Anda di halaman 1dari 19

Tugas Kepaniteraan Klinik Paru

RS Paru DR. M. Goenawan Partowidigdo


Periode 24 Mei-4 Juni 2021

Pembimbing:
dr. Alvin Kosasih, Sp.P(K), MKM. FISR, FAPSR

Anggota Kelompok:
Muhammad Wahyu Kuncoro Adji 41201396100021
Putri Windiana Rahman 41201396100022
Rosita Ayu Pangesti 41201396100023
Annas Bakhtiar 41201396100024
Marsya Almira Damayanti 41201396100025
Syifa Salsabila 41201396100026
Safira Qalbissilmi 41201396100027
Amaliya Mata`ul Hayah 41201396100028
Aninditha Hudiya 41201396100029

Program Studi Profesi Dokter


Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2021 M
ASMA

Onset Kronik, Akut

Epidemiologi Perempuan, tinggal di perkotaan, terpapar alergen terus menerus, 80%


penderita asma ditemukan mengalami rhinitis alergi

Faktor Resiko/ ● Faktor Endogen: Riwayat atopik, predisposisi genetik,


Etiologi hiperresponsivitas saluran napas, obesitas
● Faktor Lingkungan : Alergen (Tungau, serbuk sari, debu rumah, dst.),
dingin, polusi, kelembaban, makanan, pajanan okupasi.
● Faktor pemicu: alergen, olahraga, hiperventilasi, perubahan cuaca
(udara dingin), obat-obatan, stress, zat iritan (asap dan bau yang
tajam).

Anamnesis KU: Sesak nafas dapat disertai mengi, yang berulang


RPS: Sesak nafas berulang yang memiliki pemicu, batuk produktif,
mengi, keluhan bisa jadi memberat pada malam hari, rasa berat di dada.
Biasanya ditemukan adanya pemicu dari keluhan.
RPD:
- Riwayat asma, alergi, atopi
- Riwayat pengobatan Asma
- Riwayat rhinitis dan sinusitis
RPK:
- Riwayat asma dan alergi pada keluarga
- Penyakit komorbid
RPSos:
- Merokok/Perokok pasif
- Pekerjaan dan tempat tinggal terpapar alergen
- Kebiasaan olahraga dan makan

Pemeriksaan ● KU: Tampak sesak, Sakit ringan- berat, bisa jadi duduk dalam
Fisik keadaan tripod position
● Tanda Vital: Takipneu, Takikardia
● THT: Napas cuping hidung (+), dapat ditemukan tanda rhinitis alergi
(membran yang pucat dan bengkak)
● Leher: Otot bantu nafas aktif
● Thoraks:
- Inspeksi: Tampak sesak, retraksi suprasternal, retraksi
sela iga, penggunaan otot bantu napas , kulit tampak sianosis,
takipneu, gerakan dinding dada cepat dan simetris.
- Palpasi: ekspansi dada simetris, fremitus normal
- Perkusi: Sonor (umumnya tidak terdapat kelainan)
- Auskultasi: Wheezing (+), terutama saat ekspirasi
● Dapat ditemukan tanda alergi pada organ lain (Pada kulit dapat
ditemukan dermatitis atopi)

Temuan pemeriksaan fisik Asma eksaserbasi:

Pemeriksaan 1. Spirometri: FEV1/FEC<70%


Penunjang 2. Arus Puncak Respirasi (APE) meningkat >20% setelah
pemberian bronkodilator
3. Uji alergi:
a. Hematologi: eosinofil >300-400 µL, peningkatan IgE
b. Skin prick test
4. Oksimetri: dapat terjadi ↓ saturasi oksigen sesuai dengan
serangan
5. Analisa Gas Darah : hipoksemia, hiperkarbia
6. Foto toraks: normal

Terapi Asma Akut:


1. Asesmen awal + Pemasangan Oksigen (dengan target saturasi
oksigen 93-95% (pada anak 94-98%)
2. Terapi inisial asma: SABA dengan/tanpa ICS tiap 20 menit
maksimal 3x/1 jam
3. Penilaian asesmen ulang 1 jam berikutnya:
a. Rawat Jalan
b. Rawat Inap
c. ICU

Tatalaksana di Rumah :

Tatalaksana di IGD :

Asma Stabil:
Asma stabil diklasifikasikan menjadi asma sebelum pengobatan dan
sesudah pengobatan.
Jenis obat yang digunakan:
1. Controller: ICS-formoterol
2. Reliever: low dose ICS-formoterol (atau alternative : short-acting
beta2-agonist)

Non Farmakologi :
● Menghindari polutan
● Berhenti Merokok
● Menghindari paparan alergen atau pencetus asma
● Melakukan aktivitas fisik ringan
● Menghindari obat-obat yang dapat memicu asma
● Menurunkan BB apabila IMT overweight
● Faktor Psikologikal (Manajemen stress dan emosional)

Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad Sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

→ Asma pada anak dengan usia sekolah akan hilang sendiri pada saat
dewasa pada 75% kasus. Anak yang mengalami asma dapat mengalami
penurunan fungsi paru yang persisten hingga dewasa diantaranya
penurunan FEV1 dan rasio FEV1/ FVC

PPOK
Onset Kronik

Epidemiologi ● Penyebab kematian ke-4 di dunia → prevalensi global


adalah 11.7% (95% CI 8.4%–15.0%)
● Umumnya terjadi pada usia paruh baya

Faktor ● Usia → Lebih dari 40 tahun


Risiko/Etiologi ● Genetik → Defisiensi alfa-1antitripsin
● Paparan terhadap partikel → Seperti rokok tembakau
● Infeksi → Riwayat infeksi saluran pernafasan dan HIV
● Asma → Orang dewasa dengan asma memiliki risiko yang
12 kali lebih besar dalam mendapatkan COPD, setelah
penyesuaian faktor merokok
● Status sosio-ekonomi → Terdapat bukti yang kuat terhadap
perihal korelasi yang terbalik antara perkembangan PPOK
dengan status sosio-ekonomi seseorang

Anamnesis KU : Sesak nafas


RPS : Batuk kronik disertai sputum, demam
RPD :
- Riwayat dirawat di rumah sakit karena gejala yang sama
- Riwayat PPOK, Asma, dan penyakit saluran nafas yang
lainnya.
RPK :
- Riwayat asma di keluarga
- Riwayat penyakit pernafasan di keluarga
RPSos :
- Kebiasaan merokok
- Pajanan polusi udara

Pemeriksaan Fisik Tanda Vital: Takipneu


Inspeksi
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)
Sebagai mekanisme tubuh mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.
- Barrel Chest: ketika perbandingan diameter antero-posterior
dan transversal 1:1
- Retraksi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Hipertrofi otot bantu napas
- Penampilan pink puffer: gambaran khas pada emfisema
yaitu pasien kurus, kulit kemerahan, dan pernapasan
pursed-lips
- Penampilan Blue Bloater: gambaran pada bronkitis kronik
yaitu gemuk, edema tungkai, ronkhi basah di basal paru,
dan sianosis sentral dan perifer.
Palpasi
- Pelebaran sela iga
- Fremitus melemah
Perkusi
- Hipersonor
- Batas jantung mengecil
- Letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

Auskultasi
- Vesikuler normal atau melemah
- Ronkhi atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa

Pemeriksaan 1. Uji Faal Paru


Penunjang Menggunakan spirometri untuk menilai Forced vital
capacity (FVC) dan Forced Expiratory Volume in 1 second
(FEV1). Nilai normal FEV1/FVC adalah >70%. Penderita
PPOK biasanya menunjukkan penurunan FEV1 dan FVC
yang berarti terdapat obstruksi saluran napas bawah.
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan
atau VEP1 /KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1 (VEP1 /VEP1
pred) < 80% VEP1 % (VEP1 /KVP) < 75 %. VEP1
merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

2. Foto Toraks PA dan Lateral


Foto toraks dan lateral dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit paru lain. Pada emfisema gambaran
menunjukkan hiperinflasi atau diafragma rendah dan rata,
hiperlusensi, pelebaran sela iga, dan jantung yang
menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal).
Sedangkan pada bronkitis kronik menunjukkan hasil yang
normal atau terlihat corakan bronkovaskuler yang
meningkat.

3. Analisis Gas Darah


Untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas
akut pada gagal napas kronik

4. Pemeriksaan Sputum
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan
kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman
dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita PPOK di Indonesia.
5. Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan darah rutin untuk melihat leukositosis pada
eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik, dan
melihat peningkatan hematrokrit.

Diagnosis Banding

Tata Laksana Tatalaksana PPOK Stabil


Obat-obatan:
Bronkodilator:
- Beta-2 agonis
SABA (Short Acting β2-agonist: Salbutamol, Terbutalin
LABA (Long Acting β2-agonist): Salmeterol, Folmoterol
- Golongan antikolinergik
SAMAs (Short Acting Muscarinik Antagonist): Ipratropium
bromide)
LAMAs (Long Acting Muscarinik Antagonist): Tiotropium
- Golongan Xantin
- Antiinflamasi: prednisolon atau prednison
- Mukolitik: Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut
karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama
pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi
tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

Tatalaksana PPOK Eksaserbasi Akut

- Pemberian oksigen: dititrasi dengan target saturasi 88-92%.


Lakukan AGD 30-60 menit setelah pemberian oksigen.
- Pertimbangkan intubasi dan pemasangan ventilator pada
PPOK eksaserbasi yang mengancam jiwa.
- Bronkodilator: inhalasi SABA dengan/tanpa antikolinergik
kerja singkat
- Kortikosteroid sistemik: prednisone PO 40 mh/hari selama
5 hari atau metilprednisolon 32 mg
- Antibiotik: diindikasikan pada eksaserbasi berat. Pemilihan
sesuai pola mikroba dan resistensi.

Tatalaksana Non-farmakologis
- Vaksinasi Flu
- Edukasi: Berhenti merokok, penggunaan obat-obatan,
penggunaan oksigen, tanda-tanda eksaserbasi akut dan
pengelolaannya
- Menghindari pencetus eksaserbasi
- Program rehabilitasi
BRONKIEKTASIS

Onset Kronik (bulanan - tahunan)

Epidemiologi Bisa terjadi pada semua usia, namun meningkat seiring


bertambahnya usia dengan perbandingan 8-10x lebih tinggi pada
usia >60 tahun dibanding usia <40-50 tahun.

Faktor risiko/ BE disebabkan oleh infeksi berulang dengan beberapa kondisi dan
etiologi penyakit yang dapat memicu kerusakan permanen, yaitu, penyakit
jaringan ikat, ABPA, cystis fibrosis, PPOK, imunodefisiensi,
aspirasi, kelainan silia.

KU : batuk berdahak yang tidak mereda meskipun diobat. Dahak


Anamnesis yang dihasilkan dapat berwarna bening, kuning pucat, atau kuning
kehijauan, tanda patognomotig sputum 3 lapis.

RPS : Mengi, sesak napas, nyeri sendi, clubbing finger, infeksi


berulang, penurunan BB, lelah.

Jika mengalami infeksi sekunder: tidak enak badan, nyeri menusuk


di dada yang semakin terasa saat bernapas, batuk memburuk dengan
dahak mengental, berubah warna semakin hijau, dan bau, sangat
lelah, sesak napas memburuk, hemoptisis.

RPK : memiliki riwayat infeksi berulang atau penyakit jaringan


ikat, ABPA, cystis fibrosis, PPOK, imunodefisiensi, aspirasi,
kelainan silia

RPSOS : merokok, asap kendaraan, padat penduduk, kebersihan


tempat tinggal

KU : tampak sesak
Pemeriksaan Fisik TV : RR: takipneu, HR: takikardi, TD: meningkat
Pemeriksaan Fisik Paru :

● Inspeksi : pernapasan pursed lip, sianosis, fase ekspirasi


memanjang, peningkatan diameter AP, clubbing finger
● Palpasi : penggunaan otot bantu napas saat inspirasi dan
ekspirasi
● Perkusi : hiperresonan jika obstruktif, pekak jika restriktif
● Auskultasi : crackles dan/atau ronki saat inspirasi, ekspirasi
yang memanjang
HRCT (High Resolution Computerised Tomtography Scan) [gold
Pemeriksaan standard] : 3 bentuk gambaran menurut klasifikasi Reid:
Penunjang ● Bronkiektasis silindris: tramtrack lines → dilatasi bronkus
dengan atau tanpa penebalan saluran pernapasan. Signet ring
→ dilatasi bronkus yang lebih lebar dibanding arteri
pulmonal sekitar
● Bronkiektasis varikosa: dilatasi segmen bronkus yang
disertasi konstriksi pada area lain
● Bronkiektasis kistik: honeycomb → bronkus berbentuk
kistik besar dengan air fluid level

CXR: peningkatan corakan paru, struktur seperti cincin, atelektasis,


pelebaran dan penebalan jalan napas (tram lines), penampakan
penumpukan mukus (finger in glove). Dapat tampak normal

Tes fungsi paru (spirometer): untuk mengetahui etiologi dan


progresi penyakit

Tes laboratorium
● Analisis Dahak: pada dahak terdapat konsentrasi berwarna
keputihan atau kekuningan (gumpalan dittrich). Melakukan
pewarnaan Gram dan kultur bakteri untuk mengetahui
adanya bakteri atau aspergillus.
● Pemeriksaan darah: darah lengkap (leukositosis, anemia).
● Tes keringat: pada pasien CF ditemukan kandungan garam
yang tinggi.
● Bronkoskopi.
● Tes skrining autoimun.

Terapi jangka pendek


Terapi ● Antimikroba, selama 14 hari untuk BE akut atau
eksaserbasi. Terapi empiris Ab oral lini pertama atau pada
infeksi Haemophilus Influenzae → amoksisilin oral 500 mg,
setiap 8 jam. Jika alergi diberikan klaritromisin 500 mg,
setiap 12 jam. Pseudomonas aeruginosa → fluorokuinolon
(siprofloksasin oral 750 mg, 2x/hari). M Catharralis →
amoksisilin-klavulanat 625 mg, setiap 8 jam. Dapat
diberikan Ab IV jika terapi oral gagal, rawat inap di RS, atau
resistensi in vitro yang membutuhkan terapi IV.

Terapi jangka panjang


● Terapi mukoaktif, diberi pada pasien eksaserbasi atau
kronik. Dapat diberi oral, inhalasi atau nebulasi:
carbocysteine dan N-acetylcysteine

● Obat antiinflamasi, mengurangi kerusakan jaringan:


kortikosteroid, penghambat leukotrien, NSAIDs

● Bronkodilator, meredakan gejala sesak: agonik beta 2


adrenergik, antikolinergik, teofilin.

Terapi Lain
● ACBT (active cycle of breathing), latihan agar dapat
mengeluarkan mukus dengan cara mengatur ritme napas

● Pembedahan, boleh direkomendasikan jika hanya satu lobus


paru BE, pasien tidak memiliki risiko untuk kambuh, atau
gejala BE tidak mereda setelah berbagai macam pengobatan
diberikan.

Pencegahan : berhenti merokok, menghindari perokok pasif, terapi


oksigen saat mengalami hipoksemia dan komplikasi berat, vaksin
flu setiap tahun, vaksin pneumococcal, latihan fisik secara teratur,
menjaga pola makan gizi seimbang.

SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis)

Onset Kronik

Epidemiologi ➔ Bervariasi antara 16-50% pada pasien TB Paru


➔ Lebih banyak di derita laki-laki usia 24 - 65 tahun

Faktor risiko Riwayat TB paru

Anamnesis KU : batuk berdahak


RPS : sesak, demam atau meriang, penurunan BB
RPD : pernah mengalami infeksi TB dan mendapat terapi TB
RPK : terdapat anggota keluarga yang mengalami infeksi TB,
RPSOS : merokok, polusi, paparan zat/debu di tempat kerja, padat
penduduk, higenitas yang buruk,

Pemeriksaan fisik KU : tampak sesak


TV : RR: takipneu, HR: takikardi, TD: meningkat
Pemeriksaan Fisik Paru :
● Inspeksi : tampak irama napas cepat dan menggunakan napas
perut, penggunaan otot bantu napas, bentuk dada pesh
carinatum, terdapat retraksi sela iga
● Palpasi: Ekspansi toraks ka/ki menurun, vocal fremitus
menurun. Perkusi dan auskultasi: Perkusi sonor (+), auskultasi
rhonchi (+).

Pemeriksaan Radiologi : Ditemukan gambaran bekas TB pada CT scan maupun


Penunjang foto toraks (fibrotik, kalsifikasi)
Fisiologi paru (spirometri) : obstruksi jalan napas irreversible

Gambaran tuberkuloma pada CT scan dengan kontras

Gambaran fibrosis pada foto toraks

Gambaran bronkiektasis

Terapi ● Bronkodilator :
○ Golongan anti-kolinergik : ipratropium bromide (0.5
mg)
○ Golongan agonis b-2 : salbutamol (2.5 mg)
○ Kombinasi ipratropium bromide (0.5 mg) &
salbutamol (2.5 mg)
○ Golongan xantin : aminofilin 200mg
● Antiinflamasi : prednison/metilprednisolon
● Anti oksidan : N-acetyl cystein
● Terapi oksigen
● Rehabilitasi medik

Mekanisme terjadinya TB ekstraparu tanpa TB paru


Setelah eksposur terhadap kuman M. Tuberculosis atau M.bovis, akan terjadi infeksi
tuberkulosis primer. Infeksi tuberkulosis primer dapat terjadi di paru, tonsil, ataupun usus
(ileum atau sekum) yang akan berlanjut ke pembentukan fokus primer dan limfangitis serta
limfadenitis regional (disebut juga kompleks primer). Kemudian kompleks primer dapat
menyebar secara lokal atau pun hematogen menjadi tuberkulosis ekstraparu.
Terjadinya tb ekstraparu tanpa tb paru mungkin terjadi karena infeksi tuberkulosis
primer tidak harus terjadi di paru, melainkan bisa juga di tonsil atau pun usus.
Mekanisme terjadinya TB ekstraparu
Kuman TB akan bersarang di jaringan paru yang disebut fokus primer. Fokus primer
akan mengalami peradangan saluran getah bening menuju hilus (Limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikut dengan pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Fokus primer dan limfangitis regional disebut juga kompleks primer. Kompleks
primer sendiri dapat menyebar dengan cara:
● Perkontinuitatum.
Contohnya pada kasus epituberkulosis. Kuman TB akan menjalar sepanjang bronkus
yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus
yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
● Penyebaran secara bronkogen.
● Penyebaran secara limfogen.
Penyebaran infeksi ke ekstra paru biasanya berawal dari penyebaran ke kelenjar limfa.
Penyebaran dari simtem limfatik ini dapat berlanjut ke penyebaran hematogen melalui
duktus torasikus.
● Penyebaran secara hematogen.
Penyebaran ini akan menimbulkan darurat seperti TB milier, meningitis TB,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan TB pada alat
tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.

DAFTAR REFERENSI:
1. Global Initiative for Asthma (GINA). Global Strategy for Asthma Management and
Prevention (2021 Update).2021
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
2008
3. Jameson, Fauci, etc. Harrison's Principles of Internal Medicine 20th edition. New
York: McGraw-Hill Education. 2018.
4. Agusti A, et al. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Geneva: GOLD Committee. 2020.
5. Amin M, Yunus F, Antariska B, Djajalaksana S, Wiyono MH, Sutoyo DK, et al.
PPOK diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta. 2020.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta: Tim Kelompok Kerja PPOK; 20011.
7. Prevalence - Bronchiectasis [Internet]. bronchiectasis.com. 2021 [cited 2 June 2021].
Available: https://bronchiectasis.com.au/bronchiectasis/bronchiectasis/prevalence
8. Bronchiectasis Symptoms, Causes & Risk Factors [Internet]. Lung.org. 2020 [cited 2
June 2021]. Available from https://www.lung.org/lung-health-diseases/ lung-disease-
lookup/bronchiectasis/symptoms-diagnosis
9. Barker A. Clinical manifestations and diagnosis of bronchiectasis in adults [Internet].
Uptodate.com. 2021 [cited 2 June 2021]. Available from:
https://www.uptodate.com/contents/clinical-manifestations-and-diagnosis-of-
bronchiectasis-in-adults/print#:~:text=An%20estimated%20350%2C000%20to
%20500%2C000,the%20United%20States%20%5B2%5D.&text=The%20prevalence
%20of%20bronchiectasis%20increases,%2F100%2C000)%20%5B1%5D.
10. PERHIMPUNAN DOKTER PARU INDONESIA - Kenalan Yuk Dengan
Bronkiektasis [Internet]. Klikpdpi.com. 2018 [cited 2 June 2021]. Available from:
http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=8761#:~:text=Perhimpunan
%20Dokter%20Paru%20Indonesia&text=Bronkiektasis%20adalah%20kondisi
%20ketika%20saluran,lebih%20dari%20satu%20cabang%20bronkus.
11. Smith M. Diagnosis and management of bronchiectasis. Canadian Medical
Association Journal. 2017;189(24):E828-E835.
12. Nughroho N. Bronkiektasis. CKD Edisi Suplemen-IDI. 2018;45.
13. Khan R, et al. 2020. “Imaging of Pulmonary Post- Tuberculosis Sequelae ”.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6943117/
14. PDPI 2021. Guideline TB. Perhimpunan Dokter Penyakit Paru Indonesia.
15. Irfan, M. 2016. Post-tuberculosis pulmonary function and noninfectious pulmonary
disorders. Volume 5, Supplement 1, December 2016, Page S57.
16. Muneer, A., Macrae, B., Krishnamoorthy, S. et al. Urogenital tuberculosis —
epidemiology, pathogenesis and clinical features. Nat Rev Urol 16, 573–598 (2019).
https://doi.org/10.1038/s41585-019-0228-9

Anda mungkin juga menyukai