Anda di halaman 1dari 8

DESAIN JALAN REL UNTUK TRANSPORTASI BATU

BARA RANGKAIAN PANJANG (STUDI KASUS:


SUMATERA SELATAN)
Tilaka Wasanta1

1
Universitas Katolik Parahyangan
Email: tilakaw@unpar.ac.id

ABSTRAK

Transportasi merupakan faktor yang sangat penting untuk perkembangan ekonomi suatu wilayah.
Di Sumatera, khususnya Sumatera Selatan terdapat sumber daya batu bara yang cukup besar
(mencapai 22,4 miliar ton). Oleh karena itu, sumber daya batu bara di Sumatera Selatan ini
merupakan salah satu sumber penggerak utama roda perekonomian nasional dari sektor ESDM.
Hal ini menyebabkan kebutuhan pergerakan/transportasi untuk komoditas batu bara sangatlah
tinggi. Akan tetapi, tingkat transportasi batu bara ini masih sangat kecil dibandingkan dengan
cadangan yang dimiliki (produksi dan transportasi batu bara hanya sekitar 20 juta ton per tahun).
Transportasi yang kurang efisien, mahal, dan lambat merupakan salah satu faktor yang membuat
produksi batu bara di Sumatera Selatan tidak mencapai potensi produksi yang seharusnya bisa
lebih besar. Salah satu penyebab utama dari permasalahan transportasi ini adalah terjadinya
beberapa kali perpindahan moda pada proses pengangkutan batu bara, yang menyebabkan proses
transportasi menjadi tidak efisien. Oleh karena itu, dilakukan perancangan jalan rel Simpang-
Mariana ini untuk membuat transportasi batu bara menjadi lebih cepat dan lebih efisien. Jalan rel
Simpang-Mariana ini merupakan jalan rel untuk rangkaian panjang dengan kelas jalan I dengan
single track dan lebar sepur 1435mm sepanjang 32,942 km. Jalan rel ini direncanakan dengan 11
lengkung horizontal (dengan jari-jari 1400 m) dan 20 lengkung vertikal (dengan jari-jari 8000m).
Sistem bongkar muat angkutan batu bara di Pelabuhan Mariana dirancang dengan menggunakan
RCD (Rotary Circle Dumper).

Kata kunci: Jalan rel, perancangan, rangkaian panjang

ABSTRACT
Transportation is an important element of the economic growth of a region. In Sumatra,
particularly South Sumatra, there is a huge amount of coal resources (up to 22.4 billion ton). Thus,
the coal resources in South Sumatera become one of the main sources that drive the nation’s
economy from energy and mineral sector. This causes a huge demand for transportation of coal
commodities. Unfortunately, this coal transportation is still inefficient, expensive, and slow. These
drawbacks are the factors that makes coal production in South Sumatera could not reach its full
potential until now. The main cause of this inefficient coal transportation is there are too many
unloading and loading process and intermodal changes. Therefore, there is a need of rail-based coal
transportation to make the coal transportation cheaper, faster, more efficient, and reduce the need
of intermodal changes. This paper discusses the design of the railway and its supporting
component. Simpang-Mariana railway is designed as a class I railway with 1435 mm gauge width
and 32,942 km length. The railway is planned to have 11 horizontal and 20 vertical curves. The
unloading system in Mariana Port is designed with RCD (Rotary Circle Dumper) system.

Keywords: Railway design, long coal-wagon


1. PENDAHULUAN

Transportasi adalah proses perpindahan orang dan / atau barang dari suatu tempat ke tempat lain untuk
memenuhi kebutuhan pergerakan, dengan menggunakan sarana transportasi (moda transportasi) yang bergerak
dan bergantung pada jaringan (sarana). Transportasi muncul karena adanya kebutuhan pergerakan, dan seiring
dengan meningkatnya kebutuhan pergerakan maka seharusnya kapasitas dari sarana dan prasarana transportasi
meningkat juga sehingga kapasitasnya dapat memenuhi kebutuhan pergerakan tersebut. Transportasi juga
merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan manusia dengan cara
mengubah letak geografis barang atau orang (Sukarto, 2006).
Transportasi merupakan unsur yang penting dan berfungsi sebagai urat nadi kehidupan dan perkembangan
ekonomi, sosial, politik, dan mobilitas penduduk yang tumbuh bersamaan dan mengikuti perkembangan yang
terjadi dalam berbagai bidang dan sektor (Kadir, 2006). Di Sumatera, khususnya Sumatera Selatan terdapat
sumber daya batu bara yang cukup besar (mencapai 22,4 miliar ton). Oleh karena itu, sumber daya batu bara di
Sumatera Selatan ini merupakan salah satu sumber penggerak utama roda perekonomian nasional dari sektor
ESDM. Hal ini menyebabkan kebutuhan pergerakan/transportasi untuk komoditas batu bara sangatlah tinggi.
Akan tetapi, tingkat transportasi batu bara ini masih sangat kecil dibandingkan dengan cadangan yang dimiliki
(produksi dan transportasi batu bara hanya sekitar 20 juta ton per tahun). Transportasi yang kurang efisien,
mahal, dan lambat merupakan salah satu faktor yang membuat produksi batu bara di Sumatera Selatan tidak
mencapai potensi produksi yang seharusnya bisa lebih besar. Salah satu penyebab utama dari permasalahan
transportasi ini adalah terjadinya beberapa kali perpindahan moda pada proses pengangkutan batu bara, yang
menyebabkan proses transportasi menjadi tidak efisien.
Salah satu lokasi penambangan batu bara di Sumatera Selatan terletak di Tanjung Enim, yang kemudian
sebagian besar dari penambangan batu bara tersebut diangkut ke kapal untuk didistribusikan ke lokasi-lokasi
yang lebih jauh lagi. Pengangkutan batu bara dilakukan dengan moda kereta api ke Stasiun Kertapati, dan
selanjutnya diangkut dengan menggunakan tongkang ke Pelabuhan Mariana. Ilustrasi skema transportasi batu
bara di Sumatera Selatan dapat dilihat pada Gambar 1.

Moda Transportasi yang Digunakan:


Moda Kereta Api Kapal Tongkang

Gambar 1 Ilustrasi pengangkutan batu bara di Sumatera Selatan


Dapat dilihat pada ilustrasi di atas, terjadi beberapa kali perpindahan moda angkutan dan beberapa kali
proses bongkar/muat barang, yaitu:
 Dari moda kereta api – moda truk
 Dari moda truk – tempat penyimpanan di Stasiun Kertapati
 Dari tempat penyimpanan di Stasiun Kertapati – moda kapal tongkang
 Dari moda kapal tongkang – tempat penyimpanan di Pelabuhan Mariana
 Dari tempat penyimpanan di Pelabuhan Mariana – moda kapal.
Semakin banyak perpindahan moda angkutan dan/atau proses bongkar/muat pada suatu proses transportasi,
maka akan semakin lama dan semakin mahal proses transportasi tersebut. Untuk mengurangi banyaknya
perpindahan moda angkutan dan proses bongkar/muat pada angkutan batu bara di Sumatera Selatan, salah satu
solusinya adalah dengan membangun jalur kereta baru dari Stasiun Simpang ke Pelabuhan Mariana. Ilustrasi dari
usulan perubahan skema transportasi batu bara ini adalah seperti pada Gambar 2.

Moda Transportasi yang Digunakan:


Jalur kereta api baru

Gambar 2 Ilustrasi jalur kereta api baru untuk pengangkutan batu bara di Sumatera Selatan

Salah satu tujuan utama dari perencanaan transportasi adalah membuat interaksi menjadi semudah dan
seefisien mungkin (Tamin dan Frazila, 1997). Dengan adanya jalur kereta api baru yang langsung
menghubungkan Stasiun Simpang ke Pelabuhan Mariana ini, jumlah perpindahan moda angkutan dan proses
bongkar/muat batu bara akan semakin sedikit, yang akan membuat proses transportasi untuk angkutan batu bara
tersebut semakin cepat dan semakin efisien. Pada studi ini, dilakukan perencanaan desain geometri jalan rel
untuk rute Simpang-Mariana.

2. TEORI PENDUKUNG
Beberapa teori utama yang digunakan pada studi ini adalah teori dasar perhitungan lengkung horizontal,
lengkung vertikal. Selain kedua teori utama tersebut, beberapa teori mengenai perhitungan kapasitas lintas,
pembuatan gapeka, dan beberapa teori lainnya juga digunakan pada studi ini.
2.1 Lengkung horizontal
Dua bagian lurus, yang perpanjangnya saling membentuk sudut harus dihubungkan dengan lengkung yang
berbentuk lingkaran, dengan atau tanpa lengkung-lengkung peralihan. Untuk berbagai kecepatan rencana, besar
jari-jari minimum yang diizinkan adalah seperti yang tercantum dalam Tabel 1:

Tabel 1Jari-jari minimum yang diizinkan


Jari-jari minimum
Kecepatan Jari-jari minimum
lengkung lingkaran
rencana lengkung lingkaran
dengan lengkung
(km/jam) biasa (m)
peralihan (m)
120 2370 780
110 1990 660
100 1650 550
90 1330 440
80 1050 350
70 810 270
60 600 200
(Sumber: PM 60 Tahun 2012)
Untuk mengurangi pengaruh perubahan gaya sentrifugal sehingga penumpang kereta api tidak terganggu
kenyamanannya, dapat digunakan suatu lengkung transisi (Utomo, 2013). Lengkung transisi atau dikenal juga
sebagai lengkung peralihan adalah suatu lengkung dengan jari-jari yang berubah beraturan. Lengkung peralihan
dipakai sebagai peralihan antara bagian yang lurus dan bagian lingkaran dan sebagai peralihan antara dua jari-
jari lingkaran yang berbeda. Lengkung peralihan dipergunakan pada jari-jari lengkung yang relatif kecil. Panjang
minimum dari lengkung peralihan ditetapkan dengan Persamaan 1.

Ln = 0,01 h V (1)

dimana: Ln = Panjang minimum lengkung peralihan


h = peninggian relatif antara dua bagian yang dihubungkan (mm)
V = kecepatan rencana untuk lengkung peralihan (km/jam)
Titik-titik dan ilustrasi konsep untuk perhitungan tikungan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Komponen tikungan/lengkung horizontal


(Sumber: PM 60 Tahun 2012)

2.2 Lengkung vertikal


Lengkung vertikal merupakan lengkung transisi dari suatu kelandaian ke kelandaian berikutnya. Besar jari-
jari minimum lengkung vertikal bergantung pada kecepatan rencana, sebagaimana dinyatakan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Jari-jari minimum lengkung vertikal


Jari-jari minimum
Kecepatan rencana
lengkung vertikal
(km/jam)
(m)
> 100 8000
≤ 100 6000
(Sumber: PM 60 Tahun 2012)

Pengukuran lengkung vertikal dilakukan pada titik awal peralihan kelandaian. Dua lengkung vertikal yang
berdekatan harus memiliki transisi lurusan sekurang-kurangnya sepanjang 20 m. Ilustrasi penentuan panjang
lengkung vertikal dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Penentuan lengkung vertikal (Utomo, 2013)

Berdasarkan PM No. 60 Tahun 2012, penentuan panjang lengkung vertikal dapat dilakukan dengan
menggunakan Persamaan 2.
l=φR (2)
dimana: R = jari-jari lengkung vertikal
l = panjang lengkung vertikal
φ = perbedaan landai

3. METODE
Metode yang digunakan pada studi ini mengacu pada kriteria desain yang ada pada Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 60 Tahun 2012 dan Peraturan Dinas 10 tentang Perencanaan Konstruksi Jalan Rel. Data
utama yang diperlukan pada studi ini adalah data sekunder berupa data topografi yang diperlukan untuk
memahami kondisi trase di wilayah studi dan di sekitar wilayah studi. Selain analisis perhitungan yang
dilakukan secara manual, analisis pada studi ini juga dilakukan dengan perangkat lunak Civil 3D.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan data topografi dan tata guna lahan di sekitar wilayah studi, trase rencana jalur kereta api baru
ditetapkan. Dari sisi alinyemen horizontal, terdapat 11 lengkung horizontal pada trase ini. Posisi trase terpilih
untuk jalur kereta api baru ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Alinyemen horizontal dari jalur rencana kereta api baru


Setiap lengkung horizontal telah didesain dengan menggunakan lengkung transisi dan juga peninggian. Jari-
jari lengkung untuk semua tikungan dirancang sebesar 1400m, peninggian sebesar 35mm, dan panjang lengkung
peralihan sebesar 56m. Stationing dari titik awal (0+000 m) telah dihitung untuk setiap titik-titik penting pada
tikungan, dan dapat dirangkum pada Tabel 3.
Tabel 3 Stationing komponen-komponen tikungan

Stationing (m)
BP 0 + 000
PI1 PI7
TS 1 + 673.87 TS 20 + 445.194
SC 1 + 729.87 SC 20 + 501.19
CS 3 + 151.64 CS 21 + 94.35
ST 3 + 207.64 ST 21 + 150.35
PI2 PI8
TS 3 + 289.02 TS 22 + 491.07
SC 3 + 345.02 SC 22 + 547.07
CS 4 + 271.83 CS 23 + 61.78
ST 4 + 327.83 ST 23 + 117.78
PI3 PI9
TS 4 + 675.43 TS 25 + 31.58
SC 4 + 731.43 SC 25 + 87.58
CS 5 + 998.54 CS 25 + 684.82
ST 6 + 54.54 ST 25 + 740.82
PI4 PI10
TS 7 + 664.15 TS 26 + 890.75
SC 7 + 720.15 SC 26 + 946.75
CS 8 + 84.16 CS 27 + 145.17
ST 8 + 140.16 ST 27 + 201.17
PI5 PI11
TS 10 + 793.37 TS 29 + 353.69
SC 10 + 849.37 SC 29 + 409.69
CS 11 + 443.97 CS 29 + 901.30
ST 11 + 499.97 ST 29 + 957.30
PI6 EP 32 + 942.61
TS 17 + 284.53
SC 17 + 340.53
CS 17 + 759.56
ST 17 + 815.56

Setiap lengkung vertikal juga telah dihitung sesuai dengan teori pendukung yang ada di sub judul 2, dan
hasilnya telah dirangkum pada Tabel 4 di bawah ini. Perencanaan alinyemen vertikal ini menghasilkan 20
lengkung vertikal dengan jari-jari lengkung vertikal 8000m dengan kelandaian maksimum 8.5‰.
Tabel 4 Stationing dan perhitungan alinyemen vertikal

Stationing Elevasi g (‰) ɸ(‰) Tipe L (m)


1 0+000.71m 3.863
2 1+950.00m 1.5 -1.21 5.98 Cekung 47.83
3 4+090.00m 11.7 4.77 12.68 Cembung 101.43
4 5+000.00m 4.5 -7.91 16.19 Cekung 129.55
5 5+640.00m 9.8 8.28 13.92 Cembung 111.38
6 7+200.00m 1 -5.64 12.15 Cekung 97.19
7 8+460.00m 9.2 6.51 14.17 Cembung 113.34
8 9+400.00m 2 -7.66 15.46 Cekung 123.68
9 10+400.00m 9.8 7.80 16.30 Cembung 130.40
10 11+400.00m 1.3 -8.50 8.50 Cekung 68.00
11 11+600.00m 1.3 0.00 6.42 Cekung 51.33
12 12+800.00m 9 6.42 13.14 Cembung 105.15
13 13+350.00m 5.3 -6.73 14.28 Cekung 114.26
14 13+800.00m 8.7 7.56 13.56 Cembung 108.44
15 15+000.00m 1.5 -6.00 6.00 Cekung 48.00
16 19+000.00m 1.5 0.00 4.53 Cekung 36.23
17 20+325.00m 7.5 4.53 10.81 Cembung 86.51
18 21+200.00m 2 -6.29 6.64 Cekung 53.16
19 29+000.00m 4.8 0.36 3.28 Cekung 26.22
20 30+100.00m 8.8 3.64 10.24 Cembung 81.89
21 30+600.00m 5.5 -6.60 7.67 Cekung 61.34
22 32+942.61m 8 1.07

Kecepatan operasi rencana untuk rangkaian kereta api batu bara panjang (babaranjang) ini adalah sebesar 60
km/jam. Kecepatan ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kecepatan moda yang digunakan saat ini, yaitu
kecepatan moda tongkang yang hanya sekitar 10 km/jam. Selama ini, waktu tempuh jika menggunakan kapal
tongkang dari Stasiun Kertapati ke Pelabuhan Mariana adalah sebesar ± 1 jam 40 menit. Ditambah lagi waktu
bongkar muat di Stasiun Kertapati dan di Pelabuhan Mariana yang dapat mencapai hingga 2 jam. Dengan adanya
moda kereta api yang baru ini, perjalanan dari Stasiun Simpang ke Pelabuhan Mariana hanya membutuhkan
waktu sekitar 35 menit saja. Selain itu, dengan penggunaan sistem RCD (Rotary Circle Dumper) proses
unloading batu bara per rangkaian kereta api hanya membutuhkan waktu 40 menit saja. Pengurangan waktu
tempuh dan waktu bongkar muat ini secara langsung akan membuat proses transportasi menjadi lebih mudah,
lebih cepat dan lebih efisien.

5. KESIMPULAN
Perancangan jalan rel kereta api baru ini menghubungkan Stasiun Simpang dengan Pelabuhan Mariana,
yang bertujuan untuk membuat proses transportasi angkutan batu bara di Sumatera Selatan menjadi lebih cepat
dan lebih efisien. Perancangan jalan rel ini mengacu pada Peraturan Dinas 10 Tahun 1986 dan Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 60 Tahun 2012 dan ketentuan-ketentuan lain yang mendukung perencanaan. Desain jalur
kereta api baru ini tergolong pada kelas jalan rel I, dengan satu lajur (single track) dan lebar sepur 1435 mm.
Jalan rel kereta api baru ini dirancang sepanjang 32,942 km (STA 0+000 sampai STA 32+942.61) dengan
total 11 lengkung horizontal dengan lengkung peralihan. Jari-jari lengkung untuk semua lengkung horizontal
adalah 1400m, besar peninggian adalah 35mm, dan panjang lengkung peralihan 56m. Untuk menyesuaikan
dengan kondisi topografi di wilayah studi, direncakanan lengkung vertikal sebanyak 20 buah dengan jari-jari
lengkung vertikal 8000m dan kelandaian maksimum sebesar 8.5‰.
DAFTAR PUSTAKA

Kadir, A. (2006) Transportasi: Peran dan Dampaknya dalam Pertumbuhan Ekonomi Nasional. Jurnal
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Vol. 1, No. 3, hal. 121-131.
PJKA. (1986) Peraturan Perencanaan Konstruksi Jalan Rel (Peraturan Dinas No.10). Bandung.
PJKA. (1986) Penjelasan Peraturan Perencanaan Konstruksi Jalan Rel (Peraturan Dinas No.10). Bandung.
Republik Indonesia. (2012) Peraturan Menteri Perhubungan No. 60 Tahun 2012 tentang Persyaratan Teknis
Jalur Kereta Api. Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta.
Sukarto, H. (2006) Transportasi Perkotaan dan Lingkungan. Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3, No. 2, hal. 93-99.
Tamin, O. Z., Frazila, R. B. (1997) Penerapan Konsep Interaksi Tata Guna Lahan – Sistem Transportasi Dalam
Perencanaan Sistem Jaringan Transportasi. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 8, No.3, hal. 34-
52.
Utomo, S. H. T. (2013) Jalan Rel. Beta Offset, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai