Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
OLEH
HALAMAN PENGESAHAN
Mengetahui,
Prof. Dr. Ir. Rohani Ambo Rappe, M.Si Dr. Ir. Sriwulan, MP.
NIP. 19690913 199303 2 004 NIP. 19660630 199103 2 002
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Akuakultur (PKA) Program Studi
Budidaya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin yang berjudul “Teknik Pembenihan Ikan
Kerapu Cantang (Epinephelus fuscoguttatus x lanceolatus) ” tepat pada
waktunya. Laporan ini merupakan hasil dari kegiatan yang dilakukan di
Instalasi Blitok, Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo,
Jawa Timur.
Dalam penulisan laporan ini, penulis juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam laporan ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan laporan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu selama Praktik Kerja Akuakultur (PKA) ini berlangsung,
khususnya kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Bapak Kamaruddin dan Ibunda Halwati yang
telah memberikan dukungan untuk menjalankan Praktek Kerja
Lapangan.
2. Kepada Dr. Ir. Siti Aslamyah, M.P selaku dosen pembimbing akademik
penulis dan Ibu Ir. Sofiati selaku pembimbing lapangan yang
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam
melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Akuakultur (PKA) hingga
pembuatan laporan PKL ini.
3. Kepada Ibu Dr. Ir. Sriwulan, M.P. selaku Ketua Prodi Budidaya
Perairan yang telah membantu penulis dalam pengurusan
pelaksanaan kegiatan PKA ini.
4. Kepada Bapak Ir. Ujang Komarudin Asdani Kartamiharja M.Sc. selaku
Kepala Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPAP) Situbondo, Jawa
Timur.
5. Seluruh peneliti, teknisi, dan staf pegawai Instalasi Pembenihan Blitok,
Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo, Jawa Timur
iii
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN
kebutuhan benih ikan kerapu menjadi alasan penyusun untuk memperdalam ilmu
pembenihan ikan kerapu agar menghasilkan kualitas benih yang tinggi serta
menghasilkan tingkat kelulushidupan yang tinggi pula.
1.2.1. Tujuan
1.2.2. Kegunaan
a. Visi
Institusi pelayanan prima dalam pengembangan akuakultur yang berdaya
saing, berkelanjutan dan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi andalan.
b. Misi
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menghasilkan,
menerapkan, dan mensosialisasikan paket-paket teknologi akuakultur yang
standard dan efisiensi, menghasilkan benih dan induk unggul, menerapkan
sistem sertifikasi perikanan, pelayanan laboratorium serta melaksanakan
sistem perikanan budidaya yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan.
a. Kepala Balai
Kepala BPBAP Situbondo bertanggung jawab dalam memimpin dan
mengatur seluruh kegiatan di BPBAP Situbondo serta bertugas untuk
merumuskan kegiatan, mengkordinasi, dan mengarahkan tugas penerapan
seperti teknik pembenihan pembudidayaan ikan air payau serta pelestarian
sumber daya benih maupun induk dan lingkungan. Kepala balai juga membina
bawahan dan di lingkungan BPBAP Situbondo sesuai dengan prosedur dan
peraturan yang berlaku untuk kelancaran pelaksanaan tugas.
b. Sub Bagian Tata Usaha
Sub bagian tata usaha mempunyai tugas melakukan administrasi
pemantauan, evaluasi pelaporan keuangan maupun anggaran, kegiatan teknis,
pengelolaan kepegawaian, tata laksana, persuratan, perlengkapan, rumah
tangga, dan ketatausahaan.
c. Seksi Pengujian dan Dukungan Teknis
Seksi pengujian dan dukungan teknis bertugas memberikan pelayanan
pengujian laboratorium (persyaratan kelayakan teknis, mutu pakan, dan
kesehatan ikan dan lingkungan serta perkembangan bioteknologi), produksi
benih maupun induk unggul dan bermutu, sarana produksi budidaya, dan
bimbingan teknis budidaya air payau.
d. Seksi Uji Terap Teknis dan Kerja Sama
Seksi uji terap teknis dan kerjasama bertugas untuk menyiapkan bahan
standar teknik, pengawasan pembenihan maupun pembudidayaan ikan,
pengendalian hama dan penyakit ikan, sumberdaya, lingkungan, serta
pengelolaan perpustakaan dan jaringan informasi.
e. Kelompok Jabatan Fungsional
Kelompok jabatan fungsional mempunyai tugas melaksanakan kegiatan
perekayasaan, pengujian, penerapan, dan bimbingan penerapan standar atau
sertifikasi pembenihan dan pembudidayaan ikan air payau, pengendalian hama
dan penyakit, pengawasan benih, budidaya dan penyuluhan, serta kegiatan lain
yang sesuai dengan tugas masing-masing jabatan fungsional berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6
Tandon air laut inilah yang nantinya akan menjadi sumber air untuk
dialirkan ke dalam bak-bak pembenihan dan bak kultur pakan alami. Air laut ini
dialirkan dengan menggunakan gaya gravitasi sebab posisi tandon yang berada
lebih tinggi dari bak-bak pemeliharaan yang lainnya dan dibantu dengan
menggunakan pompa.
Kolam induk ini dilengkapi outlet atau tempat untuk keluarnya aliran air
tepat dibagian tengah dari kolam menggunakan pipa PVC 8 inc serta bagian
inletnya berada dibagian atas melekat di dinding kolam menggunakan pipa PVC
4 inc dengan sistem sirkulasi di dalamnya. Bagian saluran outlet dilengkapi
dengan egg collector ukuran 135 × 50 × 130 cm yang berfungsi untuk
mengumpulkan telur hasil pemijahan alami yang terbuat dari dari jaring dengan
ukuran mata 400-600 mikron. Kolam induk di BPBAP Situbondo berjumlah 3
buah dengan kapasitas 25 ekor induk dalam setiap masing-masing kolam.
Menurut Darwisito (2002), induk-induk hasil seleksi dipelihara dalam bak
beton (concrete tank) volume 5, 10 dan 30 m 3, kepadatan 2-10 ekor dengan
berat tubuh (BW) 3,1 – 11,5 g dan panjang (TL) 52-79 cm. tempat pemeliharaan
di lengkapi aerasi dan harus dijaga dalam keadaan bersih dengan cara di sipon
setiap harinya serta dengan sistem air mengalir (pergantian air 100-150 % per
hari).
Selain itu terdapat bak penampungan induk matang gonad yang berguna
sebagai wadah sementara induk kerapu yang akan dipijahkan secara buatan.
Bak tersebut terbuat dari beton berbentuk persegi dengan ukuran 4 × 4 × 0,5 m
sebanyak 3 buah yang terletak di outdoor.
Wadah atau kolam yang digunakan untuk pemijahan induk ikan kerapu di
BPBAP Situbondo sama dengan wadah atau kolam yang digunakan untuk
pemeliharaan induk sehingga kolam pemijahan. Kontruksi dari kolam pemijahan
sama dengan kontrusi dari kolam pemeliharaan induk. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi daya atau tingkat stress pada induk ikan kerapu akibat proses
pemindahan dan perubahan lingkungan yang baru. Selain itu, agar
mempermudah proses pengambilan telur pada saat induk ikan kerapu selesai
memijah.
10
Volume air pada bak beton diatur dengan menggunakan pipa outlet yang
ada di salah satu sudut bak, sedangkan volume air pada bak fiber sebanyak 25%
dari total volume bak atau berkisar 0,25 m 3. Bak yang digunakan untuk inkubasi
telur dilengkapi dengan tiga buah egg collector yang dipasang sejajar dan
berdempet.
Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan.
Data primer dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. Sumber data
bias berasal dari wawancara, pendapat dari individu atau kelompok maupun hasil
observasi dari suatu obyek, kejadian atau hasil pengujian (Herviani et al, 2016).
Data primer selama PKA yaitu melakukan sampling Hatching rate, mengkultur
pakan alami, melakukan sterilisasi bak, pemeliharaan larva, melakukan
pemanenan dan proses packing.
Data sekunder adalah data yang yang telah tersedia dalam berbagai
bentuk.Biasanya data sekunder berbetuk seperti data statistik atau data yang
sudah diolah sedimikian rupa sehingga bias menjadi informasi yang diinginkan.
Data sekunder umumnya berupa bukti catatan atau laporan historis yang telah
tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan (Iskandar, 2012).
Data sekunder selama PKA mencari literatur yang mempengaruhi Hatching rate,
mencari referensi pemijahan induk, dan membandingkan apakah dosis larutan
yang digunakan dalam pemeliharaan larva sudah optimal atau tidak.
13
Seleksi TKG
*Jantan di stripping, Betina di kanulasi
Striping induk kerapu Kertang
*Sperma (Putih susu dan kental)
Kanulasi induk kerapu Macan
*Telur (transparan, bulat, diameter ±700µ)
Penimbangan dan penyuntikan ovaprim
Pemijahan (Hybrid) (0,5 ml/kg) pada induk kerapu Macan
Setelah 10 jam, striping induk kerapu Macan
Pencampuran telur kerapu Macan dan
sperma kerapu Kertang
Penebaran telur kerapu hibrid Cantang pada
egg colector
Persiapan wadah
Pendatangan telur
Penetasan telur
Pemberian pakan
Pemeliharaan larva *Rotifera, artemia, udang rebon & pakan
buatan,
Manajemen kualitas air
Grading larva
Pemanenan larva
pada perut ikan hingga memperoleh sperma kerapu kertang sebanyak 50 mL.
Sperma yang telah diperoleh kemudian disimpan dalam wadah yang berisi es
untuk menstabilkan suhu dan menjaga kualitas sperma. Sperma kerapu kertang
dapat dilihat digambar 9 (b).
Bak yang digunakan untuk hibridisasi berjumlah enam buah. Dua bak
berupa bak fiber sedangkan bak lainnya berupa bak beton berukuran 5 m × 2 m
× 1,25 m. Bak fiber yang digunakan merupakan bak fiber bulat yang berukuran 1
m³. Sedangkan bak beton yang digunakan yaitu bak beton persegi panjang
dengan ukuran 15 m³. Bak fiber digunakan dalam proses pembiusan agar ikan
tidak mengalami stress pada saat proses penyuntikan hormon. Sedangkan bak
beton digunakan untuk inkubasi telur, tahap manipulasi lingkungan, dan
pengobatan induk. Volume air pada bak beton diatur dengan menggunakan pipa
outlet yang ada di salah satu sudut bak, sedangkan volume air pada bak fiber
sebanyak 25% dari total volume bak atau berkisar 0,25 m 3. Bak yang digunakan
untuk inkubasi telur dilengkapi dengan tiga buah egg collector yang dipasang
sejajar dan berdempet. Bak beton terlebih dahulu dibersihkan dengan cara
melakukan penyikatan pada dasar dan dinding bak, kemudian diberi kaporit
dengan dosis 100 ppm hingga merata keseluruh bagian bak. Selanjutnya bak
disiram menggunakan air laut untuk menghilangkan sisa kaporit yang menempel.
Selanjutnya, dilakukan pengeringan selama 24 jam, kemudian dilakukan
pengisian air laut.
Gambar 10. Stripping Induk Kerapu Pencampuran Telur dan Sperma (b)
Macan (a)
19
Pemeliharaan larva dilakukan pada bak beton ukuran 4,60 × 3,65 × 1,3 m
berkapasitas 20 ton dengan kemiringan 3-5%, dan diengkapi 20 titik aerasi yang
memiliki jarak antara batu aerasi dengan dasar bak 5 cm. sebelum digunakan,
bak pemeliharan harus steril dan bebas pathogen. Sterilisasi bak dilakukan
dengan penyikatan bak, selang, batu aerasi, saluran inlet dan outlet serta screen
net pada outlet menggunakan deterjen, kemudian dibilas air bersih. Jika banyak
terdapat lumut maka dilakukan desinfektan wadah dengan kaporit 100 ppm yang
dilarutkan dalam air tawar dan didiameterkan selama kurang lebih 20 menit, dan
dibilas bersih menggunakan air tawar , kemudian dikeringkan 1-2 hari.
Air laut yang digunakan berasal dari tandon air laut ukuran 4,60 × 3,25 ×
1,75 m berkapasitas ± 26 ton yang telah di treatment secara fisik dan kimia.
Sebelum digunakan untuk pengisian bak, dilakukan penambahan kaporit / Hi
Clone (10 ppm) sebahgai disinfektan air selanjutnya dilakukan uji klorin pada air
tandon untuk mengetahui kadar klorin. Uji klorin dilakukan dengan mengambil
sample air tandon lalu dimasukkan kedalam tabung reaksi dan diberi satu tetes
larutan clorin test, apabila hasil uji berwarna kuning maka hasil terseut
menunjukkan adanya kandungan klorin dalam air sehingga dilakukan penetralan
dengan natrium thiosulfat dengan dosis ½ dosis kaporit (5 ppm), jika air berwarna
bening maka air siap dialirkan ke bak pemeliharaan. Setelah air selesai
dimasukkan kedalam bak, aerasi dinyalakan untuk menambah oksigen dalam
wadah pemeliharaan larva, serta saluran inlet dipasang filterbag sebagai
penyaring kotoran makro. Bak Pemeliharaan selanjutnya diisi dengan air laut
20
Langkah awal sebelum penebaran telur kedalam bak yaitu telur harus
diaklimatisasi terlebihi dahulu 15 menit kedalam bak pemeliharaan untuk
menyusaikan suhu antara lingkungan dalam kantong plastic dengan suhu
diwadah pemeliharaan. Proses aklimatisasi tersebut dapat berpengaruh terhadap
derajat penetasan telur (hatching rate) dan tingkat kelangsungan hidup larva
Setelah dilakukan aklimatisasi, telur ditebar dibak pemeliharaan larva
dengan hati-hati bak penetasan telur ditutup dengan cover plastik. Melianawati et
al. (2010) menyatakan bahwa suhu air dapat mempengaruhi tingkat penetasan
telur, dimana semakin tinggi suhu air maka semakin cepat pula terjadi penetasan
telur. Selain menjaga agar suhu air tetap stabil, Penutupan dengan terpal juga
berfungsi agar terhindar dari debu serta dapat mengurangi intesitas cahaya.
Telur yang telah ditebar merupakan telur kerapu macan yang telah dibuahi oleh
sperma kerapu kertang dan akan menetas setelah 18-20 jam dengan suhu 29-
31°C dan salinitas 32-34 ppt. Berdasarkan SNI, padat tebar telur ikan kerapu
cantang pada setiap bak pemeliharaan yaitu sekitar 10-15 butir per L air.Telur
yang terbuahi yaitu berwarna bening transparan dan melayang. Sedangkan telur
yang tidak terbuahi berwarna putih keruh dan tenggelam di dasar wadah.
Perhitungan derajat penetasan telur atau HR (Hatching Rate) dilakukan
secara langsung untuk mengetahui keberhasilan pembuahan dan penebaran
telur. Dilakukan penghitungan jumlah larva yang terdapat di dalamnya sehingga
dapat diketahui kepadatan larva yang dihitung dengan menggunakan rumus
perhitungan kepadatan.
Jumlah Larva = Jumlah larva yang terambil X Vol Air
Vol. Wadah Air Sampel
Jumlah Telur
Tanggal Pendatangan Sumber HR Keterangan
(butir)
28 Oktober 2019 Pecaron 600.000 76 % 2 Bak
28 November 2019 Pecaron 600.000 75% 2 Bak
Pada saat larva berumur dua hari, dilakukan pemberian chlorella pada
bak pemeliharaan dengan kepadatan 100.000 - 500.000 sel/mL. Chlorella diisi ke
dalam bak pemeliharaan larva yaitu sebanyak ⁄ ton. Pemberian chlorella
berperan sebagai green water system sehingga dapat mengurangi dan mengatur
intensitas cahaya yang masuk agar larva tidak mudah stress, berperan sebagai
water stability serta sebagai pakan untuk Rotifera. Pemberian chlorella diberikan
hingga D30.
4.2.5.1 Rotifera
4.2.5.2 Artemia
Pemberian artemia dilakukan mulai dari larva berumur 13 hari. Larva D13
hingga D20 membutuhkan artemia dengan kepadatan 1-3 ind/mL sebanyak dua
kali sehari, sedangkan pada larva D20 hingga D45 membutuhkan artemia
dengan kepadatan 5-8 ind/mL dengan frekuensi pemberian sebanyak dua-tiga
kali sehari yaitu pada pukul 08.00,12.00 dan 14.00.
Naupli artemia juga telah dilakukan enrichment menggunakan
multivitamin sebelum pemberian pada larva. Enrichment dilakukan pada pagi hari
setelah naupli artemia dipanen. Menurut Maulana (2016), penambahan vitamin
dan asam amino pada artemia mampu meningkatkan tingkat kelangsungan
hidup, memperbesar ukuran dan keaktifan larva, serta meningkatkan daya tahan
tubuh terhadap infeksi penyakit.
Pakan alami lainnya yang digunakan yaitu udang rebon. Pakan udang
rebon diberikan pada larva D27 hingga panen dengan frekuensi sebanyak 2 kali
sehari yaitu pada pukul 06.00 dan 15.00 WIB. Rebon diberikan sebanyak tiga
kantong untuk satu bak, dimana dalam satu kantong terdapat kurang lebih 1000
ekor udang rebon. Pemberian udang rebon tersebut disesuaikan dengan
kepadatan larva yang terdapat pada bak tersebut. Pemberian rebon dilakukan
dengan mencucinya menggunakan air tawar serta ditambahkan desinfektan
terlebih dahulu sebelum udang rebon diberikan
Selain itu masa kritis pada larva terjadi pada umur D2-D3 karna kuning
telur pada larva mulai habis sehingga terjdi masa transisi pola makan dari
25
endogenus menjadi eksogenus. Masa kritis kedua pada larva terjadi pada umur
D7-D8 dimana terjadi pengembangan organ organ larva khususnya bagian spinal
sehingga larva membutuhkan asupan nutrisi yang cukup. Setelah itu masa kritis
terjadi pada larva berumur D30-D35 karena pada masa itu tingkat kanibalisme
larva meningkat sehingga perlu manajemen pemberian pakan pada larva yang
tepat.
Berikut merupakan pedoman pakan harian yang diterapkan di Instalasi
Blitok BPBAP Situbondo:
Tabel 3. Pedoman pakan harian larva ikan kerapu Instalasi Blitok :
Kualitas air media pemeliharaan larva juga merupakan salah satu faktor
yang mampu mempengaruhi kegiatan pembenihan. Oleh karena itu perlu
dilakukan pergantian air ataupun penyiponan. Pergantian air dilakukan setiap
hari pada pagi hari. Volume air yang diturunkan disesuaikan dengan umur larva
pada bak tersebut. Pada larva D8 hingga D20 yaitu sebanyak 10-20%, larva D21
hingga D30 yaitu 20- 50%, larva D31 hingga D45 yaitu 50-75%, larva D46 hingga
D50 yaitu 75-100%, dan larva D51 hingga panen yaitu sebanyak 100% atau
dilakukan secara flow through. Pergantian air dilakukan dengan cara membuang
air pada bagian outlet menggunakan selang spiral terlebih dahulu, selanjutnya
outlet dimiringkan untuk mempercepat pembuangan air. Selain pergantian air,
manajemen kualitas air pemeliharaan dapat dilakukan dengan cara penyiponan.
Penyiponan awal dilakukan pada saat larva berumur 12 hari, selanjutnya
dilakukan satu kali dalam seminggu hingga grading pertama dan kemudian
dilakukan penyiponan setiap hari pada pagi hari. Alit dan Setiadharma (2011)
menyatakan bahwa kegiatan penyiponan bertujuan dalam membuang sisa-sisa
pakan yang berlebih atau tidak termakan.
Tabel 4. Standar Prosedur Operasional (SPO) manajemen kualitas air BPAP
Situbondo
Manajemen Kualitas Air
Hari
Pergantian Air Siphon
D0 - -
D1 - Siphon telur mengendap
D2 - -
D3 - D7 - -
D8 – D20 10 – 20% Siphon
D21 - D30 30 – 50% Siphon
D31 - D45 75% Siphon
D46 – Panen 100% Siphon
Keterangan : D = Hari
Total wadah kultur massal terdapat 12 buah dengan luas bak 20 m2.
Persiapan wadah untuk kultur chlorella pertama kali adalah pencucian bak,
27
disikat pada bagian dinding dan dasar bak agar tidak ada kotoran yang tersisa.
Setelah bersih bak di isi air sebanyak 16 ton (80 cm air laut ), kemudian
dilakukan treatment pada air yang telah diisi dengan menggunakan Hi Chlon
dengan dosis 8 ppm (8gr/ton) dan didiameterkan satu hari. Setelah satu hari, air
dicek kenetralan air dengan menggunakan Klorin test. Jika warna air berubah
menjadi kuning maka air masih mengandung kaporit dan cara
penanggulangannya yaitu dengan pemberian Thiosulfat dengan dosis setengah
dari dosis Hi Chlone. Kemudian setelah air netral baru ditambah dengan bibit
Chlorella sp. Sebanyak 2 ton yang telah berumur di atas 7 hari. Selanjutnya
dilakukan penebaran pupuk,dan pemberian bibt Hi chlone 0,8 ppm. Berikut
komposisi jenis pupuk yang diberikan dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 5. Komposisi dan dosis jenis pupuk yang diberikan
Rotifera merupakan salah satu pakan alami yang memilki nutrisi yang
tinggi dan sangat baik digunakan untuk larva. Rotifer dapat diberikan pada larva
umur D2-D30 karena dalam periode tersebut larva memerlukan asupan nutrisi
yang cukup tinggi dalam meningkatkan laju pertumbuhannya serta pembentukan
organ-organ tubuh secara sempurna.
Bak yang digunakan untuk kultur Rotifera sp. skala massal di BPBAP
Blitok Bungatan Situbondo adalah bak beton/intensif dengan ukuran 5 x 2 x 1,25
m3 dengan volume total 12 ton. Bak dilengkapi dengan instalasi oksigen (aerasi),
pipa inlet, dan outlet. Sudut yang melengkung dapat mempermudah ketika
proses pembersihan wadah/bak kultur Rotifera sp. Instalasi oksigen (aerasi) yang
digunakan adalah 3 titik saja karena dengan tiga titik tersebut sudah dapat
memenuhi kebutuhan oksigen pada proses kultur Rotifera sp. skala massal. Bak
yang digunakan dalam proses kultur Rotifera sp. adalah 4 buah bak. Persiapan
bak kultur dimulai dengan membersihkan bak. selanjutnya adalah pengeringan
bak kultur, dilakukan dengan cara membiarkan bak terkena sinar matahari
28
Untuk mengetahui padat dan tidaknya Rotifera sp. maka cukup dengan melihat
warna air yang ada dalam planktonet tersebut jika berwarna coklat maka
diindikasikan sudah padat dan jika masih bening berarti masih belum padat.
Kemudian ember tersebut dituang kedalam blong/tong yang berkapasitas 120 L
yang dilengkapi dengan aerasi. Tetapi sebelum dituang kedalam blong/tong
harus disaring terlebih dahulu menggunakan saringan yang berukuran 200
mikron agar yang masuk kedalam blong/tong tersebut hanya Rotifera sp. dan
organisme lain seperti jintik nyamuk, Ocylatoria dll. tidak masuk kedalamnya.
Kegiatan panen dilakukan beberapa kali hingga Rotifera sp. yang ada dalam bak
kultur habis atau sesuai dengan kebutuhan.
0,5 ppm/10 ton air. Grading dapat dilakukan dengan mengetahu tahapan
perkembangan larva. Berikut tahapan perkembangan larva.
Tabel 6. Tahapan Perkembangan Larva Ikan Kerapu Cantang
D23 - D26 Sebagian duri mengalami reformasi dan patah, 20,31 – 22,62
pada bagian ujung tumbuh sirip awal lunak
D29-D31 Sebagian larva yang pertumbuhannya cepat 22,40 – 23,42
telah berubah menjadi burayak (juvenil).
V. RANGKUMAN
5.1 Rangkuman
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Pembimbing Lapangan
Ir. Sofiati
38