A. Pengertian Agama
Para sarjana pada umumnya mengatakan, bahwa kata “Agama” berasal dari bahasa
Sansekerta, terdiri dari “A” artinya tidak dan “Gama” artinya kacau. Oleh karena itu secara
harfiyyah/ etimologis, Agama berarti tidak kacau. Maksudnya adalah agama itu mampu
menyelematkan kehidupan dari suatu kekacauan dan juga dapat diartikan bahwa manusia yang
beragama akan terhindar dari kekacauan dan memperoleh ketenteraman dan kedamaian.
Di dalam kamus bahasa Inggris terdapat kata yang oleh para ahli diterjemahkan dengan
“agama”, yaitu kata “Religion”. Disamping diterjemahkan dengan agama kata “religion” juga
diartikan dengan “kepercayaan kepada Tuhan dan dewa-dewa” serta “pemujaan kepada Tuhan
dan dewa-dewa”. Kata “Religion” oleh para ahli bahasa Inggris juga diberikan sinonim dengan
kata “Belief” dan “Faith” yang artinya keyakinan dan kepercayaan.
Di dalam sebuah kamus bahasa Arab-Inggris yang ditulis oleh Ilyas Anton dapat
ditemukan bahwa kata belief dan faith merupakan terjemahan dari kata “Dii-en”, disamping kata
yang terakhir ini juga diberikan sinonim dengan kata bahasa Arab “Mua’taqod” yang secara
harfiyyah berarti “sesuatu yang diyakini”. Sedangkan dalam bahasa al-Quran kata “Dii-en” ada
yang diterjemahkan dengan “pembalasan” seperti ayat dalam surat al-Fatihah:
………………………. ; Penguasa hari pembalasan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
secara etimologis Agama adalah suatu keyakinan, kepercayaa, penyembahan kepada Tuhan,
pembalasan (suatu perbuatan) dan merupkan sesuatu yang dapat menyelamatkan kehidupan dari
suatu kekacauan.
Di kalangan para ulama Islam terdapat sebuah rumusan tentang pengertian agama, antara
lain rumusan pengertian yang diberikan oleh Prof. KH. Abdul Mun’im bahwa:
ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺿﻊ ﺇﳍﻲ ﻳﺴﻮﻕ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺑﺈﺧﺘﻴﺎﺭﻫﻢ ﺇﻳﻪ ﺇﻻ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﺻﻠﻬﻬﻢ ﰲ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﻓﻠﺤﻬﻢ ﰲ ﺍﻵﺧﺮﺓ
Artinya: “Agama adalah ketentuan Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk diambil
sebagai pilihan dalam rangka kebaikan dan keberuntungan mereka di dunia dan di
akhirat”.
B. Manusia Memerlukan Agama
Pengertian tentang “Agama” sebagaimana yang telah dikemukakan mengundang
pertanyaan-pertanyaan antara lain:
a. Pengertian etimologis Agama yang diartikan sebagai “sesuatu yang dapat menghindarkan
kehisupan dari kekacauan” menimbulkan pertanyaan: kehidupan manakah yang perlu
terhindar dari kekacauan; kehidupan manusia atau kehidupan pada umumnya.
b. Bertitik tolak dari definisi Agama yang dikemukakan oleh para ulama Islam bahwa Agama
pada dasarnya diturunkan untuk manusia, maka timbul pertanyaan: Benarkah manusia
membutuhkan agama dan mengapa manusia membutuhkan agama.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu ada analisis sekilas tentang
“Manusia” sekurang-kurangnya analisis yang menjacakup: Kejadian manusia dan keadaannya
ketika lahir, fungsi dan tugas manusia, kecenderungan-kecenderungan manusia serta perilaku
manusia sepanjang sejarah sebagai bukti empiris.
Upaya analisis tentang Manusia sering terbentur dengan rujukan ilmiah yang dipakai.
Hampir semua rujukan dapat dipertanyakan, sebab analisis yang dilakukan oleh para ahli
kebanyakan menggunakan rujukan ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh manusia itu sendiri.
Dalam hubungannya dengan rujukan yang dipakai sebagai bahan analisis tentang manusia juga
menimbulkan pertanyaa “apakah dapat dipercaya rujukan yang dibuat manusia itu sendiri”,
sementara kita yakin bahwa sebuah produk misalnya komputer, yang diyakini paling tahu adalah
perusahaan yang mengeluarkan produk tersebut. Dengan demikian bagi seseorang yang ingin
mengetahui secara sempurna, untuk pemeliharaan dan perbaikan produk tersebut sewajarnyalah
dia bertanya kepada perusahaan yang mengeluarkan produk tersebut atau sekurang-kurang
menggunakan buku petunjuk yang dikeluarkan oleh perusahaan yang bersangkutan.
Tidak ada yang mengingkari bahwa “Manusia adalah produk Tuhan” karena dalam Agama
Islam, manusia dan alam seluruhnya adalah “makhluk” yang artinya barang yang diciptakan,
sementara itu “Allah” adalah “Kholiq” yang artinya “Pencipta”. Atas dasar ini, maka kita harus
yakin bahwa yang paling mengetahui tentang manusia adalah Allah sendiri, karena Dialah
penciptanya. Oleh karena itu, bagi siapapun yang ingin mengetahui tentang “Manusia”
hendaknya harus bertanya dan minta informasi kepada Allah. Bertanya kepada Allah artinya
bertanya dan minta informasi kepada Al-Quran karena Al-Quran adalah “Kalam Allah”.
a. Kejadian Manusia dan keadaannya ketika lahir
Al-Quran memberikan penjelasan tentang kejadian manusia hingga lahir di dunia sebagai
berikut:
(1) Pencipta manusia adalah Allah SWT (Q.S. Al-Baqarah 2: 21);
c. nuthfah tersebut berproses sehingga menjadi bentuk sempurna sebagai manusia (Q.S.
Al-Mu’minuun 23: 14).
$OPM M;%&'ִ< VI0I
$$%&'ִ0; M;%&'ִX$K M$%&'
W
$
Z☺; M;%&'ִX$K M
Z,
<I $30;
Q#2=>$$K \☺ $3
_%K'ִ< J
QK
^?E VI0I \☺;
J]
." a
B
b$K `
Sִ<
689
)Fc%-' $;] +=>JE
Artinya: “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah
itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”.
(3) Manusia dilahirkan dari rahim ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa dan
kemudian mulai dapat berfungsi organ tubuhnya terutama pendengaran, penglihatan, dan
hati serta perasaannya (Q.S. An-Nahl 16: 78);
912P f+D, ִL
Se<E ."
lm;n! k2☺&'e0$5 ij #b ִg
,hE
ִp☺>> $ ioִ0ִL
r &:ִm;Kb(
S =q#b(
6st9 kS^$5 #.'ִ0$
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur”.
(4) Dengan fungsi-fungsi organ tubuhnya, manusia mampu menerima informasi dan ilmu
pengetahuan yang diberikan oleh Allah. Artinya, Allah menciptakan manusia dan
sekaligus memberinya ilmu (Q.S. Ar-Rahmaan 55: 1 – 4);
1#S3%; <'
W 689 + :ue2HS
Jִ☺'
6U9 <+ =>?@A &'ִ( 679
69
1n
;
Artinya: “(tuhan) yang Maha pemurah; Yang telah mengajarkan Al Quran; Dia
menciptakan manusia; Mengajarnya pandai berbicara”.
(5) Karena fungsi dan tugas tersebut maka pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang
mulia dan dimuliakan oleh Allah (Q.S. Al-Isra 17: 70).
xִy )wL
:;,HSf $%$ v
-z{ִ; R-) #g :K'u2
}D, g :;ִ֠| US$
B;
Ig MK'~Z$K @
Bzy!P
:;%&'ִ< +☺D, {S\i `R&5
6sc9 yTZ;O$5
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
(2) Dalam menjalankan fungsi kekhalifahan tersebut manusia mengemban tugas untuk
menciptakan kemakmuran di bumi (Q.S. Hud 11: 61).
☯$-' = #0֠$(E ִy2☺I `R&-% v
!" c#2$%
$֠ `
&{#S J $-% +D, $
,
6#b( <+D, f
^QE 20
{K If
Sִ☺e0
4C
2205 VI0I &SO;
bC$K
Z'US$֠ R-&
1-% ` J;n$-%
689 Z'nTgR
Artinya: “Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah
kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (doa hamba-Nya)."
c. Kecenderungan Manusia
(1) Manusia cenderung cinta syahwat dan segala macam isi dunia (Q.S. Ali Imran: 14);
2ִg^ 'J
M' <+-D|
)FM
; "=>D },
:
S$PM$%☺; -{SP :$%;
~ZO; c'ִ!֠" },
,H2=>☺; 9o;nִX;
#Sִ$; cI ִ0eQb(
:`2nִ$; p
b
, $
&ִ ." neQ
689 c
mִ☺; }>J
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga)”.
(2) Kecenderungan manusia mengakibatkan kerusakan dunia dan kehidupan (Q.S. Ar-Ruum
30: 41)
-z{ִ; R-) y=>O;
Sִg$
@
=>f ִ☺- US$
B;
g$%cnn
M eE
20'u ֠!" e0
689
120TL#S
#g'ִ0$
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
(2) Manusia banyak melakukan perbuatan yang berakibat merendahkan martabatnya sendiri
tetapi sekaligus tidak mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan sebenarnya
menghancurkan martabatnya (Q.S. 6: 74 – 78; Q.S. 19: 41 – 47);
(3) Manusia sering cenderung mengikuti nafsu emosionalnya melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki yang pada akhirnya akibat
perbuatan itu membawa kesengsaraan dirinya. Beberapa contoh dapat dikemukakan,
seperti penggundulan hutan, pengembangan perumahan di daerah konservasi air,
mengendarai mobil di luar batas kecepatan maksimal, menenggak minuman keras dan
sebagainya.
Alasan-alasan tersebut barangkali masih bisa dijawab dengan solusi lain selain solusi
bahwa manusia memerlukan agama, misalnya dengan jawaban bahwa jika memang perbuatan-
perbuatan tersebut dipandang sebagai perbuatan yang menyimpang, maka bisa diselesaikan
dengan pendekatan “hukum”.
Keberhasilan pendekatan hukum terhadap problema manusia dan kehidupan sangat
ditentukan oleh keberhasilan upaya penegakan hukum (Law Infocment), sementara itu bahwa
keberhasilan penegakan hukum sangat ditentukan oleh beberapa faktor antara lain faktor
“Penegak Hukum” itu sendiri. Situasi delematis akan muncul manakala justru penegak
hukumnya yang melanggar hukum.
Sebagai contoh, sebagaimana yang diberitakan oleh Kompas tanggal 28 Oktober 1997,
bahwa Mahkamah Militer II/11 Yogyakarta menjatuhkan pidana kepada 2 orang anggota TNI
AD masing-masing pidana penjara 14 tahun dan 12 tahun ditambah dengan pidana tambahan
berupa pemecatan yang bersangkutan dari dinas militer. Pidanaberat tersebut dijatuhkan oleh
Mahkamah Militer karena setelah melalui pemeriksaan di muka persidangan, ternyata terdakwa
yang mantan Komandan Rayon Militer dan anggota Koramil tersebut terbukti secara syah dan
meyakinkan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana pada bulan
Agustus 1996 terhadap korban yang berstatus sebagai Kepala Biro Hukum KORPRI Propinsi
Lampung. Tindakan kriminal tersebut dilakukan oleh terdakwa karena terdakwa ingin merampas
uang sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) milik korban.
Tindak pidana pembunuhan tersebut bisa dianalisis dengan teori Kontrol Sosial yang
dikemukakan oleh Hirchi, bahwa tindakan kriminal dapat muncul dari seseorang karena faktor
moral orang tersebut tidak beres. Jika teori Hirchi dipahami secara a contrario, maka dapat
disimpulkan bahwa jika seseorang memiliki moral yang baik, maka tidak akan muncul tindakan
kriminal dari orang tersebut. Relevansinya dengan tindakan kriminal yang telah dijatuhi pidana
berat tersebut adalahm bahwa tidak mungkin pelakunya tidak mengetahui bahwa perbuatan itu
melanggar hukum, mengingat bahwa yang bersangkutan sebenarnya merupakan unsur aparatur
negara yang harus menjadi barisan terdepan dalam hal upaya penegakan hukum. Juga tidak
mungkin, bahwa yang bersangkutan tidak menyadari akibatnya, bahkan sebaliknya, mereka
sadar benar akan akibat perbuatannya, terbukti mereka berusaha menghilangkan jejak dengan
cara membakar mayat korban dan kemudian dilempar ke sungai Citandui.
Memang, penjatuhan pidana tersebut menunjukkan bahwa kejahatan bisa dijaring dengan
hukum. Tetapi harus diakui bahwa hukum baru dapat diterapkan setelah terjadi peristiwa hukum
yang dalam kasus tersebut adalah pembunuhan terhadap seorang Kepala Biro Hukum dan
dengan demikian berarti pula bahwa hukum baru dapat berjalan setelah adanya kekacauan.
Kalaulah pelaku tersebut “baik moralnya” mungkin tidak akan terdorong untuk memiliki barang
orang lain secara tidak syah yang akhirnya mendorong keinginannya untuk melakukan tindak
kriminal. Maka pertanyaan berikutnya muncul: instrumen apakah yang dapat menjamin agar
moral manusia menjadi baik sehingga ia taat hukum, sementara itu moral baik tidak bisa
diciptakan secara spontan melainkan harus dibina secara sistematis dan terus menerus sejak
dini, bahkan sejak sebelum manusia lahir di dunia.
Deskripsi tersebut menunjukkan bahwa pendekatan hukum terhadap problema
masyarakat masih dipertanyakan efektivitasnya, kerena penegakan hukum sangat tergantung
kepada faktor penegak hukum dan unsur penegak hukum sangat ditentukan oleh faktor
moralnya. Artinya, bahwa hukum merupakan merupakan instrumen sekunder, sedangkan
instrumen primernya adalah moral (akhlak). Maka harus ditemukan; dari manakah instrumen
primer ini dapat diperoleh, sehingga akan menunjang efektifitas instrumen sekunder yang pada
akhirnya dapat efektif sebagai salah satu pendekatan untuk menyelesaikan problema masyarakat.
Untuk menjawab pertanyaan terakhir ini kita harus kembali kepada aksioma di atas,
bahwa yang Maha Mengetahui tentang manusia adalah Penciptanya, yaitu Allah SWT. Untuk
melakukan pembinaan terhadap manusia mutlak harus mengikuti nilai-nilai petunjuk yang
diberikan oleh Penciptanya, dan nilai-nilai inilah yang merupakan isi dari apa yang disebut
“Agama”. Dengan demikian “manusia mutlak memerlukan agama”, agar kekacauan dapat
dihindarkan. Yang dimaksud agama dalam hal ini adalah sebagaimana firman Allah:
m" ִ ¨*"
1-%
¬I &'C@A
Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”.