1.1. PENDAHULUAN.
Domestikasi atau penjinakan tumbuhan dan hewan merupakan markah
awal perkembangan pertanian secara luas. Proses belajar menanam dan beternak
berawal dari domestikasi aneka tumbuhan dan hewan dari kehidupannya yang
liar. Hikayatnya dimulai pada masa Neolitik sebagaimana ditandai oleh
sejumlah situs pertanian, diantaranya di Asia Barat Daya dan di Asia Tenggara.
Usaha peternakan di Indonesia telah dikenal sejak dahulu kala. Adanya bangsa
ternak asli di seluruh Indonesia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, ayam dan
itik, memberikan petunjuk bahwa penduduk pertama Indonesia telah mengenal ternak
sekurang-kurangnya melalui pemanfaatannya sebagai hasil perburuan. Pentahapan
sejarah usaha peternakan di Indonesia, disesuaikan dengan perjalanan sejarah.
Kedatangan bangsa-bangsa Cina, India, Arab, Eropa dan lain-lain, maka ternak kuda
dan sapi yang dibawa serta bercampur darah dengan ternak asli. Terjadilah kawin silang
yang menghasilkan ternak keturunan atau peranakan dipelbagai daerah Indonesia.
Disamping itu, dalam jumlah yang banyak masih terdapat ternak asli. Dengan demikian
terjadilah tiga kelompok besar bangsa ternak yaitu kelompok pertama adalah bangsa
ternak yang masih tergolong asli, ialah ternak yang berdarah murni dan belum
bercampur darah dengan bangsa ternak luar; kelompok kedua adalah kelompok
"peranakan", yaitu bangsa ternak yang telah bercampur darah dengan bangsa ternak
luar; kelompok ketiga adalah bangsa ternak luar yang dikembangbiakan di Indonesia,
baik murni dari satu bangsa atau yang sudah bercampur darah antara sesama bangsa
ternak "luar" tersebut. Bangsa ternak demikian dikenal dalam dunia peternakan sebagai
ternak "ras" atau ternak "negeri".
Topik ini bermanfaat bagi mahasiswa yakni sebagai titik awal dalam
mempelajari mata kuliah pengantar ilmu peternakan, setelah mempelajari modul ini
mahasiswa akan mendapat materi lanjutan berupa regulasi peternakan di Indonesia dan
taksonomi bangsa /jenis ternak yang didomestikasi. Topik ini memiliki relevansi dengan
mata kuliah lainnya terutama dengan mata kuliah dasar ilmu ternak dan ilmu produksi
ternak. Setelah mempelajari modul ini pembaca (mahasiswa) diharapkan memiliki
kompetensi akhir yakni dapat menjelaskan domestikasi dan sejarah usaha peternakan di
Indonesia.
1.2. PENYAJIAN
1.2.1 Pengertian Domestikasi.
Domestikasi secara etimologis, berasal dari kata Latin domus, atau rumah
tangga: penjinakan hewan liar atau hewan buas dsb: binatang liar yg baru ditangkap di
hutan perlu agar dapat dimanfaatkan kegunaannya oleh manusia atau transformasi dari
gaya hidup “liar” menuju yang berbudaya yang terjadi ketika manusia mulai berdomisili
secara tetap, mulai terbatasi horison-horisonnya. Sehingga dalam kaitan dengan ternak
maka domestikasi berarti proses penjinakan hewan-hewan yang hidup liar menjadi
hewan-hewan piaraan. Kegiatan atau proses domestikasi belum berakhir karena
manusia masih juga menambah jenis-jenis hewan piaraan yang baru,misalnya rubah
untuk diambil bulunya.
1.2.2. Landasan Dalam Memahami Domestikasi.
Diperhadapkan pada upaya melaksanakan pembangunan berwawasan
lingkungan hidup, transformasi sumber hayati tersebut nampak perlu secara bijaksana
diserasikan dengan berbagai kegiatan dalam payung pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan. Dampak apa pun yang mungkin dapat ditimbulkan oleh suatu kegiatan,
seyogyanya telah diperhitungkan secara cermat semenjak tahap perencanaan kegiatan,
sehingga langkah pengendaliannya diantisipasi secara dini.
Bertolak dari uraian di atas, selanjutnya akan dipaparkan suatu deskripsi hasil
penalaran tentang domestikasi tumbuhan dan hewan. Sebagai suatu elaborasi pemikiran
terbatas waktu, deskripsi dimaksud terfokus pada upaya menjawab: apa (ontologi),
bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) domestikasi tumbuhan dan
hewan., sebagai berikut :
1.2.2.1. Landasan Ontologis
Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani yakni ta onta dan logi. Ta onta
berarti berada dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran, sehingga ontologi dapat
diartikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang keberadaan suatu obyek
Dalam lingkup pengalaman manusia, tumbuhan dan hewan termasuk jazad
renik telah dan sementara menjadi objek transformasi dari kehidupannya yang liar
menjadi jinak. Transformasi yang dikenal sebagai domestikasi ini, menurut Wallack
(2001), telah berlangsung lebih dari 10 000 tahun terakhir, bagi ratusan jenis tumbuhan
dan hewan, yang kini menjadikannya andalan dalam memenuhi kebutuhan manusia.
Diperhitungkan 61 % bahan kering edibel dari tanaman utama dunia berasal dari
gandum, jagung , dan padi. Selebihnya dari sekitar 100 spesies tumbuhan, antara lain :
kedelai, tebu, sorghum, kentang, dan ubi kayu. Di samping itu, sekitar 95 % dari
produk daging, susu, dan telur unggas dihasilkan oleh sebanyak lima spesies
hewan ternak. Sementara produk akuakultur berasal dari sekitar 200 spesies
biota air (Pullin, 1994). Selain sejumlah spesies pohon kayu dan puluhan pohon
buah-buahan yang telah didomestikasi, Leakey (1999) mengidentifikasi 17
spesies buah-buahan tropis yang potensial dikembangkan dalam sistem
agroforestri dan pada bidang peternakan di Indonesia pemerintah telah
mengkampanyekan pemanfaat jenis Satwa Harapan sebagai sumber protein
dimasa mendatang.
Domestikasi sebagai proses perkembangan organisme yang dikontrol
manusia, oleh Evans (1996) dinyatakan mencakup perubahan genetik
(tumbuhan) yang berlangsung sinambung semenjak dibudidayakan. Dengan
demikian, domestikasi berkaitan dengan seleksi dan manajemen oleh manusia,
dan tidak hanya sekedar pemeliharaan saja. Spesies organisme eksotik yang
dipindahkan dari habitat aslinya ke wadah budidaya, karakteristik genetiknya
terubah dengan maksud tertentu, atau sebaliknya, melalui sembarang
cara/manajemen pemeliharaan, seleksi dan manajemen genetik (Pullin, 1994).
Dalam hal ini, mendomestikasi adalah menaturalisasikan biota kekondisi
manusia dengan segala kebutuhan dan kapasitasnya.
Dalam domestikasi tanaman, Evans (1996) mengungkapkan secara luas berbagai
perubahan yang terjadi pada penampilan tumbuhan, mulai dari yang menyangkut retensi
benih hingga ke isi DNA. Demikian halnya perubahan bentuk dan ukuran pada
sejumlah tanaman, serta laju perkembangan dan pertumbuhannya. Lebih dari pada itu,
sejumlah tumbuhan yang didomestikasi ternyata kehilangan substansi racun sebagai
unsur proteksi alaminya terhadap hama dan penyakit. Tampaknya, perubahan-
perubahan ini terpaut dengan penimbulan (mengefisiensi) dan penenggelaman
(mendefesiensi) satu atau lebih unsur genetik seturut dengan faktor lingkungan
budidaya yang dikenakan. Hal yang kemudian membuka peluang kemodifikasi genetik
ini, antara lain ditandai ketika tanaman tebu Saccharum officinarum disilangkan dengan
S. spontaneum yang memiliki gen yang tahan atas penyakit cacar yang mewabah pada
tahun 1880.
Seperti halnya hewan, perpindahan lokasi dari tumbuhan yang didomestikasi
berlangsung secara luar biasa, menyebar luas dan jauh dari asalnya, bahkan terkadang
melimpah di kawasan yang didatanginya. Dicontohkan oleh Wallack (2001), gandum
yang berasal dari Timur Tengah, kini diproduksi besar-besaran di Cina, India, dan
Amerika. Jagung yang asalnya Meksiko, tapi Brasilia menumbuhkannya tiga kali lebih
banyak, China sebanyak enam kali lebih banyak, dan Amerika sebanyak 10 kali.
Kentang yang mulainya di Andes, kini produktor utamanya adalah Cina, Rusia dan
Polandia. Selain dengan jelas menunjukkan difusi dan adopsi teknologi berkenaan
dengan hasil domestikasi, tapi hal ini menunjukkan juga kemampuan hasil domestikasi
dalam mengkolonisasi daerah baru.
Subjek domestikasi, seperti menurut Evans (1996) terhadap tumbuhan, menarik
minat sejumlah disiplin ilmu, diantaranya antropologi, arkeologi, biokimia, genetika,
geografi, linguistik, biologi molekuler, fisiologi, dan sosiologi. Dengan demikian,
banyak aspek domestikasi telah diungkapkan selama ini, misalnya mengenai sejarah dan
keterkaitannya dengan kebudayaan, demikian pula dengan permasalahan lingkungan
hidup yang ditimbulkannya. Ringkasnya, domestikasi tumbuhan dan hewan tidak saja
sekaligus mendomestikkan pengelompokkan manusia (humandkind) dalam suatu
permukiman, tapi juga menurut Wallack (2001), manusia secara mutlak kini tergantung
pada hasil domestikasi yang dilakukannya.
Uraian terdahulu mengungkapkan bahwa ternyata ujud hakiki dari apa yang
disebut domestikasi tumbuhan dan hewan sebagai masukan/input, proses, dan
hasilnya/output mengandung banyak aspek dan bermatra luas. Penjelajahan selanjutnya
terhadap hal ini melalui pendekatan multi-disipliner, dipandang sebagai pilihan yang
memihak pada perwujudan fungsi sains dalam kehidupan manusia.
1.2.2.2. Landasan Epistemologis
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti “pengetahuan” dan logos
yang berarti “teori”. Jadi epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan. Dalam
ilmu filsafat, epistemologi dikategorikan sebagai cabang ilmu yang mempelajari asal
mula pengetahuan, struktur, metode dan validitas pengetahuan (Nasoetion, 1999; Keraf
dan Dua, 2001; Thoyibi, 1999; Mandey, 2000).
Mengutip uraian Suriasumantri (2000), tahap mistis adalah masa di mana sikap
manusia menunjukkan keberadaaannya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di
sekitarnya. Sejalan dengan perkembangan penalaran, upaya manusia dalam memenuhi
rasa ingin tahu dan kebutuhannya, mengikuti tahapan perkembangan kebudayaan yang
meliputi tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Tahap ontologis adalah
masa di mana sikap manusia mengambil jarak dari objek di sekitarnya serta mulai
melakukan telaahan terhadap objek tersebut. Tahap fungsional adalah masa di mana
sikap manusia selain memiliki pengetahuan berdasarkan telaahan terhadap
objek-objek sekitarnya, tapi juga memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi
kepentingan dirinya dan lingkungan hidupnya.
Proses domestikasi tumbuhan dan hewan, nampaknya mengikuti tahapan sikap
manusia sebagaimana dikemukakan terdahulu. Dengan demikian, pengetahuan
menjinakkan tumbuhan dan hewan diawali pada tahap mistis ketika manusia bersikap
menghadapi kekuatan yang mengepungnya sekaligus berupaya mempertahankan
kehidupannya. Pada tahap ontologis di mana ilmu mulai berkembang, manusia
mengambil jarak dengan objek domestikasi, bertindak sebagai subjek yang mengamati,
menelaah dan memanfaatkan. Mengawalinya, tahap ontologis melahirkan pengetahuan
yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat yang didukung oleh metode
mencoba-coba, namun secara historis tercatat tingkat teknologinya tinggi meskipun
tetap terbelakang dalam bidang keilmuan (Suriasumantri, 2000). Tumbuhnya
pengetahuan yang tergolong seni terapan ini, seperti antara lain dalam peradaban Mesir
kuno, Cina dan India, mengikutsertakan perkembangan awal pertanian dalam
mendomestikasi tumbuhan dan hewan. Selanjutnya, telaahan terhadap objek sekitar
seperti domestikasi, didekati secara rasional yang mengandalkan penalaran deduktif,
dan kemudian melalui metode ilmiah yang menggabungkan penalaran deduktif dan
pengalaman empiris.
Domestikasi tumbuhan dan hewan secara aktual dilakukan manusia berdasarkan
prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang ditemukan dengan menggunakan metode
ilmiah. Dalam hal ini, prinsip dan konsep mendomestikasi disusun dengan menerapkan
penalaran deduktif, sementara kesesuaiannya dengan fakta diverifikasi dengan
menerapkan penalaran induktif.
Berkaitan dengan masalah objek empiris dalam domestikasi tumbuhan
dan hewan, ada dua kelompok pertanyaan yang teridentifikasi berbeda menurut
bidang ilmu dan menurut bidang teknologi. Dalam bidang ilmu, objeknya adalah
gejala yang sudah ada, sementara dalam bidang teknologi, objeknya adalah
gejala yang ingin diciptakan. Kejelasan tentang struktur dan bentuk susunan
serta hubungan antar bagian, merupakan prinsip dan konsep yang dipertanyakan
dalam bidang ilmu. Struktur suatu gejala yang dikehendaki agar suatu fungsi
yang diinginkan terlaksana beserta cara membentuk struktur dimaksud,
merupakan konsep yang ditangani dan ingin dihasilkan dalam bidang teknologi.
1.2.2.3. Landasan aksiologis
Aksiologi adalah ilmu yang mempertanyakan nilai suatu obyek yang akan dikaji.
Secara signifikan, hasil transformasi tumbuhan dan hewan yang dilakukan dalam
lingkup domestikasi, telah memberi manfaat dan membawa berkah bagi manusia. Dari
upaya untuk sekedar memenuhi kepentingan praktis, domestikasi tumbuhan dan hewan
berkembang aktual untuk tujuan meningkatkan produksi dan mengembangkan kualitas
produk dari beragam usaha pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan. Dengan
demikian, domestikasi sumber hayati ini berkontribusi besar dalam mewujudkan
tujuan ketersediaan pangan, termasuk ketika swasembada pangan pernah dicapai
Indonesia.
Diperhadapkan pada isu dunia mengenai lingkungan hidup yang cenderung
mengalami degradasi, domestikasi organisme diarahkan pula untuk konservasi genetik
dan/atau plasma nuftah. Sejalan dengan itu, konservasi ekosistem diupayakan,
khususnya hutan dan laut. Sementara FAO mencatat bahwa di samping sebanyak enam
keuntungan domestikasi NWTP (non-wood timber products), terdapat empat keadaan
merugikan (Simon, 1996). Keuntungannya meliputi produksi yang diandalkan,
mengurangi tekanan pada hutan, menghasikan pendapatan, mudah panen, perbaikan laju
pertumbuhan, dan peningkatan nilai tanaman. Keadaan yang merugikan ditunjukkan
pada peningkatan kerentanan terhadap hama, kehilangan fungsi ekologis,
ketergantungan pada sumber benih liar yang baru, dan menambah nilai keuntungan
pada korporasi/perusahan besar yang ada.
Tanpa mengabaikan sejumlah kerugian, sesungguhnya tumbuhan dan hewan
yang didomestikasi menerima perlakuan istimewa yang memungkinkan potensi gennya
diberdayakan dengan berbagai cara manipulasi. Meskipun demikian, proses domestikasi
yang berlangsung juga merupakan gangguan fisik-biologis terhadap integritas spesies.
Transformasi dilakukan dengan risiko yang tidak saja sukar diramalkan tapi juga yang
kurang menjadi perhatian. Untuk itu, selain dibutuhkan rumusan bioetik secara spesifik,
nilai-nilai universal menghargai alam perlu dijabarkan terinci dalam memandu aktivitas
domestikasi tumbuhan dan hewan selanjutnya.
Sepintas mencermati domestikasi tumbuhan dan hewan, maka pengakuan
terhadap berbagai keberhasilan manusia selama ini dalam mentransformasi fungsi dan
struktur elemen daur hayati. Transformasi yang telah dan sementara berkontribusi
dalam memenuhi kebutuhan pangan ini, menyertakan kebutuhan ruang yang
bersesuaian bagi hasil transformasi tersebut. Sesuai kapasitas rasional dari lingkungan
beserta sumber dayanya, seharusnya setiap bagian harus dapat berkontribusi dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Untuk itu ke depan, serangkaian upaya
dibutuhkan dalam memantapkan pengembangan domestikasi sumber hayati dengan
menerapkan pendekatan multi-disipliner berdasarkan metodologi sistem.
1.2.3. Cara-cara dan Tahapan Domestikasi.
Semua hewan ternak yang dibudidaya manusia sekarang ini mengalami proses
domestikasi beribu tahun yang lalu. Mengenai "approximate dates" dan lokasi-lokasi
dari "original domestication", dapat diketahui dari pelajaran sejarah domestikasi.
Berdasarkan hasil penalaran manusia selama ini, tumbuhan dan hewan didomestikasi
dengan beragam cara, dari yang sederhana hingga ke cara yang sangat maju ditopang
dengan oleh perkembangan bioteknologi. Sederhananya, seperti untuk tanaman buah-
buahan menurut Demchik dan Streed (2002) dengan cara bertahap yakni :
a) Wildcrafting : adalah praktek panen tanaman dari alam atau habitat "liar", untuk
makanan atau obat tujuan. Ini berlaku untuk tanaman hidup dimanapun mereka
dapat ditemukan, dan tidak terbatas pada suatu daerah. Pertimbangan etis sering
terlibat, seperti melindungi spesies yang terancam punah..
b) Stand Improvement: Secara sederhana, perbaikan keberadaan adalah pengobatan,
atau tindakan, yang meningkatkan pertumbuhan pohon yang terbaik dengan
menghapus semua pohon yang ada di disekitarnya.
c) Penanaman/Pemeliharaan.
d) Seleksi, Pemuliaan, dan Penggunaan Stok Andal dalam Proses Budidaya.
e) Bioteknologi sebagai penerapan biologi molekuler, genetika molekuler dan rekayasa
genetika, transformasi gen merubah organisme eksotik menjadi (Genetically
Modified Organism (GMO) dan Transgenic Organism (TO).
Kerbau.
Ternak kerbau lokal yang dikenal sebagai Kerbau Lumpur sudah sejak
dahulu terdapat diseluruh nusantara. Dengan kedatangan bangsa India ke
Sumatera, dibawa juga kerbau Murrah yang kini masih banyak terdapat didaerah
Sumatera Utara dan Aceh.
Kambing.
Kambing lokal atau kambing kacang telah ada di seluruh Nusantara.
Didalam zaman Hindia Belanda didatangkan juga kambing bangsa India
(Ettawah) yang merupakan kambing perah dan disebarkan hampir diseluruh pantai utara
pulau Jawa. Namun persilangan yang terkenal kini adalah kambing Peranakan Ettawah
(PE). Bebarapa bangsa kambing lain juga didatangkan yaitu : Saanen.
Domba.
Ternak domba dibagi dua bangsa yang terkenal yaitu domba ekor gemuk dan
domba lokal lainnya, yang tersebar diseluruh Nusantara. Semua bangsa domba ini
adalah tipe daging. Dizaman Hindia Belanda didatangkan bangsa domba tipe wol
misalnya Merino, Ramboillet, Romney dan tipe daging misalnya Corriedale dan
Suffolk. Persilangan bangsa domba wol dan daging dengan domba lokal Priangan
menghasilkan domba yang sangat terkenal diwaktu ini ialah domba Garut.
Babi.
Ternak babi lokal tersebar diseluruh Nusantara. Dizaman Hindia Belanda
didatangkan babi ras dari Eropah yaitu Yorkshire, Veredelde Deutchland Landvarken
(VDL), Tamworth, Veredelde Nederlandsche Landvarken (VNL), Saddleback, Duroc,
Jersey dan Berkshire.
Sapi Perah.
Pada permulaan abad ke 20 telah terdapat perusahaan sapi perah dipinggiran
kota-kota besar di Jawa dan Sumatera. Kebanyakan perusahaan adalah milik bangsa
Eropah, Cina, India dan Arab. Hanya sebagian kecil milik penduduk asli. Bangsa sapi
perah yang ada ialah Fries Holland, Jersey, Ayrshire, Dairy Shorthorn dan Hissar.
Kemudian ternyata yang terus berkembang adalah Fries Holland. Bangsa sapi Hissar
masih terus diternakkan didaerah Sumatera bagian Utara dan Daerah Istemewa Aceh.
Ayam
Disamping ayam kampung, di zaman Hindia Belanda telah diperkenalkan ayam
ras tipe petelur misalnya leghorn dan ayam ras tipe pedaging misalnya Rhode Island
Red dan Australorp. Persilangan Autralorp dengan ayam kampung yang terkenal adalah
Ayam kedu.
Itik
Di samping itik lokal, di zaman Hindia Belanda telah didatangkan bangsa itik
Khaki Campbell dan itik Peking. Bangsa itik lokal yang terkenal : adalah itik Tegal, itik
Karawang dan itik Alabio.
Aneka Ternak
Aneka ternak misalnya ternak kelinci, burung puyuh dan burung merpati, belum
memperoleh perhatian pemerintah Hindia Belanda. Kelinci hanyalah digunakan di
balai-balai penelitian sebagai hewan percobaan. disinilah asalnya istilah :
Kelinci percobaan.
2. Pengadaan Peraturan.
Peraturan-peraturan yang diterbitkan selama masa Hindia Belanda,
terbanyak setelah dibentuk badan resmi yang menangani bidang peternakan
dalam tahun 1905. Semua peraturan tersebut dapat dikelompokan kedalam 4
kelompok, yaitu :
1. Peraturan yang menyangkut pengaman ternak
2. Peraturan yang menyangkut produksi, populasi dan sarana produksi ternak
3. Peraturan yang menyangkut pemotongan ,pajak potong, distribusi, tata niaga dan
sarana-sarana peternakan.
4. Peraturan yang menyangkut bahan-bahan veteriner dan kesehatan masyarakat
Veteriner.
3. Pameran Ternak
Pameran ternak diadakan untuk pertama kali di Blora (1876). Kemudian
di Surabaya(1878), Blora(1887), Bandung(1899). Pada tahun 1906 secara resmi
diadakan oleh BVD di Kebumen dan Bandung.Tujuannya lebih banyak bersifat
penyuluhan kepada para peternak, sehingga ternak yang unggul dapat dijual atau
dibeli dengan harga premium.
4. Taman Ternak
Taman ternak pertama didirikan di Karanganyar di desa Pecorotan pada
tahun 1909, namun pada tahun 1912 dipindahkan ke desa Jiladri. Kemudian
menyusul pendirian taman ternak di Bandar (1916), Purworejo(1918),
Pengarasan Tegal(1920), Kedu Selatan, Rembang dan Padang Mangatas(1922).
Taman ternak ini merupakan sumber ternak bibit dan sumber bibit makanan
ternak. Beberapa pusat pembibitan ternak kuda dan sapi di Sumatra, kemudian
juga diperluas menjadi taman ternak.
5. Koperasi Peternakan
Koperasi peternakan dianjurkan, terutama didalam pembelian pejantan
bersama. Koperasi peternakan yang pertama didirikan di Salatiga, Kedu dan
Tasikmalaya.
6. Sensus Ternak
Dalam tahun 1867 pemerintah di Jawa dan Madura diwajibkan
mengadakan sensus ternak di daerahnya masing-masing. Sensus ternak secara
resmi mulai diadakan pada tahun 1905.
7. Pengamanan Ternak
Pengaman ternak merupakan lanjutan dan perluasan kegiatan pemerintah VOC.
Sebelum BVD dibentuk pada tahun 1905, kegiatan pencegahan dan pemberantasan
penyakit, dilakukan oleh dokter-dokter hewan yang didatangkan sejak tahun 1820
sebagai penasehat pemerintah. Namun sejak BVD lahir, pencegahan dan pemberantasan
penyakit secara resmi ditangani pemerintah Hindia Belanda.
8. Pengadaan Ternak
Sarana peternakan yang dimaksudkan disini adalah : tanah pangonan, pasar
hewan, karantina, rumah potong hewan, kapal hewan.
9. Produksi Sera dan Vaksin
Produksi Sera dan Vaksin untuk ternak terutama diadakan oleh Balai
Penyelidikan Penyakit Hewan yang didirikan di Bogor.
10. Pendidikan dan Penelitian
Sekolah dokter hewan pertama didirikan pada tahun 1860 di Surabaya, tapi
karena kurang peminat, maka ditutup pada tahun 1875. Baru pada tahun 1907 dibuka
kembali di Bogor. Sekolah Menengah Kehewanan didirikan di Malang dan Bogor.
Pendidikan Mantri Hewan ditangani langsung oleh Jawatan Kehewanan diwaktu itu.
Penyelidikan penyakit hewan ditangani dengan dibangun Balai Besar Penyakit Hewan
dan Balai Penelitian Peternakan di Bogor, Balai Penyelidikan Penyakit Mulut dan Kuku
di Surabaya.
Dari catatan sejarah dapat disimpulkan bahwa pengembangan peternakan masa
itu dapat disejajarkan dengan tuntutan perekonomian negara. Pendirian pabrik gula
(1830-1835) banyak memerlukan ternak sebagai tenaga kerja. Untuk itu diimpor ternak
dengan konsekuensi timbulnya berbagai wabah penyakit seperti penyakit Ngorok
(Septichaemia Epizotica, 1884) di Jawa Barat, Anthrax (1884) di Lampung, Surra
(1886) di Jawa Barat, penyakit Mulut dan Kuku (1884) di Jawa Timur dan Rabies
(1989) di Jawa Barat.
Untuk itu tahun 1841 dibentuk semacam Dinas Kehewanan didaerah-daerah dan
tahun 1905 dibentuk Jawatan Kehewanan Pusat (Buurgelijk Veeartsenijkundige Diest
atau BVD). Pada tahun yang bersamaan pemerintah Belanda melakukan survei
kemiskinan Jawa dan Madura. Tindak lanjut hasil survei mulai dilaksanakan impor
ternak. Namun dengan konsekuensi terbawa penyakit ternak sehingga menimbulkan
wabah yang sangat merugikan seperti Rinderpest (1912). Untuk itu pemerintah Belanda
menerbitkan Ordonansi yang mengatur Campur Tangan Pemerintah pada Urusan
Peternakan dan Kesehatan Hewan ( Ordonansi No.432 tahun 1912). Pada tahun
1935 di Bogor didirikan Sekolah Dokter Hewan yang pertama.
1.2.6.3. Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang pembinaan peternakan hampir tidak dilakukan
bahkan untuk kepentingan konsumsi terjadi pemotongan yang berlebihan sehingga
mengakibatkan pengurasan populasi ternak sapi dari 4.604 ribu ekor menjadi 3.840 ribu
ekor atau turun 16,5 persen, kuda dari sekitar 740 ribu ekor menjadi 500 ribu ekor atau
turun 32 persen, kambing dari sekitar 7.600 ribu ekor menjadi 6.100 ribu ekor atau
turun 20 persendan babi dari sekitar 1.320 ribu ekor menjadi 530 ribu ekor atau turun 60
persen.
1.2.7. Sejarah Perkembangan Peternakan Zaman Kemerdekaan.
1.2.7.1. Masa Pra-Pelita
Sebelum masa Pelita terdapat dua konsep pembangunan yakni Rencana Kasimo
(27 November 1947) dan Pembangunan Semesta Berencana (1961-1969).
Pembangunan Peternakan diarahkan kepada pemenuhan bahan makanan yang cukup.
Program penggalakan minum susu di berbagai daerah dimasyarakatkan dengan slogan
Empat Sehat Lima Sempurna
Pada Rencana Kasimo diberikan prioritas pada peningkatan bahan pangan
rakyat termasuk komoditi peternakan. Kenaikan beberapa populasi ternak per tahun
diproyeksikan seperti sapi sekitar 4%, kerbau 2%, kambing 5% dan babi 10%.
Diberbagai daerah dibangun Taman Ternak dalam rangka program Rencana
Kemakmuran Indonesia (RKI), sebagai sumber pembibitan ternak didaerah-daerah.
Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana memberikan prioritas kepada
penyediaan bahan pangan. Sasaran diberikan kepada swasembada beras. Diberikan pula
perhatian kepada penyediaan protein baik nabati maupun hewani (kedelai, peternakan ayam).
Ditetapkan standar konsumsi protein hewani 8 gram perkapita perhari. Karena situasi dan
kondisi perekonomian pada kurun waktu tersebut tidak memungkinkan, maka praktis kedua
rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Pada tahun 1967 lahir Undang-undang No.6 tentang Pokok-pokok Peternakan
dan Kesehatan Hewan, dan pada tahun yang sama dilakukan Survei Inventarisasi
Hewan (SIH) Nasional.
1.2.7.2. Masa Pelita
Sejalan dengan kelahiran Orde Baru (1969) dilaksanakan penataan kembali
kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita kemerdekaan antara lain
menghantar bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
• Pada tahun 1989 Indonesia diakui Internasional dari Bebas Penyakit Mulut dan
Kuku.
• Pelaksanaan pembangunan peternakan dilaksanakan melalui 3 evolusi pendekatan
yaitu : teknis, terpadu dan agribisnis
• Panca Usaha Ternak menjadi Sapta Usaha Ternak
• Penerapan teknologi produksi, ekonomi dam sosial melahirkan program yang dikenal
sebagai :
• Pilot Proyek Bimas unggas
• Panca Usata Ternak Potong ( PUTP )
• Pengembangan Usaha Sapi Perah ( PUSP )
• Intensifikasi Ayam Buras ( INTAB )
• Intensifikasi Ternak Kerja ( INTEK )
• Industri Peternakan Rakyat ( INNAYAT )
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Ternak Potong
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Bakalan
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Penggemukkan
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Pakan
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Saham.
1.3. PENUTUP.
1.3.1. Ringkasan.
Domestikasi atau penjinakan tumbuhan dan hewan merupakan markah awal
perkembangan pertanian secara luas.Proses belajar menanam dan beternak berawal dari
domestikasi aneka tumbuhan dan hewan dari kehidupannya yang liar. Dalam
memahaminya harus terfokus pada upaya menjawab: apa (ontologi), bagaimana
(epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) domestikasi tumbuhan dan hewan.
Beberapa tingkatan yang dapat dicapai manusia dalam upaya penjinakan hewan
ke dalam suatu sistem budidaya. adalah sebagai berikut: a). domestikasi sempurna, yaitu
apabila seluruh daur hidup sudah dapat berlangsung dalam sistem budidaya, b).
domestikasi hampir sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidupnya dapat berlangsung
dalam sistem budidaya, tapi keberhasilannya masih rendah dan c). domestikasi belum
sempurna, yaitu apabila baru sebagian daur hidupnya dapat berlangsung dalam sistem
budidaya.
Pentahapan sejarah usaha peternakan di Indonesia, disesuaikan dengan per-
jalanan sejarah, di dalam kurun waktu tersebut dapat dipelajari sejauh mana pemerintah
dikala itu memperhatikan perkembangan bidang peternakan atau segi pemanfaatan
ternak oleh penduduk diwaktu itu. Pentahapan tersebut adalah sebagai berikut: zaman
kerajaan tua, penjajahan ( VOC, Belanda dan Jepang ) dan zaman kemerdekaan ( pra
pelita, pelita dan reformasi ).
1.3.2. Evaluasi.
1.3.2.1. Soal Latihan.
1. Jelaskan pengertian domestikasi.
2. Jelaskan landasan dalam memahami domestikasi.
3. Jelaskan cara-cara dan tahapan domestikasi.
4. Jelaskan peranan domestikasi bagi manusia
5. Jelaskan sejarah perkembangan peternakan zaman kerajaan tua.
6. Jelaskan sejarah perkembangan peternakan zaman penjajahan.
7. Jelaskan sejarah perkembangan peternakan zaman kemerdekaan.
Demchick, M. dan E. Streed. 2002. Non-timber Forest Products and Implication for
Forest Managers : Use, Collection, and Growth of Berriers, Fruits, and Nuts.
University of Minnesota Extention Service, 405 Coffey Hall.
Ditjen Peternakan Jakarta, Sekelumit Sejarah Usaha Peternakan Di Indonesia
Evans, L.T. 1996. Crops Evolution, Adaptation, and Yield. Combridge Univ.
Press.http://en.wikipedia.org/wiki/Wildcraftinghttp://www.na.fs.fed.us/stewards
hip/faq/04standimprove.html)
Keraf, A.S. dan M.Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Fisolofis. Penerbit
Kanisius. p: 158.
King, J. dan D. Stabinsky.1998. Biotechnology under globalisation: The Corporate
Expropriation of Plant, Animal and Microbial Species. http://hornacek.coa.edu/
dave/Reading/race.html.
Leakey, R.B.B. 1999. Potential for Novel Food Products From Agroforestry Trees : A
Review. Food Chemistry 66 : 1 – 14.
Mandey, C.F.T. 2000. Pengetahuan. http://www.sulutlink.com/ termpaper3.htm.
Nasoetion, A.H. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa. Jakarta.
Pullin, R.S.V. 1994. Exotic Species and Genetically Modified Organisms in
Aquaculture and Enchanced Fisheries : ICLARM’s Position. NAGA, the
ICLARM Quarterly. 17(4): 19 – 24.
Simon, A.J. 1996. ICRAF’s Strategy for Domestication of Non-Wood Tree Products.
http://.www.fao.org/docrep/w3735e/3735eo7.htm.
Suriasumantri, J.S. 2000. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Cetakan XIII.
Pustaka Sinar Harapan.
Thoyibi, M. 1999. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Mohammadiyah University
Press. Surakarta. p:105
Wallack, B. 2001. The Great Mirror : An Introduction to Human Geography.
http://geography.ou.edu/courses/1103bw/domestication.html.
Wapedia.mobi/id/Domestikasi
Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1994. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Gadjah Mada University Press, Yoyakarta (Diterjemahkan oleh SGN Djiwa
Darmadja).
Zairin, M.Jr. 2003. Endokrinologi dan Perannya Bagi Masa Depan Perikanan
Indonesia. Orasi Ilmiah Gurubesar FPIK IPB.