Anda di halaman 1dari 15

Hari, Tanggal Seminar : Senin, 28 Juni 2021

Ruang/Sesi/ Pukul Seminar : R. 265/ 1/ 08.00-09.00 WIB

Determinan Kemiskinan Moneter dan Multidimensi


Penyandang Disabilitas di Indonesia Tahun 2019

Siti Andhasah *1, Atik Mar’atis Suhartini 2


1
IVSK1/211710015

e-mail: *1211710015@stis.ac.id , 2atik@stis.ac.id

Abstrak
Penyandang disabilitas adalah salah satu kelompok marginal yang rentan mengalami
kemiskinan. Berdasarkan pendekatan moneter, tingkat kemiskinan penyandang disabilitas di
Indonesia lebih tinggi dibandingkan nondisabilitas. Pendekatan moneter hanya mengukur
sedikit masalah kemiskinan, sehingga perlu menggunakan pendekatan multidimensi. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik serta mengidentifikasi
determinan kemiskinan moneter dan multidimensi penyandang disabilitas di Indonesia. Data
yang digunakan adalah Susenas kor 2019 dengan cakupan penyandang disabilitas usia 6-64
tahun. Variabel respon yang digunakan yaitu status miskin moneter dan status miskin
multidimensi, sedangkan variabel prediktor dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal.
Data dianalisis menggunakan regresi logistik biner bivariat. Hasil analisis menunjukkan bahwa
hampir seluruh variabel memengaruhi status miskin moneter maupun miskin multidimensi.
Pendidikan penyandang disabilitas menghasilkan kecenderungan paling besar untuk
mengalami kemiskinan. Pemerintah harus menggalakkan dan merealisasikan wajib belajar bagi
penyandang disabilitas setidaknya wajib belajar 9 tahun untuk memenuhi hak pendidikan
mereka..

Kata kunci— kemiskinan, disabilitas, logistik biner bivariat

Abstract
People with disabilities are marginalized groups who are vulnerable to poor. Based on
monetary approach, poverty rate for people with disabilities in Indonesia is higher than
nondisabled. The monetary approach only measures a few poverty problems, so need to use a
multidimensional approach. Therefore, this study aims to identify determinants of monetary and
multidimensional poverty among people with disabilities in Indonesia. Data used is Susenas
Kor 2019 with the coverage is people with disabilities aged 6-64 years. The dependent variabel
used was monetary poor status and multidimensional poor status, while the independent
variabels consist internal and external factors. Data were analyzed using bivariate binary
logistic regression. Results show that almost all variabels affect the monetary and
multidimensional poor status. The education of people with disabilities has greatest tendency to
experience poverty. Government must realize compulsory education for people with disabilities
at least 9 years to fulfill their education.
.
Keywords— poverty, disability, bivariate binary logistic

1
 ISSN: 1978-1520

1. PENDAHULUAN

Kemiskinan merupakan masalah penting untuk diatasi. Kemiskinan yang tinggi


menunjukkan bahwa kualitas hidup masyarakat masih rendah serta dapat menyebabkan
munculya persoalan ekonomi, sosial, dan politik di suatu wilayah. Upaya penghapusan
kemiskinan tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs) tujuan pertama yakni
mengakhiri kemiskinan di manapun dalam semua bentuk. Lebih lanjut, pada target poin kedua
akan mengurangi setidaknya setengah proporsi yang miskin di semua dimensi. Prinsip no one
left behind menegaskan tidak akan meninggalkan siapapun dalam pembangunan, termasuk
kelompok marginal.
Salah satu kelompok marginal yang rentan mengalami kemiskinan yaitu penyandang
disabilitas (Mitra et al., 2012). Menurut Elwan (1999) mereka miskin karena kehilangan
pendapatan, adanya biaya tambahan akibat disabilitasnya, dan marginalisasi dari aktivitas sosial.
Perhatian terhadap kemiskinan penyandang disabilitas di Indonesia didukung berubahnya data
disabilitas dari indikator kesehatan menjadi indikator kesejahteraan sosial dalam survey BPS,
yang berarti data disabilitas lebih mencerminkan sasaran pembangunan nasional untuk
pengentasan kemiskinan dan bukan data kependudukan dengan disabilitas (Irwanto et al., 2010).
Keberhasilan pengentasan kemiskinan penyandang disabilitas akan mendukung terwujudnya
pembangunan inklusif di Indonesia (SMERU, 2020).
Berdasarkan hasil analisis SMERU (2020) menggunakan data Susenas 2018, dengan
pendekatan moneter diperoleh informasi bahwa tingkat kemiskinan penyandang disabilitas di
Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan nondisabilitas yaitu 14,97 persen dibandingkan 9,52
persen. Capaian tersebut masih berada di bawah target Rencana Kerja Pemerintahan (RKP)
yaitu 13,0 persen pada 2020. Selain itu, proporsi penyandang disabilitas juga meningkat seiring
dengan semakin rendahnya kuintil pendapatan, sedangkan pada nondisabilitas justru sebaliknya
(Gambar 1), artinya terdapat kesenjangan kesejahteraan antara penyandang disabilitas dan
nondisabilitas. Apabila hal ini tidak segera ditangani, maka dapat memperparah
kemiskinan di Indonesia.

30
25
20
15 Nondisabilitas
10 Disabilitas
5
0
Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
- (miskin) - (kaya)

Sumber : Susenas 2018 dalam SMERU (2020)


Gambar 1. Persentase nondisabilitas dan disabilitas berdasarkan kuintil pendapatan

Di sisi lain, Amartaya Sen mengungkapkan bahwa kemiskinan moneter hanya


mengukur sebagian kecil dari keseluruhan persoalan kemiskinan serta diperlukan alternatif
ukuran yang dapat memotret kemiskinan secara lebih holistik (Prakarsa, 2020). Alternatif
ukuran yang dapat digunakan yaitu dengan pendekatan multidimensi. Pendekatan multidimensi
akan lebih tepat untuk mengevaluasi kebijkan dalam pembangunan manusia (Alkire, 2002).
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik serta
mengidentifikasi determinan kemiskinan moneter dan multidimensi penyandang disabilitas di
Indonesia. Bella (2016) melakukan penelitian terhadap kemiskinan rumah tangga dengan KRT
penyandang disabilitas di Indonesia menggunakan data Susenas 2012. Hasil analisis regresi

2
IJCCS ISSN: 1978-1520

logistik biner menunjukkan jenis disabilitas buta dan mengurus diri, disabilitas yang diderita
sejak lahir, modal sosial, ukuran rumah tangga, klasifikasi wilayah, penggunaan listrik, status
kepemilikan rumah status menikah dan lama sekolah KRT berpengaruh signifikan.
Penelitian Roncancio et al., (2020) bertujuan menganalisis kemiskinan multidimensi
penyandang disabilitas menggunakan data survey disabilitas di Kamerun tahun 2013, India
tahun 2014, dan Guatemala tahun 2016. Hasil analisis menunjukkan penyandang disabilitas
yang miskin multidimensi di ketiga negara paling terdeprivasi pada indikator akses perawatan
kesehatan, pencapaian sekolah dan pekerjaan.
Penelitian Kang (2014) bertujuan menganalisis kemiskinan penyandang disabilitas di
Korea Selatan menggunakan data survey disabilitas Korea Selatan tahun 2005. Berdasarkan
hasil analisis multilevel, variabel yang berpengaruh signifikan adalah jenis kelamin, usia,
pendidikan, status kesehatan, pekerjaan KRT, daerah tempat tinggal, jumlah ART, jenis
disabilitas, dan faktor diskriminasi pekerjaan.

2. METODOLOGI

2.1. Landasan Teori


Konsep Disabilitas
Menurut UU No.8 Tahun 2016 yang dimaksud penyandang disabilitas adalah
“setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensori
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga
negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”. Dalam Susenas 2019, individu yang berusia ≥ 2
tahun ke atas didefinisikan sebagai penyandang disabilitas apabila “selalu” mengalami kesulitan
atau “banyak“ mengalami kesulitan (SMERU, 2020).

Kemiskinan Moneter
Kemiskinan moneter dapat dilihat dari sisi pendapatan dan pengeluaran. Menurut Bank
Dunia (2015), seseorang dianggap miskin ketika memiliki penghasilan kurang dari standar
pendapatan tertentu. Adapun BPS mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. BPS mengukur kemiskinan moneter menggunakan garis kemiskinan yang
diperoleh dari penjumlahan garis kemiskinan makanan dan nonmakanan. Seseorang dikatakan
miskin apabila memiliki pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan.

Kemiskinan Multidimensi
Konsep kemiskinan multidimensi berawal dari pertanyaan “who is poor” oleh Sen
(1976). Kemudian Sen menggagas pendekatan kapabilitas yang menekankan kondisi
kesejahteraan. Pendekatan ini terdiri atas dua konsep dasar yakni functioning dan capability.
Functioning adalah aktivitas yang berharga yang membentuk kesejahteraan seseorang seperti
keadaan sehat dan gizi cukup, keadaan aman, berpendidikan, pekerjaan yang layak,
mengunjungi orang lain, dan lain-lain. Sementara capability seseorang merujuk pada kombinasi
alternatif fungsi yang semuanya layak untuk mereka capai. Pendekatan ini lalu dikembangkan
oleh Alkire-Foster dalam penyusunan MPI (Multidimensional Poverty Index). Menurut Alkire
dan Santos (2011), MPI sangat fleksibel dan dapat digunakan dengan dimensi, indikator,
penimbang, dan cut off yang berbeda untuk menciptakan ukuran spesifik sesuai dengan situasi
dan kondisi yang dialami.

2.2. Ruang Lingkup Penelitian


Unit analisis penelitian mengacu Igei (2017) yakni mencakup penyandang disabilitas
usia 6-64 tahun dengan alasan mempertimbangkan usia masuk sekolah (6-7 tahun) dan usia
kerja (15-64 tahun). Selain itu, pada anak usia kurang dari 6 tahun, akurasi dalam identifikasi

3
 ISSN: 1978-1520

disabilitas masih redah karena pertumbuhan setiap anak berbeda-beda, sementara fungsi tubuh
pada individu usia lebih dari 64 tahun cenderung telah berkurang karena pengaruh faktor usia.
Sumber data yang digunakan adalah Susenas kor 2019 dan diperoleh sebanyak 17.851 sampel
penelitian.
Variabel prediktor dibedakan menjadi dua yaitu faktor internal dan eksternal. Sementara
variabel responnya yaitu status miskin moneter (Y1) dan status miskin multidimensi (Y2).
Rincian variabel penelitian terdapat pada Lampiran 1. Pengukuran status miskin moneter
menggunakan cut off garis kemiskinan provinsi menurut daerah perdesaan dan perkotaan.
Sementara penentuan status miskin multidimensi mengacu pada metode Alkire Foster. Berikut
langkah-langkah penentuan status miskin multidimensi :
1. Menentukan unit analisis.
Unit analisis penelitian ini adalah penyandang disabilitas usia 6-64 tahun.
2. Memilih dimensi dan indikator.
Penelitian ini menggunakan tiga dimensi dan 11 indikator yang mengadopsi dari Alkire &
Santos (2011), Igei (2017), dan Rincancio et al., (2020).
3. Menentukan cut off deprivasi indikator.
Jika cut off indikator dinotasikan zi, maka individu ke-i terdeprivasi jika capaiannya pada
indikator ke-i berada di bawah cut-off yaitu jika xi < zi.
4. Menentukan penimbang indikator ( .
Penelitian ini menggunakan equal weight pada dimensi maupun indikator. Rincian dimensi,
indikator, dan penimbang dapat dilihat pada Lampiran 2.
5. Menghitung skor deprivasi
Skor deprivasi dihitung menggunakan jumlah tertimbang, yang dirumuskan sebagai:

(1)

Ii = 1 jika terdeprivasi pada indikator ke-i, dan Ii = 0 jika tidak.
6. Menentukan cut off kemiskinan multidimensi (k).
Cut off kemiskinan multidimensi ditetapkan sebesar 0,4 yang mengacu pada penelitian
Trani et al., (2015), Igei (2017), dan Rincancio et al., (2020).
7. Menentukan status miskin multidimensi.
Penyandang disabilitas ke-i mengalami miskin multidimensi apabila > k.

2.3. Metode Analisis


Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif dan
analisis inferensia dengan regresi logistik biner bivariat. Metode ini memiliki dua variabel
respon (Y1 dan Y2) dengan masing-masing berkategori biner yang mengasumsikan terdapat
hubungan antarvariabel responnya, sehingga efek dari faktor risiko terhadap setiap hasil turut
dievaluasi (Cessie & Houwelingen, 1994). Dengan menggunakan logit link function, model
yang akan terbentuk adalah sebagai berikut:

( (2)
( )

( ( ) (3)

( ( ( ( ) (4)

Di mana adalah model marginal Y1. adalah model marginal Y2. adalah model
transformasi odds rasio yaitu model interaksi antara Y1 dan Y2. Peluang pengamatan bivariat
( , ( , ( , dan

4
IJCCS ISSN: 1978-1520

( . Adapun disebut parameter asosiasi, sedangkan p adalah banyaknya


variabel prediktor.

Langkah-langkah analisis regresi logistik biner bivariat adalah sebagai berikut.


1. Pengujian independensi antarvariabel respon dengan menggunakan uji Chi-square.
Hipotesis :
H0 : Tidak ada hubungan antara variabel respon Y1 dan Y2
H1 : Terdapat hubungan antara variabel respon Y1 dan Y2
Statistik uji :
(
∑∑ ( ( (5)

Dimana i = 1,2,…,r dan j = 1,2,…,k.


Keterangan :
: jumlah observasi baris ke-i kolom ke-j.
: nilai harapan dari observasi baris ke-i kolom ke-j.
H0 ditolak ketika lebih besar dari ( ( yang artinya terdapat hubungan
antara variabel respon Y1 dan Y2, Apabila tolak H0 maka dapat lanjut ke tahap berikutnya.
2. Pembentukan model dengan metode estimasi Maximum Likelihood (MLE).
3. Pengujian kesesuaian model menggunakan nilai statistik deviance.
Deviance adalah statistik likelihood rasio untuk membandingkan model yang diperoleh
dengan model saturated. Model saturated adalah model yang memiliki tingkat kecocokan
sempurna.
H0 : model fit (cocok)
H1 : model tidak fit (cocok)
Statistik uji :

[ ] ( (6)
Keterangan:
: Likelihood model yang diperoleh
: Likelihood model saturated
: Jumlah pengamatan, = jumlah parameter
Hipotesis diterima ketika nilai deviance lebih kecil dari ( yang artinya model
yang terbentuk sudah cocok.
4. Pengujian simultan untuk menggunakan Likelihood Ratio (LR) test.
Hipotesis:

: Minimal terdapat satu , dengan r = 1, 2, …, p dan s=1,2


Statistik uji :
[ ( ( ] ( (7)
Keterangan :
( : Likelihood model tanpa variabel prediktor
( : Likelihood model dengan variabel prediktor
: jumlah parameter
Hipotesis ditolak apabila ( yang artinya terdapat minimal satu variabel
prediktor yang memengaruhi variabel respon.
5. Pengujian parsial menggunakan uji Wald.
Hipotesis:

dengan r = 1, 2, …, p dan s =1,2 .


Statistik uji Wald adalah sebagai berikut:
5
 ISSN: 1978-1520

̂ (8)

Hipotesis ditolak saat nilai atau yang menunjukkan
variabel prediktor berpengaruh signifikan terhadap variabel respon secara parsial.
6. Menentukan nilai odds rasio dengan mengeksponensialkan koefisien parameter.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Kemiskinan Moneter dan Multidimensi Penyandang Disabilitas di Indonesia


tahun 2019

Berdasarkan data penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penyandang disabilitas


usia 6-64 tahun mengalami disabilitas ganda, berjenis kelamin perempuan, berpendidikan ≤ SD
sederajat, bertempat tinggal di perdesaan, memiliki KRT yang bekerja di sektor nonpertanian,
dan KRT berpendidikan ≤ SD sederajat (Tabel 1.)

Tabel 1. Distribusi penyandang disabilitas berdasarkan variabel prediktor


Variabel Kategori Persentase
(1) (2) (3)
Penglihatan 23,6
Komunikasi 14,3
Konsentrasi 6,5
Jenis disabilitas Emosi 4,9
Gerak 17,2
Mengurus diri 1,1
Ganda 32,4
Laki – laki 49,3
Jenis kelamin individu
Perempuan 50,7
≥ SMP sederajat 32,2
Pendidikan individu
≤ SD sederajat 67,8
Perkotaan 36,9
Klasifikasi wilayah
Perdesaan 63,1
Nonpertanian 57,2
Pekerjaan KRT Tidak bekerja 25,6
Pertanian 17,2
≥ SMA sederajat 21,8
Pendidikan KRT ≤ SD sederajat 65,6
SMP sederajat 12,6
Sumber : Susenas 2019, diolah

Berdasarkan Gambar 2, persentase penyandang disabilitas yang mengalami miskin


moneter, miskin multidimensi, dan miskin moneter sekaligus miskin multidimensi masing-
masing sebesar 10,10 persen, 19,2 persen, dan 4,6 persen. Lebih tingginya persentase miskin
multidimensi dikarenakan pengukurannya tidak hanya menggunakan satu aspek melainkan juga
mempertimbangkan beberapa aspek lainnya yaitu pendidikan, kesehatan, perlindungan
sosial, pekerjaan, dan standar hidup.

6
IJCCS ISSN: 1978-1520

10,10%

Miskin Moneter
19,2%
Miskin Multidimensi
Keduanya
66,10% 4,60% Tidak miskin

Sumber : Susenas 2019, diolah.


Gambar 2. Persentase penyandang disabilitas berdasarkan status kemiskinan

Berdasarkan Gambar 3, diantara penyandang disabilitas usia 6-14 maupun 15-64 yang
mengalami miskin multidimensi, mayoritas terdeprivasi pada indikator pendidikan dan aset.
Tidak terpenuhinya pendidikan mereka mungkin disebabkan karena sang orang tua tidak
memiliki biaya untuk menyekolahkan anaknya. Berdasarkan Statistik SLB Tahun 2019-2020,
data jumlah SLB di Indonesia yang berstatus swasta (1677 sekolah) lebih banyak dibandingkan
yang berstatus negeri (593 sekolah) yang terdiri dari SDLB,SMPLB,SMLB, dan SLB. Karena
biaya sekolah swasta yang lebih mahal, mungkin keputusan untuk menyekolahkan penyandang
disabilitas sangat dipertimbangkan oleh orang tua mereka.
Adapun tingginya deprivasi pada indikator aset sejalan dengan penelitian Palmer et al.,
(2012) dan World Bank (2009) yang menyatakan rumah tangga dengan penyandang disabilitas
memiliki aset yang lebih sedikit dibandingkan dengan rumah tangga lainnya. Ketika rumah
tangga tidak memiliki aset artinya tidak ada sumber daya untuk menghasilkan pendapatan di
masa depan (Choi et al., 2011).

(a) (b)
Sumber : Susenas 2019, diolah.
Gambar 3. Persentase penyandang disabilitas usia 6-14 (a) dan 15-64 (b) yang miskin
multidimensi menurut deprivasi pada indikator.

Tabel 2 menyajikan tabulasi silang antara variabel prediktor dengan status kemiskinan
penyandang disabilitas. Berdasarkan jenis disabilitas, persentase miskin multidimensi pada
kesulitan mengurus diri merupakan yang tertinggi yakni sebesar 30,8%, bahkan persentasenya
mencapai lebih dari dua kali lipat dari persentase miskin moneter. Hal ini mungkin disebabkan
kesulitan mengurus diri termasuk kategori disabilitas berat karena mereka selalu membutuhkan
bantuan orang lain untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Sementara itu, pada jenis disabilitas
emosi memiliki persentase miskin moneter tertinggi yakni 22,2%, bahkan sedikit melebihi
persentase miskin multidimensi. Menurut Trani dan Loeb (2010), orang dengan disabilitas

7
 ISSN: 1978-1520

ganda, kognitif, dan mental lebih mungkin untuk tidak bekerja dibandingkan dengan disabilitas
sensori.
Tabel 2. Tabulasi silang antara variabel prediktor dengan status kemiskinan
Miskin moneter (%) Miskin multidimensi (%)
Variable Kategori
Tidak Miskin Tidak Miskin
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Ganda 83,2 16,8 76,5 23,5
Penglihatan 88,7 11,3 75,7 24,3
Komunikasi 84,7 15,3 73,6 26,4
Jenis
Konsentrasi 84,3 15,7 72,3 27,7
disabilitas
Emosi 77,8 22,2 78,4 21,6
Gerak 87,6 12,4 79,8 20,2
Mengurus diri 86,4 13,6 69,2 30,8
Jenis kelamin Laki-laki 85,2 14,8 76,9 23,1
Individu Perempuan 85,4 14,6 75,5 24,5
Pendidikan ≥ SMP sederajat 90,4 9,6 98,5 1,5
individu ≤ SD sederajat 82,9 17,1 65,6 34,4
Klasifikasi Perkotaan 89,2 10,8 83,6 16,4
wilayah Perdesaan 83,0 17 71,9 28,1
Pendidikan ≥ SMA sederajat 93,2 6,8 90,6 9,4
KRT ≤ SD sederajat 82,2 17,8 69,2 30,8
SMP sederajat 87,8 12,2 87,7 12,3
Pekerjaan Nonpertanian 88,1 11,9 76,4 23,6
KRT Tidak bekerja 84,4 15,6 80,9 19,1
Pertanian 77,5 22,5 68,5 31,5
Sumber: Susenas 2019, diolah.

Berdasarkan jenis kelamin, proporsi laki-laki dan perempuan penyandang disabilitas


yang miskin moneter maupun multidimensi tidak jauh berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa
laki-laki dan perempuan penyandang disabilitas di Indonesia mengalami diskriminasi yang
sama atas kondisi disabilitasnya, sebelum adanya diskriminasi jenis kelamin (Bella, 2015).
Berdasarkan pendidikan penyandang disabilitas, tingkat kemiskinan menurun drastis
seiring semakin tingginya pendidikan. Persentase penyandang disabilitas miskin moneter yang
berpendidikan ≤ SD sederajat sebesar 17,8 persen, dan menurun menjadi 9,6 persen ketika
berpendidikan ≥ SMP sederajat. Persentase penyandang disabilitas miskin multidimeni yang
berpendidikan ≤ SD sederajat sebesar 34,4 persen, dan menjadi 1,5 persen ketika berpendidikan
≥ SMP sederajat. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan penyandang disabilitas diduga
menjadi faktor utama untuk menurunkan kemiskinan.
Berdasarkan klasifikasi tempat tinggal, persentase penyandang disabilitas miskin selalu
lebih tinggi di perdesaan dibandingkan perkotaan. Hal ini mungkin terjadi karena adanya
kesenjangan fasilitas penyandang disabilitas antara kedua daerah tersebut. Selain itu dapat
dimungkinkan perilaku masyarakat perdesaan lebih diskriminatif terhadap penyandang
disabiitas, sehingga kemiskinan lebih tinggi di perdesaan.
Berdasarkan pendidikan KRT, persentase miskin tertinggi dialami oleh penyandang
disabilitas dengan pendidikan KRT ≤ SD sederjat, dan berangsur menurun ketika pendidikan
KRT meningkat. Selain pendapatan yang diterima semakin tinggi, mungkin juga karena KRT
yang berpendidikan memiliki pengetahuan dalam memenuhi hak-hak anggota keluarga mereka
yang mengalami penyadang disabilitas.
Berdasarkan pekerjaan KRT, persentase penyandang disabilitas miskin tertinggi dialami
oleh penyandang disabilitas dengan KRT bekerja di pertanian. Hal ini sejalan dengan Castañeda
et al., (2016) bahwa ciri-ciri kemiskinan di negara berkembang adalah bekerja di sektor
pertanian. Hal ini berhubungan dengan rendahnya pendapatan yang mereka terima.
8
IJCCS ISSN: 1978-1520

3.2 Determinan Kemiskinan Moneter dan Multidimensi Penyandang Disabilitas di Indonesia


Tahun 2019

Regresi logistik biner bivariat digunakan untuk mengetahui faktor yang memengaruhi
kemiskinan moneter dan multidimensi penyandang disabilitas. Sebelum masuk ke analisis,
dilakukan uji independensi antarvariabel responnya. Hasil uji chi-square diperoleh nilai chi-
square hitung sebesar 95,679 yang lebih besar dibandingkan = 3,84 (Lampiran 3),
sehingga disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kemiskinan moneter dan multidimensi.
Selanjutnya dilakukan uji kesesuaian model menggunakan uji deviance (Lampiran 4), dan
diperoleh nilai deviance sebesar 30313,35 yang lebih kecil dari = 54047,22 sehingga
diputuskan gagal tolak H0 dan disimpulkan model sudah fit (cocok).
Uji simultan dengan LR test menghasilkan nilai G sebesar 4090,2 yang lebih besar dari
= 58,12 sehingga disimpulkan terdapat minimal satu variabel prediktor yang
memengaruhi variabel respon. Uji parsial dengan uji Wald menunjukkan bahwa dengan taraf uji
5 persen, seluruh variabel kecuali jenis kelamin signifikan memengaruhi kemiskinan moneter.
Sementara itu, seluruh variabel kecuali jumlah penyandang disabilitas signifikan memengaruhi
kemiskinan multidimensi.

Persamaan model marginal miskin moneter (Y1) adalah sebagai berikut:


̂( ( ( ( (
( ( (
( ( ( (

Persamaan model marginal miskin multidimensi (Y2) sebagai berikut:


̂( ( ( (
( ( ( (
( (

Adapun persamaan model transformasi odds rasio adalah sebagai berikut:


̂(

Keterangan: signifikan pada alfa 5 persen.

Pada model transformasi odds rasio tidak ada variabel yang signifikan memengaruhi
interaksi antara kemiskinan moneter dan multidimensi. Hal ini mungkin disebabkan karena
penyandang disabilitas yang mengalami miskin moneter sekaligus multidimensi hanya sedikit
yakni 4,60 persen, sehingga dianggap belum mampu menjelaskan pengaruh interaksi
kemiskinan moneter dan multidimensi.
Selanjutnya yaitu penjelasan pengaruh variabel prediktor terhadap variabel respon
beserta interpretasi odds rasio. Nilai odds rasio atau exp( ) menunjukkan kecenderungan
penyandang disabilitas untuk mengalami miskin moneter atau miskin multidimensi berdasarkan
suatu varibel prediktor dibandingkan kategori referensi.

1. Jenis disabilitas
Jenis disabilitas memengaruhi kemiskinan moneter maupun multidimensi. Penyandang
disabilitas penglihatan, komunikasi, gerak, konsentrasi, emosi, mengurus diri berturut-turut
memiliki kecenderungan 0,66 kali, 0,86 kali, 0,74 kali, 0,95 kali, 1,36 kali, 0,88 kali untuk
miskin moneter dibandingkan penyandang disabilitas ganda. Sementara itu penyandang
disabilitas penglihatan, komunikasi, gerak, konsentrasi, emosi, mengurus diri berturut-turut

9
 ISSN: 1978-1520

memiliki kecenderungan 1,33 kali, 1,12 kali; 0,98 kali, 1,39 kali, 1,26 kali, dan 1,83 kali untuk
miskin multidimensi dibandingkan penyandang disabilitas ganda.
Secara umum kecenderungan seluruh jenis disabilitas untuk miskin berada di sekitar
satu. Artinya, baik penyandang disabilitas penglihatan, komunikasi, gerak, konsentrasi, emosi,
mengurus diri, maupun ganda di Indonesia memiliki peluang yang sama untuk miskin.

2. Jenis kelamin penyandang disabilitas


Jenis kelamin tidak signifikan memengaruhi miskin moneter dan signfikan negatif
memengaruhi miskin multidimensi. Sementara berdasarkan odds rasio, penyandang disabilitas
perempuan berkecenderungan 0,97 kali untuk miskin moneter dan 0,92 kali untuk miskin
multidimensi dibandingkan laki-laki. Karena nilai odds rasionya mendekati 1, hal ini
menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan penyandang disabilitas memiliki peluang yang
sama untuk miskin. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa tidak terdapat diskriminasi jenis
kelamin diantara penyandang disabilitas di Indonesia.

3. Pendidikan penyandang disabilitas


Pendidikan berpengaruh positif terhadap miskin moneter maupun multidimensi.
Kecenderungan penyandang disabilitas yang berpendidikan ≤ SD sederajat 1,45 kali untuk
miskin moneter dan 27 kali untuk mengalami miskin multidimensi dibandingkan yang
berpendidikan ≥ SMP sederajat. Artinya, pendidikan berperan penting untuk keluar dari
kemiskinan. Menurut Filmer (2008), ketidakhadiran anak-anak dan remaja penyandang
disabilitas di sekolah menyebabkan akumulasi modal manusia dan kesempatan kerja terbatas,
serta penurunan produktivitas di masa dewasa untuk orang dengan kecacatan saat lahir atau
kanak-kanak. Adapun menurut Cahyono (2017) pendidikan penyandang disabilitas mampu
melindungi diri sendiri, memahami keterbatasan kemampuan fisik yang perlu dikembangkan,
dan membantu melakukan penyesuaian sosial serta mengembangkan perasaan harga diri yang
baik.

4. Klasifikasi wilayah
Klasifikasi wilayah signifikan positif memengaruhi miskin moneter dan multidimensi.
Penyandang disabilitas yang tinggal di perdesaan berkecenderungan 1,36 kali lebih tinggi untuk
mengalami miskin moneter dan 1,43 kali untuk miskin multidimensi. Menurut Kang (2014),
penduduk perdesaan lebih miskin karena mereka memiliki lebih sedikit kesempatan kerja, upah
yang lebih rendah, bisnis dan lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilas lebih terbuka di
perkotaan. Selain itu, fasilitas perkotaan yangg lebih baik menyebabkan mereka lebih mudah
untuk beraktivitas dan berpartisipasi di berbagai kegiatan. Adapun penelitian Prakosa (2005) di
sebuah komunitas pedesaan di DIY menemukan bahwa masyarakat menganggap disabilitas
sebagai penyakit keturunan atau kutukan, lalu menyebarluaskan representasi mereka melalui
percakapan sehari-hari dengan masyarakat lain. Sikap masyarakat pedesaan terhadap disabilitas
yang demikian membuat mereka lebih terkucilkan.

5. Jumlah penyandang disabilitas dalam rumah tangga


Jumlah penyandang disabilitas berpengaruh signifikan terhadap miskin moneter, namun
tidak memengaruhi miskin multidimensi. Setiap penambahan satu orang penyandang disabilitas
dalam rumah tangga maka akan terjadi peningkatan kecenderungan sebesar 1,19 kali untuk
miskin moneter. Menurut Bella (2015), hal tersebut terjadi karena adanya the conversion
handicap yaitu tambahan biaya untuk memenuhi kebutuhan disabilitas mereka.

6. Pendidikan KRT
Pendidikan KRT berpengaruh signifikan positif terhadap miskin moneter. Penyandang
disabilitas dengan KRT berpendidikan ≤ SD berkecenderungan 2,12 kali untuk miskin moneter,
sementara ketika KRT berpendidikan SMP kecenderungannya menurun menjadi 1,71 kali.
Semakin tinggi pendidikan KRT, maka mereka akan mendapat penghasilan yang lebih besar.
10
IJCCS ISSN: 1978-1520

KRT yang berpendidikan ≤SD signifikan positif memengaruhi miskin multidimensi dengan
kecenderungan 1,66 kali untuk miskin mutidimensi dan menurun menjadi 1,12 kali ketika KRT
berpendidikan SMP. Menurut Lamichhane dan Kawakatsu (2015), tingkat pendidikan KRT
berhubungan positif dengan partisipasi sekolah anak disabilitas mereka. Semakin tinggi
pendidikan KRT, maka ia akan cenderung menyekolahkan anaknya.

7. Pekerjaan KRT
KRT yang tidak bekerja perpengaruh positif terhadap miskin moneter, namun
berpengaruh negatif terhadap miskin multidimensi. Apabila dilihat odds rasionya, Penyandang
disabilitas dengan KRT yang tidak bekerja memiliki kecenderungan 1,35 kali untuk miskin
moneter, dan 0,71 kali lebih kecil untuk miskin multidimensi dibandingkan KRT yang bekerja
di nonpertanian. Berdasarkan data penelitian, diantara penyandang disabilitas dengan KRT yang
tidak bekerja, terdapat 49 persen yang berusia lebih dari 60 tahun. Karena usia KRT sudah tua,
kemungkinan mereka memiliki aset-aset yang diperoleh pada masa mudanya sehingga dapat
digunakan untuk meningkatkan standar hidup mereka saat ini. Sementara itu, sektor pertanian
berpengaruh signifikan positif terhadap miskin moneter. Menurut Bella (2015) produktivitas
pekerja di sektor pertanian rendah, sehingga penghasilan mereka juga rendah. Berdasarkan
laporan International Fund for Agricultural Development atau IFAD (2019) di Eutopia rumah
tangga dengan penyandang disabilitas yang menanam tanaman pertanian cenderung tidak
menggunakan benih unggul sehingga kualitas hasil panen rendah.

4. KESIMPULAN DAN SARAN


4.1. Kesimpulan
1. Menurut karakteristiknya, penyandang disabilitas yang mengalami miskin moneter
maupun miskin multidimensi didominasi oleh yang berpendidikan ≤ SD, tinggal di
perdesaan, memiliki KRT bekerja di pertanian, dan pendidikan KRT ≤ SD. Kesulitan
mengurus diri mendominasi miskin multidimensi, sedangkan gangguan emosi memiliki
tingkat miskin multidimensi dan moneter yang hampir sama. Penyandang disabilitas
yang miskin multidimensi mayoritas terdeprivasi pada indikator aset dan pendidikan.

2. Seluruh variabel kecuali jenis kelamin penyandang disabilitas signifikan memengaruhi


kemiskinan moneter. Seluruh variabel kecuali jumlah penyandang disabilitas signifikan
memengaruhi miskin multidimensi. Analisis lebih lanjut, semua jenis disabilitas
memiliki peluang yang sama untuk miskin. Kemiskinan juga tidak memandang jenis
kelamin. Pendidikan penyandang disabilitas diduga sangat berperan untuk keluar dari
kemiskinan karena menghasilkan kecenderungan terbesar untuk miskin.

4.2. Saran
1. Pemerintah sebaiknya memberikan bantuan berupa alat bantu bagi setiap penyandang
disabilitas tanpa terkecuali.
2. Sebaiknya pemerintah menggalakkan wajib belajar bagi penyandang disabilitas
setidaknya 9 tahun untuk dapat keluar dari kemiskinan. Pemerintah juga perlu
mensosialisasi kepada orang tua penyandang disabilitas terkait arti penting pendidikan
bagi anaknya. Selain itu, Universitas di Indonesia dapat berpartisipasi dengan
mengadakan program “Mengajar Disabilitas” bagi kalangan mahasiswa pada kegiatan
Kuliah Kerja Nyata (KKN).
3. Untuk penelitian selanjutnya, dapat menggunakan data primer agar bisa mengukur
kemiskinan multidimensi pada penyandang disabilitas dengan melibatkan indikator lain
yang lebih erat dengan disabilitas misalnya seperti perilaku dikriminasi dan hubungan
sosial di lingkungan masyarakat.

11
 ISSN: 1978-1520

DAFTAR PUSTAKA

Alkire, S. (2002). Dimensions of Human Development. World Development, 30(2), 181-205.


Alkire, S., & Santos, M. (2011). The Multidimensional Poverty Index (MPI). Human
Development Reports, 1-35.

Bella, A. (2015). Analisis Kemiskinan Penyandang Disabilitas di Indonesia [Skripsi]. Depok:


Universitas Indonesia.

Bella, A., & Dartanto, T. (2016). A Bad Luck : People with Disabilities (PWD) and Poverty in
Indonesia. LPEM-FEBUI, 1-11.

Cahyono, S. (2017). Penyandang Disabilitas: Menelisik Layanan Rehabilitasi Sosial Difabel


pada Keluarga Miskin. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, 41(3), 239-
254.

Castaneda, A., Doan, D., Cong, M., Hiroki, N., Joao, U., & Azeyedo, P. (2016). Who Are the
Poor in the Developing World? Poverty and Shared Prosperity Report 2016: Taking on
Inequality Background Paper. World Bank Policy Research Working Paper.

Cessie, & Houwelingen. (1994). Logistic Regression for Correlated Binary Data. Journal of the
Royal Statistical Society, 43(1), 95-108.

Choi, G., Suh, B., & Kwon, J. (2011). Measurement of Multidimensional Poverty by Counting
Approach. Korean Journal of Social Welfare, 63(1), 85-111.

Elwan, A. (1999). Poverty and Disability: A Survey of the Literature. World Bank.

Filmer, D. (2008). Disability, Poverty and Schooling in Developing Countries: Results from 14
Household Surveys. The World Bank Economic Review, 22(1), 141-163.

Igei, K. (2017). Disability, Poverty, and Employment in Developing Countries: An Econometric


Analysis Using Household Survey Data in South Africa [Tesis]. Japan: University of
Tokyo.

Irwanto, Fransiska, A., Kasim, E., & Lusli, M. (2010). Analisis Situasi Penyandang Disabilitas
di Indonesia: Sebuah Desk Review. Jakarta: Pusat Kajian Disabilitas Universitas
Indonesia.

Kang, D. (2014). Factors affecting poverty among people with disabilities and antipoverty
policies in South Korea. Asia Pacific Journal of Social Work and Development, 24(4),
210-226.

Lamichhane, K., & Kawakatsu, Y. (2015). Disability and Determinants of Schooling: A Case
from Bangladesh. International Journal of Educational Development, 40(1), 98-105.

Mitra, S., Posarac, A., & Vick, B. (2012). Disability and Poverty in Developing Countries: A
Snapshot from the World Health Survey. SSRN Electronic Journal.

12
IJCCS ISSN: 1978-1520

Palmer, M., Thuy, N., Quyen, Q., Duy, D., Huynh, H., & Berry, H. (2012). Disability Measures
as an Indicator of Poverty: A Case Study from Vietnam. Journal of International
Development, 53-68.

Pinilla-Roncancio, Mactaggart, I., Kuper, H., Dionicio, C., Naber J., Murthy, G., et al. (2020).
Multidimensional Poverty and Disability: A Case Control Study in India, Cameroon,
and Guatemala. SSM - Population Health, 1-34.

Sen, A. (1976). Poverty: an Ordinal Approach to Measurement. Journal of the Econometric


Society, 219-231.

Trani, J., Bakhshi, P., Tlaplek, S., Lopez, D., & Gall, F. (2015). Disability and Poverty in
Morocco and Tunisia: A Multidimensional Approach. Journal of Human Development
and Capabilities, 1-24.

Trani, J. F., & Loeb, M. M. (2010). Poverty and Disability : A Vicious Circle? Evidence from
Afghanistan and Zambia. Brown School Faculty Publication, 1-42.

Winters, P. (2019). Economic Activities of Persons with Disabilities in Rural Areas : New
Evidence and Opportunities for IFAD Engagement. IFAD, 1-12.

World Bank. (2009). People with Disabilities in India: From Commitments to Outcomes.
Washington DC: World Bank.

World Bank. (2015). Poverty, Inequality, and Evaluation : Changing Perspectives. Whasington
DC: World Bank.

LAMPIRAN
Lampiran 1.Variabel penelitian

13
 ISSN: 1978-1520

Lampiran 2. Dimensi, indikator, dan penimbang


Penimbang
untuk umur
Dimensi Indikator Terdeprivasi jika: (tahun)
15-
6-14
64
(1) (2) (3) (5)
Jika berusia ≥ 15 tahun :
Lama sekolah menempuh pendidikan kurang dari enam - 1/3
tahun
Pendidikan
Kehadiran
Jika berusia <15 tahun : tidak sedang
dalam 1/3 -
bersekolah
pendidikan
Perlindungan
Kesehatan, Tidak memiliki jaminan kesehatan 1/6 1/9
sosial
pekerjaan,
Sakit tapi tidak berobat jalan karena
dan Akses pelayanan
alasan tidak punya biaya berobat atau 1/6 1/9
perlindungan kesehatan
biaya transportasi
sosial
Status bekerja Jika berusia 15 ≥ tahun : Tidak bekerja - 1/9
Bahan bakar yang digunakan berupa
Jenis bahan
biomassa (kayu, arang, briket, dan 1/18 1/18
bakar
lainnya)
Tidak memiliki fasilitas sanitasi yang
Sanitasi 1/18 1/18
memadai/digunakan bersama
Akses air Tidak memiliki akses air minum yang
1/18 1/18
minum layak
Standar hidup
Sumber Menggunakan sumber penerangan bukan
1/18 1/18
Penerangan listrik
Jenis Lantai Jenis lantai tanah atau pasir 1/18 1/18
Tidak memiliki lebih dari satu barang-
Kepemilikan barang berupa TV, radio, telepon,
1/18 1/18
Aset sepeda, sepeda motor, dan tidak
memiliki mobil atau traktor.

Lampiran 3. Uji independensi antarvariabel respon

Lampiran 4. Uji kebaikan model

Lampiran 5. Uji simultan

14
IJCCS ISSN: 1978-1520

Lampiran 6. Uji Parsial

15

Anda mungkin juga menyukai