Anda di halaman 1dari 6

IMPLEMENTASI STRATEGIS GERAKAN CLEAR+ DALAM PENGELOLAAN

LIMBAH PAKAIAN BERBASIS GREEN ECONOMY


Hafid Haical Hawari1 dan A. Muhammad Athallah Naufal2
Ritsumeikan Asia Pacific University1 dan Universitas Pertamina2

1. Latar Belakang
Konsep green economy pertama kali diperkenalkan oleh London Environmental Economics
Centre (LEEC) pada tahun 1989. Kemudian, krisis ekonomi pada tahun 2008 dan kegagalan
negara-negara dalam pembangunan berkelanjutan mengakibatkan konsep ini tidak banyak
diadaptasi di banyak negara (UNDP, 2012). Konsep ini kemudian diadopsi oleh UNEP selaku
lembaga internasional sebagai strategi alternatif untuk menghadapi krisis ekonomi global pada
saat itu. UNEP (2010) menyatakan bahwa green economy merupakan sistem yang memuat
semua aktivitas perekonomian yang menghasilkan peningkatan kualitas hidup manusia untuk
jangka panjang, tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang akibat risiko terkait
dampak lingkungan dan keterbatasan ekologis. Pada umumnya terdapat tiga faktor dalam
kajian green economy, yaitu mengintegrasikan ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Hegemoni globalisasi ekonomi memberi andil yang besar dalam peningkatan perilaku
konsumtif masyarakat, utamanya dari generasi millenial sebagai konsumen utama. Wahlen dan
Mikko (2015) dalam artikelnya menyebutkan bahwa keadaan ini secara nyata disusun untuk
membuka jalan bagi reorientasi teoritis tentang (1) pemahaman atau konseptualisasi tentang
sasaran konsumen dalam kaitannya dengan gerakan sosial dan (2) perubahan konsentrasi
diskusi tentang gaya hidup di luar pemahaman hegemonik mengenai konsumen individu
sebagai partisipan pasar. Keadaan tersebut tidak dapat dipungkiri, dimana sasaran utama dalam
perkembangan tren fesyen merujuk pada perspektif genarasi milenial yang merepresentasikan
keterbukaan dan kebaruan.

Sebagai salah satu tren besar dalam era globalisasi, fesyen tentu menjadi isu yang
berkelanjutan untuk dibahas, khususnya bagi generasi milenial. Hal ini sejalan dengan
penelitian The Hartman (2008), dimana generasi milenial dikenal sebagai generasi kritis yang
hidup pada lingkungan postmodern dan bersifat kontemporer. Lingkungan postmodern ini
tentu saja memberikan dampak positif pada lingkungan global, utamanya terhadap perputaran
ekonomi dan perkembangan tren dalam berpakaian. Sugianto (2018) menyebutkan tren fesyen
yang paling dominan menjadi pilihan bagi generasi millenial adalah fast fashion. Beberapa
merek fesyen ternama dunia seperti Zara, H&M, Uniqlo, dan lainnya bahkan memperluas

1
bisnis waralaba fesyennya secara masif. Pola konsumsi generasi millenial dalam fesyen
berpakaian utamanya dipengaruhi dua hal, yaitu shopping-well being (ukuran kepuasan
terhadap kualitas dari produk) dan curiosity (rasa ingin tahu dalam menggunakan produk).
Namun disisi lain, lingkungan tersebut menimbulkan perilaku konsumtif yang sifatnya
merusak.

The World Bank (2019) melansir produksi pakaian sebagai tren fesyen memberi andil
sebesar 10% terhadap peningkatan emisi karbon global dan kerusakan sanitasi sebesar 20%
setiap tahunnya. Salah satu buktinya, produsen celana jins Levis Strauss memperkirakan bahwa
sepasang celana jins menghasilkan sebanyak 33.4 kg karbon dioksida selama masa hidupnya,
angka ini setara dengan mengemudi sejauh 69 mil. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan
substansi dari Sustainable Development Goals (SDG’s) 2030 yang dicanangkan oleh PBB
dalam meningkatkan kualitas hidup manusia, utamanya dalam mengurangi efek rumah kaca
dan menjaga sanitasi lingkungan.

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan dampak industri fesyen terhadap lingkungan dan
memberikan rujukan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dengan pengembangan waste
management melalui prinsip 4R, yaitu reduce, reuse, recycle dan repair mengenai fast fashion
product dan langkah selanjutnya sebagai bentuk green economy. Penulis mengkaji strategi
melalui pendekatan studi literatur sebagai data primer yang menunjang proses implementasi
yang optimal.

2. Pembahasan
A. Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi
Indikator utama dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara ditandai dengan meningkatnya
produk domestik bruto (PDB). IMF (2020) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi
PDB mencakup pendapatan dan konsumsi rumah tangga, ekspor dan impor, investasi serta
konsumsi pemerintah. Faktor-faktor tersebut merupakan hal esensial yang terus diupayakan
berkembang. Di Indonesia sendiri, salah satu kebijakan strategis dalam peningkatan ekonomi
adalah mengembangkan generasi milenial sebagai bonus demografi.
Badan Pusat Statistik (2019) menyebutkan salah satu sektor strategis yang mengalami
pertumbuhan manufaktur adalah industri pakaian, yaitu sebesar 29,19%. Hal ini dipicu oleh
tren mode global dan tingginya permintaan ekspor. Namun, peningkatan sektor tersebut diikuti
dampak buruk terhadap kerusakan sanitasi lingkungan akibat gencarnya kegiatan produksi dan
pengelolaan limbah yang belum optimal. Selain itu, pengetahuan konsumen yang minim

2
terhadap pengelolaan limbah pakaian juga memperburuk dampak negatif tersebut. Melalui
permasalahan tersebut, penulis berinisiatif menawarkan solusi berupa pembentukan sebuah
gerakan yang berjudul Consume less, Recycle more (selanjutnya disebut Clear+).
Gerakan Clear+ memiliki arti mengurangi kebiasaan hidup yang konsumtif terutama di
bidang fesyen, dan mulai menerapkan pengelolaan limbah pakaian dan pakaian bekas pakai.
Gerakan ini mengajak masyarakat untuk menyadari berbuat satu tindakan kecil dapat menjaga
kelestarian lingkungan dan kesejahteraan ekonomi. Selain itu, tanda “+” merepresentasikan
bahwa gerakan ini tidak hanya fokus untuk peduli terhadap reduksi penggunaan fast fashion
product, tetapi juga berperan andil dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru dan
mengurangi rasio pengangguran yang ada di Indonesia. Penulis berpandangan potensi gerakan
tersebut dapat berkontribusi besar dalam peningkatan PDB negara, bahkan menduduki lima
besar teratas di dunia pada 2045 sesuai prediksi Bappenas pada 2016.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, penulis akan melaksanakan workshop dan
sosialisasi mengenai recycle produk fesyen yang sudah tidak dipakai dan limbah kain menjadi
barang yang bermanfaat seperti, sarung bantal, tempat pensil, tote bag, dan lain-lain. Gerakan
ini juga meliputi workshop mengenai kewirausahaan yang ditargetkan untuk generasi milenial
dengan melibatkan wirausaha dan influencer fesyen. Dengan melakukan kedua workshop di
atas, penulis berharap dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya generasi
milenial menjadi aktif, kreatif dan inovatif agar terlahirnya wirausaha baru. Selain itu,
workshop tersebut dapat meningkatkan kesadaran akan dampak buruk fast fashion product
terhadap lingkungan. Para peserta workshop diharapkan dapat memproduksi, menjual dan
mendistribusi produk bekas dan produk recycle agar dapat menciptakan merek pribadi dan
berkontribusi dalam peningkatan PDB. Badan Ekonomi Kreatif Indonesia atau BEKRAF
(2017) menyatakan bahwa industri fesyen merupakan salah satu ekonomi kreatif dengan nilai
pendapatan senilai Rp166 triliun atau berkontribusi sebesar 18.01% terhadap PDB Ekraf pada
tahun 2016.
Dalam prosesnya produksinya, kami mendukung para peserta workshop untuk melibatkan
rumah tangga menengah ke bawah sebagai tenaga kerja agar dapat meningkatkan produktivitas
yang membimbing ke pertumbuhan ekonomi. Selain itu, terciptanya lapangan pekerjaan baru
serta reduksi ketidakseimbangan pendapatan (income inequality) yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Jumlah faktor produksi dan output dalam industri fesyen dapat
meningkat secara signifikan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi dan SDG. Hal ini selaras dengan teori pertumbuhan Schumpeter bahwa jumlah faktor

3
produksi dan inovasi yang dilakukan para wirausaha dalam proses produksi dapat menciptakan
pertumbuhan ekonomi (Arsyad, 1992).
Jika gerakan ini dapat berkelanjutan dan mencapai tujuan di atas, kami juga ingin
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk subtitusi penggunaan produk luar negeri dengan
produk lokal dan produk recycle. Hal ini bertujuan untuk melindungi dan mendukung produk
fesyen lokal agar tetap lestari dan mampu bersaing dengan produk asing. Hal ini juga
mendukung produk lokal dalam memperluas wilayah pemasaran dan melakukan ekspor ke
negara-negara ASEAN, yang dilanjutkan ke kancah global sebagai bentuk tindakan lanjut
dalam misi gerakan ini. BEKRAF (2017) juga menyatakan bahwa nilai ekspor produk fesyen
Indonesia pada 2015 mencapai US$ 10,90 miliar, meningkat sebesar 1,84% dari tahun
sebelumnya dan memberikan kontribusi hampir mencapai 55% terhadap total nilai ekspor.
Gerakan ini dapat tercapai dengan bantuan sosialisasi dari pemerintah daerah maupun
nasional, serta melibatkan influencer yang tekun pada fesyen dan lingkungan melalui platform
sosial media seperti tiktok, instagram, facebook, dan lain-lain. Selain itu, bantuan dan
komitmen masyarakat khususnya generasi milenial juga turut berperan aktif sebagai target
utama dalam kegiatan ini.

B. Manajemen Limbah
Implementasi waste management sebagai bagian dari proses pengolahan pada pakaian
yang dibuang mengedepankan prinsip 4R (Reduce, Reuse, Repair, dan Recycle) yang bersifat
ramah lingkungan. Gerakan Clear+ menawarkan prosedur untuk bibit pelaku usaha dalam
mengelola limbah pakaian menjadi produk yang siap jual. Prosedur ini diawali dengan
menyortir limbah pakaian untuk menentukan proses pengolahan yang tepat. Untuk menjamin
keoptimalan proses pengolahan, pakaian yang dibuang akan dikategorikan berdasarkan
kualitas yang meliputi aspek warna dan kelengkapan komponennya.
Pakaian dengan kualitas masih di atas 70% akan mengalami reparasi dan dijual kembali
sebagai pakaian bekas layak pakai (second-hand clothing). Langkah ini menjadi ekspektasi
yang besar sejalan dengan penelitian Sorensen dan Jennifer (2019) tentang peningkatan
persepsi masyarakat dalam penggunaan second-hand clothing di tengah tren fast fashion.
Penjualan dari pakaian layak pakai yang telah direparasi merupakan representasi prinsip reuse.
Sedangkan pakaian dengan kualitas di bawah 70% akan dijadikan bahan baku pembuatan
produk baru melalui proses daur ulang (recycle). Penggunaan limbah pakaian sebagai bahan
baku pembuatan pakaian baru juga menonjolkan prinsip reduce, karena mengurangi
penggunaan bahan baku baru yang notabene menghasilkan pencemaran lingkungan. Hasil dari

4
penyuluhan tersebut diharapkan meningkatkan produktivitas generasi milenial dalam
menghasilkan produk yang berkualitas melalui pengelolaan yang tepat guna.

3. Kesimpulan
Industri pakaian di tengah maraknya tren fast fashion menjadi hal esensial untuk dikaji,
utamanya dalam pengelolaan limbah yang berpengaruh pada sanitasi lingkungan. Selain itu,
gencarnya proses produksi juga meningkatkan penggunaan bahan baku yang proses
manufakturnya berperan besar dalam peningkatan emisi gas dan efek rumah kaca. Dengan
demikian, melalui inisiatif penulis pada Gerakan Clear+ diharapkan pengelolaan limbah
pakaian yang mengedepankan konsep green economy dapat mereduksi penggunaan bahan baku
baru karena menerapkan prinsip daur ulang. Selain itu, melalui inisiasi gerakan pengelolaan
limbah yang dijalankan, diharapkan meningkatkan minat masyarakat, khususnya generasi
milenial dalam membuka industri berbasis pengelolaan limbah pakaian dalam meningkatkan
penyerapan tenaga kerja di Indonesia, sejalan dengan visi SDG’s 30 pada Decent Work and
Economy Growth.

4. Referensi
Arsyad, L. “Ekonomi Pembangunan, Edisi II”. Yogyakarta: STIE YKPN. 1992.

Badan Ekonomi Kreatif Indonesia. “Outlook Ekonomi Kreatif 2017”. 2017. Link URL:
https://www.bekraf.go.id/downloadable/pdf_file/180719-opus-bekraf-outlook-2017.pdf

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). “Indonesia 2045: Berdaulat, Maju,


Adil dan Makmum.” Ringkasan Eksekutif Visi Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas. 7 November 2018.

Hartman, Jackie & McCambridge, Jim. “Optimizing Millennials’ Communication Styles.”


Jurnal Business Communication Quarterly 74(1):22-44. Februari 2011.

International Monetary Fund (IMF). “Seeking Sustainable Growth: Short Term Recovery,
Long Term Challenge.” Survei Ekonomi Dunia dan Finansial dalam World Economy
Outlook. 11 Oktober, 2017.

KataData. “Sepanjang Kuartal I 2019 Industri Tekstil dan Pakaian Melonjak 18,98%.”
Artikel Berita Nasional katadata.co.id. 24 Juli 2020. Link URL:
https://katadata.co.id/agungjatmiko/berita/5e9a51921aaa0/sepanjang-kuartal-i-2019-industri-
tekstil-dan-pakaian-melonjak-1898

5
Levi Strauss & Co. The Life Cycle of a Jean: Understanding the Environment Impact of a
Pair of Levi’s 501 Jeans. 2015. Link URL: https://www.levistrauss.com/wp-
content/uploads/2015/03/Full-LCA-Results-Deck-FINAL.pdf

Salim, Zamroni dan Ernawati. “Info Komoditi Pakaian Jadi.” Data Badan Pengkajian dan
Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Juli,
2015.

Sorensen, dan Jorgensen, Jennifer. “Millennial Perceptions of Fast Fashion and Second-Hand
Clothing: An Exploration of Clothing Preferences Using Q Methodology.” Social Sciences.
8. 244. 10.3390/socsci8090244. Agustus, 2019.

Sugianto, Raphael Vivaldo dan Ritzy Karnina. “Pengaruh Self-Congruity, Curiosity, dan
Shopping Well-Being terhadap Pola Konsumsi Fast Fashion pada Generasi Milenial di
Surabaya.” Jurnal AGORA Vol. 6, No. 1, 1-6. 2018

The World Bank. “How Much do Our Wardrobes Cost to The Environment?” Artikel Berita
pada laman Bank Dunia. 23 September 2019. Link URL:
https://www.worldbank.org/en/news/feature/2019/09/23/costo-moda-medio-ambiente

United Nations Development Programme.” Green Economy in Action: Articles and Excerpts
that Illustrate Green Economy and Sustainable Development Efforts”. Augustus 2012.

United Nations Environment Programme.“Green Economy Report: A Preview”. 2010. Link


URL: https://unep.ch/etb/publications/Green%20Economy/GER%20Preview%20v2.0.pdf

Wahlen, Stefan., dan Mikko Laamanen. “Consumption, Lifestyle, and Social Movements.”
International Journal of Consumer Studies. 18 Juli 2015

Anda mungkin juga menyukai