blok AV lengkap komplit memiliki prognosis
yang sangat buruk dengan tingkat ketahanan hidup 1 tahun.

Anda mungkin juga menyukai